Saturday, June 12, 2010

Seri Problem of Pain II (2009)

[Kotbah ini dibawakan oleh Esni Naibaho, M. Div pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat 9 Oktober 2009]


Ada banyak orang yang tidak suka berbicara mengenai maslah penderitaan bahkan ada Gereja tertentu yang menolak penderitaan dan menganggap orang yang menderita adalah orang-orang yang dikutuk dan tidak diberkati oleh Tuhan. Saat ini, kita akan melihat Problem of Pain dengan membahas pertanyaan mengapa ada penderitaan, bagaimana kita memahami penderitaan berdasarkan Alkitab dan melihat beberapa contoh dan teladan orang yang mengalami penderitaan.

Mari mengingat respon kita atau respon kebanyakan orang akan tragedi yang terjadi. Misalnya tragedi ‘September 11’ di Amerika, Tsunami di Aceh, badai Katrina di Amerika, gempa bumi di Padang dan Tasikmalaya, dan Banjir bandang di Madina dan peristiwa-peristiwa lainnya.. Apa yang menjadi respon kita ketika mendengan tragedi ini? Apa yang menjadi respon kita terhadap Tsunami di Aceh atau Gempa di Tasikmalaya? Ada banyak orang yang mengatakan bahwa bencana tersebut terjadi karena Tuhan sedang menghukum daerah-daerah yang menolak hamba-hambaNya. Benarkah demikian? Ada yang mengatakan bahwa peristiwa ‘September 11’ terjadi karena Tuhan sedang menghukum kaaroganan negara Amerika. Bencana alam seperti longsor dan banjir juga terjadi karena sang pemimpin tidak takut akan Tuhan dan membiarkan banyak kejahatan terjadi (misalnya Ilegal Logging). Ada banyak respon yang muncul dari manusia dan akhirnya menyimpulkannya dengan mengatakan bahwa penderitaan atau bencana terjadi sebagai konsekuensi dari dosa dan kesalahan (ketidaktaatan, arogansi, dll). Ada juga yang mengatakan bahwa penderitaan merupakan akibat dari murka dan kemarahan baik dari Tuhan, alam, orang lain, dll. Penderitaan juga merupakan satu enigma atau misteri. Tidak ada satu kalimat yang bisa mendefinisikan dengan jelas dan tepat mengapa penderitaan itu ada. Memang, dalam beberapa kasus kita bisa mengerti dan memahami mengapa penderitaan itu terjadi, tetapi biasanya setelah penderitaan itu berlalu. Tetapi banyak juga orang yang sampai bertahun-tahun bahkan sampai ia mati tidak mengerti mengapa penderitaan itu terjadi. Penderitaan tetap menjadi sebuah misteri.

Dalam Kejadian 1 dan 2 kita menemukan bagaimana gambaran dunia dan manusia yang diciptakan. Setiap kali hari diciptakan selalu dalam kategori baik (Kej 1:10, 11, 12: ”...Allah melihat bahwa semuanya itu baik”) dan Allah kemudian menyimpulkan seluruh ciptaanNya itu dalam kategori baik dan sungguh amat baik (Kej 1:31, ”Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik”. ). Kondisi ’sungguh amat baik’ ini adalah gambaran kondisi yang menggambarkan suasana damai, dimana semua berjalan dengan harmonis dan ada hubungan yang akrab antara manusia dengan Allah. Bisa dikatakan zaman ini adalah zaman dimana tidak ada penderitaan. Tetapi mengapa manusia mengalami penderitaan? Siapa yang mendatangkan penderitaan? Siapa yang seharusnya dituntut dengan hadirnya penderitaan itu?

