Friday, January 23, 2009

Holiness 4: Growing in Holiness part 2 (INTEGRITY)

[Kotbah ini dibawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div pada ibadah Mimbar Bina Alumni Jumat 27 Juli 2007]


Saat ini kita akan belajar mengenai bagaimana bertumbuh dalam kekudusan dalam konteks integritas. Dalam perjanjian lama, integritas berarti soundness of character and adherence to moral principle. Misalnya kebenaran dan kejujuran (uprightness and honesty). Mari kita lihat kisah tentang Ayub dalam Ayub 4:6 “Bukankah takutmu akan Allah yang menjadi sandaranmu, dan kesalehan hidupmu menjadi pengharapanmu.” Dalam hal ini integritas berbicara soal kesalehan hidup dihadapan Allah. Dalam Mat 25:21 kita dapat melihat bagaimana integritas itu adalah adanya ketulusan dan kejujuran, tidak ada macam-macam. Hal ini dapat kita lihat dari hamba yang dipuji oleh tuannya dalam Injil Matius ini. Mari kita bandingkan dengan bagian lain dalam Mat 5:37, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakana : tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” Dalam Mazmur 101:2, mari kita perhatikan kalimat yang dipakai. Pertama, hidup yang tidak bercela, kedua, hidup dalam ketulusan. Hal ini berarti ada hidup yang sempurna. Inilah kekudusan dalam arti integritas. Di dalam Amsal, integritas dipandang sebagai karakteristik yang esensial dari hidup yang benar. Mari kita lihat Amsal 2:7,” Ia menyediakan pertolongan bagi orang orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya, “. Dalam ayat ini kita dapat melihat sikap jujur dan tidak bercela, yang merupakan sebuah integritas hidup. Kedua ciri ini ditekankan lagi pada ayat 23 dalam Amsal 2 ini. Dalam Amsal 10:9 dikatakan bahwa orang yang berintegritas adalah orang yang jalannya lurus dan benar, dan dalam Amsal 20:7 dikatakan bahwa orang yang berintegritas adalah orang yang bersih kelakukannya. Inilah pengertian yang pertama dari integritas.
Pengertian lain menyatakan bahwa integritas merupakan antitesis dari segala kemunafikan, bukan sesuatu yang hanya lips service, bukan sekedar fenomena. Tetapi apa yang dihadapan Allah, itulah yang ditunjukkan dihadapan sesama. Orang yang seperti inilah orang yang bertumbuh di dalam konteks integritas.

Integritas juga adalah orang yang benar dalam segala apa yang diucapkan dan yang dikerjakan. Orang bisa saja benar dalam mengatakannya tetapi belum tentu benar dalam melakukannya. Misalnya, setiap mahasiswa tahu bahwa mencontek itu tidak benar, tetapi banyak mahasiswa yang masih tetap melakukannya. Jadi ada kesejajaran antara perkataan dengan perbuatan. Jika hal ini tidak sejalan, maka dapat dikatakan seseorang itu kehilangan integritas. Integritas itu seperti emas murni tanpa campuran apapun, suci tidak bercela, saleh, tulus, jujur, dan uncorruptness.

Ada tiga dimensi dari kebenaran yang sejati dalam membangun integritas, yaitu :

  1. Kemurnian (Genuinness) : Being true, sebagai dasar utama dari integritas sejati. Dalam dimensi ini ada pemahaman bahwa hanya orang yang telah lahir baru dan bertumbuhlah yang dapat memiliki integritas.
  2. Kejujuran (Veracity): Telling the Truth. Hal ini berarti menyatakan sesuatu apa adanya tanpa mengurangi atau menambahkan (jauh dari segala kebohongan). Dalam hal inilah apa yang kita ucapkan selalu dapat dipercaya (trusted). Bila ada orang yang meragukan perkataan kita, berari kita telah kehilangan integritas. Kita juga tidak boleh berbohong kepada siapapun dengan alasan apapun. Ingat, tidak ada yang namanya white lie, ataupun bohong demi kebaikan.
  3. Kesetiaan (Faithfulness). Kita membuktikan kebenaran dari sesuatu yang kita ucapkan atau menepati segala yang kita janjikan. Oleh sebab itulah, kita berani menyatakan bahwa pemimpin Negara kita ini tidak memiliki integritas. Apa yang mereka ucapkan sewaktu kampanye, tidak mereka laksanakan pada saat mereka sudah terpilih.

Mari kita lihat beberapa contoh yang gagal mempertahankan integritasnya.

  1. Kejadian 3:8-13. Mari kita perhatikan ayat 12-13, dimana ada beberapa tanda yang menunjukkan manusia tidak berintegritas. Misalnya, Adam memiliki beberapa kesalahan, pertama adalah tidak bertanggug jawab terhadap apa yang ia lakukan, dan kedua, ia menyalahkan Allah yang memberikan Hawa kepadanya. Banyak manusia di negara ini terjebak dalam kondisi seperti ini. Mereka tidak bertanggung jawab dengan apa yang mereka kerjakan dan menyalahkan pihak lain. Seharusnya orang yang berintegritas adalah orang yang berani menerima konsekuensi dari pekerjaannya sebagai tanggung jawab. Demikian juga dengan Hawa yang menyalahkan Tuhan. Orang-orang sangat mungkin terjebak dalam kondisi ini. Orang yang tidak berintegritas, selain saling menyalahkan, mereka juga menyalahkan Allah dan saling melempar tanggung jawab.
  2. Kejadian 4:1-16. Dalam kisah Kain dan Habel ini pun kita melihat bagaimana Kain tidak memiliki integritas. Ada beberapa kesalahan Kain di sini, yaitu berbohong dan menghindar dari tanggung jawab. 
  3. Kejadian 20:1-18Mari kita lihat ayat 10-12. Pada ayat ini kita melihat jawaban Abraham akan pertanyaan Abimelekh dimana Abraham menyuruh Sarai untuk memperkenalkan dirinya sebagai saudara Abraham agar Abraham tidak dibunuh raja Abimelekh. Abraham memang tidak bohong karena Sarai adalah saudaranya lain ibu, tetapi dalam hal ini Sarai adalah isterinya. Integritas adalah menyatakan kebenaran seluruhnya. Jika hanya tiga per empat benar, itu juga salah. Oleh karena itu hati-hati dengan diplomasi. Bisa saja untuk menjaga sesuatu kita melakukan kebohongan, dan itu salah. 
  4. Kis 5:1-10. Bagian ini adalah kisah tentang Ananias dan Safira. Kisah dimana Ananias dan Safira menjual harta milik mereka (seperti kebiasaan dalam jemaat pada saat itu) dan memberikan hasil penjualan itu di depan para rasul tetapi hanya setengahnya. Di sisi lain mereka mengatakan bahwa mereka telah memberikan semua. Akibat daripada ini, Ananias dan Safira mati. Oleh sebab itu, dalam melakukan sesuatu jangan memberi kesan bahwa kita adalah orang yang jujur dan murah hati. Kesalahan Ananias bukan karena ia memberi setengah tetapi karena ada pengakuan bahwa ia memberi semuanya. Kita juga sering terjebak dalam hal ini. Kita bekerja seolah-olah menunjukkan bahwa kita sangat rajin, tetapi dalam hati kita tidak demikian. Sepertinya jujur, bukanlah jujur. Mari kita jujur apa adanya. 
  5. Kisah selanjutnya adalah kisah tentang Daud dan Betsyeba di dalam 2 Samuel 11:6-15, 26-27. Sebuah kisah yang sangat tragis untuk seorang raja. Kisah ini menceritakan bagaimana Daud membujuk Uria untuk tidur dengan isterinya -Betsyeba- agar bayi hasil hubungan Daud dengan Betsyeba tidak ketahuan. Karena Uria tidak mau, karena loyalitasnya kepada rajanya, Daud mengirim dia ke garis depan dalam sebuah pertempuran dan Uria gugur dalam perang itu. Dan ketika Daud mengambil Betsyeba jadi isterinya, banyak orang akan menyangka bahwa Daud itu murah hati (26-27).
Mari kita bandingkan semua kisah kegagalam di atas dengan kisah Daniel dalam Dan 6:5-6. Ketika pejabat-pejabat yang lain mencari kesalahan Daniel, mereka tidak menemu- kannya kecuali dalam hal ibadahnya kepada Allah. Ini yang harus kita teladani. Ketika ada orang dikantor menyalahkan kita akan sesuatu yang tidak kita lakukan, atau menyalahkan kita karena cinta pada Yesus, biarkan saja asal dalam etos kerja kita benar. Paulus juga menunjukkan sikap yang benar. Dalam 2 Kor 4:2, ”Tetapi kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan; kami tidak berlaku licik dan memalsukan Firman Allah. Sebaliknya kami menyatakan kebenaran dan dengan demikian kami menyerahkan diri kami untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah.” Mari kita belajar dari kegagalan agar tidak gagal, dan belajar dari keberhasilan agar berhasil.

Ada beberapa nilai dari integritas.

  1. Amsal 11:3. Nilai dari integritas yang jujur itu harus dipimpin oleh ketulusan. Jadi ada trustworthy guide for living.
  2. Amsal 28:6. Beranikah kita mengaminkan bahwa lebih baik miskin tetapi bersih kelakuannya daripada kaya tetapi jalannya berliku-liku? Integritas membuat kita memiliki kredibilitas.
  3. Maz 24:3-4. Hidup jujur, benar, dan tulus adalah dasar untuk bisa datang kepada Allah.

Dampak dari hidup yang berintegritas.
  • Allah akan menjaga hidupnya (Amsal 2:7). Mari kita lihat buktinya dari hidup Yusuf yang di penjara atau Daniel yang di gua singa. Bisa saja karena integritas yang kita miliki kita juga memiliki kesucian hidup, dan sering sekali hal ini menyebabkan kita kehilangan pekerjaan kita. Dalam situasi ini kita tidak perlu kuatir. Allah lah yang menjadi penolong kita.
  • Keamanannya di jamin oleh Allah (Amsal 2:21-22;10:9), karena hanya orang jujurlah yang Allah berkenan menjaganya. Dalam Amsal 10:9 yang menggambarkan kekontrasan dengan dunia. Dalam dunia ini yang menjaga kejujuran justru jalannya lebih susah. Mari kita lihat KAMG (Komunitas Air Mata Guru) yang banyak dari mereka diberhentikan dan dikurangi jam meng- ajarnya karena menyuarakan kecura- ngan dalam pelaksanaan UN (Ujian Nasional). Apakah ayat ini berlaku pada mereka? Bukan seperti kisah yang ada di film-film, dimana kebenaran akan kalah terlebih dahulu lalu menang kemudian. Jalan mulus yang di alami orang yang melakukan kebenaran bukan berarti promosi atau semacamnya. Tetapi jalan mulus yang dimaksud di sini adalah jalan bersama dengan Tuhan.
  • Tidak akan terjatuh (Amsal 28:18) karena aka diselamatkan Allah. Orang yang memiliki integritas akan ada kebahagian sampai kepada keturunannya (Ams 20:7).
Ketika kita memiliki integritas, kita akan mampu untuk mengajak orang lain berintegritas juga, seperti beberapa teladan yang dapat kita lihat dalam kisah di Alkitab.

