Friday, April 30, 2010

[Seri Eksposisi] MAZMUR 132 - Obedience

Denni B. Saragih, M. Div

Eksposisi hari ini merupakan Eksposisi terakhir dari Seri Eksposisi Mazmur, yaitu Mazmur 132. Mazmur ini akan dibahas dan direnungkan dan bawah satu tema – Obedience.

Calvin pernah mengatakan: “Pengenalan yang benar akan Tuhan lahir dari ketaatan.” Artinya adalah hanya dengan pengalaman ketaatanlah kita bisa bertumbuh di dalam pengenalan atau pemahaman akan Tuhan. Jika kita membaca Mazmur 132, maka kita akan melihat bagaimana pengalaman ketaatan dan juga visi ke depan, yang diberikan kepada mereka, membentuk jenis ketaatan yang mereka miliki dan rayakan khususnya ketika mereka berada dalam pergumulan sebagai bangsa yang tercerai-berai yang kemudian berziarah untuk kembali ke negeri mereka.

Kita semua pasti bergumul untuk hidup dalam ketaatan. Tentu saja ada waktu-waktu di dalam hidup kita di mana kita sangat taat. Di lain waktu juga kita mengalami satu masa di mana kita sulit untuk bisa taat. Ada Ilustrasi tentang seorang yang akan tenggelam. Ketika dia merasa terancam, dia berdoa kepada Tuhan. Katanya: ”Tuhan, selamatkanlah aku. Jika Engkau menyelamatkan diriku, maka aku akan menyerahkan seluruh harta dan nyawaku dan segala yang kumiliki kepadaMu.” Sehabis dia berdoa, maka melintaslah di depannya sepotong kayu yang mengapung. Dia meraih kayu itu dan menjadikannya pelampung. Kemudian dia berdoa lagi: ”T’rima kasih Tuhan, Engkau menjawab doaku. Tetapi Tuhan jika Engkau membawa aku sampai ke daratan, maka aku akan menyerahkan seluruh hartaku. Inilah janjiku Tuhan!” Sudah ada yang berkurang. Jika di awal dia akan ’menyerahkan harta dan nyawanya’, sekarang hanya ’menyerahkan hartanya’. Tidak berapa lama kemudian, dia melihat daratan. Dia berseru kepada Tuhan: ”Tuhan, Engkau sangat baik. Jika Engkau membawa aku selamat sampai ke daratan itu, maka aku akan memberikan hartaku yang paling bernilai kepadaMu.” Kembali berkurang. Dari ’seluruh harta’ menjadi ’harta terbaik’. Ia lalu berenang ke pantai dan tiba dengan selamat. Ia berkata kepada Tuhan: ”Terima kasih Tuhan, Engkau sudah ’ku tipu.”

Ilustrasi ini adalah gambaran tentang bagaimana jika seseorang berada di dalam kondisi kritis, ia berjanji dan bernazar kepada Tuhan, tetapi ketika hidupnya kembali normal, dia tidak mentaati apa yang telah dijanjikan/dinazarkan kepada Tuhan. Ada dalam satu fase hidup, kita juga pernah melakukan hal yang sama. Dalam kondisi yang kritis, terpojok, dan tidak berdaya kita berjanji kepada Tuhan. Kita mau taat dan setia kepada Tuhan. Bahkan mungkin kita mengucapkan sesuatu yang luar biasa untuk diberikan kepada Tuhan. Tetapi ketika hidup kita berangsur normal, kita lupa kepada janji/nazar atau apa yang telah kita sebutkan dengan begitu indah kepada Tuhan. Semuanya telah hilang ditelan oleh waktu.

Seringkali seseorang itu punya iman dan ketaatan yang conditional (terkondisi), karena ketaatannya sangat tergantung kepada perasaan, mood atau pengalaman yang dia miliki pada saat dia mengucapkan janji tersebut. Ada sebuah kisah di mana seorang pendeta bernama Patterson harus diopname di rumah sakit karena tulang hidungnya patah. Pasca operasi tulang hidungya tersebut sangat sakit. Pada saat itu, seorang pemuda yang menderita infeksi laring masuk Rumah Sakit tersebut dan diopname di samping Patterson. Ketika Patterson dalam kesakitan, pemuda itu menyapanya. Karena kesakitan, Patterson menjawabnya dengan kurang responsif. Si pemuda tahu diri dan menutup tirainya. Pada satu waktu, Patterson mendengar pemuda itu bercerita kepada teman-temannya bahwa dia adalah petinju dan patah hidunya yang dideritanya adalah karena bertinju. Setelah teman-teman pemuda ini pulang, Patterson berkata kepada pemuda itu bahwa dirinya bukan petinju, tetapi seorang pendeta. Mendengar bahwa Patterson adalah seorang pendeta, si pemuda ini menutup tirainya dan tidak ingin berbicara lagi karena dia tidak ingin berhubungan dengan agama-agama.

Ini adalah gambaran sikap mental dari orang-orang pada umumnya ketika berbicara soal agama dan kerohanian (khususnya di Negara Barat). Cerita di atas masih berlanjut. Ketika pemuda tadi akan dioperasi, dia merasa ketakutan. Dia memanggil Patterson dan minta didoakan. Diawal cerita, ketika tahu bahwa Patterson adalah seorang Pendeta, pemuda ini tidak ingin berbicara kepada dirinya, tetapi dalam situasi kristis, dia bahkan minta didoakan oleh Patterson. Selesai operasi, pemuda ini merasa kesakitan yang amat sangat. Dia sampai menggigau dan mengalami halusinasi. Sewaktu dokter dan perawat datang ketempatnya, dia mengalami sebuah penglihatan dan terus berteriak agar di doakan.

Tuhan itu paling sering dipanggil dengan sungguh-sungguh hanya di dua tempat. Pertama adalah Medan Perang. Di Medan Perang tepatnya di foxhole akan ditemukan banyak serdadu yang menyerukan doa-doa yang paling tulus yang pernah mereka angkatkan. Kedua adalah Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Di RSJ, anda akan menemukan banyak sekali penglihatan-penglihatan. Ada yang melihat naga, bertemu dengan malaikat atau setan, dll. Kita melihat dalam perang, orang mengucapkan doa yang paling bergantung, dan di RSJ orang akan mendapatkan penglihatan-penglihatan dan bernubuat tentang Tuhan. Oleh karena itu, sewaktu kita berbicara mengenai Firman Tuhan, seringkali tidak relevan dengan situasi normal di dalam kehidupan. Kita berbicara mengenai Tuhan di dalam situasi yang darurat, sehingga jika bicara soal ketaatan, ketaatan tersebut tidak memiliki keseimbangan antara iman dan kematangan, antara iman yang benar dan ketaatan yang mendalam, karena akar dari ketaatan yang dimiliki orang-orang sering- kali berakar pada perasaan, situasi, atau pengalaman pribadi, bukan berakar pada pengalaman atau sejarah yang ada di dalam Alkitab.

Seorang pendeta pernah berkata kepada jemaatnya di atas kapal pesiar: ”Jika kamu memiliki iman, maka kamu bisa berjalan di atas air.” Lalu tiga orang jemaatnya mencobanya. Orang pertama melompat ke air lalu jatuh dan mati. Tetapi Pendeta berkata: ”Dia kurang iman.” Lalu orang kedua dan ketiga melompat dan mati. Ini adalah kisah nyata. Tiga orang mati karena mereka percaya, beriman, dan taat secara buta. Seringkali ketaatan dan iman itu dihubungkan dengan situasi-situasi ekstrim, situasi dimana kita ditantang melompat dengan iman dan taat dengan cara yang luar biasa. Di sinilah orang-orang biasa berbicara soal ketaatan.

Mazmur 132 mengingatkan kita tentang apa sebenarnya akar dari ketaatan. Dalam ayat 6-8, kita melihat Pemazmur bicara mengenai ketaatan dengan satu sejarah. Ketaatan tidak berakar dari perasaan atau suasana hati, tetapi berakar pada pengalaman sejarah di masa yang lalu. Ayat-ayat ini sebenarnya berbicara mengenai Tabut Perjanjian. Dalam ayat-ayat ini ada teologia mengenai akar dari ketaatan yang mengambil konsep peran Tabut dalam hidup orang Israel. Tabut Perjanjian adalah sebuah kotak dengan panjang sekitar 45 inchi, lebar: 25 inchi, dan tinggi: 25 inchi. Di dalam Tabut tersebut terdapat dua loh batu yang berisikan tulisan yang Allah tulis sendiri dengan tanganNya. Inilah Tabut Perjanjian itu. Jika kita membaca Keluaran 25:10-22, kita akan menemukan sebuah kisah dimana Tabut Perjanjian sampai ke Iasrael. Tabut tersebut tidak boleh diperlakukan dengan sembarangan. Ketika satu kali Tabut tersebut di bawa dan posisinya agak miring, lalu ada orang yang ingin memperbaiki posisinya. Ketika orang tersebut memperbaiki posisinya, dia dihantam kekudusan Tuhan dan mati seketika. Jadi di dalam ingatan bangsa Israel ada ingatan simbolisasi Tabut. Mereka mengingat bagaimana Tabut ini pernah dibawa oleh orang Filistin, dan ketika orang Filistin meletakkan Tabut ini dalam rumah perben- daharaan, maka bencana besar melanda mereka. Bencana ini tetap ada sampai Tabut Allah tidak dipermainkan oleh bangsa Filistin. Tabut tersebut adalah simbol kehadiran Allah. Kehadi- ran Allah demikian dasyat dan menggetarkan hati siapa saja.

Bagian Mazmur ini juga menggambarkan tentang kalimat Daud. Dalam ayat 7-8 dikatakan: "Mari kita pergi ke kediaman-Nya, sujud menyembah pada tumpuan kaki-Nya. Bangunlah, ya TUHAN, dan pergilah ke tempat perhentian-Mu, Engkau serta tabut kekuatan-Mu!” Jika kita membaca ayat 1-5, dikisahkan bagaimana Daud tidak tenang sampai rumah Allah dapat berdiri. Ketika akhirnya rumah Allah berdiri, Daud membawa Tabut Perjanjian itu. Dia menari-nari, bersorak-sorai, dan bergembira karena Tabut Allah dan kehadiran Allah telah dibawa kembali dan diletakkan di dalam rumahNya. Tabut ini menjadi satu memori yang dinyanyikan dalam satu perjalanan ziarah (ingat, Mazmur ini adalah Mazmur ziarah). Ketika mereka berjalan pulang dari negeri yang jauh menuju Sion, mereka menyanyikan tentang Tabut Allah. Mereka mengingat akan pekerjaan-pekerjaan besar yang telah terjadi kepada mereka. Mereka mengulang kembali sejarah, peristiwa masa lalu yang menjadi bagian dari iman mereka. Hal ini menjadi simbolisasi dari kehidupan mereka. Dalam hal inilah Patterson menyatakan bahwa ketaatan Israel untuk berangkat berziarah dibentuk oleh sejarah pada masa lalu. Ketaatan mereka berakar pada tindakan Allah dan kehadiranNya pada masa lalu yang telah mereka dengar dan diulang-ulang ceritanya. Mereka mengingat kembali cerita itu dan hal ini membentuk pikiran, konsep diri dan ketaatan mereka. Oleh karena itu, ketaatan mereka bukan di dasarkan kepada perasaan sesaat tetapi pada satu sejarah konkrit yang telah membentuk jati diri mereka sebai umat Allah.

Oleh karena itu, Mazmur ini berkata jika kita ingin hidup taat, maka ketaatan kita janganlah didasarkan pada pengalaman rohani yang dangkal, tetapi kepada satu ingatan akan masa lalu, akan orang-orang seperti Daud yang selalu taat pada Allah. Akan Abraham yang tetap setia kepada Allah. Akan Yesus yang memikul salib, yang meminta pengampunan bagi orang yang menyalibkanNya. Akan Paulus yang sedemikian berkorban secara luar biasa untuk mentaati Amanat Agung di dalam hidupnya. Inilah yang disebut dengan Liturgical Spirituality. Oleh karena itu jangan mengecilkan makna ke Gereja setiap hari Minggunya karena di Gereja kita dapat merenungkan kembali cerita-cerita tentang Alkitab dan mengingat kembali bagaimana banyak orang mengalami kedasyatan Tuhan. Ada satu simbolisasi yang kita renungkan dan hal ini akan menjadi dasar dari ketaatan yang dalam di dalam hidup kita.

Tetapi ketaatan itu bukan hanya berdasarkan pada ketaatan masa lalu saja, tetapi satu ketaatan yang melihat pengharapan di masa yang akan datang. Ayat 15-18 menunjukkan hal ini kepada kita. Dalam ayat 15-18 dapat kita lihat satu tipologi dari pengalaman masa lalu yang dijadikan sebagai satu pengharapan di masa yang akan datang. Seperti sebuah pemicu bagi kita untuk meraih janji Allah. Dalam ayat 15 dikatakan: ”Perbekalannya akan Kuberkati dengan limpahnya, orang-orangnya yang miskin akan Kukenyangkan dengan roti,” Ini adalah pengalaman di Padang Gurun. Ketika orang Israel mengatakan hal ini, mereka melihat kembali bagaimana Allah memelihara segala kebutuhan mereka dengan manna selama di gurun. Ayat 16 mengatakan : ”..., imam-imamnya akan Kukenakan pakaian keselamatan, dan orang-orangnya yang saleh akan bersorak-sorai dengan girang.” Dalam ayat ini mereka diingatkan kembali bagaimana para imam-imam menyelenggarakan keselamatan dalam ibadah Israel. Setiap kali mereka beribadah, maka diberitakanlah bahwa Tuhanlah yang memelihara keselamatan diantara umatNya. Hal ini akan menjadi satu pengharapan dan menjadi satu simbolisasi bagaimana Allah akan terus mengerjakan hal ini di masa yang akan datang untuk menuju kesempurnaan. Ayat 17 mengatakan: ”Di sanalah Aku akan menumbuhkan sebuah tanduk bagi Daud, Aku akan menyediakan sebuah pelita bagi orang yang Kuurapi.” Tanduk adalah simbl dari kekuatan dan pelita adalah simbol dari pengharapan. Dalam ayat ini kita dapat melihat bagaimana kekuatan dan pengharapan diletakkan pada kehadiran Tuhan, bahwa Tuhan hadir bersama-sama dengan umatNya. Dan semuanya diakhiri dalam ayat 18. Dikatakan di sana: “Musuh-musuhnya akan Kukenakan pakaian penuh malu, tetapi di atas kepalanya akan bersemarak mahkotanya." Dalam ayat ini ada kemenangan final dan kebenaran yang dinyatakan. Ada satu pertarungan dan di dalam Mazmur ini kembali diingatkan akan pengharapan Israel, bahwa pada akhirnya akan ada kemenangan Final dan kebenaran bagi orang-orang Israel. Ada satu kebenaran-kebenaran teologis yang diletakkan pada pengharapan akan masa depan mengenai pemeliharaan Allah di Gurun, ingatan akan keselamatan yang selalu dibacakan dalam ibadah, mengenai kekuatan dan pengharapan atas kehadiran Tuhan, dan mengenai kemenangan final, kemenangan atas kejahatan.