Dalam Kejadian 3 kita melihat bahwa dosalah yang membuat manusia mengalami penderitaaan. Pada saat manusia melanggar perintah Allah, hubungan manusia dengan Tuhan menjadi rusak. Dosa juga menimbulkan perselisihan antara manusia dengan sesamanya dan alam pun tidak lepas dari kutuk Allah akibat dosa manusia. Hal ini mengakibatkan munculnya disharmoni diantara semua ciptaan. Kematian fisik terjadi dan dosa menjalar diantar umat manusia yang membuat manusia akhirnya semakin jauh meninggalkan Allah (band Rom 1:18-32). Akibat dosa, manusia mengalami penderitaan dan kehilangan damai. Allah tidak pernah besalah dengan malapetaka dan bencana yang terjadi di dunia ini. Penderitaan itu merupakan akibat pemberontakan manusia dan merupakan pekerjaan iblis. Namun harus disadari bahwa ada penderitaan yang tidak diakibatkan dosa.

Jadi mengapa ada penderitaan? Kata tanya ’why’ – mengapa?- merupakan pertanyaan yang biasanya dilontarkan oleh orang yang mengalami, mengetahui, dan melihat penderitaan. Ketika pertanyaan ini ditanya, kita ingin pertanyaan ini dijawab. Mari melihat kepada kisah Ayub.

Ayub, dalam semua penderitaannya, juga melontarkan kata ’why’. Ayub kehilangan harta, ternak, anak-anaknya. Bukan hanya itu, dia juga mengalami sakit kulit dan isterinya meninggalkan dia (Ayub 1:13-20; 2:7-9). Dalam kondisi seperti ini, tiga orang sahabatnya ingin menghibur dia. Ketika menemukan Ayub, mereka sampai tidak mengenalinya lagi. Ketiga temanya ini menangis dan mengoyak jubah mereka dan menaburkan debu dikepala mereka dan duduk tanpa bicara dekat Ayub selama tujuh hari lamanya untuk menunjukkan empati mereka (Ayub 2:11-13). Ini menunjukkan betapa mengerikan dan beratnya penderitaan Ayub. Setelah Ayub berkeluh kesah, teman-temannya mencoba membantu Ayub mencari penjelasan mengapa ia menderita dan jawabn teman-temannya semakin menambah penderitaan Ayub karena menjawab dari perspektif mereka dan mangatakan semua adalah kesalahan Ayub.

Sering sekali kita mempertanyakan ’why?’ dan tidak menemukan jawabannya. Jika penderitaan muncul karena dosa, kita mungkin dengan mudah bisa mengatakan bahwa penderitaan muncul karena kesalahan kita sendiri. Tetapi dalam kasus Ayub, kita melihat bahwa penderitaannya bukan karena dosa. Diakhir dari pertanyaannnya setelah berkali-kali bertanya, pertanyaan Yaub tidak pernah terjawab sampai di akhir kitab karena Allah tidak menjawabnya tetapi menunjukkan kebesaranNya. Ketika Ayub melihat kebesaran Allah ini melalui ciptaan yang ada di depannya, maka Ayub tersunggkur dan berkata: "Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal. Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui. Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku. Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.” (Ayub 42:2-6).

Mari melihat contoh lain di dalam kehidupan Yesus. Yesus mengalami penderitaan di salib dan akhirnya mengeluarkan pertanyaan ’Why did You forsake me?’ kepada Bapa. Ketika Yesus mempertanyakan hal ini bukan berarti Dia tidak menerima penderitaan. Karena sebelum Dia disalibkan, sudah tiga kali Ia menubuatkan kepada murid-muridnya mengenai penderitaanNya. Hal ini ingin menunjukkan bahwa Yesus mengalami tekanan yang luar biasa. Oleh karena tekanan ini lah Yesus sampai mengeluarkan keringat bercampur darah di Getsemane yang diakibatkan pembuluh darah yang pecah. Satu kondisi yang sangat berat yang bisa dipahami Yesus sendiri. Pada saat Yesus ingin berbagi kepada murid-muridNya dan meminta agar mereka berjaga selama Ia berdoa, mereka pun tidak sanggup. Dengan kata lain Ia sendiri bergumul dengan penderitaan yang Ia alami dan di Salib akhirnya Yesus berkata: ”Why did You forsake me?” Bukan pertanyaan yang menunjukkan ketidaktaatan, tetapi sebuah kalimat yang menunjukkan penderitaan yang berat yang dialami oleh Tuhan Yesus. Kalimat tersebut bukan kalimat yang meminta penjelasan kepada Bapa untuk penderitaanNya, tetapi karena penderitaan yang sedemikian dalam dan hebat yang dialami oleh Yesus. Kalimat yang menggambarkan bahwa dosa manusia ditimpakan kepada Yesus dan Allah, yang Maha Kudus, memandang manusia diwakili oleh Yesus dan Yesus menjadi korban penghapus dosa.

