Monday, November 2, 2009

Seri The People of God IV: The Calling (DIAKONIA)

Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Hari ini kita akan membahas panggilan Gereja yang ke tiga, yaitu Diakonia. Mari membuka Kis 6:1-7. Lima pasal pertama dari kitab Kisah Para Rasul ini banyak menceritakan mengenai perkembangan jemaat Yerusalem dan permulaan munculnya oposisi sebagai reaksi dari semakin menyebarnya Injil. Kemudian, pasal berikutnya berisi mengenai pekerjaan misi, bagaimana Roh Kudus memimpin Umat Allah dan para rasul di dalam pemberitaan Injil sehingga muncul Jemaat yang sangat besar. Jika kita perhatikan bagian Kisah 6 tadi, kita melihat bahwa narasi ini di awali dengan sebuah kritik atas perhatian yang kurang bagi orang yang miskin, khususnya untuk orang kristen yang berlatar belakang non Yahudi asli.

Mari kita lihat ayat 1: ”Pada masa itu, ketika jumlah murid makin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani, karena pembagian kepada janda-janda mereka diabaikan dalam pelayanan sehari-hari.” Jadi, ada satu sungut-sungut karena ada pihak yang terabaikan di dalam jemaat tersebut. Logikanya, jika jemaat semakin bertambah, maka yang ada adalah sukacita yang semakin besar. Tetapi di sini yang terjadi adalah ketimpangan, di mana ada kecemburuan yang menimbulkan sungut-sungut diantara mereka. Seolah-olah kelompok-kelompok tertentu di dalam jemaat itu hanya memperhatikan orang-orang yang Ibrani dan mengabaikan orang miskin yang berlatar belakang Helenis, khususnya para janda. Hal ini terjadi karena beratnya tugas dan fokus para rasul yang memberikan perhatian lebih banyak dalam pengajaran Firman Tuhan. Artinya, para rasul tidak mau ditarik dari tugas utamanya. Mereka tidak mau bergeser dari tugas utama mereka dan ingin tetap fokus dalam pengajaran Firman Allah. Bukan berarti para rasul mengabaikan pelayanan ini. Mereka tetap memperhatikan, hanya ada satu skala prioritas yang membuat mereka tidak ingin ditarik dari tugas utama mereka. Terjadilah persoalan ini.

Lukas, di ayat yang pertama, melihat bahwa salah satu permasalah dalam jemaat itu adalah karena pertambahan orang percaya. Tetapi Lukas juga melihat permasalahan yang lain, yaitu karena perbauran orang Ibrani dan Helenis. Ketika jemaat semakin bertambah, muncul juga sungut-sungut. Hal sangat bisa mungkin terjadi di dalam jemaat sekarang ini. Ketika jemaat semakin bertambah, maka akan dimungkinkan akan ada kelompok yang merasa terabaikan. Apalagi pada saat ini masih ada satu pendeta memimpin 11 jemaat.

Jika kita perhatikan bagian Kis 6 tadi, pelayanan kepada para janda dikatakan terabaikan dan ternyata janda yang terabaikan itu adalah janda Helenis. Siapakah janda yang harus diperhatikan dalam bagian ini? Mari melihatnya dalam 1 Tim 5:3-16. Di dalam ayat 3 dikatakan: ”Hormatilah janda-janda yang benar-benar janda.” Siapakah yang benar-benar janda? Dari 1 Tim 5 ini kita melihat bahwa janda yang memiliki anggota keluarga yang menanggungnya, tidak menjadi tanggungan jemaat. Dalam ayat 5 dikatakan: ”Sedangkan seorang janda yang benar-benar janda, yang ditinggalkan seorang diri, menaruh harapannya kepada Allah dan bertekun dalam permohonan dan doa siang malam.” Berarti janda tersebut adalah janda yang rohani yang tekun berdoa. Dalam ayat 6 dikatakan: ”Tetapi seorang janda yang hidup mewah dan berlebih-lebihan, ia sudah mati selagi hidup.”. Dalam ayat 8 dikatakan: ”Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman.” Artinya adalah jika kita memiliki saudara janda tetapi tidak melayaninya, maka kita termasuk orang jahat. Ayat 9 dikatakan: ”Yang didaftarkan sebagai janda, hanyalah mereka yang tidak kurang dari enam puluh tahun, yang hanya satu kali bersuami.” Dan ditambahkan pada ayat 10 bahwa janda tersebut terbukti melakukan pekerjaan baik, yang menggunakan kesempatan untuk berbuat baik (ayat 10: ”...dan yang terbukti telah melakukan pekerjaan yang baik, seperti mengasuh anak, memberi tumpangan, membasuh kaki saudara-saudara seiman, menolong orang yang hidup dalam kesesakan -- pendeknya mereka yang telah menggunakan segala kesempatan untuk berbuat baik.” ) Jadi janda orang Helenis yang benar-benar janda terabaikan di jemaat mula-mula.

Di dalam kondisi seperti ini, dilihatlah betapa pentingnya sebuah pelayanan Diakonia. Dalam Kis 6:2 dikatakan: ”Berhubung dengan itu kedua belas rasul itu memanggil semua murid berkumpul dan berkata: "Kami tidak merasa puas, karena kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja.” Terjadi satu kontradiksi. Di satu sisi para Rasul tidak banyak dan waktu mereka banyak untuk pelayanan Firman. Di satu sisi, terjadi pengabaian kepada janda-janda karena para rasul yang sedikit tidak mampu melakukannya. Oleh sebab itulah mereka berkata demikian dalam ayat 1 tersebut. Dalam pelayanan seharusnya harus memiliki dua hal, yaitu Proclamation (pengajaran dan pemberitaan Firman) dan sekaligus dengan the Presence of God di dalam pelayanan kasih. Inilah Diakonia. Hal ini sering sekali terabaikan. Tetapi hal ini tidak berlarut di dalam jemaat mula-mula. Muncullah satu solusi. Dalam ayat 3 dikatakan: ”Karena itu, saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu.” Panggilan umat Allah memang tidak sebatas vertikalistik. Inilah yang sering sekali menjadi kesalahan kita, baik Perkantas, Gereja, ataupun persekutuan-persekutuan Kristen lainnya. Sering sekali plan kita terpusat hanya pada hal-hal yang vertikal, dan mengabaikan pelayanan yang horizontal, yaitu pelayanan kasih. Salah satu kesalahan persekutuan atau Gereja adalah jika ada jemaatnya yang mengalami kemalangan, yang aktif terlibat untuk membantu adalah Serikat Tolong Menolong (STM) atau punguan Marga, bukan Gereja. Ini adalah kesalahan yang fatal dari Gereja. Gereja hanya datang sebagai ’penonton’. Gereja kehilangan esensi dan tanggung jawabnya. Ini adalah sesuatu yang sangat timpang. Kapan warga akan menikmati pelayanan Gereja dan hamba Tuhan jika Gereja masih seperti ini? Jangan ikatan marga lebih kuat daripada ikatan persekutuan. Ikatan iman harus jauh lebih mengikat dari pada ikatan suku atau marga. Oleh karena itulah, di dalam Kis 6 tadi, para rasul mengusulkan agar dipilih orang untuk memperbaiki ketimpangan yang ada di dalam jemaat mula-mula.

Belajar dari Tuhan Yesus, setelah Dia mengajar, Dia juga tidak lupa kepada mereka yang lapar. Yesus juga menyembuhkan dan menghiburkan ketika orang sedih. Ini adalah bentuk pelayanan Diakonia. Kenapa Gereja kita mengalami kegagalan adalah karena kurang memperhatikan pelayanan Diakonia [band 2 Kor 8:1-5 tentang jemaat di Makedonia ”Saudara-saudara, kami hendak memberitahukan kepada kamu tentang kasih karunia yang dianugerahkan kepada jemaat-jemaat di Makedonia. Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan. Aku bersaksi, bahwa mereka telah memberikan menurut kemampuan mereka, bahkan melampaui kemampuan mereka. Dengan kerelaan sendiri mereka meminta dan mendesak kepada kami, supaya mereka juga beroleh kasih karunia untuk mengambil bagian dalam pelayanan kepada orang-orang kudus.Mereka memberikan lebih banyak dari pada yang kami harapkan. Mereka memberikan diri mereka, pertama-tama kepada Allah, kemudian oleh karena kehendak Allah juga kepada kami.”]. Yang menarik dalam jemaat di Makedonia adalah, di dalam kekurangannya mereka masih menawarkan diri untuk ikut terlibat ambil bagian di dalam pelayanan Diakonia. Dengan prinsip pelayanan Diakonia, maka dalam Jemaat mula-mula itu dipilihlah orang yang punya kemampuan untuk hal itu. Syaratnya adalah terkenal baik (jujur), murah hati, yang penuh Roh dan hikmat. Dan ayat 5 dikatakan: ”Usul itu diterima baik oleh seluruh jemaat, lalu mereka memilih Stefanus, seorang yang penuh iman dan Roh Kudus, dan Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus, seorang penganut agama Yahudi dari Antiokhia.” Kemudian dalam ayat 6 dikatakan: ”Mereka itu dihadapkan kepada rasul-rasul, lalu rasul-rasul itu pun berdoa dan meletakkan tangan di atas mereka.” Pelayann Diakonia sebagai salah satu dari tiga panggilan Gereja harus dilakukan dan akan memberi dampak yang positif. Di dalam ayat 7 dikatakan: ”Firman Allah makin tersebar, dan jumlah murid di Yerusalem makin bertambah banyak; juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan percaya.” Mari kita perhatikan beberapa hal. Pertama, Firman Allah makin tersebar. Hal ini dikarenakan dua hal yaitu rasul fokus pada pemberitaan Firman dan karena orang menikmati perhatian kasih (Diakonia) dan mereka tertarik kepada pengajaran. Kenapa Gereja kehilangan jemaat adalah karena jemaat tidak menikmati pelayanan kasih. Kedua, jumlah murid di Yerusalem makin bertambah banyak. Hal ini terjadi karena mereka menikmati pelayanan kasih dari jemaat. Ketiga, sejumlah besar imam menyerahkan diri untuk percaya. Hal ini tidak gampang. Apa yang ingin dikatakan adalah bahwa imam-iman yang berasal dari ahli Farisi dan hukum Taurat, yang biasa tahu kebenaran dan berkutat terus di bait Allah, yang merasa bahwa diri mereka hebat, dikalahkan oleh satu hal ketika mereka melihat kehidupan umat Allah dan menikmati pelayanan Diakonia. Akhirnya mereka bertanya-tanya, tertarik, dan menyerahkan diri untuk percaya.

Harapan kita, biarlah kitanya orang tertarik, tertantang, dan datang kepada Kristus, apakah dia tokoh agama atau apapun, karena melihat kasih Kristus yang nyata di dalam Gereja kita. Kasih Kristus di dalam pelayanan Diakonia sungguh-sungguh hidup di dalam persekutuan kita. Itulah sebabnya tritugas Gereja harus dikerjakan secara berkesinambungan dan secara simultan dengan kasih Allah.
Solideo Gloria!

Seri The People of God III: The Calling (KOINONIA)

Denni B. Saragih, M. Div

Minggu-minggu ini kita merenungkan apakah artinya menjadi Gereja. Apa artinya menjadi umat Allah. Satu harapan kita adalah kita semakin menghargai keberadaan Gereja, dan bagaimana kita mencintai dan ambil bagian dalam pelayanan Gereja. Tentu saja kita mendekati Gereja tidak semata-mata sebagai sebuah institusi tetapi juga di dalam pengertian theologis yang dipahami di dalam Alkitab. Hari ini kita akan menyegarkan pemahaman kita tentang apa artinya Koinonia melalui Kis 2:42-47.

Dalam kehidupan sekarang ini, ada dua ekstrim yang kita temukan sewaktu kita melihat persekutuan Gereja. Satu sisi kita melihat persekutuan Gereja yang mirip-mirip dengan kelompok adat. Suasanya sangat formal, sehingga etika dan nilai-nilai yang ada di sana lebih mengarah kepada nilai-nilai budaya dari pada nilai-nilai Kristiani. Di sisi lain juga kita melihat Gereja yang terlalu causual, dimana siapa saja boleh masuk ke dalam. Orangnya mungkin berganti-ganti dan tidak saling mengenal. Gereja ini memiliki kesan seperti sebuah show, bukan ibadah.

Kita memperhatikan bahwa dalam bagian Kis 2 ini, kita diingatkan kembali apa yang menjadi mungkin bagi sebuah umat Allah. Ditengah-tengah kekecewaan kita dengan Gereja, kekeringan dunia ini akan persekutuan yang sejati, kegagalan, dan ditengah-tengah harapan yang kita miliki tentang bagaimana seharusnya sebuah Gereja, Kis 2 ini memberikan gambaran tentang apa yang mungkin terjadi dalam jemaat/Gereja. Bagian Firman ini mengajarkan kepada kita bahwa Kis 2 ini bukanlah kisah yang unik, yang hanya terjadi sekali dalam sejarah dan tidak mungkin terulang lagi. Tidak! Kekerdilan iman kita yang dibentuk situasi di sekeliling kita membuat kita dipaksa untuk percaya bahwa persekutuan yang ada di Kis 2 tidak akan mungkin terjadi. Firman Tuhan ini menantang kita, sewaktu kita melihat Gereja dan persekutuan kita kembali melihatnya dengan kacamata Kis 2. Kita ditantang untuk mengharapkan hal yang besar bagi Gereja dan persekutuan, bahwa Gereja tidak harus tinggal dalam kondisi sekarang. Gereja dan persekutuan bisa berubah seperti yang Tuhan kehendaki. Wiliam Carey berkata: ”Expect great thing from God, and attemp great thing for God- Harapkanlah hal-hal besar dari Tuhan, dan kerjakanlah pekerjaan-pekerjaan besar bagi Tuhan.”