Semuanya ini menjadi bentuk pengharapan yang mendasari dan menjadi sayap bagi ketaatan. Dengan kata lain, sewaktu Mazmur 132 berbicara soal ketaatan, maka pemazmur mendasarkan ketaatan itu pada satu sejarah suci di masa lalu tentang bagaimana Allah bertindak. Hal ini menjadi dasar yang dalam dan kuat tentang bagaimana mereka artinya mereka meletakkan iman mereka. Tetapi hal ini membawa visi ke depan dimana ada satu pengharapan di amsa depan, satu kerinduan untuk melihat apa yang telah Allah janjikan terjadi. Dan di dua titik inilah, pengalaman akan masa lalu dan penglihatan akan masa depan, ketaatan bertumbuh menjadi besar. Jadi bukan pada pengalaman sesaat atau pada mood kita.

Sewaktu kita mencoba taat, ada satu pergumulan, masalah, persoalan, dan harga yang harus dibayar. Sama seperti seorang bayi yang berusaha menyeruak keluar dari rahim ibunya untuk meraih satu kehidupan. Dalam Mazmur 132 kita melihat bahwa sewaktu bangsa Israel pulang untuk berziarah, mereka mungkin merasakan satu pengalaman yang tidak enak atau merasa hidupnya normal-normal saja, tetapi janji akan masa depan tidak pernah luntur dari benak mereka walaupun hidup mereka normal.

Ketika kita bangun besok, mungkin hari kita akan biasa-biasa saja. Kita bekerja, makan dan melakukan kegiatan yang lain yang biasa yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Apa yang membedakan kita dengan orang lain? Yang membedakannya adalah kita menjalani hidup kita sebagai bagian dari sejarah orang-orang yang taat kepada Tuhan dan hidup kita meraih ke masa depan di mana janji Allah akan digenapi. Dalam pemahaman inilah kita melahirkan ketaatan yang berbeda, ketaatan yang tidak tergantung pada situasi, bukan ketaatan yang muncul ketika kita stress, tetapi ketaatan yang tenang dan dewasa, dimana semua kegiatan kita dalam keseharian, hari demi hari,dilakukan dengan ketaatan yang benar di hadapan Allah.

Hal inilah ayang dirayakan oleh bangsa Israel dalam Mazmur ini. Mereka hidup pada zaman mereka,. Mereka ziarah, merayakan ketaatan hari lepas hari dengan mengingat masa llu dan masa depan yang akan mereka raih.

Apa arti penting dari Mazmur 132 ini?
1. Mazmur ini menolong kita untuk melepaskan diri dari bentuk-bentuk ketaatan yang cocok dengan temperamen kita. Mazmur ini juga membantu kita untuk memahami bahwa ketaatan tidak tergantung pada temperamen atau standar hidup di mana jika kita kaya maka akan gampang memberi tetapi jika miskin, susah untuk memberi, jika periang maka ramah tetapi jika pendiam susah untuk ramah.

2. Mazmur ini mengajarkan pentingnya mengacu pada sejarah. Pentingnya melihat pada visi ilahi sebagai satu dasar ketaatan kristiani kita.

3. Mazmur ini juga mengajarkan bahwa ketaatan yang hanyan berdasarkan satu periode dalam kehidupan merupakan ketaatan yang dangkal, tidak berarti, dan tidak tahan uji. Ketaatan kita harus berdasarkan kebenaran yang Tuhan berikan dan melihat pada satu visi yang Tuhan janjikan.

4. Mazmur ini menumbuhkan ingatan dan menumbuhkan pengharapan yang dewasa.

5. Mazmur ini juga bahwa bahwa hidup kita adalah perjalanan yang mungkin kelihatan biasa saja, tetapi merupakan bagian dari perjalanan iman yang berkesinambungan dengan karya Allah yang luar biasa di masa lalu, dan juga sebuah eksplorasi yang menegangkan untuk meraih masa depan yang telah Allah janjikan.

Bagaimana dengan kehidupan kita? Apakah ketaatan kita hanya semata-mata sebuah ketegangan yang didorong oleh kekuatan dari perasaan kita atau ingin sebuah ketaatan yang berdasar pada sejarah suci masa lalu yang konkrit dan satu eksplorasi menuju masa depan?
Solideo Gloria!

[Seri Eksposisi] MAZMUR 126 - J O Y

Denni B. Saragih, M. Div

Kita sampai pada seri Eksposisi Mazmur yang kedua dan hari ini kita akan belajar dari Mazmur 126-The Joy.

Seorang penulis yang bernama Philip McGinley, pernah mengatakan bahwa ketika gereja pertama kali akan merumuskan kitab-kitab mana yang akan masuk ke dalam kanon, maka salah satu syarat yang mereka berikan adalah kitab itu harus berisi sukacita. Philip McGinley mengatakan:” Saya ingin tahu pasal mana dan ayat mana tiap-tiap Alkitab yang ada dalam Perjanjian Baru yang berisi sukacita.” Jika kita mempelajari tempat sukacita dalam kekristenan, kita mendapatkan bahwa ada sekelompok orang yang merasa bahwa kegembiraan bukanlah bagian dari kehidupan Kristen. Seseorang itu akan makin rohani jika dia serius, keningnya selalu bekerut dan menegur dengan keras jika ada orang yang salah.

Dalam sejarah kekristenan, Martin Luther memiliki teman bernama Philip Melangton. Philip Melangton masih muda tetapi sudah sangat serius dan pemikir yang dalam (salah satu perumus Out of Confession). Sangat serius dan mengerjakan yang hanya perlu. Tidak memikirkan mengenai pacaran dan kehidupan duniawai. Yang ada dipikirannya hanya melayani, membaca Alkitab dan menggalinya, mengajar, dan memikirkan perdamaian. Dia sangat berbeda sekali dengan Luther. Martin Luther tiap sore duduk di bar dan minum bir sambil menyanyikan lagu-lagu rakyat Jerman. Ketika Luther melihat Philip Melanton, dia menegur dan berkata: ”For heaven sake! Why don’t you go out, and sin a little!” [Kenapa kamu tidak pergi keluar dan berdosalah sedikit]. And God deserve to have something to forgive for you.” [Tuhan itu layak untuk punya sesuatu supaya dia memaafkan engkau]. Bahkan satu kutipan dari Marthin Luther adalah “It’s good to do a little sin [adalah bagus untuk sekali-kali berbuat dosa]. Tetapi maksud Marthin Luther bukan kita harus berbuat dosa. tetapi kadang-kadang orang punya kesan bahwa mengikut Tuhan itu berarti tidak ada kegembiraan, karena kegembiraan itu identik dengan keduniawian seperti menonton ke bioskop dan menyanyikan lagu-lagu pop yang sedang tren.

Sewaktu kita membaca Mazmur 126, di tengah-tengahnya ada kalimat “mari kita bersukacita”. Dalam bahasa Inggris, kalimat ini bukan ajakan tetapi sebuah pernyataan “We are glad” (NIV). Jika kita memperhatikan Mazmur ini, pada pusat dari struktunrnya ada ”kita bersukacita”. Pada ayat 1-2, pemazmur berbicara mengenai bagaimana Allah melakukan satu sukacita dengan cara yang mengejutkan. Dikatakan di sana: ”Ketika TUHAN memulihkan keadaan Sion, keadaan kita seperti orang-orang yang bermimpi. Pada waktu itu mulut kita penuh dengan tertawa, dan lidah kita dengan sorak-sorai. Pada waktu itu berkatalah orang di antara bangsa-bangsa: "TUHAN telah melakukan perkara besar kepada orang-orang ini!" Jadi, pusat sukacita itu diapit dengan bagaimana Tuhan mengerjakan sukacita dan dirayakan oleh Pemazmur ini. Tetapi pada ayat 4-6, pemazmur mengantisipasi bahwa sukacita akan lahir dari satu kesulitan atau kesusahan. Dikatakan di sana: ”Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.”

Karena itu kita pada saat ini akan merenungkan tiga poin, yaitu:
1. Sukacita merupakan pusat kehidupan orang Kristen.
2. Sukacita itu berasal dari Tuhan dan mengejutkan.
3. Sukacita yang ilahi adalah sukacita yang sering kali lahir dari kesulitan dan air mata.

Sukacita merupakan pusat kehidupan orang Kristen.
Jika kita merenungkan tempat sukacita dalam hidup manusia, kita akan menemukan bahwa sukacita itu bukan satu keadaan, tetapi sukacita itu membutuhkan energi. Sukacita adalah sebuah vitalitas yang didorong oleh sebuah kekuatan luar biasa. Kita tidak dapat bersukacita terlalu lama dengan kekuatan sendiri. Jika kita memaksa bersukacita dengan kekuatan sendiri, maka akan ada waktunya kita kehilangan vitalitas, energi, dan tidak mampu lagi bersukacita. Jika kita tetap memaksa satu sukacita dengan kekuatan sendiri, maka nanti yang tinggal hanyalah sukacita yang palsu dan dibuat-buat. Karena itulah manusia membutuhkan orang lain untuk membuat dirinya sukacita. Manusia menciptakan entertainment. Kita mengharapkan vitalitas atau energi sukacita yang dimiliki orang lain ditransfer sedikit kepada kita, baik melalui film, sirkus, dll. Semuanya dirancang agar energi sukacita ditranfer kepada kita dan oleh mereka, kita mengalami sukacita. Tetapi yang menarik, ketika mesin-mesin sukacita semakin banyak ditemukan manusia, yang kita dapati bukanlah semakin banyak orang bersukacita, tetapi semakin banyak manusia menemukan dirinya membosankan dan dangkan. Ini adalah sebuah paradoks dari kehidupan pada zaman ini.. Sebuah buku bahkan mengatakan bahwa manusia semakin bosan dalam kebudayaan yang penuh dengan hiburan.

Alkitab menjelaskan kepada kita melalui Mazmur ini, bahwa dalam situasi demikian, dalam tantangan dunia modern di mana orang-orang berlomba mendapat sukacita, sesungguh sukacita itu harus dimiliki harus berada dalam pusat kehidupan orang Kristen. Artinya, dari kehidupan kristiani yang benar akan ada dampak lahirnya sukacita. Hal ini sudah menjadi kepercayaan dari pada gereja mula-mula. Itulah sebabnya dikatakan diawal sewaktu mereka membuat kanon mereka mencari yang mana bagian-bagian Firman Tuhan yang mengalir sukacita. Sangat menarik, jika kita membaca kalimat dari Agustinus yang mengatakan bahwa orang Kristen adalah orang yang dari ujung rambut sampai ujung kaki semuanya ’Halleluya’. ’Halleuya’ berada dalam pusat kehidupan orang Kristen. Sukacita berada dalam pusat kehidupan orang Kristen bukan karena orang Kristen memiliki vitalitas atau kekuatan dan kemampuan untuk bersukacita, tetapi karena di dalam diri orang Kristen ada satu pusat energi yang luar biasa. Energi yang lahir dari kehidupan baru di mana Roh Kudus membawa aliran-aliran yang penuh dengan sukacita. Itulah sebabnya sukacita orang Kristen yang berada dalam pusat kehidupannya adalah sukacita yang ilahi.

Dengan kata lain, dalam teologia kristiani, sukacita adalah milik Tuhan. Sukacita bukan milik anda dan saya, tetapi sukacita adalah vitalitas yang berasal dari Allah. Allah punya kekuatan untuk selalu bersukacita. Allah memiliki energi untuk memberikan sukacita. Jika kita tersambung dengan energi tersebut, maka dari dalam hati kita akan mengalir aliran-aliran sukacita.

Sukacita itu berasal dari Tuhan dan mengejutkan.
Ayat 1 mengatakan: ”Ketika Tuhan memulihkan keadaan Sion, keadaan kita seperti orang yang bermimpi.” Apa yang digambarkan di sini adalah bahwa sukacita yang diberikan oleh Allah adalah satu sukacita yang pada saat kita menerimanya, hal tersebut seperti sesuatu yang tidak diharapkan, seperti bukan sesuatu yang kita duga-duga, tetapi datang dan kita terima. Kita seperti bermimpi menerimanya. Dalam Perjanjian Lama, ini adalah mode-mode Allah memberikan sukacita kepada umatnya. Dalam PL, sewaktu orang Israel merenungkan sukacita, maka ada beberapa kisah yang mereka renungkan. Pertama, dalam kisah Keluaran dari tanah Mesir. Secara teologia mereka hidup dalam satu situasi dimana dalam situasi itu mereka ditindas dan mengalami penganiayaan, mereka tidak mengharapkan akan ada kelepasan bagi mereka. Ditengah-tengah situasi seperti itu, yang tidak ada titik dimana tidak ada terang yang akan masuk kepada mereka, Tuhan mengirim Musa. Musa membawa mereka keluar dari tanah Mesir ke tanah Kanaan. Penindasan mereka berubah menjadi kemerdekaan. Ada satu sukacita yang mengalir karena tindakan Allah yang mengejutkan dengan membebaskan mereka dari perbudakan.