Ada beberapa jenis penderitaan yang mungkin akrab dengan kita.

  • Menderita karena pemberitaan injil (Paulus menderita karena mengabarkan Injil)

  • Menderita karena melihat kejahatan dan menyaksikan orang yang dikendalikan oleh dosa (Contoh: Yesus menangis ketika memasuki kota Yerusalem).

  • Menderita karena anggota tubuh Kristus mengalami penderitaan (penganiayaan, perlakukan tidak adil, fitnah dll). Misalnya penganiayaan di gereja lain membuat kita juga merasa ikut menderita.

  • Menderita secara pribadi: penderitaan karena kepengikutannya kepada Kristus. Ini merupakan penderitaan yang membuat orang yang mengalaminya menjadi makin dewasa dan bertumbuh dalam iman. Ini adalah mpenderitaan yang membuat orang semakin bertumbuh di dalam iman.

  • Menderita penderitaan yang dialami oleh semua ciptaan (Rom 8:18-25) karena menantikan untuk menjadi ’new creation’.

  • Menderita akibat ketidaktaatan.

  • Dalam PL kita menemukan Allah menghukum bangsa Israel karena kejahatan dan ketidaksetiaan mereka dengan mengirimkan penyakit, malapetaka, kelaparan, binatang buas, dll.

Apa sebenarnya sikap Allah di dalam penderitaa. Dalam kitab Kejadian kita menemukan bahwa Allah tidak tinggal diam dalam penderitaan manusia. Sebelum manusia jatuh kedalam dosa, Ia telah memberi peringatan kepada manusia sebelumnya untuk tidak memakan buah yang baik dan jahat. Namun manusia itu tidak taat akibatnya kematian dan dosa menjadi bagian nasib dirinya. Ada banyak penderitaan yang kita alami karena kesalahan kita sendiri. Kita mungkin sudah diperingatkan oleh Tuhan, tetapi tetap melakukan pilihan kita sehingga kita menjadi menderita. Sering sekali kita melihat bagaimana manusia kembali ingat keapda Tuhan ketika mengalami penderitaan.

Mari melihat juga mengenai Allah dan atributNya yaitu Allah yang Pemurah, penyabar, adil, dan pengampun, kasih, kudus, adil dsb. Sering sekali kita membenturkan atribut Allah ini padahal sebenarnya tidak ada sifat Allah yang bertentangan.sering sekali kita tidak menerima bahwa Allah itu kasih sekaligus adil. KeadilanNya tidak menghilangkan kasihNya dan sebaliknya. Ketika semuanya berjalan baik kita tanpa ragu mengatakan bahwa Allah sungguh baik, tetapi ketika ada persoalan kita mengatakan bahwa Allah tidak baik. Kesalahan kita dalam memahami atribut dan sifat Allah dapat membuat kita tidak dapat memahami dan menilai arti penderitaan dengan benar.

Jhon Piper menjelaskan tentang Allah yang berdaulat. Ia mengatakan bahwa Allah:

  • Dia berdaulat atas setan (dalam mengambil nyawa, menganiaya, dll). Hal ini kita lihat kisah Ayub dimana Allah menijinkan iblis untuk membuat Ayub menderita, tetapi tidak dapat mengambil nyawanya. Allah memang berdaulat, tetapi bukan berarti Allah selalu mengkontrol kita dan kebal terhadapt penderitaan. Allah mengkontrok dunia ii bukan berarti Allah tidak akan membiarkan kita jatuh dalam penderitaan. Ayub seorang yang setia dan dipuji- oleh Allah diijinkan untuk mengalami penderitaan.