Jika kita memperhatikan Kis 2:42-47, kita akan bertanya: ”Apakah rahasianya sehingga mereka bisa seperti ini?” Mungkin kita tergoda untuk menjawab bahwa hal itu tejadi karena penyerahan diri mereka pada saat itu lebih dalam. Banyak jawaban-jawaban yang lain yang bisa kita berikan. Tetapi jika kita memperhatikan bagaimana Firman Tuhan mempersentasekan Kis 2:42-47, yang ingin dikatakan ialah, bahwa ini bukanlah sebuah norma di mana kita harus demikian. Bukan! Ini adalah sebuah ekspresi sebagai sebuah akibat dari apa yang terjadi ketika satu umat Tuhan mengalami pencurahan dari Roh Kudus. Kis 2 ini adalah gambaran satu komunitas, ketika Roh Allah menguasai mereka. Segala kelemahan-kelemahan manusia, keegoisan, kerapuhan, individualis, segala apa yang kita miliki yang sama dengan mereka, diangkat ke level yang paling tinggi dan mengalami satu pembaharuan, kasih yang melampau segala sesuatunya.
Ketika satu kominitas penuh dengan Roh Kudus, maka ada empat ciri khas yang digambarkan, yaitu:

1. A Learning Community (42)
2. A Loving Community (42,44-46)
3. A Worshiping Community (42, 46)
4. An Evangelistic Community (47)

Komunitas yang oleh karena persekutuan yang demikian kuat, ada evek marturianya, membawa orang lain masuk ke dalamnya. Jika Marturia ibarat ‘Go and tell them!’, maka Koinonia adalah ‘Come and see!’

Mari kita melihat lebih jelas keempat ciri ini.

A Learning Community

Ayat 42 mengatakan: ”Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul ...”.
Apa artinya bertekun? Dalam NIV, kata ‘bertekun’ yang dipakai adalah ‘devoted’-they devoted themselves to the apostles’ teaching. Perhatikan bahwa mereka bertekun dalam pengajaran. Sering sekali, pada saat ini, alumni malas membaca buku rohani yang berat. Alumni hanya ingin baca yang ringan, segar, dan jika bisa sedikit lucu. Tidak seperti kontekstual modern, pengalaman spiritual yang para rasul alami melalu bahasa Roh ataupun kuasa-kuasa tidak membuat mereka mengabaikan teologia dan pikiran mereka. Justru ketika mereka dikuasai Roh Kudus, mereka devoted pada ajaran dan pikiran para rasul. Dengan kata lain, jemaat mula-mula itu lapar akan Firman Tuhan, akan pengajaran yang berbobot, dan bertekun dalam pengajaran yang berbobot itu. Pengajaran yang berbobot tidak hanya milik sekelompok orang. Semua orang harus belajar akan pemikiran-pemikiran yang dalam karena ketika kita membaca buku-buku yang berat akan mempengaruhi bagaimana kita mengambil keputusan dan bersikap, brtindak. Ibarat sebuah pohon yang akarnya dalam, ketika dihembus angin, maka pohon itu akan tetap tertancap. Ketika pohon hanya kelihatannya tinggi tetapi akarnya tidak ada. Kelihatan begitu kokoh dan perkasa, tetapi ketika angin datang maka pohon itu akan tumbang. Kita perhatikan di sini, Gereja yang penuh Roh adalah Gereja yang belajar Firman, bertekun dan tunduk pada Firman. Jika Firman dalam konteks ini adalah pengajaran para rasul, maka kita perlu terus merenungkan dan membaca kembali Perjanjian Baru. Kita tidak boleh puas berkutat hanya bertahan untuk saat teduh. Mungkin kita harus menantang diri kita untuk lebih keras lagi. Jangan merasa ketika alumni semuanya sudah siap, tidak perlu membaca buku rohani lagi.

A Loving Community

Ayat 42 mengatakan: ”Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” [kata ‘persekutuan’ di sini adalah ‘Koinonia’]. Hal ini sangat indah. Ada semacam magnet dari hidup yang rajin belajar, lahir kerinduan untuk bersama-sama. Jhon Stott mengatakan ada dua arti dari persekutuan. Persekutuan berarti kita bersekutu karena kita mengalami hal yang sama yaitu jamahan Persekutuan Trinitarian (IYoh 1:3; 2Kor 13:13). Tetapi yang ingin kita renungkan adalah mengenai Koinonia. Koinonia artinya berbagi. Karena kita bersama-sama mmebagi hidup satu dengan yang lain. Perhatikan ayat 44-45, dikatakan di sana: “Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.” Ini adalah satu praktek yang radikal karena adanya kepemilikan bersama dalam hal harta. Seandainya syarat menjadi anggota persekutuan adalah kepunyaan milik bersama, maukah kita masuk menjadi anggota? Gereja mula-mula bukan hanya memberi uang, tetapi tanah dan rumah. Pertanyaannya adalah apakah ini hanya literal normative? Jika kita memperhatikan beberapa contoh di dalam sejarah, ternyata bukan hanya orang Kristen yang punya seperti ini. Misalnya:

1. Persamaan dengan Qumran Community, baik umum maupun biarawan. Qumran Community yang umum selalu diminta untuk membantu orang miskin dan memberi makan orang yang lapar dan memberi tumpangan kepada orang yang berkelanan. Inilah kode etik mereka. Jika tidak bersedia melakukan ketiga hal ini, tidak diperbolehkan menjadi anggota. Tetapi kalau biarawan, lebih dalam lagi, mereka harus menjual seluruh hartanya baru boleh masuk anggota.

2. Radical Reformation: fellowship and brotherly love (word and sacrament).
Mereka seperti ini seperti aliran baptis. Aliran ini mengatakan sewaktu Calvin mengatakan ciri khas Gereja adalah adanya Firman dan Sakramen, maka orang-orang radikal reformatiaon, diantaranya adalah Menosimon, mengatakan harus ditambahkan fellowship and brotherly love mark.

3. The Hutterite Brethren in Moravia
Setiap anggota yang ingin masuk ke dalam kelompok ini, harus bersedia untuk menerima bahwa segala hartanya adalah harta bersama di dalam komunitas tersebut.

Kenapa Gereja atau Perkantas tidak mempraktekkannya? Hal ini disebabkan karena sebenarnya Alkitab tidak pernah bermaksud bahwa hal ini harus menjadi satu hukum yang ke-11. Ini adalah sebuah visi. Jika kita melihat PB, dalam bagian ini sendiri ayat 46 mengatakan: “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir…”. Apa yang ingin dikatakan adalah bahwa mereka masih memiliki rumah karena mereka memecahkan di rumah masing-masing. Kemudian ayat 45 mengatakan alasan sebenarnya. Mereka menjual harta miliknya, membagi-bagikan kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Ternyata mereka menjual rumah dan hartanya didorong oleh kebutuhan. Ketika ada kebutuhan, yang namanya anak Tuhan akan rela menjual rumah atau tanahnya untuk menjawab kebutuhan tersebut. Iniah prinsip dan kode etik dari Koinonia, bahwa jika Gereja, persekutuan, atau saudara kita membutuhkan, dan untuk itu kita harus menjual rumah dan harta, itu bukanlah sesuatu yang aneh. Hal ini sangat indah karena inilah artinya menjadi manusia. Dan inilah perjuangan kita terus menerus, dimana ada peperangan melawan kejahatan yang hidup, tumbuh,dan berkembang di dalam diri kita. Loving Community adalah tempat kita belajar memberi kepada yang lain. Godaan menjadi alumni demikian berat karena begitu banyak kebutuhan yang harus dimiliki. Biarlah Firman Tuhan ini menantang kita kembali apa sebenarnya arti menjadi bagian dari Koinonia, menjadi bagian dari umat Allah. Ingat, memberi secara Kristiani bukan memberi karena berlebihan. Ini adalah sumbangan. Dan ini bukan Christian gift. Memberi secara Kristen adalah memberi dalam kekurangan sekalipun, karena memberi adalah kasih karunia. Kita mendapatkan kasih karunia jika kita boleh berbagi dengan sesama kita.

A Worshiping Community

Menarik sekali dalam ayat 42. dalam NIV terjemahannya adalah demikian: ” They devoted themselves to the apostles' teaching and to the fellowship, to the breaking of bread and to prayer.” [dalam terjeahan Indonesia, setelah persekutuan (fellowship) di akhiri dengan titik, tetapi dalam NIV, hanya memakai tannda koma.]. Artinya, mereka juga tekun dalam komunitas mereka. Jika kita memperhatikan dalam komunitas mereka, bagaimana jemaat mula-mula beribadah, Koinonia yang mereka miliki itu adalah satu ibadah yang luar biasa karena ditandai dengamn ibadah yang formal dan sekaligus informal. Ayat 46 mengatakan: “Every day they continued to meet together in the temple courts. They broke bread in their homes.” Ini adalah sebuah kombinasi sehat dan membantu menghargai ibadah formal di institusi Gereja. Kita juga belajar menghargai bahwa liturgy Gereja itu luar biasa dalam. Jika kita bisa menghayatinya, sangat dalam, baik pengakuan dosa, doa-doanya, susunannya, semuanya luar biasa. Kita harus mengikuti dan menghargainya, sama seperti jemaat mula-mula yang tetap mengikuti ritual ibadah mereka. A worshiping community ditandai keseimbangan antara sukacita dan hikmat. Dalam ayat 46 dikatakan: “...with glad and sincere hearts...”[gembira dan tulus]. Ini adalah kombinasi yang baik. Terkadang orang gembira tetapi tidak tulus. Kita bersukacita bukan karena nyanyi, tetapi kita bersukacita dan dari sukacita tersebut lahirlah nyanyian dan puji-pujian kepada Tuhan. Banyak juga orang tulus, tetapi tidak gembira. Ibadahnya kadang begitu liturgical tetapi kehilangan kegembiraan. Seharusnya liturgy tidak mematikan hati kita. Ibadah Kristiani seharusnya dipenuhi dengan sukacita. Ibadah Kristiani seharusnya teratur dan terhormat tetapi tidak tumpul dan kering. Ibadah yang tumpul dan kering adalah dosa. Ibadah yang Kristiani harus menjadi ibadah yang hidup meski dalam sebuah liturgy yang agung dan mulia. Liturgy merupakan sebuah ekspresi dari PL ketika orang beribadah dalam zaman Musa. Tetapi ada juga seperti Daud, menari-nari untuk menunjukkan sukacitanya. A worshiping community adalah satu komunitas yang beribadah dengan hikmat.

An Evangelistic Community

Dari persekutuan yang hidup ini, lahirlah daya tarik yang mengundang orang dating tanpa mereka harus mengabarkan Injil. Pastilah mereka memberitakan Injil. Tetapi yang ditekankan dalam bagian ini adalah karena demikian hidup persekutuannya, maka orang datang. Dikatakan dalam ayat 47: “And the Lord added to their number daily those who were being saved.” Pertama-tama sekali, pertumbuhan dalam persekutuan ini adalah bukan pertumbuhan karena hebatnya melakukan promosi atau pengkotbahnya hebat. Tetapi karena Tuhan menambahkan. Koinonia itu bertumbuh bukan karena teknik-teknik manusia, tetapi karena Allah bekerja demikian rupa. Yang menarik adalah bahwa yang ditambahkan merupakan orang yang sudah percaya. Jadi Allah menambah dengan orang yang menyelamatkan tetapi juga menyelamatkan dan menambah jumlah. Pertambahan di sini bukan pertambahan perbulan, tetapi tiap-tiap hari secara kontiniu. Tidak sporadis atau bulanan, tetapi terus-menerus.

Kis 2:42-47 menjelaskan kepada kita apa artinya satu komunitas yang di penuhi dengan Roh Kudus. Persekutuan yang seperti itu adalah a learning community, dimana orang-orang mau belejar dan bertekun dalam pengajaran. Dan dari sini lahirlah community, persektuan tanpa kasih adalah persekutuan yang kaku, seperti orang yang hanya bertekun dalam pemikiran, tetapi tanpa hati. Dari learning and loving lahirlah a worshiping community. Komunitas seperti ini, mau tidak mau, dirinya menjadi evangelistic community yang mangatakan kepada orang: “Come and see, God is here!”
Solideo Gloria!

Seri The People of God II: The Calling (MARTURIA)

Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Hari ini, kita akan membahas mengenai The People of God dengan tema The Calling, dalam hal ini adalah Marturia. Mari melihat Efesus 3:1-13. Di dalam Efesus pasal 1-6, kita melihat ada rangkaian yang berurutan. Di dalam pasal dua dikatakan bahwa keselamatan adalah karena anugerah Allah di dalam diri Yesus Kristus, dan orang-orang percaya itu sudah diperdamaikan antara satu dengan yang lain. Di pasal ketiga dikatakan bahwa orang percaya disatukan Tuhan ke dalam satu tubuh, yaitu Gereja. Pasal 4:1-6 berbicara soal Gereja dan ciri khasnya, yaitu satu tubuh, satu Tuhan, dan satu baptisan, dst.

Jika kita mempelajari panggilan Gereja, yaitu Marturia, maka di dalam Efesus 3 tadi, kita melihat bahwa Paulus mengawalinya dengan siapa dirinya sebagai pemberita Injil kepada non Yahudi. Di dalam ayat 1 dikatakan: ”Itulah sebabnya aku ini, Paulus, orang yang dipenjarakan karena Kristus Yesus untuk kamu orang-orang yang tidak mengenal Allah”. Yang dimaksudkan Paulus dengan ’Itulah sebabnya...’ adalah bagaimana Kristus yang sudah menebus dan menyelamatkan orang percaya dan orang percaya tersebut dipersatukan di dalam satu tubuh yaitu tubuh Kristus sebagai Gereja Allah. Paulus rela mengalami penderitaan oleh karena Yesus Kristus, demi mereka yang belum mengenal Allah (Gentile). Hal ini disebabkan karena dia tahu betapa pentingnya orang diubah di dalam Kristus agar dapat dibawa kepada Allah.