Kedua, kisah dalam kehidupan Daud. Pada saat itu Daud dikejar-kejar oleh Saul. Dan dalam satu Mazmurnya, dia menceritakan sukacita yang dialami. Suatu sukacita karena Allah membebaskan dia dari kejaran-kejaran maut yang dilakukan oleh Saul. Di tempat lain kita mengetahui bahwa Saul, yang terancam oleh Daud, tanpa ada sasuatu yang dilakukan Daud, disingkirkan Tuhan melalui peperangan. Daud mengalami satu keterkejutan, seperti dalam mimpi, dimana tekanan-tekanan yang dialami selama ini tidak ada lagi.

Ini jugalah yang dialami ketika murid-murid melihat kebangkitan Yesus. Kebangkitan Yesus adalah satu tindakan Allah yang membuat terkejut. Satu Sabtu pagi yang sunyi tidak ada lagi pengharapan, Mesias yang mereka harapkan mati. Sabtu itu menjadi Sabtu yang betul-betul kelabu dan penuh keputus asaan. Tetapi kebangkitanNya pada hari Minggu membawa kembali pengharapan. Jika kita ingin menikmati sukacita yang dari pada Allah, kita harus memiliki hati yang terbuka untuk mengharapkan dan menantikan tindakan Allah yang luar biasa. ketika Allah melakukan tindakan yang mengejutkan, mulut kita penuh dengan tawa dan lidah kita penuh dengan sorak-sorai. Hal ini tidak dapat dibuat-buat atau berasal dari hiburan tetapi dari pengalaman ketika Allah mengisi mulut kita dengan tertawa yang luar biasa.

Kapan kita terakhir kali mengalami hal ini? Sebuah sukacita yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, tetapi kita merasakan sukacita tersebut. Kita tidak diminta untuk mencari sukacita tersebut, tetapi diminta untuk siap menerima sukacita tersebut. Siap dengan keterkejutan yang akan dihasilkan melalui sukacita tersebut. Sukacita adalah sebuah anugerah dan anugerah itu diberikan Allah dengan cara yang mengejutkan.

Sukacita yang ilahi adalah sukacita yang sering kali lahir dari kesulitan dan air mata.
Ayat 4-5 mengatakan: ”Pulihkanlah keadaan kami, ya TUHAN, seperti memulihkan batang air kering di Tanah Negeb. Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai.” Mungkin kita pernah mendengar Teologia Arsik. Bagi saya Teologia Arsik merupakan teologia sukacita yang Kristiani. Arsik adalah satu masakan dengan sejuta rasa. Dalam Arsik ada cabe yang pedas, bawang yang anyir, kunyit yang pahit, dan lainnya. Jika hanya satu yang kita makan, maka rasakan akan menjadi sangat tidak enak. Tetapi jika dicampur rasanya sangat enak. Teologia Arsik ini menggambarkan sukacita yang Alkitabiah. Sukacita yang Alkitabiah kadang keluar dari kesakitan dan air mata bercampur dengan kepedihan. Seperti seorang wanita yang akan melahirkan, dari rasa sakit yang dialaminya sewaktu persalinan, keluarlah sebuah kehidupan di tengah-tengah dunia ini. Ketika bayi ini lahir, semua kesakitan yang dialami si Ibu menjadi hilang, dan yang tinggal adalah sebuah sukacita.

Demikianlah cara Tuhan menghadirkan sukacita di tengah-tengah dunia. Melewati sebuah kesakitan yang luar biasa dan diakhiri dengan sebuah kelepasan yang mendatangkan kelegaan. Di dalam kehidupan kekristenan, Allah menghadirkan sukacita dengan demikian unik. Sukacita ilahi kita itu mungkin disertai dengan satu kesakitan atau air mata yang kita lahirkan ketika kita mencoba bertahan menjadi pengikut Tuhan, mencoba bertahan untuk setia menjalani nilai-nilai Kristiani kita, mencoba bertahan dalam panggilan kita, mencoba bertahan melakukan apa yang baik bagi kita, dan mencoba bertahan melewati titik-titik dimana kita ingin menyerah. Ketika melewati lembah derita dan air mata itu, lahirlah sukacita yang dari Tuhan. Sukacita ketika kita melewati masa-masa membosankan dengan merenungkan Alkitab setiap pagi dimana kita tanpa menikmati. Tetapi ada titik diman seolah-olah rasa itu pecah dan lahirlah sukacita. Kita merasakan betapa indahnya Firman Tuhan, melayani, dan mengikut Tuhan, menyangkal diri, dan hidup sebagai pengikutnya.

Ini adalah sukacita kekristenan. Sukacita kekristenan bukan sukacita murahan, yang dapat dibeli dari orang lain atau dengan menonton film atau sukacita yang datang atau hilang, tetapi sebuah sukacita yang kita dapatkan dengan cara yang luar biasa. Sebuah anugerah Tuhan kita alami di pusat hidup kita melewati masa-masa yang mungkin berurai air mata. Tetapi ketika kita menerimanya, kita tahu bahwa hal ini tidak dapat digantikan dengan uang, permata, atau pengalaman apapun. Ini adalah sukacita yang hanya dialami orang Kristen yang menabur dengan air mata.
Soli Deo Gloria!

[Seri Eksposisi] MAZMUR 120 - Repentance

Denni B. Saragih, M. Div

Ada dalam salah satu kisah seri The Chronical of Narnia dimana seekor singa yang bernama Ashlan bertemu dengan seekor naga yang tidak sadar bahwa dirinya adalah naga (merupakan simbolisasi dari kejahatan). Kemudian, ketika Ashlan ketemu dengan naga, ia berkata: “Kamu tidak sadar bersamaan dengan waktu kamu semakin lama semakin jahat dan hal tersebut tergambar dari kulitmu yang semakin lama semakin tebal.” Lalu naga itu berkata: “Saya tahu kulit saya semakin tebal. Tetapi, setiap kali aku memutar-mutar badanku pada permukaan pasir dan batu, kulitku itu akan mengelupas dan aku menjadi cantik kembali.” Lalu Ashlan membawa naga ini ke sebuah telaga. “Kamu tidak sadar. Kamu kira kamu sudah melepaskan kulitmu. Coba sekarang lihat ke arah telaga itu”, seru Ashlan. Sewaktu naga ini melihat ke dalam telaga, dia terkejut sekali karena kulitnya sedemian tebal dan mukanya sedemikian jelek. Ia tidak menyangka sudah sejauh itu. Lalu ia menangis dan memutar-mutar badannya berkali-kali pada permukaan tanah, sampai kulitnya mengelupas. ”Memang aku telah berkulit tebal. Tetapi aku telah melepaskannya. Lihatlah itu!” teriak si naga. Tetapi Ashlan mengatakan: “Pergi dan lihatlah ke telaga, apakah kulitmu telah berubah.” Waktu dia melihat ke telaga, kulitnya tetap tebal. Lalu ia menjadi sangat sedih dan meratap. Ia bertanya kepada Ashlan: “Apakah caranya agar aku bisa lepas dari kulitku?” ” Tidak ada cara lain”, kata Ashlan, “Kecuali cakarku ini menoreh luka di kulitmu. Mengoyak dari atas sampai ke bawah dan mengelupaskannya.” Singkat cerita, si naga ini bersedia. Ashlan menarik dengan kukunya. Menghujam ke dalam kulit dan menarinya dari kepala sampai ekor. Setelah terkoyak, si naga merasakan sakit dan pedih karena kulit itu seolah-olah telah melekat pada tubuhnya. Bersamaan dengan sakit yang ada, si naga merasakan ada perasaan ringan yang luar biasa. Setelah itu si naga itu terjun ke telaga dan ketika ia keluar ia sangat gembira dan merasa nyaman.

Tema yang dibicarakan dalam cerita ini adalah mengenai pertobatan. Bagaimana dalam perjalanan rohani kita, sering sekali perbuatan jahat begitu melekat dalam diri kita. Setiah hari kita seolah-olah telah melepaskannya. Tetapi semakin hari semakin tebal sehingga kita tidak mampu melepaskan diri dari kejahatan kita kecuali cakar dari Singa Yehuda, yaitu Yesus Kristus, menusuk dalam kulit kita dan membelah dan melepaskan dari dosa-dosa tersebut. Cerita ini merupakan cermin bagi kita sewatu kita merenungkan Mazmur 120. Mazmur ini menceritakan pengalaman pemazmur yang hidup di dunia dan tinggal bersama dengan orang kafir yang membuat dirinya sangat bergumul dalam kehidupannya.

Mazmur 120-134 adalah rangkaian Mazmur yang disebut dengan Mazmur ziarah. Artinya, ini adalah Mazmur yang sering dinyanyikan oleh bangsa Israel yang berada di perantauan sewaktu mereka sekali setahun berjalan pulang menuju Yerusalem. Mazmur ini biasanya dibagi menjadi lima bagian dan masing-masing terdiri dari tiga buah Mazmur yang memiliki kesamaan tema. Pada Mazmur 120 ini, kita akan merenungkan tentang apa artinya pertobatan dalam pengalaman si pemazmur. Untuk bisa menghayati Mazmur ini, saya ingin mengajak kita untuk mengingat satu perjalanan pulang kampung. Perjalanan pulang ke kampung dapat diibaratkan sebagai satu perjalanan sejarah karena kita mungkin sudah lama tidak pulang. Dalam perjalanan, kita akan mengingat jalanan yang sama, jalanan yang penuh dengan memori baik indah maupun tidak indah. Kita juga melihat bangunan yang secara personal memiliki nilai sejarah bagi kita, pepohonan dan berbagai situasi lainnya. Sewaktu kita berjalan, walaupun tidak diungkapkan dengan kata-kata, setiap pohon, bangunan, dan orang-orang, mengandung seribu cerita bagi kita.

Sekarang, pindahkan imajinasi kita itu kepada penduduk Yerusalem. Penduduk yang dibuang ke negeri yang jauh, merantau ke negeri yang jauh, sekarang pulang ke Yerusalem. Tambahkan nuansa iman dan pengalaman spiritual bahwa di negeri yang jauh mereka berjumpa orang-orang yang menyembah berhala. Ketika mereka berjalan menuju Yerusalem, mereka mengingat kembali perjalanan dan kehidupan rohani sebagai umat Allah. Dalam teologia PL, Yerusalem, khususnya bait Allah, adalah simbol dari kehadiran Allah di tengah-tengah umatNya. Di dalam Yerusalem ada bait Allah. Di dalam bait Allah ada tabut perjanjian dimana tabut ini adalah simbol bahwa Allah hadir di tengah-tengah umatNya. Tabut ini menyimpan sejuta cerita dan makna tentang pengalaman bagaimana orang Israel di bawa keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan. Sebuah perjalanan yang penuh dengan cerita dengan berbagai macam teologia dimana Allah menunjuk bangsa Israel sebagai umat pilihanNya, dan Allah memperkenalkan kepada bangsa Israel siapakah Dia.

Karena itu, sama seperti perjalanan ziarah kita menuju kota kelahiran kita, demikian juga bangsa Israel, di dalam Mazmur 120, menyanyikan lagu menuju tanah Kanaan dan Yerusalem. Jika kita perhatikan ayat 1, dimulai dengan situasi rohani mereka ketika mereka berangkat ziarah mednuju Yerusalem. Dikatakan dalam ayat 1, ” Dalam kesesakanku aku berseru kepada TUHAN dan Ia menjawab aku:”. Dipakai kata ’kesesakan’. Dalam bahasa Inggris dipakai kata disstress, trouble, dan I cry. Ini adalah satu penggambaran dari Mazmur tentang pengalaman jiwanya yang nelangsa dan hampa. Ia menggambarkan pengalaman sesak. Sesak adalah pengalaman batin yang sudah penuh dan menumpuk dalam waktu yang lama. Mungkin awalnya tidak di sadari. Pengalaman dalam lingkungan yang kafir dan berdosa, terbisa dengan kejahatan, menjadi pengalaman yang tidak di sadari dan mencoba untuk terbiasa dengan lingkungan dimana dia berada. Apakah hal ini menjadi pengalaman rohani kita juga? Pengalaman dimana ketika berjalan di tengah-tengah dunia ini, kita semakin jauh berjalan dari ’Yerusalem’ atau hadirat Tuhan dan semakin terbiasa dengan dosa dan kejahatan dunia. Pada ayat 5, pemazmur berkata: ” Celakalah aku, karena harus tinggal sebagai orang asing di Mesekh, karena harus diam di antara kemah-kemah Kedar!” Mesekh dan Kedar adalah dua suku yang sangat kejam yang ada pada zaman itu. Kedua suku ini digambarkan sebagai suku yang senang berperang dan mencari kehidupan dengan cara merampas. Sehingga jeritan dari Mazmur 120 adalah jeritan tentang seorang yang mengalami pergumulan rohani karena tinggal dalam lingkungan yang penuh dengan dosa. Pada ayat 6 dikatakan: ”Cukup [terlalu- dalam terj. Inggris] lama aku tinggal bersama-sama dengan orang-orang yang membenci perdamaian.” Kita dapat menggambarkan bahwa Mazmur 120 adalah gambaran pemazmur yang merasa muak dengan keadaan disekitarnya. Mazmur 120 adalah sebuah tangisan yang ketika kita berada dalam lingkungan kejahatan. Ada titik dimana kita terlalu muak/benci, sehingga kita berkata: ”Celakalah aku, aku sudah berada di tempat seperti ini.” Inilah tangisan seorang anak Tuhan yang pernah mengalami apa artinya dekat dengan Tuhan.