  • Dia berdaulat atas alam semesta. Allah dengan hikmatNya menciptakan dan menempatkan alam semesta dalam tempatnya. Segala sesuatu tidak akan berpindah tanpa sepengetahuanNya.Ketika Allah mengijinkan setan mencobai Ayub, yang pertama dilakukannya adalah mendatangkan bencana alam dan kemudian menjamah kulitnya (Ayub 1:16-19). Di tengah kondisi yang sangat mengerikan sekalipun, mata Tuhan masih tetap meilhat kita. Jika kita juga akhirnya mati, bukan berarti Tuhan tidak mengasihi kita (band Fil 1:21).

  • Dia berdaulat dan berkuasa menyembuhkan penyakit

  • Dia berdaulat atas binatang dan tumbuhan. Dia menyuruh ikan memakan Yunus dan memuntahkannya kembali.
Tetapi pemahaman yang salah akan Allah yang berdaulat ini akan memunculkan pertanyaan ‘Kalau memang sedemikian Allah berdaulat, mengapa Allah tidak bisa menjaga dunia ini?’ Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang kita lontarkan dan merupakan sumber kutukan kita kepada Tuhan atas penderitaan yang kita alami dalam ketidak mengertian kita. Tuhan selalu kita salahkan. Sebenarnya bukan pertanyaan mengapa Tuhan, tetapi apa sebenarnya yang ingin Tuan katakan melalui peristiwa ini kepada kita semua baik kepada yang mengalami penderitaan ataupun tidak.

Ada lima sikap kita terhadap penderitaan, yaitu:
  1. Kecenderungan manusia mencari kenyamanan, ketenangan, dan suasana nyaman dan damai. Akibatnya ketika seseorang mengalami penderitaan mereka mengira bahwa Allah telah menghianati dan meninggalkan dia. Hal ini mengakibatkan kepahitan, kekecewaan, kemarahan, sakit hati, dan keinginan meninggalkan Tuhan.
  2. Kita harus menyadari bahwa penderitaan mengerjakan kesabaran, ketabahan, kedewasaan (Rm 5:3-5; Jak 1:2-4; I Pet 4:12-19; Wahyu 7:14).
  3. Orang percaya harus melihat bahwa penderitaannya mendatangkan keselamatan orang lain; dan memberi dampak bagi orang lain dan dirinya sendiri (Yes 53:11; Joh 12:24-25; Wahyu 14:13; Ibr 11:8-10; 29-40).
  4. Berjaga-jaga dengan pengaruh New Age Movement.Gerakan ini menawarkan untuk membebaskan manusia dari penderitaan, penyakit, rasa sakit, dan kematian. Kekristenan mengakui adanya zaman yang baru tetapi zaman yang baru itu belum datang dan akan datang dimana dizaman yang baru itu tidak ada lagi penderitaan dan tangisan. Kekristenan mengakui adanya zaman baru tetapi belum datang. Zaman itu akan datang ketika Yesus datang untuk kedua kali dimana tidak ada lagi tangis dan penderitaan. Jadi kita masih hidup di tengah-tengah dunia yang akan menghadapi banyak penderitaan. Di tengah-tengah dunia seperti ini kita tidak bisa serta merta ingin meninggalkan dunia ini sedemikian rupa tetapi kita memiliki keyakinan dan mebangun iman kita kepada Tuhan sehingga kita mengetahui bahwa zaman yang baru akan datang dengan kedatangan Yesus, dan sembari menantikan zaman yang akan datang itu kita harus bertekun di dalam iman kita kepada Tuhan.
  5. Panggilan bagi kita adalah untuk bertahan dalam penderitaan (I Pet 4:12-19; I Kor 10:13). Ayub, Jeremiah, dan Habakuk telah sampai kepada pengertian mengapa mereka menderita bukan karena alasan terhadap ’why’ mereka terjawab secara memuaskan melainkan penderitaan mereka telah membawa mereka semakin mengenal kebesaran Allah. Biarlah penderitaan yang kita alami menjadi bagian yang penting dalam hidup kita dengan membawa kita semakin mengenal kebesaran Allah. Hal ini akan menghasilkan buah dan karakter yang baik. Bingham mengatakan bahwa orang berdosa tidak dapat mengetahui kebenaran dari penderitaan itu sendiri sampai ia datang kepda pertobatan dan mengakui bahwa ia adalah seorang pemberontak.