Di dalam ayat 2 Paulus mengatakan: ” -- memang kamu telah mendengar tentang tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah, yang dipercayakan kepadaku karena kamu,...” Di dalam ayat ini kita melihat bahwa tugas yang dipercayakan kepada Paulus adalah tugas ’penyelenggaraan kasih karunia Allah’. Yang dimaksudkan disini adalah Pemberitaan Injil (PI). Paulus menyadari tugas PI atau Marturia secara pribadi. Jika kita perhatikan, ayat 1-9 dari Efesus 3 ini berbicara mengenai Marturia secara pribadi, yaitu tugas menyatakan Firman dan bersaksi secara pribadi. Baru pada ayat 10-13, tugas Marturia oleh umat Allah (Gereja Tuhan). Di dalam ayat 2 ini kita melihat Paulus menyatakan dirinya sebagai pembawa tugas ’penyelenggaraan kasih karunia Allah’.

Apa yang dimaksud dengan ’kasih karunia Allah’? Di dalam ayat 3-5 dijelaskan mengenai hal ini, yaitu mengenai sebuah misteri kebenaran yang disingkapkan kepada Paulus melalui wahyu. Misteri ini adalah bahwa orang-orang non Yahudi turut menjadi ahli waris, menjadi anggota di dalam keluarga Allah, yaitu Gereja, dan juga turut sebagai peserta di dalam janji yang diberikan Allah oleh karena Injil. Paulus ingin mengatakan bahwa sebuah misteri jika non Yahudi bisa beroleh keselamatan. Hal ini sama misterinya dengan seorang pembakar gereja menjadi pengikut Kristus yang taat. Hal ini menjadi misteri karena di luar kemampuan kita untuk memahaminya. Bahkan kita tidak pernah menduga bahwa orang-orang seperti ini bisa menyerahkan diri menjadi pengikut Kristus. Ingat Paulus? Dia adalah seorang penganiaya jemaat tetapi akhirnya menjadi teraniaya oleh karena jemaat.

Di dalam ayat 7-9 kita bisa melihat perubahan Paulus. Di dalam ayat 7 dikatakan: ”Dari Injil itu aku telah menjadi pelayannya menurut pemberian kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku sesuai dengan pengerjaan kuasa-Nya.” Yang ingin dikatakan Paulus adalah jika kepada kita dipercayakan tugas untuk Marturia secara pribadi, semuanya adalah karena kasih karunia. Hal ini dikatakan Paulus karena dia menyadari bagaimana hidupnya yang jahat, sebagai penganiaya Jemaat. Di dalam ayat 8, Paulus berkata: ” Kepadaku, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu,” [band 1 Kor 15:10]. Di sini kita tidak hanya melihat perubahan hidup Paulus yang sangat radikal, tetapi juga bagaimana dia memahami bahwa semuanya adalah karena kasih karunia Allah. PI adalah sebuah rahasia Allah yang tersembunyi selama berabad-abad. Bukankah Farisi dan Ahli Taurat mempelajari Kitab Suci, tetapi mereka tetap tidak bisa mengenal Allah? Ketika mereka mencari kebenaran dan ingin menemukan siapa Allah, selama berabad-abad, mereka tidak dapat menemukannya. Tetapi di dalam Kristus, mereka menemukannya. Inilah rahasia Allah yang sangat besar.
Setelah Paulus berbicara secara pribadi, barulah ia berbicara mengenai panggilan Umat Allah. Di dalam ayat 10 dikatakan: ”... supaya sekarang oleh jemaat diberitahukan pelbagai ragam hikmat Allah kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di sorga,...”. Marturia bukan hanya tugas secara individu, tetapi menjadi tugas umat Allah secara umum. Bukan tugas para rasul atau para nabi, tetapi menjadi tugas seluruh umat Allah. Marturua adalah sebuah panggilan yang ilahi bagi umat Allah. Inilah panggilan umat Allah secara kolektif, panggilan alumni sebagai umat Allah secara kolektif di seluruh dunia. Kita harus menyadari bahwa kita adalah umat Allah, bukan hanya di dalam pengertian yang ada di PAK, atau persekutuan alumni kampus, tetapi bagian dari umat Allah di seluruh dunia tanpa dibatasi denominasi, Gereja, geografis, ataupun latar belakang. Inilah yang dimaksudkan dengan Gereja yang kudus dan Am. Sebagai umat yag sudah dilayani, kita juga harus melakukan pelayanan Marturia. 1 Pet 2:9 mengatakan: ”Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:”. Kata ’imamat’ adalah umat atau jemaat Allah, yaitu Gereja Allah yang harus bermisi karena sudah diangkat dari kegelapan ke dalam terang. Dari Efesus 3:1-9 dan dari 1 Pet 2:9 kita melihat bahwa seharusnya kita harus melakukan pelayanan. Jika ada orang yang mengaku lahir baru tetapi tidak punya kerinduan untuk melayani, maka lahir barunya dipertanyakan. Tidak mungkin hal seperti ini terjadi. Oleh karena itu, umat Allah yang telah diselamatkan harus melakukan mandat Allah untuk Marturia bagi orang lain. Inilah dasar dari Marturia.
Ayat 10 mengatakan ’pelbagai ragam hikmat Allah’. Ini adalah isi dari Marturia. Isinya adalah Hikmat Allah [band ayat 3-5; Kol 2:2b-3]. Inti dari berita Marturia adalah Kristus yang membawa orang kepada Allah. Kita harus memberitakan Kristus yang disalibkan bukan lembaga, gereja, atau diri sendiri. Perhatikan ayat ini, ‘dengan pelbagai ragam hikmat Allah’. Artinya, hikmat Allah di dalam Kristus diberitakan dengan berbagai ragam atau metode atau cara. Ada pelbagai cara yang bisa dipakai, tetapi yang paling penting adalah hikmat Allah sampai dan mereka bisa bertemu dengan Tuhan. Kristus adalah hikmat Allah yang sempurna.
Di dalam ayat 12 Paulus kembali menyatakan: “Di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya.” Tidak ada yang lain, inti berita Marturia adalah Kristus [band Rom 1:16-17]. Jika ada kesempatan untuk membawa renungan, tolong hati-hati. Terkadang kita terjebak dengan kesaksian pribadi, Gereja, atau lembaga tempat kita berada.

Di dalam ayat 10 akhir kita melihat objek PI kita dalam panggilan Marturia, yaitu ’ kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di sorga,’. Jika kita memakai terjemahan ini, kita bisa salah mengerti. Di dalam NIV dikatakan ‘the rulers and authorities in the heavenly realms,’- pemerintah dan penguasa angkasa. Yang dimaksudkan Paulus di sini bukanlah roh jahat yang menjadi penguasa angkasa, tetapi mereka yang masih percaya dan tunduk kepada penguasa-penguasa angkasa atau kegelapan. Kepada merekalah kita harus Marturia, orang-orang yang masih di bawah penguasa-penguasa angkasa, yang masih jauh dari kebenaran dan jauh hidupnya dari Allah [band Efesus 6:12].

Di dalam ayat 11 dikatakan: “…sesuai dengan maksud abadi, yang telah dilaksanakan-Nya dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Paulus menyatakan bahwa mandat Ilahi atau panggilan Marturia bagi umat Allah yaitu tugas pemberitaan Injil, isi berita yang diberitakan, dan objek kemana kita melakukan tugas Marturia, dikatakan oleh Paulus bahwa itulah maksud Allah yang kekal yang direalisasikan di dalam Kristus. Artinya, pertama, jemaat yang Marturia adalah salah satu bagian dari maksud Allah yang kekal. Jika ada umat Allah tidak melakukan tugas Marturia, berarti maksud Allah belum digenapi di dalam dirinya. Kedua, maksud Allah yang abadi adalah umat Allah atau The People of God melakukan Marturia. Belajar dari hal ini, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak terlibat sebagai umat Allah. Allah tidak menghendaki kebinasaan, melainkan keselamatan umat manusia. Oleh karena itu, Marturia sebagai mandat Ilahi harus dikerjakan oleh umat Allah atau Gereja. Ingat Amanat Agung? Pertanyaanya adalah sejauh mana kita melakukan amanat tersebut? Kita harus introspeksi diri. Hal inilah yang menggerakkan kita untuk pergi, berkarya dan bersaksi bagi Tuhan.

Ayat 13 mengatakan: ”Sebab itu aku minta kepadamu, supaya kamu jangan tawar hati melihat kesesakanku karena kamu, karena kesesakanku itu adalah kemuliaanmu.” Kata ’martir’ memiliki akar kata dari kata ’Marturia’. Jadi, wajar jika bersaksi, memberitakan Injil, seseorang bisa teraniaya bahkan kehilangan nyawannya. Umat Allah yang dipanggil untuk tugas Marturia harus rela menderita. Bukan hanya rela, di dalam Kol 1:24, Paulus berkata: ”Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.” Luar biasa! Yang dimaksudkan Paulus adalah bukan karya Kristus kurang sempurna, tetapi jika karena kasihNya, Dia rela menderita untuk keselamatan manusia, maka kita pun harus rela menderita agar kabar mengenai Injil sampai kepada orang lain.

Inilah satu perubahan yang radikal di dalam diri Paulus, dan hal ini menjadi bagian dari umat Allah. Kita tidak menjadi generasi yang cengeng, tetapi menjadi generasi yang rela menderita, bahkan bersukacita oleh karena penderitaan, karena tugas Marturia sebagai umat Allah. Di dalam 2 Kor 4:11-12 dikatakan: “Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. Maka demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu.”
Panggilan Allah untuk umatNya adalah Marturia. Dalam rangka tugas ini, kita sebagai umat Allah sering sekali diperhadapkan dengan penderitaan, bahkan maut. Maut giat di dalam diri kita. Tetapi, oleh karena hidup yang beriman kepada Yesus Kristus, maka kita semakin giat terhadapa orang lain agar mereka percaya kepada Kristus. Inilah sukacita kita sebagai umat Allah. Inilah sukacita Gereja, ketika gereja dianiaya karena melakukan tugas penggilan untuk Marturia. Dengan kesesakan melakukan Marturia, orang akan diselamatkan. Dengan demikian kemuliaan Allah akan ada bagi dirinya dan dia pun mulia di hadapan Allah.

Mari kita sebagai umat Tuhan menjadi orang yang bermisi mulai hari ini. Mari secra pribadi kembali melakukan PI pribadi. Mari menjadi umat Allah yang rela menderita walaupun sampai martir. Ingat, Paulus berkata: “Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. Maka demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu.” Hal ini dilakukan demi tugas panggilan Marturia agar orang-orang percaya kepada Kristus.
Solideo Gloria!

Seri The People of God I: The Identity God's People

Indrawaty Sitepu, MA

Tema hari ini adalah topik pertama dari empat seri The People of God, yaitu The Identity God’ People. Mari melihat realitas Gereja pada saat ini. Jika ditanya mengenai apakah Gereja, apa yang terlintas di dalam pikiran kita? Yang dimaksudkan bukanlah defenisi ideal, tetapi apa yang saat itu terlintas di dalam pikiran kita. Ada dua pernyataan yang dapat kita lihat dan pikirkan mengenai Gereja, yaitu:

1. Mengecewakan Allah dan merusak citra jemaat yang ideal.
2. Allah menginginkan identitas kita nyata sehingga menjadi model dan saksi di tengah-tengah dunia ini.

Kita akan mengawali pemberitaan Firman Allah dengan mengingat siapakah kita sesungguhnya. Mari melihat Efesus 2:11-22. Pada bagian Firman ini kita melihat bagaimana Paulus menceritakan riwayat hidup rohani dari pembacanya yang non Yahudi di dalam tiga tahapan.

1. Mereka dahulu jauh dari Allah dan dari umatNya yaitu Israel.
2. Melalui kematianNya di kayu salib, Kristus mendamaikan keduanya dengan Allah, dan menciptakan satu manusia baru.
3. Mereka tidak lagi jauh dari Allah, melainkan telah menjadi warga, umat, dan Keluarga Allah

Ketiga tahapan ini ditandai dengan ungkapan ’dahulu’ (11), ’tetapi sekarang’ (13), dan ’demikianlah’ (19). Mari melihat ke dalam tiga tahapan tersebut. Pertama, ayat 11-12 adalah gambaran tentang manusia yang teralienasi dan jauh dari Tuhan. Kita harus mengingat hal ini agar kita melihat betapa tragis dan mengerikannya keadaan kita dahulu. Dengan demikian, kita bisa melihat betapa besarnya karya Tuhan di dalam hidup kita. Kedua, ayat 13-18 adalah gambaran tentang Kristus yang membawa damai. Ketiga, ayat 19-22 adalah gambaran tentang masyarakat baru Allah. Ini adalah gambaran kita sekarang.
Mari melihat ketiga tahapan ini.

1. Keadaan Kita Dahulu (Ay 11-12)

Dalam ayat 11 dikatakan demikian: ”Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu -- sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya "sunat", yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, --”. Ayat ini mengingatkan Jemaat di Efesus bahwa mereka adalah non Yahudi, yaitu orang tidak bersunat secara lahiriah. Sunat lahiriah merupakan sunat yang dikerjakan oleh tangan manusia. Sunat inilah yang merupakan perbedaan antara orang Yahudi dan non Yahudi. Padahal, justru ada hal yang lebih penting daripada sunat lahiriah, yaitu sunat hati. Hal yang ingin ditekankan Paulus adalah bahwa dahulu mereka (jemaat di Efesus) bukan hanya tidak bersunat secara laharian, tetapi juga belum di sunat secara batin atau hati. Hati mereka penuh dengan pemberontakan terhadap Allah. Hati mereka penuh dengan kebencian, dendam, iri hati, dosa dan kegelapan (Rom 2:28-29; Fil 3:3; Kol 2:11-13). Sunat adalah tanda sebagai umat Allah, dan dahulu jemaat di Efesus, termasuk kita sekarang ini, tidak memiliki tanda itu.
Ayat 12 mengatakan: ”...bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia.” Ayat ini merupakan daftar keberadaan yang tidak berkemampuan tanpa Kristus yang ada bagi setiap kita pada masa lalu. Mungkin kita tahu tentang Tuhan, tetapi kita tidak hidup di dalam pengenalan itu (band Kis 14:15-28; Rom 1:18-32).