Alumni-alumni pasti mengalami pergumu lan batin seperti ini. Tetapi persoalannya apakah ketika kita sampai kepada titik itu, kita berikhtiar untuk berziarah atau kita tidak berangkat dari titik dimana kita berada. Mungkin kita mengalami kesesakan dan terlalu lama muak dengan lingkungan yang mengukur segala sesuatu dengan uang. Diantara famili kita, teman sekerja kita, atasan kita, dan tenman bergaul, kita mendengar ocehan. Mula-mula kita biasa dan menyesuaikan diri dengan standart-standart yang ada. Awalnya juga kita menunjukkan, sedikit banyak, mampu ‘memenuhi standart’ orang-orang yang ada di dunia ini. Tetapi semakin lama kita dengar, jika kita adalah anak Tuhan dan kita memiliki hati nurani, maka akan ada pengalaman seperti pemazmur dimana kita merasa sesak dan muak dengan kriteria-kriteria seperti itu. Mungkin juga kita terlalau lama dalam politik kantor dengan orang-orang yang ambisius. Semua ingin naik jabatan, menjadi atasan, dll. Atau kita terlalu lama kita bekerja dengan atasan dengan rekan sekerja kita yang korupsi dan serba aji mumpung. Lingkungan dimana kita berada, mungkin kita merasakan atmosfir yang sama sekali menyesakkan. Kita juga terlalu lama tinggal dalam kebohongan, sampai-sampai kita terseret dalam kebohongan tersebut. Kita mulai ikut permainan yang berisikan kebohongan dunia. Sehingga sama seperti pemazmur, kita bergumul dan berteriak. Terlalu lama kita sudah mengalaminya dan berkata:” Celakalah aku sudah tinggal dalam lingkungan seperti ini. Ya Tuhan, lepaskanlah aku dari dunia yang seperti ini.”

Alumni-alumni sering mengalami apa yang disebut dengan psikologi pengetahuan. Dalam psikologi pengetahuan, apa yang kita dengar menjadi apa yang kita inginkan. Apa yang kita inginkan menjadi apa yang kita lakukan. Kita sering mendengar sewaktu masih kuliah, pembicaraan mengenai jam doa, saat teduh dan kegiatan pelayanan menjadi sesuatu yang menarik. Jika orang terbiasa saat teduh, menjadi suka dan mencintai saat teduh. Lalu ketika kita pindah ke lingkungan kerja yang sangat hostile, kafir, anti Tuhan, dan anti kebenaran, maka ketika kita tidak memiliki teman bicara soal saat teduh. Lama kelamaan, ketika kita melihat tidak ada yang saat teduh, kita berubah dari saat teduh di rumah menjadi dikantor. Lama-lama tidak baca Alkitab, hanya renungannya. Lama-lama tidak lagi berdoa. Kita kehilangan esensi bahwa saat teduh itu adalah hubungan pribadi dengan Tuhan, bukan sekedar perenungan-perenungan. Kita berubah pelahan. Demikian juga dengan setiap kegiatan rohani kita menjadi sangat dangkal. Ini adalah mentalitas yang memburu kita orang Kristen. Sehingga ketika kita berada dalam lingkungan seperti ini, kita tidak bicara soal visi hidup. Ketika kita bicara visi hidup dikantor, sama seperti pemazmur yang membicarakan perdamaian, tidak ada yang tertarik dan tertawa. Visi hidup berganti menjadi kepausan hidup. Dalam visi hidup kita bicara soal pengabdian, pelayanan, tetapi kepuasan hidup kita berbicara tentang sesuatu yang menjadi hobi kita atau memiliki HP dengan fitur yang canggih. Dengan kata lain, orang tidak mau lagi berbicara soal visi hidup, tetap jika berbicara soal HP dapat berjam-jam. Apakah hidup kita lebih berkualitas jika HP kita dapat melihat lawan bicara kita? Mungkin ada manfaatnya, tetapi apakah manfaatnya seperti yang digembar gemborkan itu? Iklan juga sering membuat bahwa berbicara murah melalui HP menjadi satu hal yang sangat penting. Apa yang menjadi pembicaraan kita menjadi sesuatu yang kita inginkan sehingga tanpa sadar kita terbawa arus. Tetapi sebagai anak Tuhan yang punya Roh Kudus, pastilah ada titik-titik dimana kita berkata: ”Terlalu lama aku sudah membicarakan hidup ini.” Kita stress dan pusing dan kita rasanya muak.

Ada waktu dimana kita bertanya kembali hal-hal yang penting dalam kehidupan ini. Kita perlu berziarah rohani untuk mengenang dan melihat apa yang sesungguhnya kita inginkan dalam hidup. Apa tujuan hidup kita. Disinilah kita berbicara soal pertobatan rohani. Kita membutuhkan ziarah rohani untuk mengingatkan kita mengapa kita ada di tengah-tengah dunia ini. Apa artinya menjadi orang Kristen? Kita membutuhkannya setiap minggu melalui perjalanan ke Gereja. Saya berharap berjalan ke Gereja menjadi perjalanan rohani bagi kita. Ketika kita bangun pagi, kita mempersiapkan diri seperti ziarah rohani. Seperti orang Israel berjalan menuju Yerusalem, begitulah kita berjalan menuju Gereja. Pengalaman rohani seperti ini dapat kita alami setiap minggunya. Jika tidak ke Gereja, kita dapat ke MBA atau persekutuan Alumni kampus kita setiap minggunya. Hal ini perlu untuk mengingatkan kita, sama seperti si naga yang datang ke telaga untuk melihat dirinya secara baru, kalau-kalau kita membutuhkan cakar dari singa untuk menorehkan cakarnya dan membuka bungkus kulit yang terlalu berat, semacam dosa-dosa yang menjadi bagian hidup kita.

Sekali sebulan kita perlu retreat rohani ke tempat yang berkesan bagi kita, dimana kita seolah-olah berjalan untuk menyegarkan kehidupan rohani kita. Jangan pernah merasa rugi untuk pergi ke tempat seperti itu, tempat yang secara rohani powerful bagi kehidupan rohani kita. Dan sekali setahun disegarkan melalui retreat seperti Kamp Almuni (KARSU). Kita para alumni membutuhkan retreat setiap tahun. Perkantas juga akan senang jika para alumni bergabung dalam Family Day Perkantas yang diadakan sekali setahun. Intinya Mazmur 120 mengajak kita untuk mengalami dan membiasakan diri kita untuk ziarah rohani, untuk balik dari dunia yang membuat kita berkata: “Celakalah aku”, disegarkan dengan mengingat apa artinya menjadi anak-anak Tuhan di tengah-tengah dunia ini.
Soli Deo Gloria!



[Seri Eksposisi] Matius 7

Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Hari ini kita akan membahas Matius 7. Hari ini kita berbicara, melalui kitab ini, sikap orang Kristen terhadap banyak hal seperti kelompok orang tertentu, seiman atau bukan, pengajar palsu, dan lahirnya komitmen bagi orang percaya.

Hubungan dengan Saudara
Bagian yang pertama (1-5) adalah hubungan orang percaya dengan saudaranya. Ada satu perintah untuk tidak menghakimi orang lain. Ingat, menghakimi dan menyatakan sesuai fakta itu adalah dua hal yang berbeda. Jika kita mengatakan orang sesuai dengan faktanya, itu bukan menghakimi. Tetapi prinsip menghakimi bukan berarti meniadakan atau berbeda dengan sikap kritis kita. Sikap kritis itu adalah hal yang wajar dan wajib. Menghakimi juga tidak sama dengan buta akan yang benar dan yang salah. Tidak membuat kita subjektif, tetapi tetap objektif sehingga kita tahu membedakan yang mana yang benar dan salah atau baik dan buruk. Menghakimi juga tidak berarti membiarkan kesalahan terjadi. Menghakimi itu terjadi jika kita giat untuk mencari kesalahan orang lain. Tetapi jika kita tahu kesalahan orang dan dengan konstruktif menasehati, ini bukan menghakimi. Tetapi mencari kesalahan orang bukan karena krisis bahkan memeberi label kepada dirinya tidak bisa berubah, inilah menghakimi. Hal seperti inilah yang dilarang oleh Alkitab. Jika kita melakukannya berarti kita merampas hak dan posisi Allah di dalam kita menghakimi orang lain.

Ada beberapa alasan untuk tidak menghakimi, yaitu:
1. Agar kita tidak dihakimi.
2. Hukum yang kita terapkan kepada orang lain akan diberlakukan kepada kita.
3. Kita juga bisa duduk pada kursi pesakitan. Artinya, kita juga bukan manusia tanpa kelemahan atau dosa. Seringkali kita memahami bahwa kita lebih baik dari orang lain maka kita menghakimi mereka. [bd Rom 2:1].
4. Perintah untuk tidak menghakimi adalah dasar supaya kita bermurah hati. Artinya, jika kita sudah menghakimi seseorang maka kita akan sulit untuk mengeluarkan pengampunan, mengerti, dan menerima dia.

Mari melihat ayat 3 dan 4. Salah satu alasan kita untuk tidak menghakimi adalah supaya tidak terjebak dalam kemunafikan. Penghakiman dan kemunafikan sering sekali sejalan karena kita menganggab diri kita lebih baik dan benar sehingga kita terjebak dalam kemunafikan. Tidak menghakimi sesama orang berdosa. Kita juga adalah orang berdosa, bahkan kita bisa lebih jahat dari pada orang lain. Memandang diri kita positif dan memandang orang lain negatif adalah dosa orang Farisi yang ditegur oleh Tuhan Yesus. Mereka membenarkan atau meninggikan dirinya dan merendahkan orang lain dengan menyatakan kesalahan mereka [band. Luk 18:9-14]. Kita sulit melihat kelemahan kita jika kita bersikap menghakimi. Kita bahkan menghina orang lain dan meninggikan diri sendiri, yang merupakan sebuah kemunafikan, jika kita menghakimi.

Relasi Dengan Sesama
Kita jangan bertindak sebagai hakim yang mencari-cari kesalahan orang dan dengan kejam menghukum atau seperti Farisi yang munafik dengan mencela kesalahan orang lain tetapi memaafkan diri sendiri. Jika kita salah kita toleran, tetapi jika orang lain salah tidak ada kompromi. Ini salah dan egois. Salah satu cara agar tidak terjebak dalam penghakiman adalah mari belajar say no to you self. Mengatakan tidak kepada orang adalah gampang, tetapi menyatakan tidak kepada diri sendiri adalah sulit. Penting sikap mengoreksi diri sendiri terlebih dahulu baru kemudian menolong orang lain secara konstruktif, untuk mengatasi kekurangannya. Alasan kenapa banyak orang di persekutuan merasa sakit hati, karena dia merasa dihakimi dan didakwa dan seolah-olah dia yang paling najis oleh karena orang-orang dipersekutuan merasa superior dan paling suci yang tidak mengerti kejatuhan orang lain.

Relasi Orang Kristen Terhadap Non Kristen
"Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu."

Orang akan bertanya-tanya kenapa Yesus begitu sarkastis dalam ayat ini. Yesus baru mengajar jangan menghakimi orang lain tetapi kenapa sekarang seperinya menjudge, ada anjing ada babi. Sebenarnya konteknya bukan dalam pemahaman seperti ini. Konteks ay 1-5, berbicara soal orang yang masih terbuka dengan pertobatan dan sesama orang percaya. Tetapi bagi orang yang menolak Injil bahkan menyerang Injil, inilah yang dimaksudkan dalam ayat 6. Dua binatang yang dimaksudkan di sini adalah dua binatang yang haram bagi Yahudi. Mereka ini adalah kelompok orang-orang yang sengaja menolak Injil bahkan menentang Injil [lih Amsal 9:8, bd Mat 10:14; Luk 10:10-11; Kis 18:5-8]. Dalam bagian ini Tuhan ingin mengatakan untuk tidak memberi barang yang kudus kepada anjing dan mutiara kepada babi. Jika kita perhatikan Mat 13:46, mutiara ini adalah Injil Kerajaan Allah. Tetapi hal ini tidak membatasi Perkabaran Injil. Amanat agung wajib kita sebarkan kepada semua orang, tetapi perhatikan, adakah dia sudah tertutup kepada Injil atau mau menyerang kita karena memberitakan Injil. Dalam hal ini kita memerlukan hikmat dari Tuhan.

Relasi Terhadap Semua Orang
Mari melihat ayat 12, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”. Ayat 12 ini adalah mengenai sikap terhadap semua orang. Dalam bahasa Yunani, ayat 12 ini diawali dengan kata ”so” atau ”jadi” atau ”maka dari itu”. Hal ini dihubungkan dengan ayat 1- "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi". Kemudian ayat ini juga dihubungkan dengan ”karena Bapa kita Bapa yang baik” (11). Jadi dapat dikatakan karena kita tidak menghakimi atau karena kita memiliki Bapa yang baik, maka segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. Ada prinsip umum yang berlaku. Dalam Budha ada ajaran jangan menyakiti orang lain jika kamu tidak mau disakiti. Oleh karena itu jangan perbuat pada orang apa yang engkau sendiri benci. Di dalam Rom 12, dikatakan bahwa kita harus bersifat aktif dan lebih dahulu melakukannya. Ini adalah KASIH sebagai kegenapan Hukum Taurat [ bd Mat 5:17; Rom 13:8-10].

Sikap Tehadap Pengajar Palsu (13-20)
Setelah Yesus mengajarkan tentang dua harta (surgawi dan duniawi), dua keadaan, dua tuan, dua ambisi, maka sekarang Yesus melukiskan dua jalan (luas dan sempit), dua guru (benar dan palsu), dua permohonan (kata-kata dan perbuatan), dan dua pondasi (pasir dan batu).

Dua jalan dan pintu (13-14, ”Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya."). Sering sekali orang berbicara soal ini mengenai Sorga. Sebenarnya, jalan disini tidak mengenai sorga walau ada hubungannya dengan Sorga. Tetapi di dalam menjalani hidup sebagai orang percaya di dunia ini kita diperhadapkan dengan dua jalan atau dua pintu dengan prinsip dua cara hidup yang sangat kontras dalam perjalanan hidup manusia. Dua alternatif ini harus memilih dan tidak bisa digabungkan. Pintu yang pertama itu adalah pintu yang sesak atau jalan yang sempit yang menuju kepada kehidupan. Hanya sedikit orang yang bisa masuk ke dalamnya. Apa yang ingin Yesus katakan di sini adalah pintu itu, etika atau cara hidup yang diajarkan Yesus itu adalah satu cara hidup yang ketat dengan pembatasan dari segi cara hidup dan etika. Itu sebabnya dalam hidup kita ada banyak hal yang tidak boleh kita lakukan karena ada rambu-rambu bagi kita jika kita ingin hidup benar dan memuliakan Tuhan. Ingat, hal ini jangan dikaitkan dengan dorongan dari luar tetapi harus dorongan dari dalam. Artinya kita kita lebih dipengaruhi oleh dorongan dari luar, maka kita seolah-olah dipaksa berjalan dalam koridor yang sempit ini dan kita tertekan. Jika kita masih terpaksa untuk tidak berbuat dosa, berarti kondisi rohani kita tidak sehat. Tetapi jika ada satu inner drive untuk tidak bedosa, maka senang untuk tidak berdosa. Inilah jalan hidup yang sempit ini. Jalan yang kita tempuh itu, walaupun sempit, adalah karena pilihan kita sendiri, dan kita senang melakukannya. Kemudian Pintu yang lebar dan jalannya luas tetapi menuju kepada kebinasaan dan banyak orang melaluinya. Jalan ini sangat luas dan pintunya gampang dimasuki, ada toleransi dan kebebasan untuk berbuat sesuka hati tanpa rambu-rambu. Inilah jalan yang lebar. Jika ita mengikuti jalan dunia ini, tidak ada rambu-rambu. Dalam hal inilah dikatakan ada ragam pendapat dan kelonggaran moral [bd Mzm 1:1-6]. Ini adalah dunia yang sering kita jalani setiap hari.