Meneladani Yesus. Yesus telah mengatasi penderitaan kita melalui kerelaannya menderita bagi umat manusia. G.C Bingham menyatakan: “The suffering of Christ is a suffering servant.” Dia menjelaskan Yesus menderita dalam hal: Dia datang kepada ciptaanNya tapi ciptaanNya menolak Dia; Dia memperkenalkan dirinya sebagai Anak Allah tapi manusia justru membunuhNya. Dia memberikan kasih tapi malah menuai kebencian dari banyak orang. Yesus menderita bukan hanya karena Ia telah dipermalukan, dipaku, dan disiksa di kayu salib melainkan karena kesalahan manusia ditimpakan kepada Dia yang adalah tidak berdosa. Seluruh penderitaan manusia ditimpakan kepadaNya.

Mari belajar untuk menyadari kecenderungan kita untuk merasa tetap nyaman, tidak memiliki masalah, ingin mencari sesuatu yang menyenangkan kita. Jika kita mengejar hal-hal ini, dan ketika masalah menerpa kita, maka kita akan menyalahkan Tuhan. Sudah saatnya kita membuang ini. Kita harus bangkit dan menyadari bahwa semua yang terjadi di dalam kehidupan kita ada di dalam pengetahuan Allah. Sikap yang benar terhadap penderitaan akan menghasilkan buah berupa kedewasaan. Penderitaan pasti akan berakhir dan biarkanlah itu berakhir dengan menghasilkan karakter kita yang semakin diperbaiki. Sebagai orang yang percaya, mari melihat penderitaan itu sebagai penderitaan yang bisa dipakai oleh Allah sebagai alat keselamatan kepada orang lain. Kita harus menghadapi penderitaan dalam bentuk apapun selama kita ada di dalam dunia ini. Mari menyadari zaman baru akan datang dengan tetap ada di dalam dunia ini dengan membangun iman kita. Mari megikuti jejak orang-orang yang mendahului kita seperti Ayub, Jeremia, dan Habakuk, yang justru ditengah-tengah penderitaan mereka semakin mengenal kebesaran Allah dalam hidup mereka.
Allah mengasihi manusia, Ia peduli kapada kita bahkan ditengah-tengah keadaan penderitaan yang mengerikan dan mengejutkan, kita adalah objek dari kasihNya (C.S. Lewis).

SoliDeo Gloria!

Seri Problem of Pain I (2009)

[Kotbah ini dibawakan oleh Denni Boy Saragih, M. Div pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat, 2 Oktober 2009)

[Kej 3:14-19]

