Tuesday, May 25, 2010

[Christian Ethic 02 - 2009]: Lesser Beetwen Two Evils

Denni B. Saragih


Saat ini kita akan membahas mengenai seri Christian Ethic yang kedua yaitu Lesser Between Two Evils atau The Dilemma of Two Evils. Artinya adalah sebuah keadaan di mana kita berada di dalam situasi etis yang pilihannya serba sulit dan dalam situasi seperti ini kita harus mengambil keputusan dan mempertimbangkan keputusan yang kita ambil. Hal ini sangat penting karena kita hidup dalam zaman di mana apa yang benar dan apa yang salah itu menjadi kabur, sebuah zaman di mana yang salah mungkin semakin banyak dianggap benar. Dan kadang-kadang sebagai reaksi untuk perkembangan seperti itu banyak anak-anak Tuhan menganggap apa yang benar dan apa yang sebenarnya benar di curigai sebagai sesuatu yang salah. Orang-orang dalam zaman ini semakin pragmatis dalam memandang keputusan sehingga benar dan salah itu menjadi sesuatu yang tidak penting, dan yang penting adalah apakah hal tersebut menguntungkan atau tidak.

Ada sebuah film berjudul Les Miserable. Dalam film ini digambarkan bagaimana seorang Jean Val Jean yang divonis mencuri tetapi hukuman yang diberikan lepada dirinya adalah hukuman untuk perampok. Dia yang seorang maling kecil berkembang menjadi penjahat besar dalam penjara. Kemudian oleh sebuah peristiwa besar, dia berubah. Singkat cerita; dalam bagian akhir, setelah hidupnya tidak lagi menghakimi tetapi penuh dengan kasih, dia berhadapan situasi konflik dalam refolusi Prancis. Seorang polisi mengejar-ngejar dia, karena dia adalah bekas pencuri yang tidak melapor bahwa dia dulunya adalah pernah mencuri sebelum menjadi walikota. Polisi ini terus menerus mengejar dia. Karena terus di kejar Jean Val Jean bersembunyi di balik para pembrontak — orang-orang yang memprakarsai revolusi Perancis. Karena terus mengejar, polisi ini akhirnta ditangkap oleh kaum revolisioner. Setelah dia ditangkap lalu dia dijatuhi dihukum mati. Tentu saja Jean Val Jean seharusnya senang. Tetapi sewaktu polisi ini akan dibunuh, Jean Val Jean mengatakan, “Biar saya yang mengekskusi dia, karena saya punya dendam pribadi dengan dia.” Lalu dia membawa polisi ini ke dalam sebuah gang dan di dalam gang ini dia menembakkan senjatanya ke udara bukan polisi itu. Polisi itu menatap dia dengan mata yang berkaca-kaca dan berkata,”Mengapa kamu menyelamatkan saya.” Lalu Jean Val Jean berkata, “Karena aku juga dulu di selamatkan. Sekarang pergilah! Aku akan mengatakan kepada mereka bahwa kamu sudah mati dan mayatmu sudah kubuang ke dalam sungai.” Lalu polisi ini pergi dan lari. Jean Val Jean kembali ke pada para kaum revolusioner dan mengatakan bahwa dia telah membunuh si polisi tadi. Menurut kita, benarkah tindakan Jean Val Jean? Dia menyelamatkan nyawa tetapi dia berbohong. Apakah kita pernah mempertimbangkan situasi etis seperti ini? Banyak situasi-situasi dimana kita mengalami dilema, dalam pengertian bak makan buah simalakama. Apa yang kita lakukan ketika berada di dalamnya? Ini adalah pertanyaan yang sulit.

Dilema dapat mengambil dua bentuk. Pertama, dua pilihan yang sama-sama memiliki elemen jahat dalam moral non kontekstual. Artinya, terlepas dari konteksnya, dua-duanya tidak bagus. Dalam kisah Jean Val Jean, berbohong adalah tindakan yang salah. Tetapi membunuh atau membiarkan orang lain terbunuh padahal dia berbuat sesuatu juga merupakan sesuatu yang jahat. Di sini kita berhadapan dengan dua pilihan berbohong atau membunuh. Dalam konteks seperti ini, kita tidak bisa memilih untuk tidak berbuat apa-apa. Hal ini juga sama seperti seorang konglomerat pemilik pabrik rokok yang bertobat. Dia memiliki dua pilihan. Dia meneruskan pabrik rokoknya dan dengan demikian pabriknya akan menghasilkan rokok terus menerus dan akan semakin banyak orang merokok dan kena kanker paru-paru. Atau pilihan kedua dia bisa menutup pabrik rokonya dan dengan demikian akan memPHKkan ribuan karyawan dan akan semakin banyak keluarga yang kehilangan mata pencahariannya. Apa yang harus dia lakukan. Jika kita di dalam posisinya apa yang kita lakukan? Meneruskan pabrik rokok adalah sesuatu yang tidak baik dan membuat orang kehilangan mata pencahariannya juga tidak baik.