Kemudian alternatif berikutnya adalah Dua guru (15-20). Setelah Tuhan Yesus berbicara mengenai jalan yang benar dan palsu, maka ia berbicara mengenai guru palsu dan nabi palsu. Pentingnya sikap waspada kerana nabi palsu adalah serigala yang menyebar dan meracuni. Artinya dalam PL, orang menjadi nabi adalah karena diakui dan banyak orang menerima ajarannya dan nubuatannya benar. [Yer 23:16, 18, 22, 28]. Mereka adalah serigala yang buas yang menyamar seperti domba (15). Jika anjing dan babi (6) gampang mengenalinya. Tetapi serigala yang menyusup ke kawanan domba sulit mendeteksinya. Mereka juga mengaku mengajarkan kebenaran-kebenaran wahyu Allah dengan lidah yang fasih dan hidup berpura-pura saleh dan baik. Mereka berlindung dalam kepribadian yang menarik, bobot pengetahuan yang tinggi,pengaruh dan jabatan kerohanian yang diakui secara legalistik pada zaman itu. Tetapi Yesus memberi tahu cara untuk mengujinya (17-19). Ada perubahan metafora serigala domba menjadi pohon dan buah. Pohon tidak dapat menyembunyikan jatidirinya untuk jangka waktu yang lama, tetapi sergala bisa. Karena pohon, cepat atau lambat akan dikenal melalui buahnya. Serigala dapat menyamar tetapi pohon tidak. Oleh sebab itu dikatakan pohon yang baik menghasilkan buah yang baik (20). Dalam onteks sekarang, bagaimana mendeteksinya? Mari memperhatikan ajaran atau doktrinnya (1 Yoh 2:24; 4:1, 6). Kemudian perhatikan watak dan hidupnya apakah menghasilkab buah Roh (17-18). Seorang Bishop mengatakan doktrin yang sehat, hidup yang suci dan penuh kasih merupakan pertanda nabi/pengajar yang sejati. Proses kejadian dan kematangan buah membutuhkan waktu. Demikian halnya untuk membuktikan nabi dan pengajaran palsu.

Perhatikan ayat 21-27. Dua alternatif terakhir dalam khotbah di bukit. Pertama pengakuan percaya verbalis yang hanya dengan mulut (21-23) dan sekaligus ciri dan perbuatan nabi palsu. Kedua, ada pengakuan percaya sebatas pengetahuan intelektual tanpa kepatuhan. Mendengar Firman Allah tanpa melakukan (24-27).

1. Pengakuan percaya verbalis yang hanya di mulut (ay 21-23, ”Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"). Sangat luar biasa apa yang dilakukan oleh nabi palsu dalam ayat 22 ini. Mengusir setan dalam nama Yesus, bernubuat, menyembuhkan, dan mengadakan mukzizat. Logikanya mereka adalah pengajar yang benar. Tetapi tidak. John Stott berkata bahwa tindakan yang mereka (pengajar palsu) lakukan sama seperti ahli-ahli nujum yang bisa melakukan nubuat dalam nama Yesus dalam arti bukan karena iman kepada Yesus yang sesungguhnya tetapi sebuah pemahaman magis dan mistis. Ada orang mengatakan tentang Yesus atau pengakuan kepada Yesus, tetapi pengakuan yang verbalis tanpa iman yang sejati. Inilah yang dilakukan oleh para pengajar palsu.

Jika kita membaca Rom 10:9-11, kita merasa lahir baru itu sangat mudah. Apakah ketika ada pengakuan verbalis seperti dalam Rom 10 itu, secara otomatis melahirkan orang secara baru? Belum tentu orang yang angkat tangan atau mengaku percaya menerima Kristus sudah lahir baru. Tunggu dulu. Bagaimana pandangan kita akan hal ini? Apakah yang ikut PA sudah otomatis lahir baru? Belum tentu. Oleh karena itu Yesus sangat menekankan agar pengakuan akan Yesus dibarengi dengan hidup yang benar. Pohon dikenal dari buahnya. Hal ini menjadi koreksi bagi diri kita, agar kekristenan yang kita bangun bukan kekristenan formalis, legalis, dan pernyataan verbalis. Tetapi kekristenan yang nyata dari kehidupan kita sehari-hari. Yang penting adalah bukan apa yang diucapkan kepada atau tentang Yesus, melainkan apakah kita perbuat sesuai dengan apa yang kita ucapkan. Pengakuan percaya yang verbal itu adalah ucapan tanpa kebenaran.

Verbalisme bukan moralitas yang benar. Ada pengakuan percaya tanpa kenyataan. Mengaku Yesus Tuhan, tetapi tidak tunduk kepada ketuhananNya. Pengakuan yang verbalis ini seharusnya dihancurkan dengan satu hal yaitu dengan mentuhankan Yesus dalam seluruh dalam aspek hidup kita. Jika kita tidak menempatkan Yesus sebagai Tuhan dari seluruh hidup kita, sebenarnya dia sama sekali bukan Tuhan bagi kita. Yang menyebut nama Tuhan haruslah meninggalkan kejahatan (2 Tim 2:19). Yesus tidak tekesan dengan kalimat-kalimat rohani kita, kesalehan palsu, atau pernyataan-pernyataan rohani, tetapi Yesus akan kagum jikalau pernyataan rohani kita seiring dengan perbuatan sebagai tanda bahwa kita taat kepada Dia.

2. Pengakuan percaya sebatas pengetahuan intelektual tentang kepatuhan, mendengar Firman Tuhan tanpa melakukannya. Mari melihat ayat 24-27, "Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir.Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya."
Bagian ini adalah perkataan Yesus dalam khotbah di Bukit. Bagian ini menunjukkan dua metafora. Pertama orang yang bijak, yaitu mereka yang mendengar Firman Tuhan dan melakukannya. Mereka ini digambarkan Yesus dengan orang bijak yang membangun rumah. Mereka membangun dengan memperhatikan dan membuat pondasi yang kokoh. Tetapi orang bodoh asal membangun tanpa mempertimbangkan ketahanan pondasinya dengan membangun di atas pasir. Metafora inilah ciri atau karakter kehidupan kekristenan. Di dalam hal ini digambarkan oleh Yesus sebagai dua bangunan yang kelihatannya serupa, baik yang sejati maupun palsu. Kesejatian itu akan terbukti saat diterpa badai. Ketika kedua bangunan dihantam hujan, angin, dan banjir, maka akan kelihatan perbedaan yang fundamental antara dua jenis bangunan. Sama dengan kita. Ketika badai hidup menerpa kita, maka akan ketahuan apakah kita jenis bangunan yang kokoh atau rapuh. Kita sulit membedakan dua jenis ’bangunan’ ini karena: pertama, pondasi kehidupan terhalang dari penglihatan seperti akar. Kedua, pondasi bisa tertutupi oleh jabatan, aktifitas, dan fenomena rohani. Kehidupannya sepertinya aman dan mulus sampai tiba pada ujian dan pencobaan.

Oleh karena itu butuh komitmen yang sejati, yaitu pengakuan verbal dan intelektual tidak dapat menjadi substitusi dari kepatuhan/ketaatan. Karena itu jangan berpikir ketika kita melakukan hal-hal rohani, hal tersebut menjadi substitusi dari sebuah ketaatan. Mari, kita para lamuni, jangan membangun kekristenan yang semu, yang ditutupi dengan fenomena dan jabatan rohani, dll. Kekristenan yang sejati dibangun melalui ketaatan akan apa yang diketahui akan Firman Tuhan. Penting bagi kita melakukan apa yang dikatakan (dipercayai) dan apa yang diketahui [bd 1 Yoh 1:6; 2:4; Yak 1:22-25; 2:14-20].

Apa yang kita ucapkan (pengakuan percaya kepada Yesus) dan apa yang kita ketahui tentang pribadi dan karakter Kristus, mari kita terjemahkan dalam hidup kita sehari-hari. Jika kita Yesus itu sabar, mari kita belajar untuk sabar. Jika kita tahu Yesus itu suci, mari kita belajar setiap hari untuk hidup suci.
Pengajaran Yesus bukan sederetan aturan etis yang gampang ditaati, tetapi sangat kontras dengan nilai dan etika dunia. Oleh karena itu sangat dibutuhkan komitmen. Makanya ayat 21-23, komitmen pertama jangan sebatas pengakuan verbal, melainkan disertai tindakan etis dan moral. Kemudian ay 24-27, jangan sebatas sebatas pengetahuan intelektual, tetapi ada komitmen untuk mentaati Firman Allah yang akan merubah hidup kita. Pengakuan penting, pengetahuan penting, tetapi hidup yang benar jauh lebih penting.
Soli Deo Gloria!

[Seri Eksposisi] Matius 6:19-34

Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Eksposisi pada hari ini diambil dari Mat 6:19-34. Minggu lalu kita berbicara mengenai bagaimana Yesus mengajar ibadah yang batiniah, bukan lahiriah, maka bagian ini merupakan bagaimana perilaku umum orang percaya soal materi, kepemilikan, dan juga tentang ambisi orang percaya. Pada bagian ini Yesus berbicara soal nilai hidup orang Kristen yang benar. Sebelum Yesus berbicara soal pentingnya orang tidak perlu kuatir di dalam hidupnya, Ia mengawali dengan dua alternatif dalam kehidupan.

1. Soal Harta: duniawi dan harta sorgawi (19-21)
Perlu diketahui bahwa harta orang pada saat itu adalah pakaian, yang gampang dimakan ngengat dan rayap. Tidak salah untuk bekerja keras atau menabung atau asuransi. Yang salah adalah jika kita menjadi serakah dan materialistis dan mengabaikan orang lain. Karena kita egois dan tamak maka kita fokus pada mengumpulkan harta, dan tidak ingat dengan orang lain apalagi membantunya. Menabung harta di Surga, yang tidak dimakan rayap, itu adalah jika kita melakukan kebaikan kepada orang lain. Kita menyatakan kasih dan menjadi berkat bagi orang lain.

2. Soal kondisi fisik: Terang atau Gelap (22-23)
Jika mata kita gelap, maka gelaplah seluruhnya. Artinya, sangat penting penglihatan yang tajam untuk melihat hal-hal yang rohani, yang mulia. Jika mata kita tidak bisa melihat dengan tajam lagi, oleh karena kerakusan dan ketamakan, maka kita bisa gelap dan tidak melihat lagi sesuatu itu benar atau tidak. Kita tidak bisa melihat orang lain yang membutuhkan pertolongan. Yesus memerintahkan agar kita memelihara mata kita agar bisa melihat dengan jelas. Banyak alumni yang terjebak karena mata rohani yang sudah kabur dimana tidak tahu membedakan mana yang dari Allah dan mana yang tidak.

3. Soal bagaimana loyalitas yang absolut: Allah atau Mammon (24).
Kita tidak bisa ikut Tuhan sekaligus ikut mammon. Banyak orang Kristen dan kita para almuni menginginkan keduanya, dalam arti kompromi. Pada hari minggu kita sangat rohani, tetapi pada hari yang lain kita kompromi. Kita terjebak dengan melihat yang abu-abu menjadi putih. Dengan kata lain jika mata rohani kita baik, maka yang abu-abu menjadi hitam, tetapi jika mata rohani kita gelap, maka yang abu-abu itu menjadi putih. Oleh karena itu Yesus mengingatkan bahwa kita membutuhkan loyalitas yang absolut. Penting iman dan loyalitas yang absolut kepada Allah. Apa yang Yesus ingin ajarkan adalah supaya jangan ada orang percaya yang bersandar kepada materi tetapi harus bersandar kepada Allah.

Mari kita melihat ayat 25, "Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” Kalimatnya dimulai dengan ’karena itu’. Hal ini muncul karena ada dua alternatif dalam kehidupan seperti yang telah dikemukakan diatas. Jika kita menabur harta sorgawi, mata rohani tetap tajam, loyal kepada Allah maka kita tidak perlu kuatir. Ada bebarapa alasan untuk tidak kuatir. `Pertama, dalam ayat 25 dikatakan juga ’hidup itu lebih penting dari makanan’. Artinya adalah tanpa hidup tidak ada arti makanan. Oleh sebab itu kita makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Kedua, tubuh kita lebih penting dari pakaian (25). Tanpa tubuh, pakaian tidak berguna. Ingat, kata makan, minuman, dan pakaian berbicara soal seluruh apa yang kita butuhkan. Ketiga, kuatir tidak pernah menambah, tetapi pemborosan waktu, pikiran, dan energi (ay 27, ”Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?). Kita harus meyakini, jika Allah memandang baik, Dia pasti akan memberi- kannya. Keempat, Bapa di Sorga tahu, mau dan mampu untuk memenuhi apa yang kita perlukan (ay 32b, ”Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu.”), bahkan Dia akan menambahkan kepada kita (ay 33b, ”...maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”). Bapa tahu apa yang kita perlukan. Oleh sebab itu jika belum terjadi sampai pada saat ini, berarti belum tepat menurut Bapa untuk memberikannya. Memang untuk menunggu jawaban Tuhan kita perlu berjuang. Di sinilah kita dikuatkan dan diingatkan akan Firman Allah. Kita harus menyerahkan diri kepada Allah, maka dikatakan bahwa Bapa yang di Surga itu adalah Bapa yang mampu memberikan apa yang kita perlu bahkan lebih lagi (bd. Ef 3:20-21, ”Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita, bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan di dalam Kristus Yesus turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin”). Kelima, karena kesusahan sehari cukup untuk sehari, dan hari esok lebih baik dari hari ini (34b). Mari menikmati hidup ini yang tentu saja di dalam pemeliharaan Tuhan. Ada pengharapan bahwa hari esok lebih baik dari hari ini.