MBA kali akan membahas mengenai satu tema yaitu 'The Problem of Pain'. Jika kita menyusun semua penderitaan, maka penderitaan bisa ada karena beberapa penyebab. Ada penderitaan bisa timbul karena ada physical pain, rasa sakit karena luka fisik. Ada juga penderitaan yang disebabkan oleh mental suffering, misalnya karena patah hati atau dipermalukan. Ada juga the suffering of innocents, penderitaan oleh orang-orang yang tidak bersalah dimana tanahnya diambil orang lain atau orang yang tidak bersalah tapi dihukum. Ada juga physical deformities, di mana penderitaan yang dialami mereka yang tidak memiliki anggota tubuh yang lengkap atau mengalami cacat fisik. Ada juga penderitaan karena psychological abnormalities, di mana ia mengalami gangguan psikologis seperti berkepribadian ganda atau memiliki kecenderungan-kecenderungan yang aneh seperti paranoia, dll. Ada juga penderitaan karena disease (penyakit). Ada juga penderitaan karena character defects, di mana seseorang suka mencuri padahal ia kaya. Ada juga ketidakadilan karena injustice (ketidakadilan), penderitaan karena oppression and persecution (penindasan dan penyiksaan), dan penderitaan karena natural catastrophes (bencana alam) seperti gempa bumi, tsunami. Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa manusia harus mengalami penderitaan dan rasa sakit?

Penderitaan adalah sebuah fakta. Jika kita mengamati sekeliling, maka di mana dan kapan saja penderitaan selalu ada di dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, Selama manusia ada di dalam dunia ini maka ia tidak pernah tidak menderita – apapun bentuknya. Bahkan Sidarta Gautama berkata bahwa ketika lahir kita menangis dan ketika matipun kita dihantar oleh tangisan. Penderitaan itu pada dasarnya adalah sesuatu yang bersifat existensial personal. Misalnya kita mengatakan orang Padang sedang menderita karena gempa. Memang di Padang terjadi gempa, tetapi tidak semua orang Padang menderita. Di Padang sendiri ada yang tidak mengalami kerusakan apa-apa dan tidak kehilangan siapapun. Tetapi ada juga orang yang menderita. Penderitaan hanya kita alami secara pribadi. Kita memang bisa berempati, tetapi kita tidak bisa mentransfer apa yang kita alami kepada orang lain dan menyerap apa yang dirasakan oleh orang lain. Ini adalah fakta. Penderitaan itu terdistribusi secara merata bagi orang miskin-kaya, tua-muda, asia-eropah, dll.

Semua orang menderita dalam kacamata yang berbeda-beda. Jadi pertanyaannya adalah apa sebenarnya masalahnya? Apa itu Problem of Pain? The Problem of Pain adalah sesuatu yang terjadi bukan karena kita menderita tetapi karena di tengah –tengah penderitaan yang kita alami kita percaya bahwa ada eksistensi Allah. Jadi jika Allah ada dan penderitaan juga ada maka muncul masalah teologis. Maksudnya, bila tidak ada Tuhan maka masalah penderitaan tidak ada. Penderitaan hanya sebuah sensasi psikologis yang tidak menyenangkan atau rasa yang tidak enak. Tetapi bila Tuhan memang ada, kenapa Tuhan membiarkan penderitaan? Kenapa Ia tidak berbuat apa-apa di tengah penderitaan? Dimana Allah ketika Nazi memusnahkan ratusan ribu orang Yahudi di dalam ruangan dengan gas beracun? Kenapa Tuhan membiarkan semua kejahatan terjadi? Apakah Allah memang ada? Sekali lagi jika Allah tidak ada, maka penderitaan bukanlah masalah. Tetapi akan muncul masalah teologis dalam memandang penderitaan jika kita percaya kepada Allah.

Hal ini menjadi masalah psikologis karena kita percaya bahwa Allah adalah Allah yang baik dan Maha Kuasa. Problem of Pain tidak akan muncul jika Allah itu baik tetapi tidak maha kuasa. Karena Allah tidak berkuasa mencegah semua penderitaan yang ada. Jadi tidak ada masalah dengan penderitaan. Penderitaan juga tidak akan menjadi masalah jika kita melihat Allah itu Maha Kuasa tetapi tidak Allah yang baik. Allah berkuasa mencegah semua penderitaan tetapi Ia tidak baik. Wajar jika ia membiarkan penderitaan dan Ia ’tidak peduli’ dengan penderitaan manusia. Tetapi muncul Problem of Pain yang telah dirumuskan oleh Epicuros (341-270 BC) dengan mengatakan ”Apakah Ia ingin mencegah penderitaan tetapi tidak mampu? Berarti Ia tidak maha kuasa. Apakah Ia mampu, tetapi tidak ingin? Berarti Ia jahat. Apakah Ia mampu dan ingin? Bearti IA Maha Kuasa dan Maha Baik. Jadi darimana datangnya penderitaan dan kejahatan?” Perlu kita ketahui bahwa fakta penderitaan adalah salah satu argumentasi yang paling kuat supaya orang bisa menjadi Atheis.