  • Samuel dan Saul dalam 1 Sam 15:1-26. Keberanian Samuel menegur Saul pastilah karena Samuel memiliki integritas. Pada zaman sekarang banyak pendeta yang tidak berani menegur jemaat karena pendeta sendiri tidak memiliki integritas.
  • Natan dan Daud (2 Sam 12:1-14) dimana Natan menegur Daud akan dosa perzinahannya dengan Betsyeba. Hanya orang yang setia dan tidak bercela yang berani mengajak orang untuk setia.
  • Paulus dan jemaat Korintus (1 Kor 5:1-13). Paulus menegur jemaat Korintus untuk segera menghentikan dosa. Jemaat ini jatuh dalam dosa free sex, homosex , dan incest.
  • Paulus dan Petrus (Gal 2:11-14) karena mengundurkan diri dari jamuan makan dengan orang-orang yang belum bersunat karena takut dengan saudara-saudara yang telah bersunat. Dari segi kerasulan Petrus memang lebih hebat, tetapi Paulis berani menegurnya karena Paulus memiliki hidup yang benar.

Mari kita selaku orang yang berintegritas berani mengeur setiap ketidak benaran yang ada di depan kita. Tentu saja dengan sopan, tegas, dan dengan sikap yang wajar. Mari tulus dalam dalam kehidupan. Inilah integritas.

Soli Deo Gloria!!

[Seri Holiness - 03]: Growing in Holiness part 1 (VIRTUE)

[Kotbah ini dibawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M. Th, pada Mimbar Bina Alumni, Jumat, 20 Juli 2007.]

Topik pada hari ini merupakan topik ke tiga dari seri Holiness yaitu Growing in Holiness yang pertama mengenai Virtue atau kebajikan. Kata virtue berasal dari bahasa Yunani, yaitu ”arete” yang artinya (secara etis) adalah suatu perbuatan yang mulia/exellence, praiseworthy deeds, moral goodness atau moral exellence. Dalam konteks ini, exellence memiliki arti sesuatu yang sungguh sangat baik. Jadi dalam hal ini, kebajikan bukanlah sesuatu yang hanya baik tetapi sesuatu yang sangat baik. Apa hubungan growing in holiness dengan kebajikan atau moral exellence? Salah satu kekudusan yang diinginkan oleh Allah melalui kebenaran FirmanNya (Biblical Theology) adalah soal kekudusan yang pasti terpancar dalam tindakan atau perbuatan kita.

Dalam dunia hellenistic, kata “kebajikan/virtue” diartikan dengan dua hal. Pertama, dalam hubungannya dengan ”doxa (glory)”, yang artinya sesuatu yang agung dan mulia. Karena Allah mulia, maka umat yang taat, hidup, dan percaya kepadaNya seharusnya menghasilkan satu tindakan yang doxa (mulia). Kedua adalah theia dynamis (divine power) yang memiliki arti bahwa segala yang dilakukan itu adalah sesuatu yang hanya karena karya Ilahi untuk Allah. Dalam satu tradisi Kristen pada abad pertengahan, ada istilah yang disebut dengan The Seven Cardinal Virtues, yang mengatakan ada tujuh kebajikan, yaitu : wisdom, fortitude (dorongan untuk bertahan/setia dalam penderitaan), temperance (ketaatan total kepada Allah), justice [Keempat kebajikan ini bersifat tradisional dan diadopsi dari pemahaman pagan, yaitu orang-orang yang belum percaya kepada Tuhan] dan digabungkan dengan teologia kebajikan yang teologis, yaitu iman, pengharapan, dan kasih. Di dalam perkembangan teologia, maka kebajikan yang kita bicarakan itu mengarah kepada moral exellence atau praiseworthy deeds, atau tindakan/perbuatan yang sangat mulia dan dihormati. Inilah yang akan kita pelajari pada sore hari ini.

Kebajikan adalah ideally human life in the Kingdom of God, yaitu suatu kehidupan ideal di dalam Kerajaan Allah. Artinya, sebagai warga Kerajaan Allah kita harus hidup kudus karena Kerajaan Allah ada di dalam kebenaran dan kekudusan. Inilah yang disebut dengan satu standart yang ideal sebagai warga kerajaan Allah. Hal ini penting karena dunia ini sangat jahat, penuh dengan kebencian, dan anak-anak Tuhan yang hidup di dunia ini menghadapi banyak tantangan. Agar dapat berdiri dengan tegar dalam spritualitas sejati, maka dibutuhkan kebajikan yang Kristiani/Alkitabiah. Tanpa itu, kita tidak akan pernah hidup dalam kesucian. Itulah sebabnya sangat dituntut kekudusan yang bertumbuh di dalam Kristus dan kebajikan yang menyertainya.

Mari kita membuka 2 Petrus 1:3-11. Melalui bagian ini kita akan belajar mengenai kekudusan yang semakin berkembang dan semakin baik. Pada ayat (3) kita melihat ”karena kuasa IlahiNya telah menganugerahkan kepada kita sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh...”. Yang pertama yang mau kita lihat adalah bahwa untuk hidup yang saleh bukan sebatas usaha kita. Artinya, bila seseorang itu tidak dilahirkan kembali, ia tidak akan pernah hidup kudus dan bertumbuh di dalam kekudusan. Yang kedua, walaupun seseorang sudah lahir baru, jika dia tidak memiliki penyerahan diri yang sungguh kepada Allah, yang dipadukan dengan kuasa yang dari Allah, dia tidak akan mampu untuk hidup kudus. Itulah sebabnya perlu sinergisme. Bila lahir baru itu monergis, mutlak karya Allah, maka untuk bertumbuh dan hidup suci adalah sinergis, dimana ada peran Allah dan ada peran kita. Dalam Filipi 2:13 ”karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan atau pekerjaan menurut kerelaanNya”, bila kita hubungkan dengan Roma 7:19-20 dimana bukan keinginan kita berbuat jahat tetapi karena dosa, yang dilanjutkan pada ayat 24 dan 25 mengenai Yesus Kristus yang telah melepaskan kita dari tubuh maut tersebut, maka kita akan melihat bahwa kekudusan yang bertumbuh harus memiliki perpaduan kekuatan Allah yang bekerja di dalam kita dengan satu sikap penyerahan dan ambisi untuk taat kepada Allah. Kita tidak bisa berkata kepada Tuhan ”aku mau hidup kudus”, tetapi kita tidak berperan/berbuat di dalamnya. ”Kuduskanlah aku” hanya dari segi pertobatan dan pengakuan dosa. Tetapi untuk bertumbuh di dalam kekudusan harus sinergis. Kita benar-benar memiliki ambisi. Karena Allah menyatakan kuasaNya, pada saat itu jugalah kita hidup kudus. Karena itulah Petrus berkata pada jemaat diaspora bahwa oleh karena Allah dengan kuasa IlahiNya, yang telah dianugerahkan kepada kita untuk hidup saleh. Artinya untuk hidup bertumbuh di dalam kekudusan adalah merupakan karya Allah yang dipadukan dengan komitmen dan penyerahan diri kita.

Kekudusan dan hidup saleh diperoleh melalui pengenalan akan Allah (untuk kebutuhan spritual kita). Artinya pengenalan akan Allahlah yang menjadi dasar atau pondasi untuk hidup suci. Bila kita tidak mengenal Allah kita tidak mungkin hidup suci. Pengenalan di sini bukan sebatas kognitif, tetapi pengenalan sebagai suatu pengalaman bersama dengan Allah untuk menjalani hidup suci (afektif atau empiris), bagaimana kita hidup di dalam kekudusan, sama seperti Allah yang adalah kudus. Di dalam ayat (3) tertulis ”...untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia.” Siapakah ’Dia’? Pada bagian selanjutnya Petrus menjelaskan siapakah ’Dia’, yang kepadaNya dan mengenal Dia maka kita dapat hidup saleh. Hal ini dipaparkan Petrus dalam dua hal yaitu according to His glory dan according to His goodness. Hal ini menimbulkan pemikiran bagi kita. kenapa Petrus menempatkan kedua hal ini, kemuliaan dan kebaikan Allah sekaligus. Bicara soal kemuliaan yang dikatakan di sini adalah esensi Allah yang sangat sangat baik dan mulia atau disebut dengan the exellence of essence. Sedangkan goodness berbicara nsoal the exellence of actio. Dua hal inilah yang membuat kita masuk dalam hidup yang kudus dengan pengenalan yang benar akan Allah.

Bagaimana kita menikmati hal ini? Mari kita perhatikan ayat ke empat ”Dengan jalan itulah Ia telah...” (yang dimaksud dengan ”jalan itu” adalah kemuliaan dan kebaikanNya, sedangkan penafsiran yang lain adalah hidup yang saleh dengan pengenalan). Melalui God’s Exellence (kemuliaan dan kebaikan Allah yang luar biasa, apakah itu internal atau eksternal), Allah menganugerahkan janji yang berharga dan amat besar kepada kita. Pertama, kita bisa mengambil bagian dalam kodrat Ilahi (4b). Pada topik pertama dalam sesi Holiness, ada dua hal yang kita pelajari yaitu positional sanctification dan progressive sanctification. Yang mau dikatakan dalam hal pertama, kodrat Ilahi, tidak mungkin kita satu esensi dengan Allah. Tetapi karena kita sudah dibenarkan/ dikuduskan dan kita ikut bagian dalam kodrat Ilahi. Jadi, secara posisi kita telah dibenarkan/dikuduskan di hadapan Allah. Tetapi, ingat, kita masih bisa berdosa. Already but not yet. Kedua, kita luput dari hawa nafsu dunia. Inilah progressive sanctification. Apa yang mau dikatakan Petrus adalah, kita mengambil bagian dalam kodrat Ilahi dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan. Inilah pesan bagi kita di dalam bertumbuh di dalam kekudusan. Dalam 2 Kor 5:17 mengatakan bahwa kita adalah ciptaan baru di dalam Kristus, oleh sebab itu kita, sesuai dengan Kol 3:5-8, harus mematikan, membuang, menanggalkan sesuatu yang masih bersifat duniawi dalam diri kita. Pada ayat 12 di Kolose 3 ini kita diajak untuk mengenakan belas kasihan, dst. Jadi ada yang dibuang dan ada yang dikenakan. Hal ini dapat membuat kita bertumbuh di dalam kekudusan. Kita sulit untuk bertumbuh di dalam kesucian adalah karena kita masih sulit meninggalkan manusia lama kita. Jika kita masih tetap memegang dan mengikatnya erat-erat, kita tidak akan bisa bertumbuh di dalam kekudusan sampai kapan pun. Oleh karena itu, sebagai orang yang telah lahir baru, kita harus berani mengatakan bahwa hidup kita lebih benar dibandingkan dengan dua tahun lalu, atau ketika kita masih mahasiswa.