Bentuk kedua dari dilema adalah pilihan yang ada memiliki efek ganda yang dimana maksud dan akibatnya bertolak belakang. Misalnya seorang ibu yang mengandung bayi dan keberadaan bayi tersebut mengancam nyawanya. Kita bermaksud menyelamatkan nyawa si Ibu tetapi untuk melakukannya kita harus mengorbankan nyawa si bayi. Demikian juga halnya jika ingin menyelamatkan si bayi, maka kita juga harus mengorbankan nyawa si ibu. Ini juga situasi dilematis yang lain. Mana yang lebih diutamakan, nyawa si ibu atau nyawa si bayi?

Contoh lain adalah misalnya kita menjadi seorang pilot pesawat tempur. Kemudian kita diminta untuk menghancurkan pabrik senjata dengan serangan bom. Menghancurkan pabrik senjata tersebut juga berarti bahwa masyarakat di sekitar pabrik akan menjadi korban. Bagaimana kita berhadapan dengan situasi seperti ini? Inilah situasi yang disebut dengan two evils. Dua pilihan yang dilematis dimana yang satu jahat dan yang lain juga jahat. Kalau menghancurkan pabrik senjata yang berakibat kematian warga tidak berdosa adalah jahat, tidak menghancurkannya juga jahat karena pabrik senjata ini mengeluarkan senjata yang telah membunuh banyak orang. Membiarkan si bayi meninggal jahat, membiarkan si ibu meninggal juga jahat. Inilah yang disebut dengan situasi dilematis.

Sewaktu kita berhadapan dengan hal ini, kita juga harus membedakannya dengan yang lain. Yang dimaksud dengan Lesser than Two Evils bukanlah White Lie—bohong demi kebenaran. Berbohong demi kebaikan adalah satu cara etika yang biasanya orang dunia pakai untuk menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan yang baik di mana kita kadang-kadang harus melakukan kejahatan. Hal ini mirip dengan metode Zorro. Zorro melakukan kejahatan untuk melakukan kebaikan. Dia merampok orang kaya dan membagi-bagikannya kepada orang miskin. Artinya, masalah dilematis adalah masalah yang berbeda dengan setiap masalah lain yang memiliki pilhan ketiga yang secara moral dan efek bisa dilakukan. Artinya pilihannya bukan hanya dua. Ada pilihan ketiga atau cara-cara lain yang bisa dilakukan dan dia bisa lepas dari dilema tersebut.

Pilihan ini tidak berlaku untuk sesuatu yang memang sebenarnya bukan karena kita mengantisipasi masa depan yang kita rasa bergantung sepenuhnya kepada kita. Contohnya, dalam kasus perang di Eropa Timur dan beberapa gereja berhadapan dengan komunis, ada sepuluh anak Tuhan yang diancam hukuman mati. Lalu seorang komunis berkata kepada salah seorang dari sepuluh ini, ”Jika kamu mau mengeksekusi sembilan orang ini, maka kamu akan dilepaskan.” Dia mengingat mamanya yang seorang diri dan tidak ada yang merawat. Mempertimbangkan hal tersebut akhirnya dia berlogika, ”Toh yang sembilan orang ini akan mati. Jika aku ikut mati maka akan ada 10 ibu yang mungkin tidak bisa punya anak lagi. Tetapi jika aku membunuh yang sembilan ini maka akan ada satu ibu yang diselamatkan, yaitu ibuku.” Lalu dia setuju dan membunuh sembilan orang temannya. Apakah kita setuju dengan tindakannya? Perlu kita ketahui bahwa kasus dalam hal ini berbeda karena dalam konteks ini ada pilihan ketiga dan dalam konteks ini tidak ada dilema. Sebenarnya yang ada adalah ketidak yakinan bagaimana ibunya kalau akhirnya dia mati.

Situasi yang ingin dipaparkan pada saat ini adalah situasi dimana tidak ada pilihan ketiga. Mari kita meliohat contoh dari Alkitab dan melihat bagaimana Alkitab menangani masalah seperti ini dan kita kana sama-sama belajar dari Firman Tuhan. Mari melihat Yosua 2:1-7. Dalam Yosua ini kita melihat situasi yang sama. Mari kita analitis dan melihat bagaimana kita menilainya dari segi etis. Rahab hanya memiliki dua pilihan. Pilihan Rahab adalah memberitahukan di mana para pengintai. Pilihan memberitahukan dimana para pengintai itu sembunyi bisa terjadi dengan skenario berikut. Pertama, Rahab dengan terus terang memberitahukan dimana para pengintai sembunyi. Pilihan ini akan menyebabkan kematian daripada pengintai dan Rahab ikut membunuh pengintai itu. Kedua, Rahab tidak mau berbohong dan hanya berdiam diri saja. Tetapi berdiam diri membuat orang yang mencari langsung tahu bahwa ada pengintai sembunyi di rumah tersebut. Berdiam diri juga menyebabkan kematian secara tidak langung. Rahab mungkin mengatakan bahwa dia tidak bohong atau dia tidak membunuh tetapi dia tidak bisa lepas dari tanggung jawab secara moral bahwa dengan berdiam diri dia secara tidak langsung sudah ikut memberitahukan bahwa ada pengintai di rumah tersebut. Ketiga, Rahab menjadi gugup dan akhirnya ketahuan dimana para pengintai. Dengan kata lain, Rahab tidak melakukan usaha terbaik untuk melindungi nyawa orang yang sembunyi itu dan dia pun terlibat dalam kematian orang yang sembunyi itu. Pilihan pertama Rahab adalah pilihan yang langsung maupun tidak langsung memberitahukan dimana para pengintai dan dengan demikian dia terlibat dalam kematian para pengintai.