Mari kita lihat ayat 26, ”Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” Soal makanan, mari melihat burung yang tidak pernah menanam atau menuai, tetapi tetap hidup dipelihara oleh Allah. Bukankah kita lebih berharga daripada burung. Ada yang mengatakan, ”Iya, burung cukup dengan makan dan minum. Ia tidak butuh kendaraan dan harta.” Ini adalah keinginan manusia. Yang membuat orang kuatir bukan karena kecukupan, tetapi karena keinginan. Ingat, burung memang tidak membutuhkan harta, tetapi Allah memberi kita lebih. Kita memperoleh pendidikan dan mampu berpikir. Kita lebih bermartabat dari burung. Burung hanya bisa terbang, mengambil makanan, lalu pulang. Tetapi kita bisa bekerja, berpikir, dan melakukan yang lebih lagi.

Mari melihat soal pakaian yang dibandingkan dengan bunga bakung. Ayat 28-30, ”Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?” Pengertian dari pakaian disini adalah kebutuhan fisik dari luar (band. dengan makanan yang adalah kebutuhan fisik untuk dalam). Yesus menekankan bahwa manusia lebih tinggi harkat dan martabatnya dari pada burung dan bunga bakung. Karena itu jangan kuatir dalam hidup kita.

Kenapa orang terjebak dalam kekuatiran?
1. Karena kurang percaya/beriman (ay 30, ”Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?”).

2. Tanda bahwa kita tidak mengenal Allah (ay 32a, ”Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah.”).
Orang stress atau kuatir soal makanan, minuman, dan kebutuhannya adalah bukti bahwa kita tidak mengenal Allah dengan benar. Bukan pengenalan kognitif yang dimaksud, tetapi perpaduan kognitif dan empirisme bahwa kita mengenal Allah secara benar. Orang kafir memfokuskan perhatian kepada apa yang dimakan, diminum, dan dipakai (ay 31-32, ). Jika fokus kita pada materi, sampai kapan pun kita akan tetap kuatir. Orang percaya justru harus memfokuskan perhatiannya kepada Allah (ay 33, ”Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya,...” ).

Ada dua jenis ambisi manusia. Pertama, ambisi duniawi secara materi yaitu keterjaminan segala kebutuhan badani dan dengan sukses tercapai semua keinginan duniawi. Hal ini membuat orang kuatir. Kedua, ambisi Rohani/Spiritual yaitu berkuasanya Kerajaan Allah dan kebenaranNya di dalam hidup orang percaya. Dalam ayat 33 dikatakan, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Apa yang dimaksudkan dengan Kerajaan Allah adalah berdaulatnya Allah di dalam keseluruhan hidup umatnya dan adanya tuntutan agar umat secara total mengabdi kepada Allah dimulai dari pertobatan, merendahkan diri dihadapan Allah, percaya penuh kepadaNya, dan menyerahkan diri kepada pimpinan Allah. Inilah yang dikatakan mencari Kerajaan Allah. Setelah ini muncullah ‘mencari kebenaranNya’. Allah mau agar umatNya mengerti kebenaran Allah dan mereka hidup di dalam kebenaran tersebut yaitu hidup dalam kesucian. Inilah kebenaran Allah yang dimengerti dan dihidupi. Allah mau kebenaranNya nyata dalam setiap kehidupan umatnya. Jika ini terjadi, maka ada jaminan pemeliharan Allah bagi orang percaya dan hal ini juga membuat orang percaya tidak perlu kuatir lagi. Jika Kerajaan Allah dan KebenaranNya nyata, maka Bapa yang tahu apa yang kita perlukan (makanan, miniman, pakaian, dst) akan memberi sesuai dengan kehendakNya. Bahkan Bapa itu akan memberi lebih dari apa yang kita perlukan. Ia akan menam- bahkan kepada kita. Mari belajar untuk tidak kuatir. Allah itu baik.

Yesus tidak pernah melarang untuk memikirkan apa yang kita akan makan, minum, danpakai. Justru Yesus mendorong, dan Alkitab melarang orang malas yang tidak bekerja. Karena itu mari belajar dari kalimat Jhon Wesley, pendiri Gereja Methodist, ”Carilah uang sebanyak-banyak- nya, tabunglah uang sebanyak-banyaknya, dan persembahkanlah uang sebanyak-ba nyaknya.” Bagaimana caranya? Tentu dengan hikmat Allah. Yesus juga tidak pernah melarang untuk merencanakan hidup. Justru harus! Jika Allah bukan perencana agung. Pada hari pertama ia menciptakan manusia, apa jadinya. Pasti tidak ada tempat dan makanannya. Oleh sebab itu manusia diciptakan pada hari yang keenam. Allah menyediakan terlebih dahulu segala-galanya baru menciptakan manusia. Inilah bukti pemeliharaan Allah dan sekaligus Allah adalah perencana. Oleh sebab itu Yesus juga mengajarkan agar kita merencanakan hidup, mengatur sedemikian rupa. Tetapi Yesus melarang kita agar jangan sampai kuatir. Persiapan hari esok adalah baik, bahkan wajib. Alkitab berkata adalah sebuah kejahatan kalau seorang percaya tidak memikirkan dan tidak memberikan apa yang perlu bagi keluarganya. Kekuatiran yang melelahkan dan menyita perhatian maupun energi itu, harus dihindari. Mari belajar untuk tidak kuatir.
Soli Deo Gloria!

[Seri Eksposisi] Matius 6:5-15

Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Bagian Firman Mat 6:5-15 ini merupakan lanjutan dari khotbah di bukit dan berbicara soal bagaimana memiliki ibadah yang tulus. Ibadah agamawi yang bukan ritual tetapi spiritual, bukan mekanis melainkan dinamis, bukan simbolis tetapi esensis. Kita sendiri sangat gampang terjebak dalam hal seperti ini di mana ibadah dan doa kita menjadi mekanis. Misalnya, karena kita sudah lama ke gereja maka kita ke gereja agar orang lain tidak membicarakan kita. Jadi kita pergi ke Geraja bukan karena pemahaman teologia dan kerinduan yang dalam. Contoh lain, pernahkan kita merasa malu tidak memberi persembahan ke Gereja? Jika ada kita bersyukur memberikannya, dan jika tidak adapun kita tetap bersyukur karena tidak memberi. Sadar atau tidak, kita terjebak dalam hal yang ritualis, simbolis, dan mekanis. Jadi saat ini Tuhan Yesus memperingatkan kita soal bagaimana beribadah harus tulus dan ikhlas.

Teks ini diawali dan diakhiri dengan peri- ngatan akan bahaya kefasikan dan kemunafikan. Teks ini diawali dengan cara orang Kristen memberi di mana dalam memberi tidak perlu diketahui oleh orang (6:2-4). Kemudian soal berdoa yang tidak benar yaitu doa kafir dan doa Farisi (6:5-8), dan mengenai puasa orang Farisi dan Kristen (6:16-18).

Bagian yang pertama dari Eksposisi kita berbicara tentang doa orang Farisi. Ada satu kontradiksi antara kesalehan agamawi dan kesalehan batiniah (ay 5). Doa orang Farisi lebih menunjukkan kesalehan agamawi. Mereka melaku- kannya dengan cara bedoa agar dilihat orang, berdoa di perempatan, dan berdoa di depan rumah ibadah. Tidak salah berdoa dilihat orang lain, tetapi menjadi salah agar dilihat orang. Kesalehan orang Farisi dalam doa mereka adalah kesalehan yang menyenangi pujian manusia. Doa hanya menjadi sekedar simbol dan aktifitas agamawi serta sebagai kesombongan rohani. Doa memang aktifitas rohani tetapi bukan hanya sekedar aktifitas rohani. Puasa pun adalah aktifitas rohani tetapi bukan hanya sekedar puasa. Di sinilah kita biasanya salah. Kita diperingatkan oleh Tuhan Yesus melalui murid-murid juga pada zaman itu bagaimana berdoa yang benar.

Bagian yang kedua adalah doa yang Alkitabiah. Doa orang Kristen ada seperti pada ayat 6, “Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” Doa Kristiani yang dikatakan di sini memiliki satu hubungan batiniah yang tulus dan privasi sifatnya. Itu sebabnya dikatakan ‘masuklah ke dalam kamarmu’ bukan menekankan agar tidak dilihat orang, walau hal ini pun penting. Dalam kesendirian kita bisa menikmati doa dengan khusuk, tenang, teduh, berdua dengan Tuhan, dan jauh dari penglihatan orang yang tidak penting. Sebab itu penting sekali motivasi yang murni dan kerinduan mencari wajah Allah. Ingat Maz 27:8, “Hatiku mengikuti firman-Mu: "Carilah wajah-Ku"; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN”. Kata ‘tersembunyi’ memakai kata tamelon (Yun) yang berarti ruangan yang diperuntukkan sebagai tempat penyimpanan harta benda. Artinya, jika kita tulus, konsentrasi, sungguh-sungguh, dan dengan motivasi murni datang ke hadapan Allah, maka ada jaminan Bapa akan mendengar seruan kita.

Bagian yang ketiga adalah doa orang Kafir. Mari melihat ay 7-8. Dalam ayat ini dikatakan bahwa orang Kafir berdoa denga bertele-tele (Battalegeo – Yun- kata yang diulang-ulang dimana jika semakin diulang-ulang dan semakin keras maka Tuhan akan mendengar karena mereka biasa berdoa kepada Baal). Doa mereka ini adalah doa yang mekanis. Mereka berpikir bahwa jawaban doa mereka ditentukan oleh banyaknya kata-kata (ay 8). Pernahkah kita berdoa di mana kalimat itu tidak lahir dari hati kita? Kita sering terlalu mengatur kata-kata kita agar bagus didengar oleh orang lain. Ingat doa berbicara mengenai ketulusan. Orang percaya berdoa dengan segenap hati dan pikiran karena dalam doa harus melibatkan hati dan akal budi. Artinya dengan hati kita beriman dan dengan akal budi hikmat Allah menyertai kita berdoa, maka doa yang tulus itu bukan seperti suara yang terlepas ke udara, tanpa suara, makna, penghayatan, dan iman. Oleh sebab itu sebelum memohon kepada Tuhan Allah, pikirkan. Jika kita berdoa, “Bapa kekasih jiwaku,…”, apakah kita memang kita memandang Tuhan sebagai kekasih jiwa kita? Jika tidak, berarti kita telah berdosa. Jadi, jangan sembarangan mengucapkan kata-kata yang sembarangan dan hampa dalam doa.

Kita harus melibatkan hati dan akal budi kita karena Bapa mengetahui apa yang kita perlukan sebelum diminta. Bukan berarti kita tidak perlu berdoa. Karena kita mengetahui Bapa kita itu baik, maha kuasa, dan memperhatikan kita, maka kita berdoa. Martin Luther mengatakan bahwa melalui doa kita lebih mewajibkan diri kita dari pada mewajibkan Allah. Jadi bukan agar Allah bekerja-walau Allah juga bekerja dengan doa-tetapi kita juga mewajibkan diri kita. Artinya, kita yakin bahwa Allah tahu dan mau memberikan kebutuhan kita, dan kita yakin Allah mampu memberi apa yang kita perlukan dan Dia sangat mengasihi kita. Hal inilah yang menggerakkan kita berdoa. Pemahaman seperti inilah yang perlu kita miliki dalam kehidupan doa kita.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dia Farisi itu munafik tetapi doa Kristen itu tulus. Doa Farisi berpusat kepada diri sendiri, tetapi doa Kristen berpusat kepada Allah. Doa Kafir mekanis, tetapi doa Kristen itu dinamis. Doa Kristen real-bersahaja, bersungguh hati sebagai lawan dari kemunafikan; dengar-dengaran sebagai lawan dari mekanis. Doa Bapa Kami merupakan contoh doa Kristen yang sejati.

Ayat 9-13 merupakan doa Kristen yang sejati. Menurut Matius, doa ini merupakan pola doa yang perlu diteladani (9). Tetapi Lukas mengatakan bahwa doa ini sebagai bentuk yang dipakai. “Berdoalah demikian!” (Luk 11:2). Jika Lukas menekankan pada perintah, tetapi Matius menekankan pada sebuah pola.

Doa Bapa Kami terdiri dari dua bagian yaitu Theosentris (ay 9-10) dan Anthroposentris (ay 11-13/14-15).

THEOSENTRIS
Kalimat yang pertama adalah “Bapa Kami yang di Surga,..”. Ada beberapa hal yang perlu kita pahami dari hal ini. Pertama, Allah adalah suatu pribadi yang berbeda dengan berhala Kafir yang tanpa esensi. Kedua, ada satu relasi yang khusus antara kita dengan Allah. Ingat, yang berhak mengatakan Bapa Kami yang di Surga adalah mereka yang telah lahir baru (Yoh 1:12; Rom 8:14-15; Gal 4:6). Ketiga, kalimat diatas menunjukkan Bapa sebagai pribadi yang penuh kasih sayang dan perhatian. Keempat, kalimat ini ingin menunjukkan bahwa Surga bukan hanya sebatas alamat. Melainkan manyatakan bahwa Dia Maha Kuasa.

Allah bukan saja Bapa yang baik, tetapi dia juga berkuasa untuk menyatakan kebaikannya (Mat 7:-11). Pengenalan akan pribadi Allah yang demikian akan membuat kita sungguh-sungguh datang ke hadirat Allah. Pengenalan akan siapa Allah akan membuat kita berdoa dengan mendahulukan kepentingan Allah. Maka kita berkata, “Dikuduskanlah namaMu, datanglah kerajaanMu, dan jadilah kehendakMu di bumi seperti di Surga”. Di dalam doa, kita lebih dahulu menempatkan kewajiban kita terhadap Allah barulah diikuti oleh kebutuhan kita. Inilah teologia doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus.