Ayat (5-9) menggambarkan kepada kita bagaimana kebajikan itu menghasilkan buah-buah dalam kekristenan. Pada ayat (5) ”Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha....”. Penekanan ’itu’ pada ayat ini adalah kita yang telah dipanggil dalam bagian kodrat Ilahi dan lepas dari hawa nafsu dunia (4) dan Kuasa Ilahi yang membuat kita hidup saleh. Setelah kata ”justru karena itu” ada kata ”kamu harus dengan sungguh-sungguh”. Growing in Holiness tidak akan pernah tercapai bila terlalu mengampuni diri dan tanpa kesetiaan. Itulah sebabnya mati bagi ke”aku”an dan hidup bagi Kristus dengan sungguh-sungguh. Tidak ada satu dosa pun bisa kita menangkan jika tidak berjuang dengan serius. Tidak ada kedagingan atau masa lalu kita yang dapat kita tinggalkan kalau tidak ada usaha yang sungguh-sungguh secara sinergis dengan kuasa Ilahi (devine power). Orang hanya bisa menang dari dosa apapun bila ia mau bersungguh-sungguh menyerahkan kepada Allah, berjuang dengan kuasa Ilahi. Saya tidak tahu apa yang menjadi pergumulan kita, apakah dalam hal dosa, masa lalu, yang sulit kita tinggalkan hingga pada saat ini. Untuk bisa bertumbuh di dalam kekudusan tidak ada kata lain selain sungguh-sungguh berusaha. Itulah sebabnya dalam ayat lima Petrus berkata agar kepada iman ditambahkan kebajikan. Artinya, bila kita beriman kepada Yesus Kristus, harus menunjukkan melalui kebajikan. Ingat Yak 2:17, íman tanpa perbuatan adalah mati, dan pada ayat 22 dalam Yak 2 ini dikatakan ”iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan, dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna”. Apa yang mau dikatakan di sini adalah bila kita mengatakan kita beriman, tapi hidup kita tidak benar, ini adalah iman yang palsu. Itulah sebabnya Paulus dalam Fil 4:5 mengatakan agar kebaikan kita diketahui semua orang. Bukan hendak pamer, tetapi orang lain dapat merasa, melihat, dan menikmati kebaikan kita. Ini adalah bukti orang beriman, dan di sini jugalah banyak orang Kristen gagal. Mengaku sudah lahir baru tetapi kebaikannya tidak dialami orang. Kita mungkin dikenal sebagai orang yang rajin persekutuan atau kebaktian, tetapi tidak dikenal sebagai orang yang baik.

Kemudian pada kebajikan kita harus menambah pengetahuan. Penekanan pengetahuan di sini adalah pengetahuan akan Firman Allah. Orang bisa mengatakan kita baik, bahkan orang yang non Kristen pun dikatakan baik, tetapi kebaikan kita seharusnya kebaikan yang sesuai dengan Firman Allah. Kemudian pada pengetahuan ditambahkan penguasaan diri. Hal ini penting karena orang yang banyak tahu biasanya akan menjadi sombong. Dalam 2 Kor 8:1 dikatakan bahwa pengetahuan membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih itu membangun. Kemudian kepada penguasaan diri ditambahkan ketekunan yang artinya bila hal ini sudah dilakukan maka diperlukan ketekunan. Kemudian pada ketekunan ditambahkan kesalehan. Itulah sebabnya Paulus mengatakan agar kita melatih diri kita untuk menjadi saleh (1 Tim 4: 7b, terjemahan NIV). Pada kesalehan ditambahkan kasih kepada saudara-saudara, baru kasih pada semua orang. Artinya, semua hal ini tidak akan memiliki arti tanpa kasih. Oleh karena itu the holiness of life bermuara kepada hidup yang penuh dengan kasih, sebagai buah dari iman.

Dampak jika kita hidup seperti hidup yang digambarkan pada ayat 5-7, Petrus mengatakan, dia akan berhasil didalam pengenalan akan Yesus Kristus. Sekali lagi, pengenalan di sini bukan kognitif, tetapi empiris karena mengalami karakter dan sifat Allah. Ada satu pertumbuhan rohani yang berkelanjutan menuju kekudusan yang sempurna. Tetapi bila kita tidak memiliki hidup seperti ini (ayat 5-7), perhatikan ayat yang ke (9), kita tidak akan bertumbuh di dalam kesucian, menjadi buta, picik, dan seseorang yang lupa bahwa dosanya telah dihapus. Yang dimaksudkan Petrus adalah kita tidak menghargai anugerah Allah. Secara teologia kekristenan, menurut Petrus, orang yang tidak bertumbuh di dalam kekudusan adalah orang yang kurang menghayati dan mensyukuri anugerah Allah yang telah menebus segala dosanya. Adakah kita orang yang merasa terpaksa tidak berbuat dosa atau senang tidak berbuat dosa? Masih merasa terpaksakah kita untuk jujur atau kita hanya ingin menyenangkan Allah. Allah mencintai kita dan mengorbankan anakNya, Yesus, mati di kayu salib untuk menebus kita secara total. Wajar saja bila kita berusaha untuk menyenangkannya. Salah satu cara untuk bertumbuh dalam kekudusan adalah senang untuk tidak berdosa dan tidak lagi terpaksa untuk hidup benar.

Bagaimanakah untuk bertumbuh di dalam kekudusan? Mari kita baca ayat 10, “…berusahalah sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihanmu makin teguh. Sebab jikalau kamu melakukannya, kamu tidak akan pernah tersandung.” Kata “berusaha sungguh-sungguh” dalam NIV diterjemahkan dengan ”more eager” (eager memiliki arti ’senang’). Dalam pengertian sebenarnya, kata “more eager” berasal dalam diri seseorang (inner drive). Bila kita memilih untuk tidak berdosa, bukan karena kita peduli dilihat atau tidak dilihat orang lain. Oleh karena itu Petrus mengatakan bahwa kita harus berusaha sungguh-sungguh agar panggilan dan pilihan kita makin teguh, dan di dalam kita melakukannya kita tidak akan tersandung. Selain more eager, ingat kembali bahwa Allah yang mengerjakan di dalam kita segala kebaikan itu. Apa yang kita lakukan di dalam hal ini? Fil 3:12-14 mengatakan bahwa kita harus melupakan apa yang di belakang, mengarahkan diri pada hal yang di depan, dan berlari mengejar tujuan. Dalam Filipi tersebut dikatakan melupakan apa yang ada di belakang kita. Seringkali iblis mendakwa kita dengan kesalahan-kesalahan kita. Ingat, semuanya benar, kita berdosa, tetapi dosa kita telah disalibkan bersama dengan Kristus. Lupakan yang di belakang/masa lalu kita, dan arahkan mata kepada Kristus. Tetapi kita tidak duduk dengan tenang. Perhatikan kata yang dipakai Paulus, ”berlari-lari mengejar”. Kira sering mengiyakan untuk hidup kudus, tetapi kita tidak berperan di dalamnya. Bertobat bukan sekedar berbalik dari yang jahat, tetapi berjalan bersama dengan Kristus-growing in holiness, sehingga kita semakin serupa dengan Kristus di dalam kesucian. Ibrani 12:1-3 mengatakan kita memiliki saksi, maka kita harus menanggalkan beban kita dan mengikuti perlombaan yang diberikan kepada kita dengan mata yang mengarah kepada Yesus. Mari belajar untuk bangkit dan berlari menuju Kristus dan kita tidak akan tersandung (2 Pet 1:10b). Hal inilah yang menunjukkan kuasa Ilahi yang bersumber dari Allah kita. 1 Kor 9:27 mengatakan, ”Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak”. Bila kita mengatakan sesuatu yang rohani tetapi hidup kita tidak benar, pasti akan ditolak orang. Tetapi bila kita hidup benar, tanpa bicara rohani pun kita akan dihargai orang.

Dalam ayat 11 mengatakan bahwa ada hak penuh untuk memasuki Kerajaan kekal. Jangan diterjemahkan seolah-olah keselamatan dapat lepas, dan kita tidak masuk surga. Dalam terjemahan NIV ‘hak penuh’ ini diterjemahkan dengan “a rich welcome”. Ingat 1 Kor 3, dimana ada orang membangun dengan emas, batu, dan jerami. Orang yang membangun dengan jerami akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam sekam api (misalnya untuk tamat sekolah pun harus didorong-dorong). Oleh sebab itu Petrus berkata, agar bisa bertumbuh di dalam kekudusan kita harus menambahkan iman kebajikan kepada iman, pengetahuan kepada kebajikan, dst, sampai kepada kasih kepada semua orang, dan kita akan disambut dengan a rich welcome. Perhatikan apa yang dikatakan Paulus di dalam 2 Tim 4:7-8 mengenai bagaimana Paulus telah mengakhiri pertandingan dengan baik dan akan memperoleh mahkota yang tidak hanya diberikan kepada Paulus, tetapi kepada semua orang percaya.

Jadi, mari hidup di dalam kekudusan, bertumbuh dan semakin bertumbuh dari hari ke hari. Hal ini penting. Mari kita tanggalkan dosa. More eager untuk hidup di dalam kekudusan.

Soli Deo Gloria !

[Seri Holiness - 02]: Dealing With Temptation

[By: Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div]

Hari ini kita akan belajar seri The Holiness of Life dengan topik Dealing with Temptation- berkemenangan di dalam tantangan/pencobaan.

Mari membuka Kejadian 1:1-23, kisah tentang Yusuf ketika di rumah Potifar. Kita pada umumnya tahu tentang kisah Yusuf ini. Yusuf yang setia pada Allah. Kita bisa tahu informasi tentang Yusuf dari ayat 1-5+6. Pada ayat 1 dikatakan bahwa Yusuf dibeli oleh Potifar dari orang Ismael yang telah membawa dia ke Mesir. Kemudian Yusuf diangkat menjadi budak di rumah Potifar. Ada kata yang menarik dalam kisah ini. Yang pertama adalah kata ‘disertai’ dan yang kedua adalah ‘diberkati’ karena disertai oleh Tuhan. Yusuf yang disertai oleh Allah bukan hanya sekedar pernyataan penulis. Tetapi Potifar, seseorang yang tidak percaya kepada Allah pun bisa melihat bahwa Yusuf disertai oleh Allah (3). Mari kita perhatikan ayat 2, 3, 21-23, semua berbicara tentang Yusuf yang disertai oleh Tuhan dan apa pun yang dilakukannya pasti berhasil. Dalam Penggalian Alkitab, bila ada kata yang diulang berarti punya pesan tersendiri. Ada satu penekanan khusus. Di sinilah penekanan dari penulis kitab ini, bagaimana Yusuf yang selalu disertai oleh Tuhan.

Yusuf adalah seorang yang selalu taat kepada Allah. Selain diberkati oleh Allah, Yusuf juga membawa berkat kepada orang dimana ia hadir. Bila kita berbicara soal The Holiness of Life : Dealing with Temptation, salah satu hal yang mau kita lihat disini adalah bagaimana Yusuf yang disertai Allah membuat hidupnya suci. Yusuf yang disertai Allah dibuktikan dengan satu cara hidup yang suci dihadapanNya dan tidak akan mungkin bila bukan karena kesucian hidupnya, Allah menyertai dia. Bagaimana mungkin Allah hadir dan menyertai bila hidup Yusuf tidak benar. Jadi, kita melihat satu perbandingan bagaimana Yusuf disertai oleh Allah terjadi karena dia hidup benar atau suci.
Bagaimana kesucian itu dipertahankan Yusuf dalam pencobaan yang dihadapinya? Jika kita mengacu pada Yakobus, tidak pernah pencobaan itu datang dari Allah, tetapi dari keinginan manusia itu sendiri dan dari iblis. Bagaiman sikap Yusuf dalam menghadapi pencobaan? Dari ayat 1-6b, kita melihat bahwa Yusuf adalah orang yang beriman, hidupnya benar, seorang yang bertanggung jawab, memiliki paras yang elok dan juga pintar. Tetapi, apa yang dimiliki Yusuf membawa dia dalam situasi dimana isteri Potifar merayunya.