Pilihan Rahab kedua adalah dia bisa menyembunyikan fakta lokasi pengintai. Dia bisa berbohong dengan mengatakan bahwa pengintai tidak datang. Jika dia berbohong para pengintai tidak datang, maka bisa saja para pengawal itu pasti tidak percaya kepada dia dan akan menggeledah rumah Rahab tersebut. Satu-satunya pilihan yang bisa menyelamatkan adalah pilihan yang diambil Rahab. Dia berbohong dengan mengatakan bahwa pengintai sudah datang dan dia tidak tahu mereka orang Israel dan mereka sudah pergi sebelum mereka datang ketempat itu. Dengan demikian dia bisa menyelamatkan para pengintai itu.

Apa yang dilakukan Rahab itu tidak disalahkan oleh Alkitab. Kita tahu bahwa apa yang Rahab lakukan adalah bohong tetapi Alkitab memuji tindakan Rahab yang menyembunyikan para pengintai itu dan mengatakan bahwa tindakan itu berasal dari imannya. Ibrani 11:31 mengatakan, ”Karena iman maka Rahab, perempuan sundal itu, tidak turut binasa bersama-sama dengan orang-orang durhaka, karena ia telah menyambut pengintai-pengintai itu dengan baik.” Rahab menyambut para pengintai dan tahu bahwa mereka adalah panglima-panglima Kerajaan Allah dan dia tahu bahwa mereka dilindungi oleh YAHWE, Allahnya Israel. Dia menyembunyikan mereka dan berbohong demi mereka agar mereka tidak dibunuh oleh para pengawal Yerikho. Terjemahan yang lain juga menyakan hal yang sama. RSV mengatakan, ”By faith Rahab the harlot did not perish with those who were disobedient, because she had given friendly welcome to the spies.”. Dan NIV mengatakan, "By faith the prostitute Rahab, because she welcomed the spies, was not killed with those who were disobedient.” Tindakan Rahab diapresiasi sebagai tindakan yang lahir dari iman. Bagaimana kita memahami hal ini? Bagaimana kita menilai Lesser Between Two Evils? Kita mengetahui ada dua hal yang jahat di sini dan bagaimana kita bisa memilih yang kurang jahat dari kedua jahat tersebut. Kriteria apa yang akan kita pakai untuk mengatakan lesser evil—dosa yang lebih kurang dari dosa yang lain.

Mari melihat empat pilihan etika yang mungkin dilakukan dalam konteks yang dialami Rahab, yaitu: Pendekatan Etika Situasi, Pendekatan Etika Pasif, Pendekatan Lesser Evil, dan Pendekatan Higher Duty.

Pendekatan Etika Situasi
Pendekatan ini berkata, ”Love and do anything you want!” Cinta adalah satu-satunya hokum yang penting di Alkitab dan perintah yang lain dapat diabaikan. Jadi perintah ‘jangan engkau bersaksi dusta’ dapat diabaikan demi cinta. Jadi Rahab tidak berdosa karena dia melakukan kebohongan karena kasih kepada Allah dan kasih kepada dua orang pengintai yang terancam nyawanya. Dengan kata lain situasi memaksa dan menyebabkan dia harus melakukan hal tersebut. Situasi mendikte bahwa ungkapan kasih terbaik dalam situasi tersebut adalah berbohong dan melindungi orang yang sedang melarikan diri tersebut. Dalam pengertian lain berbohong diperbolehkan dalam situasi tertentu di mana situasi yang ada memaksa bahwa yang namanya cinta berarti berbohong. Ada beberapa kritik terhadap etika situasi ini. Pertama adalah prinsip ini sangat tergantung kepada keadaan sehingga tidak memiliki prinsip. Semua bisa dibenarkan atas nama kasih. Kedua adalah situasi berdasarkan apa dan oleh siapa? Siapa yang bisa menentukan bahwa demi kasih bisa berbohong? Apa pertimbangannya demi kasih kita bisa berbohong dalam konteks seperti ini. Tidak heran dalam etika situasi seks pra nikah diijinkan karena landasan suka saling suka.

Etika ini juga memiliki poin positif, yaitu menekankan pentingnya kasih dalam bertindak yang benar antara yang salah. Kasih adalah motivasi yang luhur dan menjadi dasar bagi kita untuk bertindak. Tetapi motivasi saja tidak cukup. Ada refleksi-refleksi moral di balik apa yang menjadi pilihan-pilihan yang harus kita pilih.