2. Karya Kristus (13-18).

Ayat 13 mengatakan: ”Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu "jauh", sudah menjadi "dekat" oleh darah Kristus.” Ada dua kata yang penting, yaitu ’di dalam Kristus’ dan ’oleh darah Kristus’.

Ayat 14 mengatakan: ”Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan,...”. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Yesus adalah pembawa damai.

Ayat 15 dan 16 mengatakan: ”...sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.”

Di dalam kedua ayat ini ada tiga kata yang penting, yaitu: membatalkan... menciptakan...mengadakan. Ketika ayat ini berbicara mengenai ’membatalkan Hukum Taurat’, tentu saja hal ini tidak bertentangan dan sama sekali berbeda dengan apa yang Yesus katakan ketika ia berkata bahwa kedatanganNya bukan meniadakan hukum Taurat, tetapi menggenapinya. ’Membatalkan Hukum Taurat’ dalam kedua ayat ini adalah berbicara mengenai hukumnya, ketentuannya, seremonialnya, seperti sunat, dan lainnya. Inilah yang dimaksud dengan membatalkan Hukum Taurat itu. Ketika Yesus berbicara mengenai bahwa kedatangannya bukan meniadakan Hukum Taurat tetapi menggenapinya, Ia berbicara soal hukum moral, bagaimana Hukum Taurat bukan hanya sekedar hukum atau ketentuan-ketentuan, tetapi harus dinafasi dengan moral dan batin yang benar. Jadi Hukum Taurat dibatalkan lalu tercipta manusia baru sehingga menimbulkan damai sejahtera.

Ayat 17 mengatakan: ”Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang "jauh" dan damai sejahtera kepada mereka yang "dekat",...” Ayat ini ingin mengatakan bahwa damai sejahtera itu bukan hanya milik sekelompok aorang saja, tetapi merupakan milik semua orang baik Yahudi maupun non Yahudi.

Ayat 18 mengatakan: ”... karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. Ayat ini menjelaskan bahwa oleh karena Dialah kita bisa beroleh damai sejahtera dan dapat bersama dengan Bapa kita.

3. Kita Sekarang Sebagai UmatNya (19-22)

Ayat 19-22 mengatakan: ”Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.”

Di sinilah kita berada seharusnya, identitas kita sebagai umat Allah. Kedua tahapan di sebelumnya diberitahukan agar kita melihat betapa mengerikannya kita dahulu. Sekarang, apakah kita masih sama dengan kita yang dahulu? Kata ’demikianlah’ merupakan sebuah kesimpulan yang diberikan Paulus kepada jemaat di Efesus. Ada tiga keberadaan atau gambaran diri kita yang memiliki identitas sebagai Umat Allah.

Pertama adalah kita sebagai warga dan komunitas baru Kerajaan Allah (19a). Kerajaan Allah di sini bukan berbicara mengenai soal Kerajaan seperti di dunia ini, tetapi berbicara mengenai satu organisme di mana Allah sendiri yang memerintah umatNya. Warganya mencakup semua bangsa dan diperintah oleh Allah sendiri, menggantikan teokrasi bangsa Israel pada zaman Perjanian Lama. Tidak ada lagi perbedaan antara orang Yahudi dan non Yahudi. Di dalam Kerajaan itu, kita tidak lagi perantau asing di negeri orang, melainkan warga kandung di negeri sendiri dengan hak kewargaan yang terjamin dan pasti yang tidak ada seorangpun yang dapat mengganggunya. Kedua adalah kita merupakan kawan sewarga dari Keluarga Allah (19b). Kita lebih dari sekedar warga Kerajaan. Kita adalah anak dalam sebuah keluarga yang dikasihi oleh Allah dimana Allah adalah Bapa kita (4:6). Dia akan menjadi Bapa kita dan selama-lamanya akan bersama-sama dengan kita. Sebagai bagian dari keluarga Allah, kita juga harus mengingat bahwa bukan hanya Allah sebagai Bapa kita saja, tetapi, ingat, kita semua adalah saudara. Kita adalah sama-sama anak dari Bapa yang kekal itu. Jika kita adalah saudara, yang merupakan Anak Allah, tentu saja Allah menginginkan kita saling mengasihi dan memiliki cinta kasih yang dalam dan perhatian yang tulus, dst. Bukan berarti tidak ada konflik. Konflik mungkin ada, tetapi tidak akan menimbulkan sakit yang berakar sangat dalam di dalam hati saudara kita. Apakah hal ini ada di sekitar kita? Atau, jangan-jangan orang lebih mendapatkan perhatian yang tulus dan cinta kasih yang dalam dari luar sesama? Ketiga adalah kita merupakan Bait Allah (20-22). Dari ayat 20-22 kita dapat melihat beberapa hal, yaitu:

a. Dasar. Ini adalah bagian yang sangat penting dari sebuah bangunan. Jadi yang menajdi dasar sebuah jemaat bukanlah orang atau jabatan, tetapi ajaran yang diilhamkan oleh Roh Kudus melalui para nabi dan rasul. Dasar ini tidak boleh diubah atau dimodifikasi.

b. Batu Penjuru. Batu Penjuru adalah bagian bangunan yang mutlak harus ada. Bagian ini sangat penting karena merupakan bagian dari fondasi yang menjamin stabilitas seluruh bangunan dan kerapian susunannya. Jika ada dasar tetapi tidak ada batu penjurunya, amka bangunan itu akan tidak stabil dan menjadi kacau. Hal inilah yang digambarkan Paulus dengan indah dimana ajaran itu adalah dasar dan Kristus adalah Batu Penjuru. Kesatuan dan pertumbuhan jemaat terkait satu sama lain dan perekat dari keduanya adalah Yesus Kristus. Jemaat dapat berkembang dan tersusun rapi selama jemaat itu terekat kepada Yesus Kristus. Jika tidak, maka kesatuan jemaat akan hilang dan pertumbuhannya terhenti dan tidak terkuasai.

Tujuan Bait Allah tidak berubah, yaitu menjadi tempat kediaman Allah. Dia mendiami mereka secara masing-masing dan sebagai komunitas di dalam roh. Orang-orang yang telah ditebus dan tersebar keseluruh dunia adalah bangunan yang menjadi tempat kediaman Allah di bumi.
Mari kita melihat diri kita. Diri kita adalah Bait Allah. Kita adalah tempat Allah berdiam. Pantas dan layakkah diri kita, dengan cara hidup kita, menjadi tempat bagi Allah untuk berdiam? Berbicara soal Kerajaan, maka Allah adalah penguasa. Berbicara soal keluarga, Dialah Bapa kita. Dan berbicara soal diri kita sendiri yang adalah Bait Allah, adalah tempat Allah berdiam. Tentu saja hal ini berhubungan dengan seluruh aspek hidup kita.

Mari mengingat kembali tiga bagian tadi. Kita dahulu terkucil, asing, terancam, dan tragis dari Allah dan dari umatNya. Tetapi, karya Kristus mengubahkannya. Kita tidak lagi orang asing, melainkan warga Kerajaan di mana Allah adalah penguasa yang berdaulat. Kita adalah anggota dari keluarga yang dikasihiNya dan kita adalah bait yang didiamiNya. Mari kembali melihat kondidi gereja, baik secara personal ataupun komunitas, apakah menyenangkan hati Tuhan atau sebaliknya, kita mengecewakan Allah dan merusak citra jemaat yang ideal? Jika kita melihat pesekutuan dan komunitas kita, apakah orang melihat Tuhan yang memimpin komunitas itu? Apakah Allah menjadi seorang Bapa di sana dan apakah Allah menjadikan masing-masing orang di dalak komunitas itu menjadi tempat kediamanNya? Allah menginginkan identitas kita, sebagai umat Allah, nyata sehingga menjadi model dan saksi di tengah-tengah dunia ini. Ingatlah, siapa anda.
Solideo Gloria!

Friday, October 2, 2009

Celebrate of Discipline 3: Simplicity

Indrawaty Sitepu, MA


Pada hari ini, dalam sesi yang ketiga, kita akan bersama-sama belajar The Discipline of Simplicity. ‘Simple’ artinya sederhana atau bersahaja. Simplicity yang dimaksud dalam tema kali ini adalah ketulusan hati dan kesederhanaan. Bukan sebatas sederhana dalam arti fisik, tetapi di dalam hati juga. Jadi dapat disimpulkan bahwa simplicity yang dimaksud disini adalah ketulusan hati dan kesederhanaan. Topik ini sangat relevan bagi kita para alumni untuk melatih dan mendisiplinkan hidup kita agar menjadi orang yang tulus dan sederhana.

Mari melihat sekitar kita. Kebudayaan kita pada zaman sekarang telah kehilangan kenyataan batiniah maupun gaya hidup lahiriah yang tulus dan sederhana. Bahkan jika kita menjadi orang yang tulus, orang-orang akan mengingatkan kita agar tidak menjadi orang yang tulus sehingga kita tidak dibohongi orang lain. Jadi, gaya hidup tulus dan sederhana bukan gaya hidup yang populer dan dipuji orang secara komunitas. Sebenarnya mengalami kenyataan batiniah yang tulus dan sederhana justru akan membebaskan kita secara lahiriah. Ketika kita tidak tulus dan sederhana, kita sedang masuk dalam sebuah perangkap perbudakan. Ketulusan dan kesederhanaan adalah sebuah kebebasan. Oleh sebab itu jika kita hidup tulus dan bebas, maka kita akan memiliki hidup yang sukacita dan seimbang. Sebaliknya, jika kita bermuka dua, akan memiliki hidup yang penuh dengan rasa cemas dan takut dan akhirnya menjadi tersiksa. Firman Tuhan mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia itu sedehana, tetapi manusia itu menjadikan sesuatu menjadi kompleks-God made man simple, man’s complex problem are his own devising [Pengkhotbah 7:30].

Ketulusan hati merupakan satu kenyataan batiniah yang menghasilkan suatu gaya hidup lahiriah. Jadi, jika batin kita memang tulus dan sederhana, mau tidak mau maka akan keluar dalam gaya hidup lahiriah kita. Seseorang yang memiliki batin yang tulus tetapi yang keluar dari dia adalah sesuatu yang rumit, berarti ada yang salah dengan dirinya. Thomas Kelly membuat sebuah istilah yang sangat dalam untuk menggambarkan hal ini, yaitu Pusat Ilahi. Jadi hidup memiliki satu titik pusat, yaitu Ilahi. Inilah yang namanya tulus dan sedehana. Kierkegard menyatakan, ”Purity of heart is to will one thing.” [ketulusan hati hanya menghendaki satu hal]. Jika banyak maunya, mungkin kita belum simplicity. Maunya hanya satu, ambisinya hanya satu, cita-citanya hanya satu. Ketulusan hati dimulai dalam kesatuan dan fokus batin yaitu berpusatkan Tuhan, bukan atasan, pasangan, kakak kelompok, atau pelayanan. Oleh sebab itu disiplin ini secara langsung menantang kepentingan diri kita dalam gaya hidup yang makmur.

Bicara tentang simplicity terlepas dari orang yang memiliki banya atau sedikit uang. Kadang-kadang orang yang cinta uang itu bukan karena banyak uang. Justru karena memiliki uang yang sedikit maka dia menjadi pencinta uang dan menjadi seorang yang pelit. Jadi jangan pernah berpikir hanya orang yang memiliki banyak duit saja yang perlu sederhana. Orang yang memiliki sedikit duitpun perlu belajar simplicity. Orang yang kelihatannya simple di luar, belum tentu simple dalam hati, padahal yang kita maksud tadi adalah dari hati keluar menjadi lahiriah. Jika kita paksakan hidup sederhana, tetapi dalam hati tidak hidup sederhana atau tidak tulus, maka ini bukanlah kemerdekaan, tetapi sesuatu yang memperbudak.

Mari melihat Mat 6:25-33. jika kita perhatikan bagian ini, ada beberapa hal yang akan kita soroti. Titik pusat disiplin kesederhanan adalah mencari kerajaan Allah dan kebenaran KerajaanNya dahulu. Baru kemudian segala sesuatu yang kita butuhkan dan perlukan akan datang menurut urutan yang tepat. Betapa seringnya hidup ini makin rumit karena urutan hidup kita tidak jelas, urutan kepentingannya tidak jelas. Yang paling penting dibuat menjadi kurang penting. Yang kurang penting dibuat menjadi sangat penting. Kita pasti pernah melihat kuadran penggunaan waktu, dimana masing-masing kuadran memiliki karakteristik tersendiri. Kuadran I berisikan: penting dan mendesak, kuadran II: penting dan tidak mendesak, kuadran III: tidak penting dan mendesak, dan kuadran IV: tidak penting dan tidak mendesak. Jika kita melihat diri kita, maka kita berada di dalam kuadran berapa? Tanpa sadar, banyak dari kita berada di kuadran IV atau kuadran I. Dalam bagian ini, sering sekali tanpa kita sadar, walau teorinya telah kita pelajari (dalam hal ini kuadran II), apa yang kita lakukan tergeser ke dalam kuadran I. Jika mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya telah kita tempatkan dalam posisi yang paling penting, maka kepentingan-kepentingan yang lain akan beurutan hadir. Sering sekali kenapa urutan kita salah kaprah adalah karena titik disiplin kita untuk hidup sederhana belum pada tempatnya dan kita belum mengutamakan Tuhan dan Kerajaan Allah diatas segalanya. Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang boleh mendahului Kerajaan Allah, termasuk keinginan akan gaya hidup yang sederhana. Jangan sampai kita ingin begiru hidup sederhana sampai kita tidak lagi dalam rangka mendahulukan Kerajaan Allah. Kesederhanan menjadi penyembahan berhala jika hal ini lebih diutamakan daripada mencari Kerajaan Allah. Kesederhanaan sangat penting, tetapi jangan sampai salah urutan atau posisi.