Pada ayat 7 digambarkan bagaimana pencobaan itu terjadi. Isteri yang ditinggal oleh suami karena sibuk, merasa kesepian. Ketika kesepian, dia tertarik pada seorang pegawai yang muda dan mempesona-dialah Yusuf. Dalam kondisi seperti ini, datanglah pencobaan pada Yusuf. Isteri Potifar mengajak Yusuf untuk tidur sama. Apakah pencobaan itu situasional? Bisa iya. Situasionalnya bisa dari isteri Potifar, bisa juga dari Yusuf. Karena rumah itu seringkali sepi, dimana hanya ada Yusuf dan isteri Potifar. Suasana mendukung, keadaan sangat kondusif untuk melakukan dosa. Ketika pencobaan ini tejadi pada Yusuf, perhatikan bahwa (1) pencobaan itu bukan datang dengan selevelnya Yusuf, (2) Pencobaan itu justru datang dari bos/majikan kepada anak buah. Sangat sulit menolak hal ini. (3) Pencobaan itu erat sekali dengan kebutuhan orang muda, yaitu masalah seks. Pada zaman sekarang, salah satu cara iblis yang paling besar menghancurkan kaum muda adalah seks, dan inilah yang dihadapi Yusuf. Setelah ia mengalami pencobaan itu, perhatikan ayat 8, bagaimana respon Yusuf. Yusuf berani menolak dengan tegas. Yang ditolak Yusuf bukan anak buah, melainkan majikannya. Sering sekali orang jatuh dalam pencobaan di tengah-tengah profesi ketika yang memberi perintah adalah bos. Karena ia takut kehilangan pekerjaan atau karirnya akan terhambat, maka ia takut menolak apa yang diperintahkan oleh bos. Tapi Yusuf berani menolak godaan iblis melalui sang majikan. Salah satu cara bagaimana kita bisa menang dan hidup suci dalam pencobaan adalah berani menolak dengan tegas. Walaupun perintah tersebut tersebut datang dari bos, jika perintah untuk berbuat dosa maka harus ditolak.

Mari kita perhatikan ayat 8 dan 9. Dalam bagian ini, salah satu hal yang membuat Yusuf menang dari pencobaan adalah dia sadar batas kuasa dan wewenangnya. Mari kita belajar dari Yusuf. Mari belajar batas kita sendiri. Sering sekali sesama pegawai itu tidak mengenal batas. Candanya juga tidak tahu batas. Mula-mula hal-hal porno dalam candanya hanya sekilas, lama kelamaan semakin parah. Jatuhnya manusia ke dalam dosa tidak pernah terjadi secara cepat. Cara iblis membuat manusia jatuh ke dalam dosa mirip dengan fenomena kodok rebus. Ketika kodok dimasukkan ke dalam air mendidih, kodok itu akan melompat. Tetapi ketika ia dimasukkan ke dalam air dingin dan dipanaskan dengan perlahan, maka kodok itu berdadaptasi dan tanpa sadar kodok itu menuju kematian. Inilah cara iblis merasuki kita. Kita harus memiliki batas dan dalam pergaulan juga kita harus tahu batas. Apapun bisa terjadi kepada kita di kota besar ini. Karena itu kita harus berhati-hati. Seperti Yusuf yang berani dengan tegas menolak, termasuk dari majikannya sendiri. Ia juga tahu batas dan wewenangnya dan kekuasaannya. Bila kita tidak mengenal batasan kita, segalanya bisa kacau.

Hal berikutnya yang membuat Yusuf dapat menang dari pencobaan adalah dia tahu bahwa hal itu adalah dosa dihadapan Allah. Sering sekali kita melihat sesuatu itu dosa, tapi semakin kita larut di dalamnya, standar dosa itu berkurang dan semakin lama kita melihat bahwa sesuatu itu tidak dosa lagi. Bila kita tidak sadar dari awal tentang dosa, cepat atau lambat pandangan kita akan semakin kabur melihat dosa. Ingat, orang yang rohaninya benar melihat yang abu-abu itu gelap, tetapi orang yang rohaninya kacau, melihat yang abu-abu itu putih. Bersyukurlah bila kita masih memiliki ketajaman rohani, melihat sesuatu itu dosa dan tidak melakukannya. Yusuf menang dari dosa, dan dia bisa hidup suci karena dia dengan tajam dapat melihat bahwa sesuatu itu dosa. Apakah kita sebagai alumni semakin tajam melihat dosa atau semakin kabur sehingga semakin banyak kompromi terhadap dosa. Untuk melihat sesuatu itu dosa, jangan bandingkan diri saudara dengan orang lain. Tetapi bandingkanlah diri saudara dengan Yesus Kristus. Sadarlah bahwa itu dosa dan dengan segera meninggalkannya. Karena itu latihlan kepekaan rohani saudara.

Pada ayat yang 10 kita dapat melihat bagaiman iblis melalui isteri Potifar tidak pernah lelah untuk menggoda Yusuf. Jika hanya digoda sekali, mungkin kita bisa menang. Tapi bagaimana bila digoda berkali-kali untuk berbuat dosa, apakah masih bisa bertahan? Yusuf bertahan. Ketika pencobaan berulang-ulang datang kepadanya, Yusuf tetap tegar. Pencobaan materi, seks, ataupun jabatan, sangat besar penga- ruhnya bagi kita, oleh karena itu mari kita menjaga kesucian dengan hidup yang tegar. Bandingkan dengan Tuhan Yesus, pada saat Ia selesai berpuasa selama 40 hari 40 malam. Ia langsung dicobai oleh iblis di padang gurun selama tiga hari. Pencobaan pertama pada saat itu adalah ketika iblis mencobai Yesus untuk mengubah batu jadi roti karena Tuhan Yesus lapar. Tetapi Yesus menolak dan berkata bahwa manusia tidak hidup dari roti saja, tetapi dari Firman Tuhan. Bila lagi kenyang, bila dikasi makanan kita pasti akan segera menolak. Tetapi Yesus yang baru puasa tidak mau dicobai iblis. Tuhan Yesus menolak. Bila sebulan setelah wisuda, kita akan memilih pekerjaan yang paling cocok dengan kita. Tetapi bila sudah lima tahun menganggur, kita akan menerima pekerjaan walaupun dengan terpaksa dan dengan cara yang tidak baik juga. Jika kita belum dalam situasi yang terjepit, maka kita dengan gampang dapat menolak, tetapi ketika terjepit (secara ekonomi, karir, seks) kita akan bergumul untuk menolak. Mari kita belajar dari Yusuf dan Yesus, tegar dan berani untuk menolak. Iblis tidak akan diam. Iblis mungkin mengatakan Allah mana Tuhan kita. Bila kita punya Tuhan kenapa kita belum dapat jodoh, atau dengan banyak tuduhan lainnya. Hal ini bisa menyebabkan kompromi. Ada banyak orang demi karir dan uang dicobai oleh iblis dan akhirnya kesuciannya tidak terpelihara. Yusuf tetap tegar walaupun berkali-kali dicobai.

Pada ayat yang ke 11 dan 12 kita melihat, walaupun diterpa berbagai pencobaan, Yusuf tidak lupa tugasnya. Selama masih diperkenankan, Yusuf terus bekerja keras, tanggungjawabnya tidak diabaikannya. Mungkin anda mendapatkan cobaan dan tekanan di kantor anda, tetapi mari menang dari dosa tetapi tidak lalai dalam mengerjakan tugas kita. Yusuf melakukan hal ini. Situasi pada saat itu sepi, dan Yusuf sendiri sedang mengerjakan tugas, dan hanya Yusuf dengan isteri Potifar di rumah. Lalu isteri Potifar kembali menggoda Yusuf. Tetapi Yusuf lari, dan meninggalkan bajunya yang dipegang isteri Potifar. Anda bisa bayangkan bila Yusuf tidak lari? Ia akan dipeluk isteri Potifar dan jatuh ke dalam dosa. Bila ingin menang dari pencobaan dan hidup suci, lari tinggalkan dosa. Dalam doa kita selalu berkata agar kita dijauhkan dari pencobaan, tetapi seringkali kita menghampiri pencobaan tersebut. Bila kita tidak berani lari dari dosa, kita akan kalah. Yusuf lari dan tidak menggunakan kesempatan untuk berbuat dosa. Ini yang harus kita lakukan bersama-sama. Matius 26:41 mengatakan agar kita berjaga-jaga dan berdoa agar tidak jatuh ke dalam pencobaan. Ketika muncul maksud jahat, berdoa. Ada tekanan untuk berbuat dosa, berdoa. Dosa adalah penghalang doa dan doa adalah penghalang dosa. Jika kita ingin doa kita didengar jangan berdosa. Bila kita ingi menang dari dosa, maka berdoa.

Yusuf yang setia kepada Allah, yang menjaga kesuciannya demi ketaatan dan hidup suci di hadapan Allah, menang dari pencobaan, bersedia menerima segala konsekuensinya, yaitu menjadi korban fitnah dan masuk penjara.

Sebenarnya Yusuf bisa mendapat hal-hal yang menyenangkan. Misalnya, menikmati kesenangan secara biologis dari isteri Potifar, diberi kemewahan dalam hal materi dari isteri Potifar, Yusuf tidak kehilangan pekerjaan, dan tidak masuk penjara. Minimal ada empat hal ini yang dapat dinikmati oleh Yusuf bila dia mau berbuat dosa. Tetapi Yusuf tetap hidup suci meski harus membayar harga.
Dalam ayat 21-23 kita melihat bagaimana Yusuf disertai Tuhan. Dia berhasil, diberkati, termasuk di penjara. Tetapi ada pesan yang dapat kita lihat dari ayat 21-23 ini, yaitu orang yang hidup suci adalah orang yang rela menderita asal bersama Tuhan. Yusuf rela menderita, difitnah asalkan bersama dengan Tuhan. Apapun konsekuensi dari penderitaan yang kita alami, yang penting adalah kita tidak dtitinggalkan oleh Tuhan Yesus. Lebih baik tidak menikah, tidak kaya, putus dari pacar, asal bersama dengan Tuhan.

Oleh sebab itu bila kita tergoda, ada pencobaan melalui pikiran, mata, pende- ngaran ditengah-tengah profesi kita, ingat lah Yusuf yang tetap tegar dan menjaga kesucian. Bila kita membiarkan diri kita jatuh ke dalam dosa maka kita akan menjadi murahan. Kita, engkau dan saya ditebus dengan mahal, berharga dengan tebusan darah Kristus. Jangan sembarangan menceburkan diri kita ke dalam dosa.
Soli Deo Gloria!

[Seri Holiness 01]: The Meaning of Holiness

[Kotbah ini merupakan bagian pertama dari seri Holiness yang dibawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div]

Topik pada seri kekudusan yang pertama pada hari ini adalah The Meaning of Holiness. Kekudusan yang akan kita pelajari tidak akan menyinggung mengenai the Holiness of God, tetapi lebih banyak berbicara mengenai kekudusan umat Allah.

Dalam bahasa Ibrani, kata kudus, kekudusan, dan kesucian bisa berarti dua hal. Pertama, dipisahkan, dikhususkan untuk Allah. Hal berbicara dari segi posisi, status, dan satu hal, bisa manusia, benda, dan acara. Jadi artinya, dalam bahasa Ibrani ini diterjemahkan dengan pemahaman ada satu tindakan Allah yang mengkhususkan atau memisahkan satu status seseorang bagi Dia untuk kehormatan dan kemuliaanNya. Kedua, adalah kesucian dan kecermelangan, yang berarti satu keadaan yang progresif atau proses dari hari ke hari semakin bertumbuh dan lebih baik. Ini menuju pada satu kesempurnaan.