Pendekatan Etika Pasif
Etika ini mengatakan bahwa berbohong itu salah, membunuh juga salah. Jadi lebih baik tidak berbuat apa-apa karena kita memang tidak mampu. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali berdoa dan berharap kiranya kita tidak mengalaminya. Tuhan tidak memaksa kita melakukan sesuatu yang kita tidak mampu lakukan. Berbohong tidak boleh, membunuh tidak boleh, lebih baik memegang prinsip ’diam itu Emas’.

Terhadap pendekatan ini juga ada kritik. Pertama, pendekatan ini mengabaikan situasi dan konteks dari dosa. Rahab bukan sekedar berbohong, tetapi berbohong kepada orang jahat. Juga bukan sekedar melindungi, tetapi melindungi orang baik. Dalam Etika Pasif konteks ini dibuang --- bahwa ada orang jahat dan ada orang baik. Kepada siapa kita berbohong? Apa kita memang harus berkata jujur kepada orang yang jahat? Ini adalah pertanyaan yang tidak gampang. Jika tidak ada konteks seperti yang dialami Rahab, kita memang harus jujur kepada siapapun. Bukan karena seseorang pencopet, maka kita bisa berbohong kepadanya. Tetapi dalam konteks seperti ini, di mana kita berkata jujur kepada orang yang ingin membunuh orang lain dan informasi yang dia terima oleh karena kejujuran kita dan bisa berfungsi untuk membunuh orang, maka etika pasif ini menjadi gugur. Kritik kedua adalah etika ini mengabaikan tanggung jawab melindungi. Yang penting dalam etika ini adalah tidak berbuat jahat. Etika ini mengabaikan bahwa hidup kita bukan hanya sekedar tidak berbuat jahat tetapi kita harus melakukan yang baik.

Etika ini juga memiliki poin positif yaitu menekankan kebenaran dalam hidup. Kita diajak untuk tidak mengotori tangan kita dengan dosa.

Etika Lesser Evil
Ini adalah etika Matin Luther. Dalam etika ini menyatakan bahwa meski esensi dosa sama, tetapi derajat jahat dan efek dari dosa berbeda. Misalnya mana lebih jahat antara membentak dengan menganiaya/membunuh ibu? Atau mana lebih jahat berbohong dengan memperkosa? Sehingga dengan demikian etika ini mengatakan berbohong pada orang jahat berdosa tetapi menyerahkan orang baik kepada orang jahat lebih berdosa. Setelah berbuat dosa yang kurang jahat, kita segera minta ampun pada Tuhan. Ada kritik untuk pendekatan ini yaitu mengabaikan ketidakmampuan melakukan keduanya. Kita tidak mampu sekaligus berkata benar dan sekaligus melindungi orang yang tidak bersalah. Apakah Tuhan menuntut sesuatu yang tidak bisa kita lakukan? Bukankah jika kita tidak mampu melakukannya seharusnya ada konsekuaensi etis secara teologis dimana Tuhan tidak membebani anak-anakNya dengan hal yang dia memang tidak mampu lakukan.

Etika ini memiliki dua poin penting. Pertama, Etika ini menekankan pentingnya kerendahan hati bahwa kita mungkin salah. Kita memang bermaksud melindungi orang yang tidak bersalah dan dalam melakukannya kita berbohong. Kita dengan rendah hati mengakui kita berdosa dan kita mohon ampun kepada Tuhan. Kedua, etika ini menekankan bahwa kita harus waspada terhadap dosa, sekecil apapun dosa itu.

Etika Higher or Highest Duty.
Ini adalah pilihan etika yang terbaik. Dalam konteks ini Rahab tidak melihat dalam konteks benar atau salah, jahat atau tidak jahat, tetapi dia melihat dari segi bahwa Rahab memiliki dua tanggung jawab. Pertama adalah mengatakan kejujuran. Ini adalah tugas orang Kristen untuk menyatakan kejujuran kepada siapa saja. Jadi Rahab mendekatinya bukan dari dosanya, tetapi mendekatinya berdasarkan tugasnya. Di sisi lain Rahab juga memiliki tugas yang lain yaitu melindungi nyawa orang yang mau dibunuh. Konteks dalam kisah Rahab ini jelas bahwa kejujuran bagi orang jahat/fasik, dan melindungi nyawa orang benar/hamba Tuhan/utusan Yosua. Kita melihat dalam kisah Rahab dan dalam konteks yang ada kejujuran menjadi tugas yang dikurangi besar tanggung jawabnya dan melindungi nyawa orang benar bertambah bebannya dan tanggungjawabnya.

Rahab tidak bisa melakukan kedua tugasnya dan dia hanya bisa melakukan satu tugas. Dengan kata lain Tuhan tidak menuntut Rahab melakukan sesuatu yang tidak mampu Rahab lakukan. Dia tidak sekaligus melakukan berkata jujur dan melindungi nyawa orang benar.