Kebebasan dari kekuatiran merupakan salah satu bukti batiniah dari usaha mencari Kerajaan Allah terlebih dahulu. Apa yang harus kita lakukan untuk mencari Kerajaan Allah dan kebenaranNya terlebih dahulu? Melayani bukan. Jadi apa? Melayani tidak salah. Tetapi jika melayani menjadi tempat utama, bukan Tuhan, tentu saja menggeser posisi Tuhan. Menempatkan sesuatu atau seseorang di posisi yang seharusnya adalah Tuhan, berarti sesuatu atau seseorang itu telah menjadi berhala kita. Satu bukti batiniah bahwa kita berusaha mencari Kerajaan Allah terlebih dahulu adalah kita bebas dari kekuatiran. Kebebasan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kelimpahan atau kekurangan harta. Ini merupakan sikap batin dan keadaan hati yang penuh percaya. Apakah kita percaya bahwa Allah memelihara kita? Apakah kita percaya bahwa untuk mati pun Dia sudah lakukan, apalagi untul hal-hal lain yang kita perlukan masa Dia tidak peduli?

Kekuatiran atau kecemasan akan sangat menyiksa dan memperbudak kita, dan mempengaruhi semua hidup kita termasuk keputusan-keputusan kita. Ingat, jika kita mengambil keputusan dalam keadaan kuatir akan membahayakan. Oleh sebab itu dalam mengambil keputusan-keputusan penting ambillah waktu tenang bersama dengan Dia. Kebebasan dari kecemasan atau kekuatiran ditandai dengan tiga sikap batin.

1. Jika apa yang kita miliki telah kita terima sebagai satu pemberian.
Apapun itu, pekerjaan, pelayanan, pasangan, dll, adalah pemberian Allah. Tidak ada hak kita sedikitpun di sana. Tuhan hanya menitipkan segalanya untuk kita tanggungjawabi dan hidupi dengan benar.

2. Jika apa yang kita miliki dalam pemeliharaan Allah.
Jika kita menerima dan Tuhan mau ambil karena Tuhan merasa hal tersebut tidak cocok lagi bagi kita, hal tersebut tentu kita terima. Kita serahkan karena bukan milik kita, tetapi milik Tuhan, termasuk hal-hal yang kita cintai sekalipun. Jika kita memiliki konsep dan tetap mempertahankannya maka kita sendiri yang akan mengalami kesakitan dan terluka. ’Luka-luka’ kita sering terjadi karena hal ini, karena kita tidak menyerahkannya dalam pemeliharaan Allah. Kita ingin mengatur sendiri hidup dan rancangan kita. Bukan berarti kita tidak boleh membuat rencana, tetapi dalam semuanya kita harus ingat bahwa semua adalah milik Tuhan dan Tuhan berhak atas semuanya.

3. Jika apa yang kita miliki tersedia bagi orang lain.
Jika kita diberikan uang, ini bukan kita. Bukan berarti sewaktu kita gajian, kita membagikan kepada orang-orang di jalan. Bukan! Tetapi kita adalah pengelolanya, yang harus dapat, mengelola uang itu dengan baik.

Tiga hal inilah yang perlu kita periksa. Bagaimana keadaan batin kita mengenai apa yang Allah berikan bagi kita. Apa yang Allah berikan tidak harus harta, tetapi dalam bentuk banyak hal. Jika ketiga hal ini ada dalam kita maka kita tidak akan menjadi orang yang cemas dan kuatir akan hidup ini. Jadi banyak sekali kekuatiran itu kita yang buat sendiri.

Simplicity dalam kehidupan sehari-hari.

• Belilah barang-barang yang benar-benar karena kegunaannya yang kita butuhkan bukan karena status,gengsi/prestise.
Misalnya, apakah kita membeli HP demi fungsinya atau demi gengsi?

• Tolaklah segala sesuatu yang menimbulkan kecanduan/keterikatan dalam diri kita
Mari kita memeriksa apa yang membuat kita terikat di dalamnya. Jika ada, mari segera membenahinya.

• Kembangkan kebiasaan untuk memberikan barang saudara kepada orang lain
Adakah barang-barang kita (mis. Baju ) yang lebih dari satu bulan tidak dipakai? Jika ada, kenapa tidak diberikan saja kepada mereka yang lebih butuh? Kembangkan kebiasaan untuk memberikan barang kepada orang lain.

• Jangan mau dipengaruhi oleh propaganda-iklan
Iklan dibuat agar kita berfikir kita memerlukan produk yang dipasarkan. Jadi iklan yang menentukan keperluan kita, bukan diri kita sendiri. Hal ini tidak benar.

• Belajarlah menikmati barang tanpa memilikinya.
Bukan berarti kita mengambil barang orang. Misalnya untuk buku. Jika kita hanya butuh satu bab dalam buku tersebut kita bisa meminjamnya ke Perpustakaan.

• Kembangkan penghargaan yang lebih dalam tehadap ciptaan Tuhan.
Saya tidak tahu, kapan kita terakhir mensyukuri kicauan burung atau bunga di taman. Sewakti itu saudara lakukan, kita akan semakin sadar bahwa itu seemua adalah ciptaan Tuhan. Akan banyak sekali efek positif yang akan terjadi dalam hidup kita.

• Sikapi fasilitas kredit dengan bijak.
Ketika kita menggunakan fasilitas kredit akan membuat kita terperangkap dengan hutang.

• Katakan ya jika ya dan katakan tidak jika tidak.
Hal ini berhubungan dengan ketulusan hati yang berpusatkan pada Tuhan. Jika pusat hidup kita bukan Tuhan, maka kita akan sering berubah-ubah. Jika kita tenang, kita akan menjawab ’iya’, tetapi sewaktu kita takut kita akan mengatakan ’tidak’.

• Tolaklah segala sesuatu yang akan menyebabkan orang lain menderita.
Jika agar supaya kita merasa nyaman maka orang lain menderita, tolaklah. Hal ini bertentangan dengan spirit dunia. Dunia mengajak kita untuk menarik sebanyak mungkin untuk diri kita.

• Hindarilah apa saja yang mengalihkan saudara dari mencapai tujuan yang utama.
Apakah sahabat, pekerjaan, uang, apapun itu, jika mengalihkan saudara dari tujuan utama saudara, yaitu mencari Kerajaan Allah dan kebenaranNya, maka hindarilah.

Beberapa peringatan buat kita dari Alkitab.
1. Apabila harta makin bertambah janganlah hatimu melekat padanya (Mzm 62:11)
2. Siapa yang mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh ( Amsal 11:28 )
3. Yesus, pada zamannya menyatakan perang terhadap materialisme-”mamon” sebagai ”allah saingan” (lukas 16:13)
4. Jangan mengumpulkan harta di bumi, dimana hartamu berada di situ juga hatimu berada (Mat 6:19,21)
I Tim 6:9-10: ,” Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.”
Kaya tidak salah, tetapi mencintai kekayaan adalah hal yang salah.
5. I Tim 3:3: mengatakan kriteria yang Tuhan harapkan bukan hamba uang
6. Efesus 5:5 menyatakan serakah-pemuasan selera semata-penyembah berhala~Tuhan mereka ialah perut mereka Fil 3:19
7. I Tim 6:17-19 merupakan peringatan bagi orang kaya supaya jangan tinggi hati dan berharap pada kekayaan. Kita dianjurkan kayalah dalam kebajikan

Jangan juga kita menjadi Asketisme dima kita tidak boleh kaya dan menjadi orang yang menolak untuk memiliki sesuatu.

Kesederhanaan adalah satu-satunya hal yang dapat mereorientasi kehidupan kita secukupnya. Sehingga harta milik dapat dinikmati dengan ikhlas tanpa menghancurkan kita. Betapa banyaknya orang ketika memiliki duit menjadi tidak setia.
Sebagai penutup, saya akan merangkaikan tiga pertemuan kita dalam seri Celebration of Disciplines. Disiplin-disiplin rohani merupakan pintu menuju kemerdekaan. Disiplin rohani adalah jalan/sarana anugerah Allah membentuk dan membaharui kita sehingga kita menjadi manusia merdeka yaitu merdeka hidup dalam Roh dan kebenaran. Buah Roh bukan karena kita sadar maka keluar. Ketika kita lengah pun, buah Roh akan keluar. Buah Roh akan keluar kapan saja karena telah menyatu dalam kita dan menjadi ciri khas kita. Munkin sewaktu dibilang, ”Kamu baik sekali ya?”, maka kita merasa biasa-biasa saja karena hal tersebut telah menjadi hidup kita. Kita tidak merasa hal tersebut menjadi sesuatu yang luar biasa. Tetapi bagi dunia ini, hal tersebut menjadi sesuatu yang sangat indah dan istimewa dan dunia sangat membutuhkan hal ini.
Hati-hati dimana ada tiga musuh unggul kita pada zaman ini: kebisingan, ketergesaan dan kerumunan orang. CG Jung, dokter penyakit jiwa, menyatakan bahwa ketergesaan itu bukan dari iblis melainkan adalah iblis. Jika hidup kita selalu tergesa-gesa, hati-hati, mungkin kita hidup bersama dengan iblis. Karena itu kita dipanggil untuk solitude di tengah-tengah kebisingan, ketergesa-gesaan dan kerumunan. Disiplin kesendirian untuk berdua dengan Tuhan. Keadaan batiniah yang merdeka akan terlihat dalam kehidupan sehari-hari dimana kita menjadi orang yang tulus dan sederhana. Pusat hidup kita adalah Tuhan sehingga akan melahirkan kemerdekaan, sukacita dan keseimbangan. Kita akan melihat secara rohani.
Ada beberapa yang setiap hari perlu menjadi disiplin kita, yaitu:

Pray continually ( 1 Thes. 5: 17).

Read and meditate the word of God (Psalm 1: 2).

Solitude, silence, stillness (Is. 30:15, 40:31).

Simplicity (Mt 5:25-34).

Give thanks in all circumstances ( 1 Thes. 5: 18).

Self denial, take up the cross daily and follow Him (Luk. 9: 23).

Confession: Being honest with God.

Sabbath and Journal keeping (Psalm 42: 5).

Always be prepared to share the Gospel (1Pet. 3:15).

Banyak hal yang bisa kita komitmentak untuk menjady disiplin kita setiap hari. Sehingga kita menjadi seseorang yang melampaui apa yang kita pikirkan. Kehidupan rohani kita bisa semakin bertumbuh dan bertumbuh. Kita semakin dekat dengan Tuhan dan menikmati Tuhan dan Tuhan pun akan semakin menikmati hidup kita yang semakin menjadi berkat bagi sesama. Jika ada diantara kita belum menikmati solitude, tidak apa-apa. Jangan langsung menyerah. Kadang-kadang hal ini perlu latihan dan semakin lama kita akan semakin gampang menikmatinya. Pada waktunya saudara akan mengalami Tuhan di dalam solitude saudara dan hal ini akan membuat hidup saudara lebih indah. Everyday discipline.

Soli Deo Gloria!

Celebrate of Discipline 2: S O L I T U D E

Indrawaty Sitepu, MA



Hari ini kita akan mempelajari topik ke dua dari seri Celebrate of Disciplines yaitu The Discipline of Solitude.

Zaman sekarang ini adalah zaman yang tidak mengenal disiplin. Disiplin sudah hilang tidak berbekas. Padahal kita memerlukan karakter Kristen yang tangguh, yang hanya di dapat melalui disiplin. Kunci dari disiplin adalah penguasaan diri atau penundukan diri untuk melakukan sesuatu yang lebih penting dan mulia. Seluruh perjalanan pertumbuhan rohani kita melibatkan unsur disiplin. Seberapa jauh kita mengalami pertumbuhan rohani tergantung berapa disiplin tidaknya kita dalam hal-hal rohani. Mau sehebat apapun doanya, jika hanya sekali seumur hidup, berarti doa bukan bagian kehidupannya. Bahkan sehebat apapun khotbahnya, jika kecintaan kepada Firman bukan bagian dari hidupnya, itupun bukan sebuah kedisiplinan. Melakukan disiplin rohani tidak dapat dijadikan dalih untuk hidup mengasingkan diri dari dunia. Disiplin rohani bukan menghilangkan gelak tawa dari dunia ini. Sebaliknya, disiplin rohani seharus- nya dipandang sebagai sarana untuk menaklukkan keduniawian. Bukan untuk menjauhkan diri dari dunia, tetapi untuk melayani dunia – itu adalah tujuan disiplin rohani sebagaimana terlihat di Alkitab. Bukan menjauhi dunia ini dimana kita membuat satu komunitas sendiri yang tidak boleh ada orang lain di dalamnya. Ironisnya, keadaan kita membuat kita orang Kristen kehilangan suara kita. Kualitas kita dipertanyakan. Religius oke, yang menjadi pertanyaan apakah kehidupan spiritualitasnya benar?

Secara umum rasa takut ditinggalkan sendiri menghantui banyak orang, baik anak kecil, orangtua, dan orang seperti kita. Beberapa hari yang lalu, saya dengan bebrapa orang pergi ke RS Pirngadi Medan dan bertemu dengan Ompung Hutabarat. Dia sudah tua dan keluarganya jarang datang melihat dia. Dia kemudian mengatakan, ”Ga’ tahu lah aku kenapa ya..? Takut aku!” [di dalam ruangan tersebut hanya dia sendiri]. Banyak faktor yang membuat dia takut. Tetapi mungkin karena sering sendiri dan di dalam kesendirian itu dia takut. Semua manusia pada umumnya takut ditinggal sendiri. Ketakutan kita inilah yang sering mendorong kita mencari tempat ramai atau terkadang kita merasa harus ditemani. Pada zaman sekarang inipun kita bisa bingung jika tidak ada HP, sehingga tidak tahu harus melalukan apa. Atau bahkan menghabiskan waktu dengan menonton TV. Ini (mungkin) adalah gejala bahwa kita takut sendiri. Yesus memanggil kita di tengah-tengah kesepian di dalam kesendirian. Ini adalah dua hal yang berbeda.