Jadi mengacu pada pemahaman yang pertama dari arti kudus atau kesucian, bila kita mau lihat dalam konteks PL, itu bisa sesuatu atau seseorang yang dikuduskan (dikhususkan) oleh Allah. Misalnya, setelah Allah menciptakan, maka Allah berkata: “Kuduskanlah hari Sabat”. Jadi Sabat dikhususkan bagi Allah. Inilah dalam arti yang pertama. Jadi kekudusan, yang dikatakan pemisahan atau dikuduskan bagi Allah, salah satu contohnya adalah hari Sabat. Ini adalah pemahaman yang pertama. Mari perhatikan disini! Jangan dianggap ada perbedaan antara kekudusan dalam PL dan PB. Hanya saja di dalam PL lebih mengarah kepada seremonial dan ritual, oleh sebab itu sangat sarat dengan benda-benda, tempat, dan waktu. Oleh sebab itu di dalam Keluaran 3, ketika Musa berada di gunung dan bertemu dengan Allah, Allah berkata : “Jangan masuk, tanggalkan dulu kasutmu, karena tempat ini kudus.” Artinya ada satu pengudusan oleh Allah. Dalam Kel 12 juga ada konteks kekudusan dimana setelah Allah membebaskan Amat Israel, maka Allah mengatakan bahwa umat itu adalah satu yang sakral, suci, umat Allah, yaitu Israel yang dipisahkan dan dikhususkan oleh Allah (band Imamat 11:44). Mari kita perhatikan sifat yang kedua dari kekudusan, yang dikatakan satu pencerahan atau kecemerlangan atau kesucian atau penyucian. Kalau kita lihat walaupun di PL sangat sarat dengan hal-hal yang menyangkut acara, tempat atau sesuatu dalam konteks ritual atau ceremonial, tetapi hal itu tidak mengabaikan kekudusan batiniah yaitu hati dan hidup. Oleh karena Allah yang transenden dan immanen, maka kekudusan menuntut orang yang percaya kepadaNya harus hidup dengan tuntutan yaitu status hidup yang kudus. Jadi artinya, agar Allah yang immanen dan transenden, dan suci itu, bisa memiliki satu relasi yang baik kepada umatNya, atau umatNya untuk bisa datang kepadaNya, atau untuk dekat kepadaNya, maka manusia atau umat Allah harus hidup di dalam kekudusan. Itu sebabnya kalau kita perhatikan di dalam Mazmur 24 ; 3-4, pemazmur mengatakan bahwa orang yang bisa naik ke gunung Tuhan dan tempat kudus adalah orang yang murni hatinya. Jadi Allah yang kudus itu, walaupun ada sifat seremonial di dalamnya, tetapi juga sekaligus menuntut kesucian batiniah. Hal ini sangat penting. Maka di sepanjang PL, Allah sangat murka ketika Israel berdosa. Allah menyatakan hukumanNya ketika Israel melanggar kebenaran Firman Allah. Itu sebabnya seluruh aspek hidup umat Allah di dalam PL sama dengan konteks PB. Allah menuntut suatu hidup yang kudus. Jadi semua hal yang mereka lakukan bersifat kultus, artinya ada sesuatu yang dikhususkan bagi Allah. Ini adalah konteks PL.

Di dalam PB, walaupun dikatakan sama dengan yang di PL, ada beberapa penekanan. Pertama, kata kerja menguduskan dalam PB sama sifatnya dengan yang di PL, yaitu bersifat seremonial dan ritual pun dianggap sebagai cara untuk hidup di dalam kesucian. Artinya bukan berarti tindakan ritual di dalam PB tidak dianggap suci. Hanya ada beberapa perbedaan. Bila kita perhatikan apa yang dilakukan di PL itu banyak sebagai tuntutan hukum taurat, tetapi di dalam konteks PB, hal itu adalah sebagai ungkapan daripada anugerah yang telah dialami umat Allah. Hal-hal seremonial yang kultus di PLadalah sebagai cara manusia untuk menghampiri Allah, untuk kegenapan taurat. Tetapi di dalam PB hal itu adalah sebagai ungkapan atas anugerah Allah yang telah mebenarkan mereka. Kedua, kata kekudusan di dalam PB dimengerti atau dihubungkan dengan dua hal. Pertama adalah pembenaran dan kedua berbicara tentang kesucian atau penyucian.

Bila kita berbicara soal pembenaran, dalam konteks PB, kata dibenarkan dan dikuduskan itu sejalan. Benar dan suci juga sejalan, satu arti. Maka dalam telogia PB, Paulus sangat menekankan hal ini. Maka kekudusan yang dipandang oleh Paulus yang pertama itu adalah tindakan Allah yang membenarkan ataupun umat Allah yang dibenarkan oleh Allah di dalam Kristus. Bila kita perhatika dalam I Kor 1:2, ”...yaitu mereka yang dikuduskan dalam Yesus Kristus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus...” Perhatikan kalimat ’mereka yang dikuduskan’ dan ’ dipanggil menjadi orang-orang kudus’. Jadi secara teologia, orang yang ’lahir baru’, yang sungguh-sungguh percaya kepada Kristus adalah orang yang suci dihadapan Allah. Kita adalah orang yang kudus, dibenarkan dan dikuduskan oleh Allah. Jadi pengertian kata kekudusan atau the holiness of life adalah, yang pertama adalah dalam status, orang yang percaya di hadapan Allah, adalah orang yang kudus.

Mari kita lihat bagaimana kekudusan itu terjadi. Paulus menggambarkan pembenaran yang ada di dalam Kristus sekaligus seperti seperti yang ada pada I Kor 1:2 tadi. Disana dikatakan bagaimana kekudusan/pengudusan itu terjadi di dalam Kristus. Tetapi perhatikan hal selanjutnya ’dipanggil menjadi orang-orang kudus’, artinya kekudusan berdasarkan pda satu panggilan Allah. Itu sebabnya bila kita perhatikan, kita ini adalah orang-orang kudus, tetapi sekaligus belum kudus. Jadi secara status di hadapan Allah, kita ini adalah orang-orang kudus karena kita sudah dibenarkan dan disucikan oleh Allah, orang yang benar yang hidup di dalam kesucian oleh Allah. Mungkin kita pernah mendengar kalimat bahwa kekudusan umat Allah atau orang yang telah lahir baru adalah kekudusan yang already but not yet - sudah tetapi belum. Artinya secara status kita sudah benar dan suci. Oleh sebab itu Paulus berkali-kali mengatakan di dalam suratnya kepada orang suci, umat Allah,orang kudus yang berada di dunia. Hal ini menimbulkan pertanyaan. Bisakah mereka dikatakan kudus padahal masih di dunia? Bisa, secara status kita adalah orang yang kudus, tetapi belum. Di dalam pemahaman inilah kekudusan menjadi milik semua orang percaya. Setiap orang yang sudah lahir baru adalah orang yag sudah kudus di hadapan Allah melalui Yesus Kristus.mari kita lihat I Kor 1:30b, ”Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita.” Artinya kekudusan, yang pertama, hanya bisa terjadi di dalam Allah melalui pembenar atau penyucian. Inilah yang disebut dengan Positional Santification. Karena pembenaran dan pengudusan maka kita bisa diselamatkan dan bisa datang kepada Allah. Oleh pembenaran itu jugalah kita memiliki jaminan keselamatan. Kekudusan di dalam positional santification sifatnya monergis, artinya mutlak karya dan perbuatan Allah. Jadi apa yang Allah kerjakan bagi kita secara monergis, membuat kita jadi orang suci. Bila kita berdosa setiap hari, kita memiliki status bahwa kita ini adalah orang yang telah disucikan oleh Allah. Dan hal ini terjadi bukan terjadi karena usaha kita. Mari kita perhatikan Roma 3:24, dikatakan dibenarkan oleh kasih karunia secara Cuma-Cuma melalui iman di dalam kasih. Dalam ayat ini juga dikatakan bahwa kita dibenarkan karena kasih karunia dan itu sifatnya cuma-cuma dan terjadi di dalam Kristus. Inilah yang disebut dengan positional santification. Tetapi jangan salah, bila kita perhatikan di dalam hal yang berikutnya, PB juga menekankan pada kesucian atau perubahan moral dan spritual sebagai satu panggilan Allah. I Petrus 1;15 mengatakan ”hendaklah kamu kudus di dalam hidupmu sama seperti Dia yang kudus,...”

Yang kedua arti kekudusan dalam PB adalah ada satu perubahan spritual dan moralitas. Kepada jemaat di Tesalonika (I Tes 4:3), Paulus menekankan agar mereka menguduskan atau berusaha untuk hidup kudus dan menjauhkan segala pencemaran. Apa yang mau dikatakan Paulus artinya adalah satu hal. Kekeudusan atau hidup yang kudus secar status seharusnya disertai dengan gaya hidup yang suci secara etis. Yang mau ditekankan disini adalah ada satu penyucian hidup dari hari ke hari secara praktis yang didasarkan kepada penyucian secara posisi di hadapan Allah. Supaya ada kesejajaran antara status yang sudah suci dengan status yang masih dalam proses penyucian. Sering sekali orang menikmati kesucian secara status tetapi kurang menikmati kesucian di dalam progres dari hari ke hari. Oleh sebab itu, di dalam PB, dua hal ini ditekankan sekaligus. Bil agaka kita sudah dikuduskan oleh Allah, maka harus ada kekudusan yang progresif dari hari ke hari. Alkitab tidak menuntut kekudusan legalis, seremonial, dan fenomena. Alkitab justru menuntut kekudusan yang freewill, statusnya yang kudus dan hidupnya yang kudus.

Bila kita perhatikan, terkadang agak sulit membedakan mana yang Kristen dan yang tidak di dalam keseharian kita. Dimana yang salah? Kekudusan dalam arti penyucian. Artinya ketika kita mengaku sebagai seorang yang telah dibenarkan dan lahir baru, tetapi tidak masuk dalam satu proses penyucian atau kekudusan yang kedua dalam arti progresif. Di sinilah banyak anak Tuhan yang gagal, termasuk alumni. Itu sebabnya kekristenannya fenomena. Terkadang yang kita rubah adalah otang yang tidak berdoa jadi berdoa, tidak saat teduh jadi saat teduh, tidak ke gereja jadi kegereja tetapi esensi hidup bisa dikatakan hampir tidak berbeda. Bila ini terjadi, akan menjadi sesuatu yang sangat membahayakan. Di dalam teologi PB, Allah menekankan dua sisi ini, yaitu kekudusan yang berarti pembebasan dari kuasa dosa dan disinilah pentingnya dimensi etis. Jangan heran bila banyak orang dari segi teologianya bagus tetapi etika hidupnya tidak bagus, cara bicara, pacaran, kerja, dll. Ini bukti satu kegagalan kesucuian dalam arti yang progresif. Yang mau ditekankan adalah progressive santification.