Etika lesser than two evils mengatakan dari pilihan yang dilematis dimana keduanya adalah pilihan yang jahat maka kita harus memilih pilihlah yang kurang jahat. Jikapun tidak esensinya setidaknya derajat dan efeknya. Tetapi etika Higher or Highest duty ini mengatakan untuk melakukan suatu tugas yang lebih mulia/penting/tinggi kita diberikan dispensasi untuk tidak melakukan tugas yang lebih rendah. Untuk melakukan tugas melindungi nyawa pengintai Rahab dibebaskan dari tanggung jawab untuk mengatakan kebenaran kepada orang Jeriko.

Apa yang bisa kita simpulkan sebagai refleksi? Keempat pendekatan etika ini memiliki kekurangan dan yang satu lebih baik dari yang lain, tetapi setidaknya kita bisa mengambil empat hal penting dalam etika yang bisa kita pelajari. Pertama, dalam melakukan tindakan yang benar kita menyadari bahwa kasih itu penting. Kita melakukan bukan karena hal tersebut benar dan yang lain salah, tetapi ada motivasi yang didasari oleh kasih. Kasih dapat merubah lebih banyak pilihan dan memberikan pandangan yang lebih benar. Kedua, tindakan kita harus didasari pada pentingnya hidup benar. Untuk hidup benar kita harus memilih bersikap pasif walau ada konteks-konteks di mana kita tidak bisa memilih untuk pasif. Ketiga, kita harus sensitif terhadap kejahatan. Meskipun kita menyadari ada konteks yang mungkin kita pertimbangkan tidak harus kejahatan. Tetapi, etika lesser between two evils menekankan bahwa kejahatan itu nyata dan kita harus membuka pintu hati kita agar kita tidak tergosok pada kejahatan. Keempat, berbicara soal etika kita tidak cukup berbicara soal benar atau salah tetapi bagaimana kita hidup secara lebih benar, bertanggung jawab, dan berperan untuk mengatasi kejahatan ditengah-tengah dunia ini. Kita dipanggil bukan saja untu tidak berbuat dosa tetapi kita dipanggil untuk berperan aktif untuk mengalahkan kejahatan dengan kebenaran. Seorang tokoh etika Jerman mengatakan, ”Kejahatan merajalela bukan karena orang jahat bertambah banyak, tetapi ketika orang benar memilih untuk tidak berbuat apa-apa.”

Soli Deo Gloria!

[Christian Ethic 01-2009]: Foundation of Christian Ethic

Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Hari ini kita akan berbicara mengenai etika kristen dari sudut pandang teologis dan tiga pertemuan ke depan kita akan membahasnya dalam sudut pandang praktika. Etika kristen yang kita bahas pada hari ini adalah Foundation of Christian Ethic. Ada beberapa pertanyaan dalam hal etika. What is the basis of the action? [Apa yang menjadi dasar dari sebuah tindakan?] On what ground ought one to do this action and not do others? [Apa dasar kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu?]. Kita tidak melakukan sesuatu tanpa peraturan. Kebebasan itu ada di dalam peraturan dan kebebasan tanpa peraturan bukanlah kebebasan. Pertanyaan berikutnya adalah What is the criterion of evaluation? [Apa yang menjadi kriteria dari evaluasi?] Kemudian, Is there some absolute or only a relative rule or principle by which to judge? [Apakah ada sesuatu yang absolute atau hanya aturan atau prinsip yang relative dalam penilaian?] Di dalam perkembangan zaman, khususnya post-moderism, salah satu cirinya adalah tidak ada sesuatu yang absolute. Semuanya adalah kebenaran dan semuanya adalah salah. Maksudnya, jika sesuatu dikatakan benar dan bisa dibuktikan benar, dan kalaupun tidak bisa dibuktikan benar, itu adalah kebenaran. Bukan pula ketika kita menyatakan sesuatu itu benar maka yang lain salah. Ini adalah konsep dalam dunia postmoderism dan inilah relativisme. Tetapi di dalam etika kristen hal ini tidak berlaku. Pertanyaan berikutnya adalah What is the goal of human conduct? What end or ends should action serve.

Kata ‘etika’ berasal dari kata ‘ethos’ (Yunani) yang berarti ‘habit or custom, and cultic ordinance or law’ yang mencakup seluruh tingkah laku manusia. Tetapi habit or custom di sini harus dipandang melalui pandangan biblikal (PL dan PB). Dengan demikian kita melihat bahwa semua hal yang dikerjakan orang percaya harus dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah dan di mana semua tindakan itu harus ada dalam terang Firman. Mari melihat 2 Tim 3:16-17 [band Maz 119:105], dikatakan di sana, “16 Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. 17 Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” Ketika Alkitab mengatakan benar maka sesuatu itu benar dan jika Alkitab mengatakan salah, maka sesuatu itu menjadi salah. Ada satu pemahaman bahwa Alkitab adalah firman Allah yang merupakan satu-satunya standart kebenaran. Oleh sebab itulah ketika berbicara soal pondasi etika kekristenan kita tidak bisa lepas dari pandangan Alkitab, bukan pandangan teolog atau budaya.