Kesepian yang mengarah pada psikologis adalah merasa tidak ada yang mengerti kita baik di kantor maupun pelayanan, merasa tidak ada yang menghargai kita, merasa tidak ada yang peduli dengan pergumulan kita, merasa tidak ada orang lain yang mengerti kita apa adanya, harus memakai topeng agar orang lain menerima kita, dan harus selalu tampil baik dan tidak boleh salah dan gagal.

Kesepian yang lebih bersifat rohani.

1. Adanya kekosongan dalam batin atau jiwa yang tidak bisa dipuaskan oleh materi atau psikologi (Mat. 4:4, Yoh. 4: 13-14)

2. Adanya kebutuhan akan kedamaian, sukacita dan makna hidup yang hanya bisa diisi oleh sang Pencipta, melalui karya sang Juruselamat dunia ( Luk. 2: 11, 14; Ro. 5: 1-11).

3. Blaise Pascal berkata: “Hati manusia biar kecil, namun jika seisi dunia diisi kedalamnya tetap tidak akan memuaskannya, sebab hanya sang Pencipta yang bisa memuaskannya”.

Itu sebabnya banyak orang yang setelah alumni mengisi kekosongan dengan cara-cara lain. Mereka tidak semakin terisi tetapi akan semakin haus dan tidak jarang terseret ke tempat yang sulit untuk kembali kepada Tuhan.

Solitude adalah aloneness (kesendirian) bukan loneliness (kesepian). “ Solitude was not simply a matter of being alone, but of being with God!” Jadi, solitude adalah kesendirin, tetapi bukan kesendirian yang betul-betul sendiri, tetapi justru berdua bersama dengan Tuhan. “Solitude is not only a place of aloneness, but it is a place of companionship and fellowship with the Father! It is not only a place of stillness, but conversation.” Jadi bukan hanya sekedar duduk dengan tenang. Tetapi menikmati sebuah percakapan atau komunikasi yang heart to heart dengan Tuhan. Jadi, jika loneliness itu alone without God, maka solitude itu alone with God! Jika loneliness itu inner emptiness, maka solitude itu inner fulfillment (kepuasan batin)! Kesepian merupakan kekosongan batin tetapi kesendirian adalah kepuasan batin, keadaan pikiran dan hati kita sehingga bukan hanya masalah tempat. Ingat, tempat yang tenang tidak selalu membawa orang ke dalam solitude, tetapi orang yang solitude sewajarnya berada di dalam tempat yang tenang.

Jika kita memiliki kesendirian dalam batin, maka kita tidak akan takut untuk sendirian, karena kita mengetahui bahwa kita tidak sendiri. Kita juga tidak takut untuk bersama orang lain, karena mereka tidak akan menguasai kita. Orang yang bersolitude tidak berarti dia hidup sendiri, dingin, dan tidak bersosialisasi. Dia juga adalah sahabat yang hangat yang bisa dekat dengan kita. Ditengah-tengah kegaduhan dan kekacauan, kita bisa tetap tenang dalam keheningan batin yang mendalam. Kenapa? Karena keheningan itu datang dari dalam, yaitu batinnya. Kesendirian dalam batin akan dinyatakan secara lahir. Jika batin kita mengalami solitude dalam hari-hari kita dengan disiplin, biasanya akan terlihat lewat kehidupan kita sehari-hari.

Kita akan melihat Yesus dan kesendirian. Banyak sekali contoh-contoh dalam Alkitab yang mengemukan betapa Yesus selalu bersolitude. Dan pada waktyu-waktu tertentu Dia bersolitude bersama dengan murid-murid.

• Mat 4:1-11à mengasingkan diri selama 40 hari di padang gurun mengawali pelayananNya
• Lukas 6:12à sendirian di bukit sebelum memilih 12 muridNya
• Mat 14:13à menyingkir dan mengasingkan diri ketika menerima berita tentang kematian Yohanes Pembaptis
• Mat 14:23à ke atas bukit untuk berdoa seorang diri, setelah mukjizat memberi makan lima ribu orang
• Mark 1:35à Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana, setelah bekerja dan melayani dengan jadwal yang sangat padat
• Mark 6:31à Marilah ke tempat yang sunyi supaya kita sendirian, setelah murid2 selesai PI dan penyembuhan
• Lukas 5:16à Yesus mengundurkan diri ke tempat yang sunyi dan berdoa setelah menyembuhkan seorang yang berpenyakit lepra
• Mat 17:1-9à Bersama tiga muridNya ke gunung yang sepi di mana Ia menyatakan kemuliaanNya
• Mat 26:36-46à Suasana kesendirian di taman Getsemani , menaklukkan kehendak- NYA kepada kehendak BapaNYA - sebelum disalib – menyerahkan nyawaNYA
Yesus adalah teladan untuk bersolitude. Solitude bukan sebuah penemuan baru. Solitude adalah teladan dari Tuhan kita, Yesus Kristus.

Tanpa keheningan dan ketenangan tidak ada kesendirian. Silence, hening, stillnes, dan tenang adalah awal membentuk kesendirian. Burn Hoven mengatakan berdiam diri yang sebenarnya, ketenangan yang sebenarnya adalah menahan lidah kita. Dan hal ini hanya didapatkan dengan ketenangan batin. Sulit kita merasakan keadaan itu hening jika kita tidak berdiam diri. Tetapi orang yang diam belum tentu hening. Dia memang diam tetapi pikirannya kemana-mana. Tetapi hening biasanya kita diam. Langkah kongkrit untuk hening adalah diam. Diam bukan hanya mulut tetapi juga pikiran. Semua dibawa ke dalam ketenangan. Tenang juga bukan hanya sekedar bahasa tubuh yang tidak bergerak, tetapi berbicara soal keadaan batin yang memang terlihat secara lahiriah. Jadi bukan soal duduk, di tempat yang sunyi. Ini semua penting, tetapi kuncinya adalah mengendalikan diri (pikiran, mulut, hati) dan diserahkan kepada Tuhan. Pengkhotbah 3:7 mengatakan ada waktunya diam ada waktunya bicara. Tetapi kita sering kita yangharusnya diam tetapi kita berbicara. Dan Yak 3:1-12 berbicara soal dosa lidah. Jadi lidah atau mulut dan pembicaraan bukan Cuma bisa menimbulkan dosa apakah gosip tetapi juga bisa membuat kita tidak bisa berdua atau bersolitude dengan Tuhan. Jika kita diomongin tidak benar oleh orang, tentu saja kita ingin langsung mengklarifikasi sesegera mungkin. Ini adalah kecenderungan naluriah kita. Sebenarnya, apakah kita melakukan hal tersebut untuk menjaga nama baik kita? Jika iya, apakah Tuhan tidak lebih baik menjaga nama baik kita? Apakah Tuhan tidak lebih bijaksana melakukan hal tersebut? Jadi sebenarnya, jika kita pingin menjelaskan kepada orang bahwa kita tidak seperti itu, mungkin karena kita kurang percaya bahwa Tuhan sanggup melakukan segala hal tersebut lebih baik dari yang kita lakukan. Tuhan lebih baik mengontrol dari pada kita yang mengontrol. Sering sekali kita ingin semua berada di dalam kontrol kita. Itulah sebabnya jika orang diruh berdiam diri, maka dia akan bingung. Kita memang susah melepaskan kontrol kita kepada Tuhan. Jika kita percaya kepada Tuhan, ada banyak hal yang tidak perlu kita jelaskan tentang diri kita kepada orang lain. Biar kebenaran itu menunjukkan dirinya. Akan nyata kebena- ran Tuhan menunjukkan kebenaran. Akan nyata bahwa kita yang hidup dalam kebenaran adalah benar.

Ada beberapa alasan kenapa kita harus bersolitude.

1. Untuk bergaul dan bersekutu dengan Bapa di Sorga!
Kita berdiam diri bukan karena ‘bete’.

2. Untuk memulihkan dan memelihara persekutuan kita dengan sang Pencipta dan Penebus kita
Dengan sesama mungkin kita sering emmakai topeng agar diterima. Tetapi bertemu dengan Tuhan kita tidak memakai topeng. Kedangkalan kita, kesomongan kita, keengganan kita, dll, semua terlihat dengan jelas dan tidak bisa ditutup-tutupi.

3. Belajar melihat apa yang kita hadapi dengan perspektif Tuhan: siapa Dia, kita dan dunia.
Dengan bersolitude kita semakin tahu apaka kita mengalami penurunan kualitas rohani. Apak kita terlalu sibuk dengan diri kita sendiri sehingga hati kita tidak tersentuh melihat berbagai hal di sekeliling kita. Jika kita bertemu dengan Tuhan kita akan semakin mengenal diri kita sendiri, dan dapat memandang dunia, orang lain, tugas, dll dengan benar, sehinnga kita dapat bersikap dengan benar dihadapan Tuhan.

4. Ingin mencari kehendak Allah, bimbi- ngan-Nya, atau peneguhan dari-Nya.

5. Bisa mengalami penghiburan dan pemuli- han kegirangan/sukacita serta damai dari-Nya.
Jika saudara merasa gersang dan tidak damai, mungkin saatnya saudara mengambil waktu untuk bersolitude.

6. Bertambahnya kepekaan dan belas kasi -han pada orang lain

7. Alami pemulihan kekuatan, kepekaan dan ketajaman, serta kedalaman (Lihat: Yes. 30: 15, 40:31, Mar 6:31).

Jika kita terus bertumbuh dalam solitude kita, maka disanalah kita mengalami kede- katan kita dengan Tuhan. Tidak ada jalan instant untuk hal tersebut. “The fruit of solitude is growing intimacy with God”.

Bagaimana melakukan solitude?

1. Cari/Upayakan tempat-waktu yang tenang dan sepi Memanfaatkan kesendirian-kesendirian kecil yang ada dalam hari-hari kita: saat dini hari (orang-orang belum bangun), sarapan , di angkot-dalam perjalanan, tinggal lebih lama di kantor, malam hari sebelum kita tidur. Jadi dalam keseharian, kita bisa melakukan solitude tanpa harus pergi ke tempat yang jauh dan makan dana yang besar.

2. Menenangkan diri: Berdiam diri
Silence dan Stillness

3. Bernyanyi: Memuji,menyembah Tuhan

4. Membaca Firman Tuhan , mis Lukas 10:25-30 dst

5. Membaca buku rohani (Spiritual Reading)

6. Pondering (merenung), Refleksi dan Journaling
Evaluasi diri, tinjau kembali tujuan dan sasaran hidup saudara

7. Planning

Jika arah hidup kita sudah salah, maka melalui splitude kita bisa dengan segera balik arah

8. Berdoa (Penyembahan, Syukur, Permohonan, Syafaat)

Disiplin kesendirian (solitude) itulah yang akan membuka pintu. Saudara disambut dengan tangan terbuka untuk mendengar perkataan Allah dalam ketenangan yang lembut,penuh cinta kasih, ajaib, hebat dan memikat. Ini tidak akan kita dapatkan dari dunia ini. Tuhan menerima kita apa adanya. Sewaktu kita membuka hati kita kepadaNya, maka pintu kepada liberatioan terjadi. Kita menjadi orang yang merdeka. Selamat merayakan kesendirian saudara secara disiplin dan berdua dengan Dia, Sang kekasih jiwa kita. Selamat menikmati kemerdekaan di dalam Dia dengan cara berdua dengan Nya. Tentu saja kemerdakaan yang dimaksud disini adalah karena kita mengalami Dia.
Soli Deo Gloria!!

Celebrate of Discipline 1: Door to Liberation

Indrawaty Sitepu, MA



Hari ini kita akan berbicara mengenai door to liberation. Disiplin-disiplin rohani yang kita miliki seharusnya membawa kita kepada kemerdekaan. Disiplin ini adalah pintu menuju kemerdekaan, bukan sebaliknya. Jadi, jika disiplin rohani telah menjadi sebuah rutinitas atau legalisme, hanya akan menuju kedangkalan dan kematian. Menurut Richard Foster, kedangkalan merupakan kutuk zaman kita. Doktrin kepuasan seketika merupakan persoalan rohani utama saat ini. Jika sudah doa dan sharing, maka langsung lega. Memang ada unsur lega di sana. Tetapi jika hanya sebatas lega agar tidak dikoreksi, maka apa yang kita lakukan adalah hal yang dangkal. Yang sangat dibutuhkan sekarang ini bukan lebih banyak orang cerdas atau orang-orang yang berbakat, melainkan orang-orang yang berpikir secara mendalam. Orang pintar dan berbakat sudah banyak, tetapi orang-orang yang bisa berpikir dengan dalam, peka dengan apa yang terjadi sangat sulit untuk di dapat. Mari membuka Mark 7:6, ”Jawab-Nya kepada mereka: "Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku”, dan 2 Tim 3:5, ”Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!" Apakah nyanyian kita hanya sebatas di bibir atau keluar dari hati dan hidup keseharian kita. Hal ini menjadi pertanyaan bagi kita. Tetapi mari kita mengingat bahwa menjadi religius belum tentu memiliki spiritualitas yang benar. Menyembah di bibir tetapi hatinya jauh dari Allah.

Dalam 2 Tim 3:5 tadi dikatakan bahwa ada orang yang beibadah tetapi mengingkari kekuatan dari ibadah itu. Seharusnya ada perbedaan antara orang yang dekat kepada Tuhan dengan orang yang tidak dekat kepada Tuhan. Tetapi betapa banyaknya orang Kristen ketika selesai berdoa atau PA masih tetap memiliki iri hati dan hal-hal lahiriah lainnya. Jangan pernah berpikir bahwa hanya di Gereja hal-hal seperti ini banyak terjadi. Di persekutuan pun hal ini harus dipertanyakan.