Progresif Santification ini bersifat sinergis artinya ada keterlibatan/kerjasama antara Allah dengan kita. Walaupun untuk berkemenangan dari dosa, itu pun adalah anugerah Allah. bila kita perhatikan di dalam Fil 2:13 bahwa Allah yang mengerjakan di dalam kita. Jadi untuk menang dari dosa, itu adalah anugerah Allah, tetapi sinergis, artinya anda dan say tidak pernah menang dari dosa manapun jika kita tidak memiliki komitmen, ambisi, penyerahan, dan mau menyangkali diri. Kenapa orang selalu gagal dalam hal perubahan karakter, cara hidup, dsb, salah satu dan yang utama adalah tidak mau mati untuk keakuan. Selalu PA, pelayanan, tetapi hidupnya tidak berubah. Bukannya hidupnya makin indah di hadapan Allah. Kekudusan yang dimaksud oleh Allah adalah kekudusan yang pararel antara yang positional dengan yang progressive. Jadi pembenaran dan penyucian sejalan dan beriringan atau penyucian menyempurnakan pembenaran yang sdah dilakukan oleh Allah, agar sejalan dengan apa yang dialami oleh orang percaya. Bila kita perhatikan di negara ini, orang sering bila berbicara menggunakan nama Tuhan, tetapi apakah ketika dia berbicara dan menyebut nama Tuhan di dalamnya maka di memiliki hidup yang suci? Belum tentu. Makanya progressive sanctification sangat dibutuhkan dan ini khususnya bagi kita yang percaya kepada Kristus, agar kita bisa hidup di dalam kesucian yang sesungguhnya dan ini berbicara tentang hidup sehari-hari. Dalam progressive sanctification, kita berjuang melawan kedagingan, iblis, dan pencobaan. Kadang-kadang kita kalah. Karena itu, Paulus di dalam kitab Roma 7 mengatakan bahwa manusia batinlah yang ebrjuang untuk benar, tetapi manusia daging dapat ditaklukkan. Memang di dalam progressive sanctification ini, mau tidak manusia harus berjuang. Tidak ada satu orang pun yang menang tanpa perjuangan.

Itu sebabnya kehidupan Kristen itu seringkali fluktuatif. Kadang ada masa dimana kita menang, tetapi ada juga masa dimana kita lemah dan kalah. Tetapi ingat ada satu pengudusan progresif yang menjadikan kita suci. Ingat, jika dalam kesucian arti suci dalam konteks pembenaran, terjadi sekali utnuk selamanya. Tetapi kekudusan dalam artian penyucian yang progresif, tidak akan pernah sekalipun sempurna kecuali setelah kita bertemu dengan Tuhan Yesus (I Yoh 3:2-3). Itu sebabnya orang yang menaruh pengharapan kepadaNya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci. Pada ayat ketiga ada satu dorongan dan pengajaran agar kita hidup dalam kesucian dari hari ke hari. Tetapi semua akan sempourna bila kita telah bertemu dengan Yesus.

Sejauh manakah ruang lingkup dari dari kesucian?
Kekudusan bersifat total, bukan segmental atau parsial. Tetapi kekudusan secara menyeluruh dan totalitas diri, artinya semua aspek kehidupan kita telibat dan harus ikut di dalamnya.
Jadi yang pertama adalah soal renewal of mind. Bila kita perhatikan Roma 12;2 mengatakan bahwa akal budi yang tujukan kepada Kristus adalah cara hidup yang suci dari pikiran-pikiran. Bila kita perhatikan, kenapa Paulus menekankan soal renewal of mind ini adalah karena sangat besar pengaruhnya. Apa yang dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga akan menghasilkan apa yang akan kita pikirkan. Jadi kita harus menundukkan pikiran kepada Kristus (Fil 4:8). Seorang filsuf berkata bahwa bila seseorang dapat menguasai pikirannya, maka dia akan menguasai hidupnya. Yang kedua, Yesus berbicara tentang renewal of hearts. Di dalam Mar 7:21-23, dikatakan bahwa dari dalam hati timbul segala perbuatan. Makanya dua hal ini sangat penting dalam progressive santification di dalam hidup suci. Kita harus menjaga kesucia hati. Beriman itu adalah hati, jadi perlu da penting sekali menundukkan hati kepada Kristus. Bagaimana kita menun dukkanhati kita kepada Kristus? Ini bukan teori, tetapi latihan yang sungguh-sungguh. Yang ketiga adalah the whole body. Dalam I Kor 6:13b, dikatakan bahwa tubuh ini untuk Allah bukan untuk kenajisan atau percabulan. Karena itu pada ayat 19-20 ditekankan bahwa tuguh adalah bait Allah. Kerena itu juga kita harus memuliakan Allah dengan tubuh kita. Sejauh mana kita memahami kesucian dalam arti seluruh tubuh?

Kita tidak memiliki standar ganda. Bila hari minggu atau MBA, kita hidup benar tetapi pada hari lain kita kembali ke ‘habitat’ kita masing-masing. Oleh sebab itu ada satu totalitas being gradually transformed di hadapan Allah. secara gradual kita di transformasi, dirubah, diperbaiki setiap hari. Mengetahui banyak khotbah, atau memimpin banyak kelompok PA tidak identik dengan kekudusan. Tetapi kekudusan mengubah hidup dan dimensi etis. Kita akan menjadi umat Allah yang suci yang tidak bercela dan bernoda di hadapan Allah (Ef 5:27). Bila kita menguduskan diri kita dari hal-hal yang jahat, Allah sekaligus menguduskan kita dan disinilah Allah memakai kita sebagai alat atau perabot untuk tujuan yang mulia. Karena itu, mari kita berusaha dan berambisi untuk hidup suci. Bagaimana cara menikmati kesucian? Mengacu kepada pada Mark 8:36, ada dua hal, yaitu: (1) Self Denial, mati untuk keakuan dan hidup bagi Kristus, (2) Rela hidup menderita karena kebenaran. Tetapi semuanya dirangkumkan dalam Gal 5:24-25, ”Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh.” Hidup oleh Roh itu lahir baru dan berbuah kepada kebenaran. Hidup oleh Roh itu belum tentu hidup dipimpin oleh Roh. Tidak mungkin orang yang dipimpin oleh Roh sakit hati, pikiran kotor, dll. Kekudusan hanya bisa terjadi bila kita menundukkan, menyerahkan diri pada pimpinan Roh. Karena itu the holiness of life akan terjadi bila kita yang sudah hidup oleh Roh mau hidup dipimpin oleh Roh.

Soli Deo Gloria!

Faith@Work - 04: Market Place Ministry

[Kotbah ini dibawakan oleh Ir. Indrawaty Sitepu, MA pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat 11 Mei 2007]

Ada dua mandat yang diberikan Allah bagi kita, yaitu:
1. Mandat Budaya (Kej 1 : 27-28).
2. Mandat Keselamatan ( Mat 28 : 19-20)

Dalam pertemuan sebelumnya kita telah membahas bagaimana menuntaskan mandat budaya dalam bekerja, apapun pekerjaan atau profesi kita. Tapi kita bukan hanya sekedar bekerja dengan baik, karena sesungguhnya kita semua masih mempunyai satu mandat lagi dari Allah yang tidak boleh kita lupakan yaitu mandat keselamatan.

Mari kita lihat Kis 17 : 16-34.
Kisah ini akan dibagi menjadi tiga bagian :
Pertama, Paulus sangat sedih hatinya karena kota itu penuh dengan patung-patung berhala (ay 16). Kedua, Bagaimana Paulus mengerjakan mandat keselamatan (ay 17-31) dan ketiga adalah respon para pendengar (ay 32-34)

Ad 1 Paulus sangat sedih hatinya karena kota itu penuh dengan patung-patung berhala (ay 16)

Paulus pergi ke Atena dan ia meminta agar Silas dan Timotius menjumpai ia di sana selekas mungkin (Kis 17:14-15). Paulus tiba di Atena kelihatannya dengan kondisi fisik yang lelah. Karena pelayanan dan permasalahan yang dihadapinya. Tetapi dalam kelelahannya dia tidak “menikmati” kota Atena yang indah itu. Paulus tidak memandang patung-patung ukiran-ukiran Pheideas yang sangat indah. Hal itu tidak menjadi fokusnya. Kota itu juga merupakan kota kelahiran demokrasi dan pusat intelektual dunia purba. Tetapi kota yang sangat “bergengsi” itu, Paulus melihatnya dengan cara yang berbeda. Justru Paulus bersedih, bahkan sakit hati melihat kota itu penuh dengan berhala-berhala, melihat mereka menyembah tuhan yang salah. Sama seperti kondisi yang terjadi di negara kita. Negara ini adalah negara yang religius. Banyak kegiatan dan symbol-simbol religius. Tetapi apakah benar bahwa tuhan yang disembah di negara ini adalah Tuhan yang benar? Bagaimana kita memandang hal ini, Bila Paulus memandang kota Atena dengan perasaan yang sedih, bagaimana kita memandang Negara, kota medan kita ini?

Ad 2 Bagaimana Paulus mengerjakan mandat keselamatan (ay 17-31)
Pada bagian yang kedua ini kita melihat bagaimana di kota itu, Paulus bukan saja bertukar pikiran dengan orang Yahudi di rumah ibadat, tetapi juga dengan orang-orang Atena di pasar (Market Place) yaitu Agora, yakni pusat keramaian kota Atena, dimana ia berdebat dengan pengikut-pengikut dua aliran filsafat penting di kota itu yaitu Epikuros dan Stoa. Sebenarnya banyak aliran-aliran penting di kota itu. Oleh sebab itulah banyak orang dari kota lain yang datang ke kota ini untuk belajar filsafat. Diantaranya aliran Epikuros dan Stoa lah yang dianggap terpenting.
Aliran Epikuros mengajarkan bahwa kebaikan tertinggi adalah mencari kesenangan, sedangkan aliran Stoa mengajarkan bahwa kebaikan tertinggi adalah mencukupkan kebutuhan diri sendiri. Pada bagian ini kita dapat melihat Paulus memakai pendekatan yang berbeda dari yang biasa dia gunakan (ay 22-31) karena orang-orang Atena tidak memiliki latar belakang Yahudi atau Alkitab sama sekali. Caranya mirip dengan cara yang dipakainya kepada orang-orang kafir di Listra (Kis 14 : 15-17). Kalau pada orang Yahudi, Paulus memulai dari Perjanjian Lama dan menerangkan bagaimana janji-janji didalamnya telah dipenuhi dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus. Tetapi di Atena, ia mulai dari pandangan Yunani tentang Allah sebagai pencipta dan pemelihara serta kehadiranNya di dalam alam semesta. Kemudia Paulus berbicara tentang bagaimana manusia mencari Allah walaupun IA tidak jauh dari kita masing-masing (ay 27). Sebuah pernyataan yang didukungnya dengan mengutip dua pujangga Yunani yaitu, Epimenides dan Aratus. Paulus mencoba melayani orang-orang di Market Place berbeda dengan orang-orang di rumah-rumah ibadat/ kepada jemaat. Setelah memakai cara berpikir mereka sebagai jalan, ia juga memulai dengan apa yang ada di depannya. Ia mulai dengan tulisan “kepada allah yang tidak dikenal”. Dia memakai istilah yang dekat dengan pemahaman mereka. Kemudian Paulus menyatakan tujuannya supaya Allah yang tidak dikenal itu menjadi mereka kenal. Menarik! Paulus begitu cerdas dan hati-hati tetapi begitu sistematis dan mengikuti alur berpikir dan apa yang biasa mereka pahami di tempat itu. Setelah mengutuk penyembahan berhala, Paulus melanjutkannya dengan ajakan untuk bertobat dan menyembah satu-satunya Allah yang sejati (ay 30). Ia tegas. Hal ini sangat penting juga bagi kita. memang hubungan/relasi dengan teman sekerja di kantor itu penting dan perlu dijaga tetapi bukan berarti kita bisa kompromi akan kebenaran. Kebenaran adalah kebenaran mau dengan siapapun atau dimanapun kita berada.