Budaya dan tatakrama itu bersifat lokal, geografikal, temporal dan kultural. Tetapi etika biblika bersifat universal. Misalnya, sesuatu yang baik menurut suku Toba belum tentu baik bagi suku Karo. Apalagi dibandingkan dengan kehidupan di Eropa. Tetapi etika kristen tidak berubah dan tetap bersifat universal. Yang salah menurut Alkitab di tanah Batak, tetap salah menurut Alkitab di Eropa. Kebiasaan dan tingkah laku merupakan sebuah refleksi teologis yang dalam hal ini disebut etika biblika. Kita memahami bahwa teologia seseorang menentukan cara pandang dan cara hidup seseorang. Kalau teologia kita salah maka cara hidup dan pandang kita juga salah [band. dengan pemahaman seseorang akan agama tertentu sehingga ia mampu membakar rumah ibadah agama lain karena menurut dia hal tersebut adalah benar menurut ajaran agamanya].

Setelah Allah menciptakan segala sesuatu dan memberi mandat kepada manusia, maka Dia juga membuat peraturan dalam kehidupan manusia dan inilah peraturan yang pertama. Dalam Kej.2:15-17 dikatakan, “ 15 TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. 16 Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas.” Ini adalah etika yang Allah berikan pada manusia. Allah, yang menciptakan manusia itu, tidak membiarkan manusia hidup tanpa sebuah stándar/etika. Allah bertujuan agar ada harmoni antara Allah dan ciptaanNya dan tatanan inilah yang menjadi pondasi atau dasar tindakan etis manusia. Ketika Adam jatuh ke dalam dosa, terciptalah disharmoni karena tatanan etis dilanggarnya. Allah menentukan apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh manusia agar manusia itu hidup sepadan dengan Dia. Sebagai ciptaan, maka semua tindakan manusia harus berpusatkan kepada Allah.

Setelah keluar dari Mesir, Allah memberikan tatanan atau peratutan sebagai pondasi bagi umat tebusannya untuk menuntun tatanan hidup umatnya yaitu Hukum Taurat kepada Musa sebagai penuntun dan standart hidup umatNya (Kel.20). Kemudian Allah memberikan perjanjian (covenant; perjanjian yang bersifat suci dan tidak bisa dibatalkan oleh siapapun karena ditetapkan oleh Allah) untuk menyatukan inisiatif Ilahi dengan tindakan manusia sebagai respon. Di dalam Yeh 34:30 dikatakan, ”Dan mereka akan mengetahui bahwa Aku, TUHAN, Allah mereka, menyertai mereka dan mereka, kaum Israel, adalah umat-Ku, demikianlah firman Tuhan ALLAH.” Melalui ayat ini dipahami bahwa selain sebuah relasi yang erat dan tidak bisa dibatalkan, juga ada sebuah tanggung jawab (band. Yeh 36:28-29). Oleh sebab itu kesalahan (misconduct) bukan hanya dianggap sebagai pelanggaran etika atau kelemahan, melainkan sebuah tanda ketidaksetiaan kepada Allah.

Alkitab dipercaya sebagai satu-satunya sumber pengajaran etis dan merupakan kehendak Yahweh untuk umat yang diciptakanNya dan yang dengannya Dia mengadakan perjanjian (covenant). Kehendak ilahi ini dinyatakan paling tidak dalam peribadahan, hukum dan hikmat (worship, law and wisdom). Peribadahan kepada Allah merupakan etika di mana kita memberi respon akan karya penciptaan dan penebusan Allah. Artinya, kita tidak melakukan dosa bukan karena takut hukuman atau yang lain, tetapi sebuah respon karena kita kagum dan hormat kepada Allah sehingga kita tidak ingin menyakiti hatiNya. Ini adalah pondasi etis bagi kita semua. Jadi prinsipnya adalah senang untuk tidak berdosa. Jadi tidak ada perasaan tertekan untuk tidak berbuat dosa. Ada satu inner drive untuk memilih dan senang untuk tidak berbuat dosa dan hal ini jauh lebih menyenangkan dari pada terpaksa untuk tidak berbuat dosa. Ketaatan kepada Yahweh adalah sebuah ucapan syukur dan kewajiban atas anugerah dan pemeliharaanNya dalam diri kita. Inilah yang dinamakan internal obedience/motive. Ada sebuah hati yang bersyukur kepada Allah dan atas dasar inilah muncul ketaatan yang suci dan tulus tanpa pengaruh apapun. Dalam Ul 6:5 [band Mat 22:37] dikatakan, ”Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Jadi, kasih adalah dasar dari semua perbuatan; love leads to fellowship and fellowship to service (fruit of obedience). Kalau mencintai artinya mentaati Allah, maka cinta yang demikian akan memimpin kita pada sebuah persekutuan yang erat dengan Allah. Dalam persekutuan ini, kita juga akan melayani Allah dan pelayanan yang kita lakukan adalah buah dari ketaatan kepada Allah dan sebagai ucapan syukur serta kasih kepada Allah. Oleh sebab itulah di dalam dunia profesi, kita tidak mau korupsi, memanipulasi data, dll, bukan karena kita takut berdosa tetapi karena kita mencintai Allah. Hukum Turat juga merupakan dasar etika. Hal ini dapat kita lihat dalam Dekalog di Kel 20:1-17 atau Ul 5:6-21. Covenant code juga merupakan dasar dari etika. Covenant Code di sini bersifat kasuistik bukan apodiktik yang bersifat ‘jika’ atau ‘apa bila’.