“…dikuduskanlah namaMu…”
Artinya Allah itu diperlakukan sebagai pribadi yang kudus. Dengan pemahaman bahwa kita tidak pernah membuat Allah menjadi kudus. Kekudusan Allah tidak pernah bertambah dan berkurang walau semakin banyak orang memuji Dia. Maksud kalimat ini adalah bahwa kita sebagai umat memperlakukan Allah sebagai pribadi yang kudus dengan datang kepada Dia di dalam kekudusan dan inilah dorongan bagi kita untuk hidup dalam kekudusan (I Pet 1:15-16). Kepada Dia yang kudus diberi penghormatan yang selayaknya. Oleh karena itu jika kita ingin berdoa mari datang kepadanya dengan kekudusan (bd Yes 9:51). Salah satu jaminan doa dijawab adalah mari datang dalam kekudusan.

“…datanglah KerajaanMu…”
Kita mengimani dan mengakui Kerajaan Allah bahwa Dia betul-betul Raja. Kita menempatkan Dia sebagai Raja yang sesungguhnya, Raja yang mahakuasa yang memerintah dan berdaulat. Kemudian muncul ‘datanglah KerajaanMu’. Ada sebuah ketegangan di sini antara already but not yet. Artinya Kerajaan Allah telah datang di dalam diri Yesus ketika datang ke dunia. Tetapi Kerajaan Allah juga akan datang bagi orang yang mau percaya kepadaNya. Dimana orang percaya kepada Kristus, di situ hadir Kerajaan Allah. Dimana kebenaran dihidupi dan diperluaskan, disitu Kerajaan Allah semakin luas. Kerajaan Allah semakin luas melalui PI. Kesempurnaan Kerajaan Allah terjadi dalam kedatangan Yesus ke dua kali (2 Tim 4:1. Tetapi ketika kita berdoa ‘datanglah KerajaanMu’, hal ini berbicara soal hal bagaimana kebenaran Allah semakin dihidupi dan diperluas dan dialami oleh orang lain.

“…jadilah kehendakMu di Bumi seperti di Surga.”
Ingat Rom 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Kehendak Allah itu baik dan sempurna. Karena itu wajar jika kehendak Allah yang baik dan sempurna itu terjadi di bumi. Artinya, Bapa yang Maha Kuasa dan Kudus dan Sang Raja, layaklah apabila kehendakNya yang baik dan sempurna itu kita alami di bumi. Yesus mau supaya kita berdoa agar kehidupan dibumi semakin menyerupai nilai-nilai Surga seperti lebih damai, dalam kebenaran dan penuh sukacita.

ANTROPOSENTRIS
Setelah berpusat kepada Allah, barulah doa itu diarahkan pada kebutuhan manusia. Ada peralihan dari prinsip mengutamakan Allah kepada kebutuhan manusia. Ada pemahaman akan pribadi Allah yang melahirkan ketergantungan manusia kepada kasih karuniaNya. Pengenalan akan Allah akan menciptakan keberanian dan dengan iman menyampaikan permohonan akan kebutuhan kita. Apakah kebutuhan kita?

“Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”
Kata makanan bukan hanya sekedar perut, tetapi kebutuhan pangan, sandang, papan, cuaca, suasana, dll. Tetapi ingat, bukan keinginan melainkan kebutuhan. Allah tidak pernah menjawab keinginan manusia untuk dipuaskan, tetapi Allah menjamin bahwa Dia akan memberi kebutuhan umatNya. Kata ‘hari ini’ diajarkan supaya ada ketergantungan setiap saat kepada Allah. Jika ada jaminan sampai kita mati bahwa semuanya akan berkecukupan, mungkin kita akan kurang berdoa. Jadi penekanannya adalah ada satu ketergantungan kepada Allah. A. M Hunter menyatakan demikian, “Jika berdoa Doa Bapa Kami pada pagi hari, berarti agar kecukupan kebutuhan sampai sore hari dan malam hari, dan jika diucapkan pada malam hari, berarti kebutuhan untuk esok hari.”

“…dan ampunilah kami akan kesalahan kami,…”
Ini adalah kebutuhan akan jaminan pengampunan akan kesalahan. Jika makanan menjadi kebutuhan utama bagi tubuh kita, maka pengampunan dosa merupakan kebutuhan utama bagi kesehatan jiwa. Ketika kita berkata “Ampunilah kesalahan kami...”, kita bukan sedang berbicara soal Surga dan Neraka. Hal ini berbicara soal penyucian bukan pembenaran. Hal ini penting karena orang yang tidak diampuni dosanya pasti mengalami kehampaan dan ketertekanan jiwa (bd Mzm 32:1-4). Jika kita mengalami seperti yang Daud gambarkan dalam ayat 1-4 ketika berdosa, berarti engkau dan saya masih sehat rohaninya. Jika sudah sejahtera dalam dosa, berarti bahaya! Oleh sebab itu Yesus mengajar kita untuk meminta pengampunan dari Tuhan yang akhirnya ada kelegaan dan ketenangan dan sukacita. Pengampunan dosa juga merupakan syarat permohonan kita didengarkan oleh Allah (bd Yes 59:1-2).

“…seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.”
Pengampunan dosa oleh Allah bukan di dasarkan karena sudah mengampuni kesalahan orang lain. Tetapi, ada jaminan pengampunan dosa dan sebagai bukti pertobatan yang sejati (ay 14-15) menjadi dasar bagi kita untuk mengampuni orang lain. Karena terlalu besarnya kita melihat dosa orang lain, dan terlalu kecil kita lihat dosa kita, maka kita sulit mengampuni orang lain. Tetapi ketika kita menyadari bahwa begitu banyaknya dosa kita yang diampuni oleh Allah, maka kita digerakkan untuk mengampuni orang lain. Jika kita sulit dan berat mengampuni orang lain, berarti kita kurang menikmati pengampunan dari Allah. Orang yang gampang mengampuni adalah orang yang menikmati pengampunan dari Allah (bd Mat 18:21-35). Apa yang mau diajarkan oleh Tuhan Yesus adalah pengampunan tanpa batas. Sadarilah bahwa kita sudah diampuni oleh Tuhan. Kemurahan mengampuni orang lain adalah pertanda bahwa kita telah diampuni Tuhan terlebih dahulu.

“Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.”
Pemahaman disini adalah Allah tidak pernah mencobai (tempt) manusia dan Allah tidak akan pernah mencobai manusia (Yak 1:13). Yang benar adalah Allah melakukan test and try. Test adalah ujian, dan try adalah situasi dimana setelah dilakukan berbagai perbaikan kemudian di coba. Inilah yang dilakukan oleh Allah (Kej 22:1-14; Yak 1:2). Dicobai (tempt) adalah dari Iblis. Dalam Matius 4, ketika Yesus dicobai, kata yang dipakai adalah tempt. Tempt itu meruntuhkan, sedangkan test untuk melihat apakah cocok ‘naik kelas’. Tempt menghancurkan, sedangkan try mencoba apakah sudah bisa berfungsi dengan baik. Yang berasal dari Allah adalah test and try karena Allah tidak pernah mencobai. John Stott menyatakan bahwa yang dimaksudkan jangan membawa kami ke dalam pencobaan adalah, jangan izinkan kami di bawa ke dalam pencobaan si Iblis yang dapat membuat kami kewalahan bahkan kalah. Oleh sebab itu muncul seruan untuk dilepaskan dari pada yang jahat di mana Allah memberi kekuatan.
Jika kita perhatikan dalam bagian ini, ada tiga kebutuhan manusia dalam doa, yaitu:
1. Kebutuhan Materi yaitu kebutuhan sehari-hari
2. Kebutuhan Spiritual yaitu pengampunan dosa.
3. Kebutuhan Moral yaitu kelepasan dari yang jahat.

Ketiga-tiganya sangat kita butuhkan setiap hari. Itulah sebabnya kita berdoa setiap hari kepada Allah.
Ayat 13 adalah sebuah doxology, makanya dinyanyikan. Dalam teks asli, ayat 13 tidak ada (dibuat dalam kurung). Ayat 13 ini adalah catatan redaksi karena dulu ketika orang berdoa, muncul satu ekspresi yang berkata “Terpujilah Engkau ya Allah!” Itulah sebabnya dinyanyikan (termasuk dalam Gereja suku pada saat ini). Dalam naskah purba, doa ini diakhiri dengan pujian kepada Allah pemilik Kerajaan, Yang Mahakuasa, dan Yang Mulia selama-lamanya.
Mari jangan berdoa seperti orang Farisi yang berpusat kepada dirinya sendiri yang munafik dan untuk dipuji. Dan juga jangan terjebak seperti doa orang Kafir yang bertele-tele dan seolah-olah memaksa Allah. Mari berdoa dengan tulus, ada hati nurani, keterlibatan hati dan akal budi dengan iman berdoa kepada Bapa dengan kita mengenal pribadi Allah yang kepadaNya kita berdoa. Baru kemudian dimunculkan dengan tiga hal bagaimana kita menempatkan Allah sebagai pribadi yang kudus, bagaimana KerajaanNya harus datang, dan bagaimana kedaulatanNya dinyatakan. Barulah, ketika keutamaan Allah ditempatkan, lahirlah pernyataan kebutuhan kita kepada Allah yang pribadinya kita kenal, yaitu trilogi kebutuhan manusia: kebutuhan material, spiritual, dan moral, yang kita perlukan setiap hari.
Soli Deo Gloria!

Wednesday, April 28, 2010

Eksposisi Rut 2 (2009) - Siapa Menyemai Kasih, Akan menuai Sayang (Rut Pasal 2)

[Kotbah ini dibawakan Denni Boy Saragih, M. Div pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat, 27 Februari 2009]

Tema pada hari ini diberi judul ‘Siapa Menyemai Kasih, Akan Menuai Sayang’. Hal ini berlaku bagi Rut yang menyemai kasih kepada mertuanya, Naomi, dan kepada Boas yang menyemai kasih kepada seorang perempuan asing yang bernama Rut. Rut pasal 2 ini dapat dibagi ke dalam tiga garis besar. Ayat 1-3 adalah mengenai kehidupan Rut dan Naomi yang di dalam kemiskinan dan bagaimana mereka mengalami pemeliharaan Tuhan. Ayat 4-17 berbicara mengenai Boas seorang yang kaya tetapi memiliki tangan yang bermurah. Kemudian ayat 18-23 berbicara mengenai sebuah harapan yang terbit dan benih cinta yang disemai.

Kemiskinan dan Pemeliharaan Tuhan

Dalam ayat 1-3 kita melihat adanya pemeliharaan Tuhan dalam bentuk Divine Ordered Society, artinya masyarakat yang diatur secara ilahi yang menolong orang miskin. Ini adalah satu konsep Perjanjian Lama mengenai umat yang telah ditebus oleh Tuhan yang memiliki aturan-aturan main dimana orang miskin memiliki tempat dan dipelihara. Rut dan Naomi berada di dalam kemiskinan. Rut dan Naomi tiba di Kanaan ketika musim menuai tiba. Rut berinisiatif untuk memungut bulir-bulir jelai yang jatuh. Memungut bulir-bulir jelai adalah tindakan orang miskin (untuk konteks masa kini kira-kira sama dengan mengemis). Penting bagi kita untuk memahami bukan saja tindakan Rut ini, tetapi aspek-aspek yang ada di belakang kemiskinan yang dialami Rut dan Naomi yang sebenarnya juga dialami oleh semua orang miskin yang ada di tengah-tengah dunia ini. Orang yang miskin adalah orang yang kehilangan kemampuan untuk menghidupi dirinya dan orang seperti ini adalah mereka yang biasa lapar. Kita bisa melihat Rut yang hanya bisa makan karena mengambil bulir jelai yang jatuh. Orang miskin bukan hanya menahan rasa lapar atau tidak mampu menghidupi dirinya tetapi juga kehilangan martabat dan kehormatan karena mereka hidup dalam belas kasihan. Karena itu, dalam kehilangan martabat dan kehormatan, orang miskin tidak segan-segan untuk mengemis. Mengemis berarti mengharapkan gerakan emosi belaskasihan orang untuk melihat keadaan mereka yang papa. Orang miskin juga cenderung kehilangan moral dan kompas kebaikan. Jarang orang miskin itu menjadi orang yang baik oleh karena mereka biasanya tergoda untuk kehilangan moral dan kompas kebaikan oleh karena kemiskinannya. Ada orang yang tega menjual anaknya karena kemiskinan dan ada orang yang mau melacurkan dirinya oleh karena dia miskin. Apa yang ingin dikatakan adalah bahwa dalam negara manapun kemiskinan bisa menjadi sesuatu yang sangat kejam sehingga manusia turun derajatnya seperti binatang. Tiap kali kita melihat manusia, kita perlu melihat mereka sebagai orang-orang yang diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah dan hal ini tidak hanya berlaku bagi alumni-alumni pelayanan, bukan orang kaya tetapi juga bagi mereka yang mengemis dipinggir jalan. Mereka sama dengan kita. Mereka itu mulia karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah secara sejati.

Karena itu, dalam satu masyarakat yang sudah ditebus oleh Tuhan, Tuhan mengatur bagi Israel bagaimana cara memanen dengan mempertimbangkan tempat orang miskin dalam penghasilan mereka. Sebenarnya, apa yang Rut lakukan punya latar belakang dalam kitab Imamat. Dalam Imamat 19:9-10 dikatakan, ”9Pada waktu kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kausabit ladangmu habis-habis sampai ke tepinya, dan janganlah kaupungut apa yang ketinggalan dari penuaianmu. 10Juga sisa-sisa buah anggurmu janganlah kaupetik untuk kedua kalinya dan buah yang berjatuhan di kebun anggurmu janganlah kaupungut, tetapi semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan bagi orang asing; Akulah TUHAN, Allahmu.” [band Imamat 23:22, ”Pada waktu kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kausabit ladangmu habis-habis sampai ke tepinya dan janganlah kaupungut apa yang ketinggalan dari penuaianmu, semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan bagi orang asing; Akulah TUHAN, Allahmu.”]. Ini adalah Divine Ordered Society, di mana orang miskin memiliki tempat untuk mendapatkan remah-remah untuk memelihara hidup mereka. Orang miskin dan dan orang asing tidak diabaikan dalam satu masyarakat yang tercipta oleh penebusan yang dari pada Tuhan. Ulangan 24:19 berkata hal yang sama, ”Apabila engkau menuai di ladangmu, lalu terlupa seberkas di ladang, maka janganlah engkau kembali untuk mengambilnya; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala pekerjaanmu.”