Ad 3 Respon para pendengar (ay 32-34)
Pada bagian ini kita melihat respon pendengar. Ada yang menolak dan ada yang menerima. Respon seperti ini akan selalu kita jumpai dari abad ke abad. Bahkan ketika Yesus berkotbah semasa hidupnyapun hal seperti ini terjadi. Bila kita mengerjakan hal-hal seperti ini dan orang menolak, jangan putus asa.

Mengapa Market Place Ministry harus ada, mengapa kita harus memberitakan injil di kantor kita, mengapa tidak cukup hanya bekerja dengan baik atau kita dikenal sebagai orang yang baik? Pertama, karena mandat yang datang dari Allah yaitu mandat keselamatan. Kedua, karena ini adalah ladang yang strategis dan potensial. Waktu terbaik, kondisi terbaik dari seseorang adalah pada waktu kerja yaitu pagi sampai sore/malam. Hasil penelitian menunjukkan banyak orang yang datang kepada Tuhan bukan karena pendetanya melainkan teman/rekan sekerja mereka.

Sebagai perbandingan mari kita melihat contoh lain yang unik. Mari kita lihat kisah Ester dalam Ester 4:15-16. Pada bagian ini kita melihat bagaimana Ester berbeda dengan Paulus. Pada paulus kita bisa melihat bagaimana bebannya itu muncul dari dalam dirinya sendiri ketika melihat kota yang penuh dengan patung berhala. Ester berbeda. Ia takut dan ingin menyelamatkan diri sendiri (Ester 4:10-11). Lalu Mordekhai mendorong Ester dan menantang dia ( Ester 4:13-14). Akhirnya Ester berkata”…kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati…”. Seorang yang penakut akhirnya mau memberikan nyawanya.

Saudara, saya tidak tahu kita tipe yang mana, apakah seperti Paulus yang langsung memiliki beban dari dalam atau seperti Ester seorang penakut (awalnya) yang memerlukan peran seseorang (dalam hal ini Mordekhai) untuk mendorong, menantang, dan mendukung dirinya.

Mari kita refleksikan kedua tokoh ini.
• Paulus
o Melihat sekitar dengan nilai kekekalan ( Kehebatan dunia VS Hatinya sangat bersedih karena berhala)
o Berupaya sedemikian rupa supaya orang-orang mengerti Firman dan menyembah satu-satunya Allah yang sejati.
o Menyerahkan kepada Allah respon dari pendengar apakah menerima atau menolak.
• Ester
o Takut dan ingin menyelamatkan diri-sendiri, tetapi akhirnya mau berkorban nyawa demi keselamatan bangsanya.
o Pentingnya peran orang-orang di sekitar seperti Mordekhai, yang terus mendorong, menantang, dan mendukung.

Soli Deo Gloria !

Faith@Work - 03: OverComing Office Politic

[Kotbah ini dibawakan oleh Ir. Indrawaty Sitepu, MA dalam MBA]

Tempat yang aman dan nyaman bagi kita, anak-anak Allah adalah bersama-sama dengan Dia, Bapa kita di surga. Tetapi mengapa Allah menempatkan bahkan mengutus kita di tengah-tengah dunia ini? Bukankah pasti akan banyak pergulatan atau pergumulan? Pergulatan yang terjadi akibat ketegangan antara kebenaran dan nilai-nilai hidup surgawi yang kita pegang dengan arus dunia yang melawan nilai-nilai tersebut.

Kesulitan dan pergumulan di dalam dunia kerja sudah ada sejak dahulu. Masing-masing zaman memiliki kesulitan dan tantangan sendiri. Oleh karena itu setiap tantangan harus dihadapi dan dimenangkan. Kita sangat bersyukur kepada Tuhan dengan contoh yang ada di Alkitab yang bisa kita pelajari dan menjadi teladan bagi kita. Hal inilah yang akan kita pelajari bersama saat ini, bagaimana seorang manusia yang sama dengan kita, memiliki kelemahan dan kelebihan, tidak sempurna, tetapi mampu memenangkan setiap pergumulan dalam dunia kerjanya. Dia adalah Daniel.

Sebelum melihat sosok Daniel lebih jauh, mari kita melihat kondisi latar belakang dunia/lingkungan kerja Daniel di Babel. Ketika Daniel di Babel, namanya diganti menjadi Beltsazar yang merupakan nama Dewa di Babel (ay 7). Bukan hanya itu saja, makanan yang dihidangkan adalah makanan yang terlebih dahulu dipersembahkan untuk dewa. Kita bisa bayangkan pasti banyak hal lain lagi seperti orang-orang, suasana, sistem yang pasti berbeda dengan dunia Daniel sebelumnya. Dengan keadaan yang demikian sangat mungkin Daniel mengalami culture shock.

Kita akan melihat lebih dekat lagi sosok Daniel dalam Daniel 6:1-29.

1. Integritas, Kualitas, Kapasitas Daniel vs Niat Jahat Rekan Sekerja( ayat 1-6 ).
Raja Darius mengangkat 120 wakil-wakil raja atas kerajaannya. Untuk membawahi mereka diangkat tiga orang pejabat tinggi dan salah satunya adalah Daniel. Kepada mereka bertigalah para wakil-wakil tadi melapor agar raja tidak dirugikan. Pada ayat 4 dikatakan bahwa Daniel melebihi para pejabat tinggi lainnya karena roh yang luar biasa. Oleh karena itu raja bermaksud menempatkan Daniel atas seluruh kerajaannya. Daniel diberi kepercayaan karena kualitas dan kapasitas.

Kemudian para pejabat tinggi itu berusaha menjatuhkan Daniel, tetapi mereka tidak menemukan kesalahan Daniel. Hal ini menunjukkan bahwa Daniel bukan hanya punya kapasitas dan berkualitas tetapi juga berinteg- ritas. Rekan kerjanya tidak menemukan kesalahan apapun pada Daniel kecuali dalam hal ibadahnya.

2. Rencana jahat dituang dalam aksi (ayat 7-10).
Mereka berhasil merancang sebuah undang-undang (yang ditujukan untuk menghancurkan Daniel, tanpa disadari oleh raja), sehingga disetujui oleh Raja sehingga dan tidak dapat dirubah oleh siapa pun, yang isinya melarang rakyat menyampaikan permohonan kepada dewa atau ma- nusia kecuali kepada raja selama 30 hari.

3. Respon Daniel mendengar ancaman itu(ayat 11).
Ia berdoa serta memuji Tuhannya seperti yang biasa ia lakukan, tiga kali sehari. Daniel, seorang yang saleh. Tak tergoyahkan oleh tan- tangan dan hukuman yang menunggu di depannya.

4. Rekan kerja Daniel melanjutkan rencana jahat mereka(ayat 12-14).
Mereka sengaja bergegas untuk mendapati Daniel sedang berdoa kepada Tuhannya, sehingga dengan mudah mereka melaporkannya kepada raja untuk dimasukkan ke gua singa.

5. Respon atasan yang ‘terjepit’ (ayat 15-21)
Raja terjepit karena di satu sisi, raja telah mengeluarkan surat tersebut dan tidak bisa ditarik kembali. Di sisi lain kita dapat melihat bagaimana raja menghargai Daniel. Kira-kira apa alasan Raja sebagai atasan sayang kepada bawahannya Daniel? Keliha- tannya adalah karena Daniel seorang yang setia, dapat diandalkan, bertanggung jawab, berintegritas, bekerja sesuai dengan kapasitas yang ada pada dirinya dan memiliki kompetensi. Raja Darius sedih dan mencari jalan untuk melepaskan Daniel. Menarik sekali, seorang raja yang tidak mengenal Tuhan dapat bersikap seperti ini. Pasti semua ini tidak terlepas dari pemeliharaan Allah, namun hal ini tidak terlepas juga dari hasil kerja dan kesaksian Daniel selama ini. Tetapi karena surat telah dikeluarkan, walau dengan sangat berat, raja harus memberi perintah agar Daniel dilemparkan ke dalam gua singa.

6. Daniel bersaksi lagi akan Tuhan (ayat 22-23).
Daniel menjawab raja “Ya raja, kekallah hidupmu! Allahku telah mengutus malaikatNya untuk menga- tupkan mulut singa-singa itu, sehingga mereka tidak mengapa-apakan aku, karena ternyata aku tidak bersalah di hadapanNya; tetapi juga terhadap tuanku, ya raja, aku tidak melakukan kejahatan.”

7. Dampak perjuangan kemenangan pergumulan Daniel (Ayat 24-29).
Raja bersukacita atas keselamatan Daniel dari gua singa bahkan raja memberi perintah agar mengambil orang-orang yang menuduh Daniel dan mereka dilemparkan ke dalam gua singa, baik anak-anak maupun isteri-isteri mereka. Kemudian raja mengeluarkan surat kepada orang-orang di segala bangsa dan bahasa, yang mendiami seluruh bumi yang isinya agar semua orang harus takut dan gentar kepada Allahnya Daniel, sementara itu Daniel dipercaya untuk posisi yang strategis dan berpengaruh.

Waktu masuk ke dunia kerja di Babel, Daniel mengalami culture shock. Kita juga banyak yang mengalami culture shock waktu memasuki dunia kerja, seperti yang disharingkan kepada saya, baik teman-teman guru, hakim, dokter, bagian marketing, yang kerja di pabrik, dll. Memang dunia kerja, sangat dekat dengan intrik dan arus deras yang melawan nilai-nilai kebenaran yang kita pegang. Jika demikian apa yang harus kita lakukan?

  1. Ingat dan teladanilah Daniel. Ia berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya (Dan 1:8). Hal ini penting karena dimanapun kita bekerja, seharusnyalah kita melakukan trans- formasi, bukan ikut arus dan mena- jiskan diri, karena kita adalah tangan Tuhan menghadirkan kerajaan Allah di sana.
  2. Ingat dan teladanilah Daniel. Ia selalu berlutut dan berdoa tiga kali sehari kepada Allah (Dan 6:11). Bagaimana ia terus menjaga kedekatan dengan Tuhan. Bila kita tidak semakin dekat dengan Tuhan, perlahan namun pasti kita akan menjadi sama dengan dunia ini, sebaliknya apabila kita semakin dekat dengan Tuhan, kita akan semakin serupa dengan Kristus. Daniel menunjukkan pada kita cara menjalani hidup rohani yang utuh dibawah tekanan dunia sekuler.
  3. Integritas, yaitu satunya kata dengan perbuatan. Inilah seharusnya style hidup kita.
  4. Kualitas, Daniel memberi teladan. Ia adalah contoh dari orang yang karirnya mencapai posisi dengan kekuasaan dan prestise yang besar dalam sistem dunia, namun yang tidak pernah mengkompromikan prinsip-prinsip dasar Alkitab. Banyak manusia sewaktu masih di bawah, masih setia dan takut akan Tuhan. Tetapi ketika dia berada pada level atas, ia mulai terbawa arus. Daniel tidak demikian. Tantangan demi tantangan ia hadapi tanpa kompromi.
  5. Kapasitas, Daniel telah melakukan bagiannya sesuai dengan kapasitasnya. Mari lakukan bagian kita sesuai dengan kapasitas kita. Be your self, do your best. 
  6. Allah yang menyertai Daniel, adalah Allah yang menyertai saudara dan saya.

Mungkin kita sekarang berada pada situasi yang sulit, mungkin posisi ditantang untuk tidak menajiskan diri, mungkin berada pada posisi akan dilemparkan ke ‘gua singa’ atau bahkan sudah berada di dalam ‘gua singa’, ingatlah…Tuhan menyertai kita.
Soli Deo Gloria!