Berbicara mengenai spirutualitas berarti berbicara seluruh aspek hidup, bukan hanya ketika kita Sate atau doa. Disiplin rohani itu bukan untuk orang-orang tertentu seperti biarawan dll. Tetapi disiplin rohani juga untuk orang-orang yang biasa, yang mempunyai pekerjaan dan kesibukan kehidupan sehari-hari. Disiplin rohani juga bukan pula pekerjaan yang membosankan yang ditujukan untuk melenyapkan gelak tawa dari muka bumi. Terkadang orang berpikir bahwa seseorang yang memiliki spiritualitas yang tinggi tidak boleh terbahak-bahak dan harus menjaga imagenya.

Kesukaan merupakan kunci dari disiplin rohani. Jika kita merasa terpaksa memuji Tuhan, maka hal tersebut akan menjadi sesuatu yang membosankan. Kesukaan membuat seseorang itu tanpa terasa dapat berdoa berjam-jam. Tujuan disiplin rohani adalah pembebasan dari perbudakan yang mencekik kepada kepentingan dari sendiri dan ketakutan. Sewaktu kita melakukan disiplin-disiplin rohani (berdoa, baca Firman), sebenarnya apa yang terjadi di sana? Roh di dalam batin seseorang dilepaskan dari semua hal yang mengekangnya. Ada banyak yang dapat mengekang roh kita seperti tekanan-tekanan batin atau lingkungan, target kita dll. Syarat utama dari disiplin rohani adalah rindu kepada Allah. Kuncinya adalah kesukaan dan syarat utamanya adalah kerinduan. Apakah kita beda jika kita melakukan waktu teduh kita dan doa kita dengan perasaan eager (betul-betul ingin melakukan) daripada ketika kita bermalas-malasan. Pasti sangat berbeda. Jadi, sejauh mana kita melakukan disiplin rohani kita dengan kerinduan bertemu dengan Tuhan? Tuhan tidak suka dibohongi. Tuhan tahu setiap hati kita ketika kita datang kepada Dia. Bagaimana kondisi dari disiplin rohani kita akan terlihat oleh kita atau orang lain sewaktu kita menghadapi permasalahan hidup. Sepanjang semuanya baik-baik saja memang agak sulit untuk memeriksanya. Tetapi bagaimana ketika kita menghadapi masalah seperti kemarahan, kedengkian, kerakusan, kesombongan, nafsu seks, ketakutan, dll?

Biasanya metode kita dalam mengatasi dosa yang mendarah daging adalah dengan melancarkan serangan dari depan. Artinya kita mengandalkan kemauan keras kita dan ketetapan hati kita. Kita mencoba untuk tidak melakukannya lagi. Kita berjuang melawannya dan kita menyiapkan kehendak kita memusuhinya. Tetapi yang terjadi adalah kita bisa lebih parah lagi. Mungkin untuk sesaat kita bisa lepas, tetapi untuk selanjutnya? Kita biasanya bangga dengan kebenaran lahiriah. Hal ini sama saja seperti kuburan yang dilabur putih. Dari luar kelihatan berhasil sementara waktu, tetapi cepat atau lambat di dalam keretakan dan celah-celah hidup kita, keadaan batin kita yang sebenarnya akan nyata. Jika kita penuh dengan belas kasihan, hal itu akan nyata dan sebaliknya, jika kita penuh dengan kebencian, kesombongan hal itu pun akan dinyatakan. Walaupun kita berusaha untuk menyembunyikan, sifat kita akan disingkapkan oleh mata kita, mulut kita, dan seluruh bahasa tubuh kita. Kenapa? Karena kemauan kita tidak memadai untuk mengerjakan perubahan yang perlu di dalam roh batin kita. Kita tidak sanggup membangun kerohanian kita dengan upaya kita sendiri. Itulah sebabnya disediakan disiplin-disiplin rohani untuk membuka pintu kemerdekaan.

Kebenaran batin adalah pemberian Allah. Perubahan di dalam diri kita adalah pekerjaan Allah. Hanya Tuhan yang dapat bekerja di batin. Roma 5 mengatakan kebenaran adalah pemberian Allah. Hal ini tidak berarti tidak ada sesuatu yang dapat kita kerjakan. Bagian kita adalah menanti Allah dan mempersilahkan Dia untuk mengubah kita. Itulah sebabnya disiplin rohani membukakan pintu kemerdekaan karena Allah memberikan kita disiplin-disiplin rohani sebagai satu upaya untuk menerima anugerahnya. Saya tidak tahu kapan saudara menagalaminya, menurut saya hal ini seharusnya menjadi pengalaman kita bersama-sama dengan Tuhan. Waktu kita datang kepada Tuhan, begitu banyak anugerah yang kita alami. Anugerah bukan hanya sekedar ketika kita berdoa agar kita lulus dan kita lulus. Ini memang berkat, tetapi berkat yang hari lepas hari berlimpah kita alami dalam menjalankan disiplin rohani yang kita lakukan. Disiplin-disiplin ini memungkinkan kita untuk menempatkan diri kita dihadapan Allah agar Ia dapat mengubah kita. Kita melakukan disiplin itu sebagai wadah dimana Allah mengubah kita. Orang saleh bukan orang yang paling banyak pelayanannya. Orang yang saleh adalah seorang pendoa. Dan orang seperti inilah yang paling dibutuhkan sekarang ini. Disiplin-disiplin rohani itu sendiri tidak dapat mengerjakan apa-apa. Hanya dapat membawa kita ke tempat dimana sesuatu dapat dikerjakan oleh Allah. Disiplin adalah sarana anugerah Allah. Kebenaran batin yang kita cari bukan sesuatu yang kita curahkan ke atas kepala kita. Disiplin sebagai alat yang menempatkan kita dimana Ia dapat memberkati kita. Itulah kenapa kita harus disiplin berdoa dan melakukan disiplin lainnya.

Disiplin rohani adalah jalan anugerah yang disiplin. Maksudnya adalah disiplin rohani itu merupakan jalan anugerah Allah bagi kita yang perlu kita disiplinkan. Hal ini berbeda denagn rutinitas. Bukan jalan kegagalan moral melalui usaha manusia untuk mendapatkan kebenaran. Inilah yang disebut dengan kesesatan moralisme, dimana seseorang merasa melalui setiap usaha manusialah, dia memperoleh kebenaran.
Disiplin rohani bukan jalan kegagalan moral karena tidak ada usaha manusia sama sekali. Karena pemberian Allah, maka usaha manusia tidak ada. Ini salah. Ini adalah kesesatan antinomianisme dimana segala hukum moral tidak ada gunanya dan hanya iman yang diperlukan untuk mendapat keselamatan. Disiplin rohani adalah mempersilahkan Tuhan untuk memenuhi dan mengubah kita. Sehingga orang yang menjalankan disiplin-disiplin rohaninya bukan hanya sdaat dia sadar buah roh itu nampak, justru saat dia lengah pun buah itu yang muncul dari hidupnya. Utnuk menilai orang saat baik pada saat dia lengah. Jika dia sadar sesadar-sadarnya, apalagi di depan orang yang dia hormati, maka dia bisa berbeda. Tetapi jika dia lengan maka tidak ada lagi kepura-puraan dan itulah dia sebenarnya. Pada saat kita lengah maka spontan akan mengalir dari kehidupan batin kita kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri ( Gal 5:22-23). Semua hal-hal ini mengali dengan sendirinya dari hidup seorang yang memiliki disiplin rohani yang merupakan pintu kemerdekaan itu. Dia merdeka untuk hidup seperti apa yang Tuhan inginkan dan rancang. Dia merdeka, bukan karena dipaksa oleh keadaan, status, tetapi mengalir secar alami bahkan saat dia lengah sekalipun. Itulah buah disiplin rohani yang terlihat dalam keseharian kita. Religius belum tentu spiritualitasnya benar, tetapi orang yang memiliki spiritualitas yang benar akan terlihat dalam seluruh aspek hidupnya, karena bicara mengenai spiritualitas kita bicara soal totalitas hidup dimana tidak ada bagian yang tidak terkait dengan spiritualitas kita.

Jika disiplin berubah menjadi rutinitas dan hukum maka akan menghasilkan kedangkalan dan kematian (secara rohani). Mat 5:20, ” Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” [band Mat 23:3, 13, 14, 15, 16, 23, 25-28]. Pada bagian ini kita akan menemukan bagaimana peringatan dan kecaman kepada Ahli taurat yang dilakukan oleh Yesus karena mereka hanya pintar mengajar tanpa menghidupinya. Ini menjadi peringatan bgi kita juga. Ini adalah akibat dari disiplin rohani yang menjadi hukum dan rutinita. Bukannya menjadi pintu pada kemerdekaan, disiplin rohani menjadi jalan kematian. Hal ini terjadi karena mengutamakan lahiriah dan kesalehan pura-pura. Mereka tidak membawa orang lebih dekat kepada kerajaan Allah, tetapi makin jauh. Jika aktifitas rohani orang Farisi tidak kita ragukan. Oleh karena itu Yesus meminta kita melakukan segala sesuatu yang mereka ajarkan tetapi tidak meniru perbuatan mereka yang mengajar tetapi tidak melakukannya. Jika disiplin berubah menjadi hukum, maka biasanya akan dipakai untuk memanipulasi dan menguasai orang lain. Makanya disebut sebagi jalan kematian. Dalam 2 Kor 3:6 dikatakan bahwa Roh menghidupkan. Disiplin rohani akan membawa kita ke hadiratNya, membaharui kita dari hari ke hari sehingga kita menjadi orang yang lebih kuat, disempurnakan dan tidak labil. Dalam tindakannya, nyata buah roh itu menyertainya. Ada kasihan dan kelemah lembutan yang membuat dia memutuskan semuanya itu. Tetapi sebaliknya, jika disiplin rohani menjadi rutinitas dan hukum maka disiplin itu tidak ada kuasanya akan membawa kepada kematian. Seolah-olah kita rohani, sebenarnya hanya kelihatannya rohani. Pembaharuan tidak dialami dalam hidupnya.

Disiplin rohani merupakan sebuah pintu menuju kemerdekaan jika kita dengan setia. Apakah kita telah disipilin melakukannya? Mari kita bersama memiliki kemerdsekaan di dalam persekutuan dengan Tuhan, memiliki hidup dengan disiplin rohani yang merupakan pintu kemerdekaan bagi kita.
Soli Deo Gloria!

Family bgn 3- Preparing For Godly Family

Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Hari ini kita akan berbicara tentang bagaimana mempersiapkan keluarga ilahi. Keluarga yang bermisi hanya bisa terjadi jika kita hidup dengan visi dan panggilan hidup yang. Dalam Amsal 29:18 dikatakan, “Bila tidak ada wahyu (visi), menjadi liarlah rakyat…” Betapa penting- nya visi dalam hidup anak Tuhan, kepemimpinan, dan juga keluarga. Memiliki visi yang tajam akan menentukan semua keputusan dan pilihan kita. Seseorang akan rohani bukan karena dia bernyanyi rohani atau memiliki jabatan rohani. Tetapi, seseorang disebut rohani atau tidak dapat dilihat dari keputusan, pilihan, dan hal-hal yang ada di dalam hidupnya. Orang yang rohani pasti memilih yang rohani. Orang yang dewasa rohani pasti akan memilih hal-hal yang dewasa rohani, menggunakan uangnya untuk hal-hal yang benar dan tepat. Tidak mungkin orang yang dewasa secara rohani tidak memberi perpuluhan tetapi dapat menonton dua kali seminggu. Itulah sebabnya penting visi dan panggilan hidup di dalam menata satu keluarga yang Ilahi, karena visi membuat kita mengetahui prioritas dan membuat kita maksimal dalam hidup, termasuk di dalam pernikahan. Visi membuat kita mampu bertahan menghadapi pasangan hidup kita apapun kekurangan dan kelemahannya.

Bagaimana kita mempersiapkan Godly Family?
Pertama, mari melangkah karena kita yakin akan mandat umum dan mandat khusus ada bagi kita. Mandat umum adalah seperti yang sudah kita pelajari, yaitu Kej 1:27-28, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.", dan mandat khusus seperti dalam Mat 19:11-12, ”Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti." Jika sudah yakin kita dipersiapkan Allah untuk melahirkan anak biologis dan anak theologis sekaligus, maka berdoalah untuk teman hidup.

Kedua, Godly Family dibangun dengan orang yang masuk dalam keluarga itu mengerti visi dan misinya secara pribadi, bukan sekedar ingin menikah maka kita menikah, bukan karena orang memiliki anak, maka kita ingin memiliki anak juga, bukan karena orang gandengan maka kita ingin gandengan juga.

Ketiga, kita menyadari panggilan Allah ketika melangkah. Ketika kita sadar akan panggilan Allah untuk berkeluarga atau tidak berkeluarga, biarlah hal tersebut menjadi aktualisasi visi yang dari Allah. Ingat, jangan menikah jika hal tersebut melanggar visi Allah. Hal ini dapat membuat hidup kita tidak maksimal. Dalam kenyataan, banyak pasangan yang melanggar hal ini akhirnya mengeluh.

Perhatikan pertanyaan ini. What is the vision of your marriage? Jika teman-teman berpikir untuk pacaran atau menikah, pertanyaan ini harus dimunculkan, apa visi dari pernikahan anda? Jika visinya tidak jelas, maka jangan melangkah karena hanya akan menambah jumlah pasangan yang menderita dalam pernikahan. Ketika kita menyadari visi kita, maka pernikahan kita bukan sekedar mengikuti orang atau cemburu atau karena dipaksa oleh orang tua kita.

Mari kita belajar dari Abraham kepada Ishak tentang bagaimana mempersiapkan keluarga yang Ilahi. Mari membaca Kej 24:1-67.