Holiness code (prinsip kesucian) juga merupakan sumber dari etika (Imamat pasal 17-26). Kesucian ritual ditentukan oleh kehidupan umatNya. (lih.Im.19:1-37). Tidak mungkin Allah berkenan kepada sebuah ibadah jika yang beribadah adalah orang Farisi yang belum bertobat. Apakah ibadah kita berkenan kepada Allah sangat ditentukan oleh siapa yang bekerja dan umat yang datang dalam pelayanan itu. Penyucian hanya bisa terjadi jika umat Allah berkabung akan dosanya dan ada pertobatan yang sejati (band. Yes 58). Jika umat yang datang beribadah itu tetap di dalam dosanya, maka jelaslah ibadah itu menjadi tercemar. Umat Allah dituntut untuk hidup suci dan inilah dasar dari sebuah etika.

Etika juga menjadi dasar untuk menjadi serupa dengan Dia. Manusia yang dicipta Allah adalah serupa dengan Dia (imago deo). Oleh karena itu hukum yang esensi bagi manusia adalah bahwa dia harus memancarkan imago deo dan menjadi serupa dengan Allah dalam karakternya. Jadi karena kita diciptakan segambar dan serupa dengan Allah maka kita harus hidup seperti dan menyerupai Allah. Dalam hal inlah tindakan etis membuat kita tidak ingin melakukan yang salah. Kesucian Yahweh memanggil manusia kepada kesucian hidup (Im.20:26. band. 1 Ptr.1:15-16).

Hikmat atau berhikmat berdasarkan Firman Tuhan adalah sebuah dasar bagi kita dalam memutuskan atau melakukan segala sesuatu. Hikmat ini bersifat dependent untuk mengamati apa yang terjadi dalam kehidupan (sejarah menjadi pelajaran). Dengan hikmat Allah kita melihat ke belakang dan hal ini menjadi sejarah. Fokus dari hikmat bijaksana dan bodoh; berkat atau kutuk/hukuman. Artinya, jika kita melakukan yang baik menurut Allah dan hikmat Allah berarti kita orang pintar/bijak. Tetapi jika kita melanggarnya berarti kita adalah orang yang bodoh.

Tindakan etis adalah konsekuensi hubungan manusia secara personal dengan Allah di mana dia hidup dalam rencana dan kehendak-Nya (Kej.1:26-28). Jika kita bersahabat dengan seseorang dan dekat dengan dia, maka kita tidak akan mau melukai hatinya. Dalam hal inipun, salah satu tindakan etisnya adalah relasi kita dengan Allah yang bersifat personal bukan kolektif. Kesucian personal akan melahirkan kesucian kolektif. Tindakan etis merupakan respon atas otoritas Allah sebagi pencipta yang ditentukan oleh intimacy (keintiman) dengan Dia.

Ada motivasi dalam tindakan etis. Pertama adalah rewards yang dipandang sebagai eudaemonistic, yaitu good deeds are done for the gain involved, not simply because they are right. Ada sebuah motif yang mendorong orang melakukan sebuah hal yang/tindakan etis yang benar di mana perbuatan ini dilakukan karena mengharapkan sesuatu di dalamnya atau sebuah keuntungan bukan sebatas karena hal itu benar. Misalnya, datang ke kantor on time itu benar. Tetapi seseorang datang on time ke kantor bukan hanya karena itu benar tetapi karena akan mendapat reward yaitu uang kerajinan dan jika terlambat akan dipotong. Kedua adalah Heteronomous di mana their authority lies outside the person, who may be forced to behave in ways with which he does not inwardly concur. Jadi, dalam motivasi kedua ini seseorang melakukan perbuatan baik karena terpaksa melakukannya.

Jika pembahasan di atas banyak melihat etika dalam PL, sekarang mari melihat etika dalam PB. Ada beberapa etika yang berbeda antara PL dan PB. Misalnya, PL memungkinkan untuk poligami, tetapi dalam PB tidak. Sebelum PB dituliskan ucapan dan ajaran Yesus beredar (lisan) di jemaat dan membentuk moralitas dan pemikiran mereka (inilah yang disebut oral tradition). Para penulis PB juga dibentuk oleh pengajaran Yesus yang kemudian meneruskannya sebagai ajaran etis umat Allah. Tindakan etis (menurut Yesus) secara fundamental merupakan respon akan kasih dan karya Allah lebih dari sekedar ketaatan pada Taurat (bd. Mt.6:17-20). Jika hanya karena tuntutan taurat kita melakukan sesuatu yang benar, maka ada sebuah tekanan dan kita dikungkung oleh peraturan (taurat). Tetapi prinsip atau dasar tindakan etis dari orang percaya didasarkan kepada kasih dan merupakan respon atas karya Allah yang membuat kita mencintai Allah dan senang untuk taat kepada Allah.