Faith@Work - 01: Theology of Work

[Kotbah Berikut merupakan Seri Faith@Work dalam rangkaian kotbah MBA, yang dibawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M. Th]

Kali ini kita akan belajar tentang pekerjaan dalam hal vocation and calling. Kedua istilah ini memiliki satu arti yaitu panggilan. Calling adalah panggilan Allah bagi manusia untuk mengerjakan mandat ilahi, dan vocation adalah keyakinan seseorang akan panggilan dirinya untuk memuliakan Allah. Dengan kata lain, Allah memanggil kita disebut calling, dan ketika kita merespon panggilan Allah ini, disebut vocation. Kita sebagai orang beriman harus mengenal, mengetahui, dan menghidupi panggilan sekaligus vocation kita.

Calling and vocation bagi orang Kristen adalah sesuatu yang menuju kepada sebuah kehidupan yang baru di dalam Kristus. Dalam Efesus 2:10 tertulis, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau supaya kita hidup di dalamnya.” Mari kita perhatikan baik-baik dalam ayat ini. Allah mempersiapkan sesuatu untuk dikerjakan dan Allah memiliki satu mandat yang harus digenapi oleh orang percaya.
Kita akan membahas tentang pekerjaan ini dalam empat keadaan yaitu the creation, the fall, the redemption, and glorification. Jadi pekerjan dalam konteks penciptaan, pekerjaan dalam konteks kejatuhan, pekerjaan dalam konteks penebusan, dan pekerjaan dalam konteks memuliakan Tuhan.

1. Kerja dalam Konteks Penciptaan
Kalau kita perhatikan Kej 1:28, “…beranak cucu dan bertambah banyak…kuasailah…” ada satu mandat ilahi yang Tuhan berikan kepada manusia. Dengan pemahaman ini berarti pekerjaan yang dipersiapkan oleh Allah merupakan satu mandat kultural atau mandat budaya. Hal ini memiliki pengertian bahwa kita mensejahterakan manusia dan kita mengusahakan apa yang diciptakan dan dipercayakan oleh Allah untuk kepada kita untuk dikelola dengan baik. Dalam hal ini, manusia bertanggung jawab terhadap dunia, membentuk peradaban, dan untuk mengisi sejarah dan menciptakan sejarah dalam kehidupannya. Sebagai ciptaan Allah, kita bertanggung jawab untuk melestarikan dan memelihara ciptaan Allah, bukan sebatas eksploitasi tetapi eksplorasi. Dalam Kej 9:20, kita bisa melihat bagaiman pertanian sudah dimulai, terhitung mulai bercocock tanam. Dalam Kej 4:17 kira dapat melihat dimulainya peradaban dan tatanan sosial.

Dalam hal inilah bisa dikatakan be cultivated and kept dimana mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Kalau dikatakan ‘beranak cuculah’, bukan sebatas biologi. Hal ini juga memiliki pengertian bahwa manusia ‘beranak cucu’ juga dari segi pengetahuan, sehingga menjadi suatu karya yang berkembang dari jaman ke jaman. Kalau kita lihat dari segi penciptaan, calling and vocation kita jelas, yaitu mengerjakan mandat budaya Allah, melestarikan, memelihara, dan mensejahterakan manusia yang ada di bumi ini.

2. Kerja dalam Konteks Kejatuhan
Setelah Adam jatuh ke dalam dosa, maka kejatuhan itu membuat kerja menjadi terkutuk/ternodai. Pekerjaan tidak lagi menjadi sesuatu yang murni. karena itu, jika kita perhatikan setelah manusia jatuh ke dalam dosa, maka mandat Allah ternodai/terkontaminasi. Kemurnian dari sebuah pekerjaan bergeser dan hal ini menyebabkan ada bias/pergeseran dalam dunia pekerjaan. Misalnya, pertama, pada saat itu pekerjaan penuh dengan masalah/persoalan. Apa yang terjadi antara Kain dan Habel adalah karena karya yang berbeda di mata Allah yang mengakibatkan kecemburuan. Jika kita perhatikan, sampai kapanpun akan selalu ada persoalan dalam pekerjaan akibat dari dosa. Dimana pun kita bekerja, pasti ada persoalan baik itu dengan pimpinan, rekan sekerja, maupun karyawan kita. Kedua, lingkungan pekerjaan ‘bermusuhan’ terhadap Allah dan sesama (etika). Dengan kata lain prinsip dan cara kerja menjadi musuh’ Allah. Anda yang taat kepada Allah bisa saja berhadapan dengan konflik oleh karena kebenaran. Ketiga, pekerjaan melahirkan sesuatu yang me nyakitkan.
Kefanaan masuk ke dalam dunia kerja sehingga pekerjaan kehilangan tujuan semula yaitu mempermuliakan Allah dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Tetapi, apakah semua pekerjaan terjadi untuk tujuan tersebut? Hal ini menjadi pergumulan bagi kita.

Aliansi (kerjasama) antara manusia dan Allah dan sesamanya membuat pekerjaan/usaha menjadi sumber kesulitan dan penderitaan. Kita mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Seharusnya di dalam dunia ini mencari pekerjaan itu tidak sulit, tetapi aliensi tadi membuat pekerjaan menjadi sulit didapat. Selain sulit mencari kerja, sulit juga untuk bekerja dengan benar.

Karena dosa telah mengkontamisansi pekerjaan, maka pekerjaan juga didegradasi menjadi peluh dan jerih payah (toil), Kej 3:17-19. Kita akan berpeluh seumur hidup untuk mencari hidup. Kita juga dikondisikan oleh keterbatasan-keter batasan kita sebagai manusia untuk mencapai yang terbaik. Artinya, karena dosa manusia tidak bisa lagi menghasilkan pekerjaan seperti yang Tuhan inginkan. Dosa juga membuat pekerjaan menjadi sumber bahaya. Kejadian 4:23-24 menceritakan bagai mana Kain membunuh Habel karena pekerjaan. Bukan hanya konflik yang terjadi, tetapi membunuh. Mari kita perhatikan hasil kerja manusia. Nuklir dan hal yang lain bukan mendatangkan kebaikan malah kehancuran. Itulah hasil karya manusia. Oleh karena itu, mari masing-masing kita mengevaluasi diri kita apakah dalam pekerjaan, kita sedang mendatangkan kehancuran atau kebaikan di mata Allah. Dalam Kejadian 11:1-9 menceritakan bagaimana manusia membangun menara Babel untuk menyaingi Allah. Jadi kalau ada air bah seperti pada jaman nabi Nuh, manusia akan terhindar. Hal yang sama dapat terjadi sekarang ini dimana dalam bekerja kita menghilangkan keter- gantungan terhadap Allah.
Dalam pekerjaan kita bersaing dengan Allah, bukan lagi beriman dan berpengharapan kepadaNya karena kita mengandalkan diri kita sendiri.

3. Kerja dalam Konteks Penebusan
Kerja harus ditebus dan dipulihkan oleh Allah dan hal inilah yang telah dilakukan Nya melalui Yesus Kristus. Semua pekerjaan dipandang dengan ‘kacamata’, paradigma, konsep, dan pemahaman yang baru yaitu bahwa semua kerja yang benar berasal dari Allah dan Allah mempersiapkan pekerjaan yang harus kita kerjakan di bumi ini. Karena itu, mari kita melihat calling and vocation kita di dalam mandat Allah dimana Allah telah mempersiapkan pekerjaaan sedemikian rupa. Apa calling and vocation yang dari Allah bagi kita sehingga kita mampu melakukannya dengan serius. Martin Luther berkata ‘semua kegiatan sehari-hari adalah beruf atau calling’. Jadi tidak ada sesuatu yang tidak didasarkan pada vocation. Semua aspek hidup dan pekerjaan kita adalah bagian dari beruf. Bila calling and vocation kita jelas, pekerjaan bukan menjadi sebuah beban dan sekedar untuk memenuhi kebutuhan tetapi dapat menikmati pekerjaan itu.

Sebelum kita masuk kedalam keadaan yang ke empat, kerja dalam konteks memuliakan Tuhan, kita akan masuk dalam ekskursus, yaitu kerja dalam masyarakat modern secara umum (kontemporer). Bagi masyarakat umum, kerja hanyalah sebagai pemenuhan kebutuhan. Jadi ada pemahaman lebih baik dikerjakan daripada tidak sama sekali. Orang-orang seperti ini memiliki calling and vocation yang tidak jelas. Dalam masyarakat kontemporer, mereka bekerja supaya menambah harta atau kekayaan dan menjadi suatu kesenangan untuk menikmati kesenangan. Tetapi ada juga orang yang bekerja kerana aktualisasi diri, dimana ada pengaruh prestige disitu. Hal ini terjadi supaya dihormati dan dihargai oleh orang lain. Secara praktik, bekerja adalah peningkatan produksi yang akan bermuara pada perdamaian dan kebebasan (sosial, ekonomi, dan politik). Bekerja dianggap mengurangi krisis sosial, kriminalitas, dan menciptakan lapangan kerja dan dimana pengangguran akan berkurang. Secara kontemporer, bekerja adalah sebagai produksi dan distribusi komoditas. Dalam hal ini, orientasi kerja hanya bisnis dan uang dengan mengabaikan keselamatan bumi.
Dengan calling and vocation yang jelas, kita akan melihat keadaan yang keempat yaitu kerja untuk kemuliaan Tuhan.

4. Kerja untuk Kemuliaan Tuhan.
Beberapa hal yang dapat kita lihat dari keadaan ini adalah, :
  • Semua aspek kehidupan kita adalah calling. Apapun pekerjaan kita, itu adalah calling. Kalau bukan karena kehendak Allah, kita tidak akan mampu mengerjakannya dengan serius.
  • Kita harus menyadari bahwa di dalam hidup kita tidak ada yang namanya ‘sekuler’. Semua rohani. Kolose 3:17 mengatakan “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita”. Jadi kita harus melakukan semuanya untuk memuliakan Tuhan.
  • Orientasi kerja kita bukan kepada produksi (hasil) dan kompensasi (income), tetapi kepada Allah dengan memberi yang terbaik (Kol 3:23; Ef 6:5-9). Ketika kita bekerja dengan vocation yang jelas, kita bekerja untuk Tuhan. Apakah kita menyadari vocation dalam profesi kita? Efesus 6:5-9 berkata tentang ketaatan hamba kepada pemimpinnya. Jadi, kita harus bekerja dengan tertib, bukan karena kalau bos kita ada disitu, tetapi juga ketika bos kita tidak ada. Jangan memimpin kelompok PA atau berkotbah kalau lagi jam kerja.
  • Alkitab menolak kemalasan (II Tes 3:6; I Tes 5:12-13; Efesus 4:28) dan disisi lain juga Alkitab menolak workcoholic karena dapat mengabaikan kehidupan rumah tangga dan rohaninya.
  • Kalau kita bekerja dengan calling dan vocation yang jelas, berarti kita bekerja untuk menghadirkan Kerajaan Allah (service) dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Apapun profesi kita, mari kita bekerja untuk mendatangkan kerajaan Allah. Apapun jenis pekerjaan kita akan dihargai oleh Tuhan. Di hadapan Alah tidak ada pekerjaan yang lebih mulia dibandingkan dengan pekerjaan yang lain. Kalau dilakukan dengan calling and vocation yang jelas, pekerjaan kita akan mempermuliakan Allah.

Oleh karena itu mari kita bekerja karena panggilan Allah, bukan karena gaji. Kita bekerja bagi Allah untuk memuliakan Allah.
Soli Deo Gloria!