Jika kita bayangkan dalam konteks sekarang mungkin agak susah karena kita tidak memiliki berkas-berkas dari ladang. Tetapi kita mungkin bisa merenungkan bukan dalam bentuk teologia ’berkas yang tersisa’ tetapi teologia ’uang receh’. Mari merenungkan bagaimana kita mulai mengambil bagian dalam teologia ’uang receh’ di mana uang yang sebenarnya jika kita kumpul-kumpul menjadi berharga, tetapi tidak seberharga bagi mereka yang kelaparan dan tidak bisa makan. Sama seperti berkas-berkas yang terjatuh dalam kisah Rut. Berkas ini berharga apalagi dikumpulkan tetapi dalam masyarakat yang diatur oleh Allah ada tempat untuk seperti ini.

Hal ini mencerminkan karya keselamatan dalam umat yang ditebus oleh Allah—bangsa Israel—memiliki impilikasi dalam hal sosiologis. Ini artinya keterlibatan orang kristen harus masuk dalam menciptakan keberpihakan bagi orang miskin dan korban orde sosial. Dengan kata lain keselamatan memiliki dampak untuk memanusiakan manusia. Keselamatan membuat manusia masuk dalam satu hakekat bahwa kita, orang miskin dan orang yang di pinggir jalan adalah saudara dan kita harus berbuat sesuatu untuk mereka. Tuhan menghendaki, dalam masyarakat yang Tuhan ciptakan melalui penebusan, berbuat sesuatu bagi orang miskin dan kelaparan.

Kemiskinan dan Pemeliharan Tuhan

Pemeliharaan Tuhan dan kemiskinan selain mengandung unsur general—bahwa Allah menghendaki orang-orang miskin mendapat tempat dalam keselamatan yang Ia lakukan, bahwa keselamatan bukan hanya sekedar ’mati lalu masuk Sorga’ tetapi berimplikasi kepada persoalan sosial di sekeliling kita—tetapi juga keselamatan di dalam pengertian orang-orang yang Tuhan selamatkan secara khusus merasakan kehadiran Allah di tengah-tengah hidup mereka meskipun mereka mengalami kemiskinan. Kita melihat bahwa dalam orde sosial Tuhan hadir dalam providensia.

Dalam Rut 2 ini ada ayat yang memang sepertinya merupakan pelebaran dari makna kebetulan. Dalam ayat tiga dikatakan, ”Pergilah ia, lalu sampai di ladang dan memungut jelai di belakang penyabit-penyabit; kebetulan ia berada di tanah milik Boas, yang berasal dari kaum Elimelekh.” ’Kebetulan’ dalam ayat ini adalah ’kebetulan’ yang luar biasa karena ladang dalam masa Rut ini tidak memiliki batas yang jelas antara ladang yang satu dengan yang lain (berbeda dengan ladang sekarang yang memiliki batas yang jelas berupa pagar). Sehingga sewaktu Rut memungut jelai-jelai yang terjatuh dikatakan ”kebetulan ia berada di tanah milik Boas”. Ada kebetulan yang lain yang dapat kita lihat seperti: Kebetulan Boas adalah saudara Elimelek, Kebetulan waktu itu musim memanen, Kebetulan pelayan-pelayan Boas baik dan membiarkan Rut memanen, dan Kebetulan Boas datang dan melihat Rut. Banyak kebetulan yang terjadi dalam kisah Rut ini.

Banyak orang memiliki teologia bahwa kebetulan itu tidak ada. Tetapi yang sebenarnya adalah kebetulan itu memang ada [mengenai hal ini dapat dibaca lebih jelas lagi dalam resume MBA mengenai Providensia. Silahkan mengunjungi blogspot MBA---edt]. Kita harus selektif dan kita percaya bahwa Tuhan hadir dalam berbagai kebetulan yang ada dalam hidup ini. Tuhan dapat memakai berbagai kebetulan untuk mencapai apa yang Dia inginkan. Dengan kata lain, dalam konteks kita, Tuhan mempertemukan Rut dengan Boas melalui rencananya yang indah. Kita harus terbuka dengan kebetulan yang Tuhan ciptakan. Kebetulan-kebetulan yang ada bisa kita hayati sebagai cara Tuhan untuk menyatakan rencanaNya atau mempertemukan dua hati yang berbeda. Dalam kebetulan-kebetulan yang ada, providensia Allah tidak mengabaikan keaktifan manusia untuk melakukan bagiannya.

Boas: Tangan yang Bermurah

Dalam ayat 4-17 kita melihat deskripsi-deskripsi dari karakter Boas yang menggambarkan bahwa ia adalah seorang majikan yang kaya tetapi rohani dan baik budi. Pertama dari cara dia menyapa pekerja-pekerjanya. Dalam ayat 4 dikatakan, ”Lalu datanglah Boas dari Betlehem. Ia berkata kepada penyabit-penyabit itu: "TUHAN kiranya menyertai kamu." Jawab mereka kepadanya: "TUHAN kiranya memberkati tuan!” Boas menyapa pekerja-pekerjanya dengan cara yang rohani. Dan kelihatan bawahannya juga cukup rohani dengan membalas sapaan Boas dengan cara yang sama. Kedua, di dalam ayat 5-7 kita melihata bahwa bawahannya bukan hanya tampil rohani tetapi juga adalah orang-orang yang baik budi . Kita melihat bagaimana bawahan Boas mengijinkan Rut untuk mengutip di ladang Boas. Walaupun hal ini sudah Tuhan atur, bukan berarti semua pengusaha di Israel demikian. Data-data menunjukkan bahwa tidak semua pengusaha melakukan apa yang telah Tuhan perintahkan dan data juga menunjukkan bahwa tidak sedikit bawahan yang memukuli para pengutip berkas yang terjatuh. Ketiga, dalam ayat 8-9 kita melihat mengenai kebaikan Boas kepada orang asing. Keempat, dalam ayat 11-12 kita melihat bagaimana ketika Boas berbicara dengan Rut, ia menghargai pengorbanan dan komitmen Rut terhadap Naomi. Kelima, dalam ayat 14 kita melihat bagaimana Boas makan dengan pekerja-pekerjanya. Dan ia juga makan bersama dengan orang asing—Rut. Keenam, dalam ayat 15-16 kita melihat bagaimana Boas memberikan perlakukan khusus terhadap Rut sehingga Rut bisa mendapatkan penghasilan yang berlimpah pada hari itu. Dikatakan Rut mendapat seefa jelai dan jumlah ini sama dengan 36 liter dan sama dengan gaji pria dalam satu bulan. Hal ini terjadi karena Boas mengenal Naomi dan tahu siapa Rut dan mengenal mereka sebagai orang asing, maka Boas membuka hatinya selebar-lebarnya dan menunjukkan kemurahan hatinya yang luar biasa sehingga bukan hanya ‘recehan’ yang diberikan tetapi suatu hasil yang sangat besar.

Hal ini adalah satu panggilan bagi pengusaha. Bagaimana kita berpikir dan mendoakan agar ada pengusaha lebih kristiani dan orang kristiani jadi pengusaha. Ini adalah kombinasi yang sulit. Ada pengusaha tetapi kurang Kristiani dan ada seorang kristiani tidak bisa jadi pengusaha karena hidupnya sangat sedehana. Kita harus agresif mencari uang agar uang itu bisa dipergunakan secara kristiani dan dipersembahkan bagi Tuhan. Kita mencari uang bukan karena ingin punya rumah yang besar atau mobil yang bagus. Oleh karena itu, ini adalah tantangan bagi kita, apa yang kita lakukan jika Allah mememberikan kita uang 1 milyar rupiah pada hari ini. Apa yang terpercik dalam pikiran kita? Apakah pergi jalan-jalan ke luar negeri atau membeli mobil yang bagus? Mari kita menjadikan pertanyaan ini menjadi pertanyaan purification (menguduskan kita). Mari mengambil waktu yang lebih lama dan dalam untuk menjawab pertanyaan seandainya kita punya uang 1 milyar, bagaimana kita menggunakannya secara kristiani?

Apa yang bisa kita buat bila lebih banyak pengusaha kristen yang budiman? Seperti Boas dimana dengan adanya Boas maka orang miskin seperti Rut bisa menikmati 36 liter jelai. Jika banyak orang Kristen yang murah hati maka kita akan bersyukur jika ada sekolah yang bermutu bagi kaum pinggiran sehingga ’Enstein’ yang tinggal di pinggiran bisa mendapat pendidikan yang baik karena mereka berhak mendapat pendidikan yang sama baiknya dengan sekolah untuk mereka yang memiliki banyak uang, akan semakin banyak rumah sakit yang lengkap untuk orang miskin karena mereka juga membutuhkannya, akan semakin banyak perumahan yang manusiawi dan murah sehingga semua manusia bisa berteduh dari panas dan hujan, akan ada makanan dan tempat berteduh bagi gelandangan, akan penggajian yang mensejahterahkan bagi para buruh sehingga tidak jomblang dengan gaji pengusaha, dan akan harga yang baik bagi petani, nelayan dan peternak yang tidak mengintimidasi, menekan, dan mengeksploitasi mereka. Semua ini mungkin terjadi jika ada pengusaha yang kristiani dan murah hati.

Sebuah Harapan

Mari kita perhatikan ayat 18-23. Ayat kunci dalam bagian ini adalah ayat 20b, dimana dikatakan di sana, ”Lagi kata Naomi kepadanya: "Orang itu kaum kerabat kita, dialah salah seorang yang wajib menebus kita." Apa artinya? Ternyata di dalam PL ada juga pengarturan Allah bagi tanah yang dijual. Perhatikan Ul 25:5-6, ”5Apabila orang-orang yang bersaudara tinggal bersama-sama dan seorang dari pada mereka mati dengan tidak meninggalkan anak laki-laki, maka janganlah isteri orang yang mati itu kawin dengan orang di luar lingkungan keluarganya; saudara suaminya haruslah menghampiri dia dan mengambil dia menjadi isterinya dan dengan demikian melakukan kewajiban perkawinan ipar. 6Maka anak sulung yang nanti dilahirkan perempuan itu haruslah dianggap sebagai anak saudara yang sudah mati itu, supaya nama itu jangan terhapus dari antara orang Israel” Hal ini bersamaan dengan imamat 25:25, ”Apabila saudaramu jatuh miskin, sehingga harus menjual sebagian dari miliknya, maka seorang kaumnya yang berhak menebus, yakni kaumnya yang terdekat harus datang dan menebus yang telah dijual saudaranya itu.” Dengan kata lain, pertama, Rut, dalam konteks umat yang telah Allah tebus, memiliki peluang dan harapan jika ada orang yang menebus tanah yang telah dijual Elimelekh ketika mereka akan berangkat ke Moab. Kedua jika ada kerabat yang mengambil Rut sebagai isterinya dan Rut tidak perlu menjadi janda miskin. Siapakah yang mau menebus Rut? Naomi mengatakan tentang Boas, ”Orang itu kaum kerabat kita, dialah salah seorang yang wajib menebus kita.” Artinya adalah Naomi ingin mengatakan bahwa Boas adalah calonnya Rut dan dia bisa menebus mereka agar terlepas dari kemiskinan.

Di sini ada indikasi benih cinta dari Boas kepada Rut dan benih cinta dari Rut kepada Boas. Benih cinta berawal dari kekaguman karakter dari Boas kepada Rut. Boas kagum kepada komitmen Rut kepada Naomi. Dia juga kagum dari kesopanan Rut untuk minta izin serta dari ketekunan Rut yang bekerja sejak pagi. Karakter-karakter Rut telah memberikan sinyal-sinyal positif kepada Boas. Dan sebenarnya, walaupun secara implisit, benih cinta juga tumbuh di hati Rut. Apa kira-kira yang menumbuhkan benih cinta di hati Rut? Pertama adalah karakter Boas yang budiman dan murah hati. Kedua adalah perhatian Boas kepada Rut. Ketiga adalah hubungan Boas dengan keluarga Elimelekh.

Melalui kisah ini kita belajar bagaimana sebuah harapan dan benih cinta yang disemai dari satu pemilihan pasangan yang sangat luhur. Bagaimana kita memulai benih cinta kita? Apa yang pertama sekali menjadi benih cinta dalam hubungan kita? Ada empat level orang memiliki pasangan. Level pertama adalah orang yang memilih pasangan dengan level Pra-Hewani yang memilih pasangan karena uang. Level kedua adalah level Hewani yaitu memilih pasangannya karena daya tarik fisik dan seks. Level ketiga adalah level Manusiawi dimana orang memilih pasangannya karena daya tarik kemampuan seperti prestasi, kemampuan, pekerjaan, dan latar belakang. Level keempat adalah level Rohani yaitu orang memilih pasangan dikarenakan karakter dan kedekatan dengan Tuhan. Level keempat ini adalah level tertinggi dan pada level inlah seharusnya kita berada.

Siapa menyemai kasih, akan menuai sayang. Tiga hal yang telah kita renungkan, pertama Rut dan Naomi dalam kemiskinannya mengalami pemeliharan Tuhan melalui masyarakat yang Tuhan atur dan melalui pemeliharaan Tuhan secara khusus. Kedua, Boas seorang pengusaha yang memiliki tangan yang bermurah, dan ketiga melalui pertemuan Rut dengan Boas ada sebuah harapan yang terbit dan benih cinta yang disemai oleh karena kekaguman karakter yang satu dengan yang lain.

Apa yang menjadi aplikasi bagi kita? Pertama adalah bagaimana menjadikan keselamatan anda meresap dalam kehidupan sosial kita? Kedua, apakah yang bisa anda lakukan untuk menghadikan seorang kaya yang dermawan dan kristiani? Ketiga, apa yang dapat anda lakukan agar cinta anda bertumbuh dalam nilai dan keagungannya?

Soli Deo Gloria!