Ketika Abraham tua, dia tidak bisa lagi mengerjakan apa yang menjadi persiapan untuk Ishak. Maka ia memanggil seorang hamba yang paling dipercayainya dan mengambil sumpahnya. Abraham yang diberkati Tuhan dalam segala hal (ay 1) menghendaki rencana (visi) Allah (Kej.12:1-3) digenapi melalui pernikahan anaknya, Ishak (ay 5, 8). Muncul pertanyaan, mengapa bukan Ishak yang pertama melakukan seperti ini. Ingat, waktu mereka di Kanaan, hanya keluarga ini yang beriman kepada YAHWE. Jadi, Abraham berkata kepada hambanya agar tidak mengambil perempuan Kanaan yang menjadi isteri Ishak, tetapi harus kembali ke kampung asalnya. Dia mengambil orang yang percaya. Jadi Abraham punya penglihatan dari Allah ketika Allah memanggil dia keluar dari Ur-Kasdim, pergi ke satu tempat yang ia tidak tahu (kelak tempat itu adalah Kanaan). Dan di sana, ia tidak mau rencana Allah gagal. Oleh karena itu ia berupaya membuat visi Allah digenapi dan salah satunya adalah melalui pernikahan Ishak. Itulah sebabnya Abraham menyuruh hambanya pergi ke kampung halamannya untuk mengambil seorang wanita untuk menjadi isteri Ishak. Jika kita perhatikan, Abraham tidak ingin anaknya menikah dengan orang yang tidak beriman (ay 4-8).

Dalam rangka inilah ia mengutus hambanya ke tanah leluhurnya, mencari orang yang tepat untuk menjadi isteri Ishak. Kenapa bukan Ishak yang pergi? Ingat, syarat isteri Ishak yang pertama adalah harus percaya kepada YAHWE dan tidak boleh dari Kanaan, oleh karena itu kembali ke kampung halaman. Jadi Ishak tidak pergi karena Abraham yang pergi ke luar dari Ur-Kasdim pergi ke Kanaan, tidak ingin akanknya akan tinggal di sana dan menghambat rencana Allah. Itu sebabnya Ishak tidak di ijinkan ke sana [ay 4-6]. Abraham melakukan hal ini agar visi Allah digenapi dalam Godly Family.

Dasar untuk berindak bagi Abraham adalah janji, panggilan, atau visi Allah yang harus digenapi. Abraham mengingat kembali janji Allah yang pernah ia terima di kampung halamannya. Dan untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa, ia mencari pasangan untuk Ishak, anaknya. Ketika kita berpikir dalam rangka untuk menikah mari belajar bahwa pernikahan Ishak yang direncanakan adalah demi kegenapan visi Allah. Pernikahan Ishak sebagai satu keluarga yang Ilahi agar janji Allah yang sudah diucapkan kepada Abraham puluhan tahun sebelumnya jangan sampai gagal. Itulah sebabnya sangat penting visi bagi setiap orang percaya agar kita melangkah dan mengambil keputusan berdasarkan visi itu. Jika kita berpikir untuk menikah, adakah hal ini di dalam penggenapan panggilan Allah bagi hidup kita? Visi Allah bagi kita? Kemudian, dari bagian Firman ini, hamba Abraham berangkat dengan mengandalkan pimpinan Tuhan (12, 26-27 ).

Apa yang menjadi dasar bagi hamba Abraham ini untuk mengetahui? Mari kita perhatikan ayat 14-19. Dalam bagian ini kita melihat ada satu tanda yang menghantarkan orang tersebut kepada orang yang dipimpin oleh Tuhan. Waktu itu hamba ini selesai berdoa, muncul seorang wanita. Cantik parasnya, perawan, dan punya karakter yang baik. Banyak orang menafsirkan bagian ini dengan mengatakan mencari teman hidup dengan menggunakan tanda dengan mengatakan, ”Tuhan jika akau besok ketemu perempuan baju pink dan ia menyapaku pertama kali, maka ialah pasanganku.” Pertanyaannya adalah bolehkah kita meminta tanda? Bukan boleh atau tidak boleh. Yang menjadi ukurannya adalah apakah tanda itu. Dalam bagian ini kita melihat bahwa tanda yang diminta di sini adalah karakternya. Kita wajib mencari calon pasangan kita dengan tanda atau kriteria. Salah satunya adalah visi hidupnya. Jadi jika tanda seperti ini yang kita minta, silahkan minta. Hal ini boleh bahkan wajib. Jika kita minta tanda adalah karakternya yang betul-betul alkitabiah, hal ini juga adalah tanda yang benar. Tidak ada satupun yang mau tinggal dengan perempuan yang cerewet. Amsal berkata lebih baik tinggal di sotoh rumah daripada tinggal denbgan wanita yang cerewet, siapa sih yang mau dengan laki-laki yang kasar dan kejam? Pasti tidak ada. Meminta seperti ini dibolehkan. Jadi bukan tanda model rambut, tinggi badan, jurusan, warna kulit, suku, dll. Tetapi tanda itu adalah pasti dari segi standar Firman Allah. Jika ingin membangun keluarga yang memiliki standart Ilahi sangat dibutuhkan visi yang jelas dan karakter yang jelas dan benar menurut standart Alkitab. Yusuf minta tanda. Di luar logika ia mengambil Maria yang hamil di luar nikah menjadi isterinya. Hal ini pasti tidak gampang. Tetapi Tuhan berbicara secara khusus. Artinya adalah, jika hal tersebut berasal dari Tuhan, maka jika pun hal tersebut tidak seperti yang kita inginkan dan jauh dari yang kita harapkan, tidak ada alasan bagi kita untuk menolaknya jika visi hidupnya jelas dan karakternya bagus. Demikian juga Abraham yang ingin standar yang jelas bagi calon isteri Ishak untuk membangun keluarga yang Ilahi. Jika kita ingin membangun keluarga yang Ilahi, standar Ilahi pria/wanita itu harus jelas. Jangan mengurangi standart pria/wanita tersebut. Jika kita mulai mengurangi standart ini, maka kita akan mulai gagal dalam perwujudan visi Allah. Banyak kasus dimana ketika mahasiswa aktif sebagai pengurus dan melayani dengan semangat tetapi ketika menikah mereka ’hilang’ dari ’peredaran’. Apakah kita ingin membangun keluarga seperti ini? Tentu tidak.

Di dalam ayat 21 dikatakan ada pergumulan di dalam mencari pimpinan Tuhan. Hamba ini bergumul ketika mengamati wanita tersebut. Kita juga harus mengamati calon pasangan kita yang memiliki standar Ilahi agar keluarga kita menjadi keluarga Ilahi yang bermisi. Tanda atau isyarat hanya sebuah petunjuk bukan penentu. Petunjuk tersebut harus realis (bukan aneh-aneh), tetapi dari segi karakter dan kebaikan. Di sinilah penting sebuah karakter bagi calon teman hidup kita [Ams 31:10-30, penting dibaca oleh pria yang ingin menikah, dan bagi wanita, penting untuk mempersiapkan diri untuk memenuhi standar ini. Bd Mzm 128:1-6; Ef 5:21-32]. Bagi yang laki-laki, jangan hanya terpukau pada kecantikan seorang wanita. Cobalah untuk mencintai inner beauty-nya. Jika tidak maka rumah tangga kita dapat menjadi bencana. Di dalam ayat 30-31 Amsal tadi dikatakan bahwa kecantikan adalah sementara dan kemolekan adalah sia-sia. Siapakah yang dipuji-puji? Isteri yang takut pada Tuhan. Jika seorang Isteri takut pada Tuhan pasti lembut, ramah, sopan, rajin, peduli, dan bisa menata keluarga. Oleh karena itu, bagi para pria, carilah wanita yang takut akan Tuhan. Bagi yang perempuan, siapakah laki-laki yang diberkati oleh Tuhan? Dalam Mazmur 128:1-6 dikatakan diberkatilah laki-laki yang takut akan Tuhan. Oleh karena itu, carilah pria yang takut akan Tuhan. Pria yang takut akan Tuhan tidak akan membuat wanita menjadi tempat bentakan setiap hari tetapi bertanggung jawab selamanya.

Oleh karena itu, hambanya Abraham melihatnya dan mengamatinya apakah wanita tersebut pimpinan Tuhan bagi Ishak atau tidak. Mari perhatikan ayat 24-27. Setelah melihat karakter Ribka yang baik, baru hamba Abraham bertanya mengenai keluarganya dan meminta menginap di rumah Ribka. Ribka memberikannya. Dan ketika hamba ini tahu bahwa Ribka anaknya Betuel, tahulah hamba itu bahwa wanita inilah yang dipimpin oleh Allah karena dia adalah anaknya saudara Abraham, seorang yang juga beriman kepada YAHWE. Kemudian kepada Laban yang ramah itu, hamba itu menyatakan maksud kedatangannya. (30-49). Mari kita perhatikan ayat 50-54, ”Lalu Laban dan Betuel menjawab: "Semuanya ini datangnya dari TUHAN; kami tidak dapat mengatakan kepadamu baiknya atau buruknya. Lihat, Ribka ada di depanmu, bawalah dia dan pergilah, supaya ia menjadi isteri anak tuanmu, seperti yang difirmankan TUHAN." Ketika hamba Abraham itu mendengar perkataan mereka, sujudlah ia sampai ke tanah menyembah TUHAN. Kemudian hamba itu mengeluarkan perhiasan emas dan perak serta pakaian kebesaran, dan memberikan semua itu kepada Ribka; juga kepada saudaranya dan kepada ibunya diberikannya pemberian yang indah-indah. Sesudah itu makan dan minumlah mereka, ia dan orang-orang yang bersama-sama dengan dia, dan mereka bermalam di situ. Paginya sesudah mereka bangun, berkatalah hamba itu: "Lepaslah aku pulang kepada tuanku.”

Mari kita perhatikan kalimat Laban, ada dua kata yang menarik. Dikatakan ayat 50, ”...semuanya ini datangnya dari Tuhan...” dan ayat 51,”...seperti yang difirmankan Tuhan.” Langkah anak-anak Tuhan langsung diresponi oleh Laban dan Betuel, bahwa semuanya ini datang dari Tuhan dan merupakan keinginan Tuhan. Mari belajar dari hal ini. Laban dan Betuel sudah melihat bahwa hal ini adalah pimpinan Tuhan.

Bagaimana respon Ribka? Ribka meneri- ma pinangan itu (58-61) karena ia tahu hal tersebut adalah pimpinan Allah. Ada satu standar atau kriteria yang benar untuk membangun keluarga yang ilahi. Standar atau kriteria yang telah dikemukakan hamba itulah yang telah meyakinkan Ribka. Jika ditanyakan kepada diri kita, apa yang meyakinkan kita melangkah dan mengambil keputusan untuk pacaran dengan dirinya? Adakah dalam rangka visi itu? Dari bagian Firman ini pastilah hamba Abraham ini cerita kenapa dia di utus, dan oleh karena itu Laban dan Betuel, dan bukan hanya mereka, tetapi Ribka juga melihatnya. Apa yang membuat kita berani melangkah menolak atau menerima dirinya? Mari melangkah dengan standart yang jelas untuk membangun Godly Family. Perhatikan ayat 61-65 dimana ada pertemuan yang indah antara Ribka dan Ishak. ”Lalu berkemaslah Ribka beserta hamba-hambanya perempuan, dan mereka naik unta mengikuti orang itu. Demikianlah hamba itu membawa Ribka lalu berjalan pulang. Adapun Ishak telah datang dari arah sumur Lahai-Roi; ia tinggal di Tanah Negeb. Menjelang senja Ishak sedang keluar untuk berjalan-jalan di padang. Ia melayangkan pandangnya, maka dilihatnyalah ada unta-unta datang. Ribka juga melayangkan pandangnya dan ketika dilihatnya Ishak, turunlah ia dari untanya. Katanya kepada hamba itu: "Siapakah laki-laki itu yang berjalan di padang ke arah kita?" Jawab hamba itu: "Dialah tuanku itu." Lalu Ribka mengambil telekungnya dan bertelekunglah ia.” Hati berpaut. Walaupun ini pandangan pertama, tetapi pandangan pertama ini adalah karena visi, karena Ishak sudah tahu hal ini akan terjadi. Bukan sekedar first impression. Ini bukan sekedar pandangan pertama. Walaupun ini adalah pandangan pertama mereka berdua tetapi Ishak sudah tahu bawa siapa yang dibawa oleh hamba ayahnya itu pastilah anak Tuhan dan dalam rangka visi Allah. Oleh karena itulah dia memiliki respon seperti itu. Pastilah Abraham telah berbicara kepada dirinya dan hamba ini juga sudah berbicara sebelum berangkat.

Ketika mereka bertemu, Tuhan menanamkan cinta. Ayat 66-67 mengatakan, ”Kemudian hamba itu menceritakan kepada Ishak segala yang dilakukannya. Lalu Ishak membawa Ribka ke dalam kemah Sara, ibunya, dan mengambil dia menjadi isterinya. Ishak mencintainya dan demikian ia dihiburkan setelah ibunya meninggal.” Dikatakan hamba ini bercerita mengenai perjalanannya ini dan pada saat mendengar cerita hamba inilah Ishak baru jatuh cinta. Dan berikutnya Ishak mencintai Ribka dan ia dihiburkan ketika ibunya meninggal. Menurut penafsir, ketika Sarai meninggal, Ishak kehilangan figur ibu yang mengasihinya dan ketika Ribka datang ia dihiburkan. Apa yang ingin saya katakan adalah wanita yang benar, yang berasal dari Allah, mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan dalam satu keluarga yang Ilahi. Pria yang benar yang berasal dari Allah, yang akan menjadi suamimu, mendatangkan peng- hiburan dan berkat bagi keluargamu. Inilah keluarga yang Ilahi.

Mari doakan dengan sungguh-sungguh. Mari melangkah karena visi Allah. Inilah Preparing for Godly Family. Melangkah dengan visi dan panggilan. Dalam rangka kegenapan visi Allah, mari melangkah sesuai dengan kriteria Allah.
Soli Deo Gloria!