Apa yang menjadi dasar tindakan etis kita berikutnya? Dikatakan adalah sebuah panggilan pertobatan dan percaya kepada Injil yang di dasarkan pada datangnya Kerajaan Allah. Maka ketika Kerajaan Allah datang itulah sekaligus menuntut kita untuk bertobat dari dosa dan berhenti dari perbuatan jahat dan sekaligus juga melahirkan iman untuk injil Kerajaan Allah (Mrk.1:15; Mt.4:17). Datangnya Kerajaan Allah yang memanggil orang untuk bertobat dan percaya kepada Injil merupakan dasar dari tindakan etis. Pertobatan berarti menyambut datangnya Kerajaan Allah dengan ketaatan pada perintah Yesus. Begitu kita lahir baru maka Kerajaan Allah ada bagi kita. Ketika Kerajaan Allah ada bagi kita maka akan muncul ketaatan. Kerajaan Allah membentuk dan mewarnai semua cara hidup seseorang. Etika biblika merupakan respon akan datangnya Kerajaan Allah dan dampaknya bagi manusia. Dasar sebuah etika biblika adalah kasih akan Allah (Yoh.14:21), sesama (Lk.10:25-37) dan musuh (Mt.6:43-48) (Band Mt.22:37-40). Kasih yang demikian membuat kita tidak ingin melakukan yang jahat. Etika Kristen juga didasarkan pada adanya kebangkitan orang percaya yaitu hidup yang berpadanan dengan Injil Kristus (Flp.1:27). Kebangkitan dan zaman baru menandai kehidupan komunitas orang yang dipanggilNya. Karena kita yakin bahwa kita pasti akan dibangkitkan bersama Kristus, maka hal ini mendorong kita untuk tidak melakukan kejahatan. Jika kita adalah umat Kerajaan Allah dan akan dibangkitkan maka kita tidak akan pernah menodai diri kita dengan dosa.

Tindakan etis merupakan bagian dari panggilan seorang murid (Mrk.8:34). Pertobatan adalah anugerah, oleh sebab itu kita tidak bayar apa-apa (nothing). Tetapi untuk bertumbuh kita membayar something dan dalam pelayanan kita membayar everything. Jadi, agar kita menjadi murid Kristus yang berkenan terhadap sang Guru, maka kita bertumbuh di dalam pemuridan dan tidak akan melukai hati sang Guru. Kemerdekaan dalam Kristus bukan berarti hidup sembarangan, melainkan berbuat segala sesuatu dengan dasar kasih. Gal.5:13 mengatakan, “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (band. 1 Kor.6:12). Nilai atau target tindakan etis orang percaya bahkan harus lebih dari pada Farisi dan ahli Taurat. Mari melihat Mt.5:20, “Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (band Luk 18:20-21).

Perbuatan etis merupakan sebuah panggilan dedikasi kepada Allah dan tuntutan transformasi karena telah mengalami pembaharuan. Rom.12:1-2 mengatakan, “1 Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. 2 Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Hal ini akan mendorong kita untuk berkenan kepada Allah. Tindakan etis bukan sebagai perbuatan moralitas asketik. Dalam 1 Tim.4:3-5 dikatakan, “3 Mereka itu melarang orang kawin, melarang orang makan makanan yang diciptakan Allah supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenaran. 4 Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, 5 sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa.” Kita tidak kurang larangan tetapi kurang cinta kepada Allah. Jadi kita tidak melakukan tindakan etis dalam bentuk yang dikondisikan. Kita harus suci di tengah kenajisan, seperti ikan yang berenang dilautan yang asing tetapi tetap tawar. Dunia ini gelap dan najis, dan di sinilah orang kristen tetap hidup dan tetap menjadi ’tawar’. Tindakan etis juga adalah sebagai implementasi atau perwujudan iman. Yak.2:17 mengatakan, ”Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” Tindakan etis juga didasari oleh sebuah panggilan dan ambisi untuk menjadi serupa dengan Kristus (Flp.3:10-11).

Menempatkan Yesus sebagai Tuhan dari seluruh aspek hidup juga menjadi sebuah dasar tindakan etis. Sudahkah Yesus menjadi Tuhan dari mulut kita sehingga tidak ada lagi kalimat bohong yang keluar dari mulut kita? Sudahkah Yesus menjadi Tuhan dari mata sehingga tidak ada mata zinah? Sudahkan Yesus menjadi Tuhan dari pikiran kita sehingga tidak ada pikiran yang macam-macam? Ini adalah cara membuat Tuhan menjadi segala-galanya. Kalimat dari Bethoven, yang dikutip oleh John Stott, mengatakan, ”If Jesus not Lord of all, He is not Lord at all!”

Pengharapan eskatologis sebagai dasar tindakan etis membuat kita berbuat baik dan hidup suci (Mt.25:31-46). Apakah pondasi etika Kristen? Hanya satu yaitu: “ALKITAB”.
Soli Deo Gloria!