Jadi, bagaimana kita seharusnya bersikap dalam merenungkan The Problem of Pain? Pertama, kita harus memahami makna ’kemahakuasaan Tuhan’. ’Maha Kuasa’ – dalam konteks Alkitab – sering diartikan sebagai apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah. Artinya Allah berkuasa melakukan hal-hal yang luar biasa. Tetapi kita harus bedakan antara tiga hal, yaitu: 1) Hal-hal yang masuk akal, kita bisa melakukannya dan Tuhan juga bisa melakukannya. Contohnya adalah membuat mobil berjalan, membuat orang jatuh cinta, dll. 2) Hal-hal yang melampau akal, dimana manusia juga bisa melakukan hal-hal yang seolah-olah melampaui akal, misalnya sulap. Tuhan juga mampu melakukan hal-hal yang melampaui akal melalui mujizat. 3) Hal-hal yang tidak masuk akal, artinya Tuhan tidak menjadi berhenti kemahakuasaanNya jika Ia tidak mampu melakukannya. Misalnya, tidak masuk akal membuat sebuah lingkaran yang berbentuk segitiga. Sangat tidak masuk akal! Tidak ada yang bisa melakukannya bahkan Tuhan pun tidak bisa melakukannya karena segitiga bukan lingkaran dan lingkaran bukan segitiga. Sewaktu Tuhan tidak bisa melakukan hal ini bukan berarti Ia tidak Maha Kuasa, tetapi permintaannya yang tidak masuk akal, permintaan yang tidak mungkin terjadi.

Karena itu, jika kita ingin membandingkan dengan konsep penderitaan dalam dunia ini, Tuhan itu Maha Kuasa dan di dalam kemahakuasaanNya, Dia memberikan kebebasan kehendak kepada manusia, sehingga sewaktu Ia memberikan kebebasan kehendak bagi manusia untuk memilih, Ia tidak bisa pada saat yang sama membatasi kebebasan kehendak itu supaya manusia hanya memilih yang baik saja. Di sinilah akar dari penderitaan yang dialami manusia. Manusia memilih dan pemilihan itu terkadang membuat manusia memilih yang jahat. Jika kita melihat Kejadian 3 tadi muncul pertanyaan kenapa Adam dan Hawa memilih untuk memakan buah itu dan melanggar perintah Allah dimana hal itu beakibat kepada munculnya banyak kutukan Tuhan. Bukankah sebenarnya Tuhan bisa muncul dan melarang Hawa pada saat ia akan mengambil buah yang dilarang Tuhan untuk dimakan? Jawabannya adalah bisa! Tetapi apa gunanya Ia memberikan kebebasan? Apa gunanya Ia memberikan perintah? Apa gunanya Ia memberikan larangan jika larangan itu tidak boleh dilanggar? Bukan berarti larangan atau hukuman dibuat untuk dilanggar. Tidak! Ketika Allah memberikan larangan, berarti ada kemungkinan larangan itu dilanggar. Jika tidak ada kemungkinan larangan tersebut dilanggar maka tidak perlu ada larangan. Misalnya, tidak perlu ada larangan “Dilarang Terbang di udara!”, karena tidak ada manusia yang mampu terbang di udara. Tetapi larangan seperti “Dilarang buang sampah sembarangan!” atau “Dilarang menginjak rumput!” pasti ada kemungkinan dilanggar. Justru karena ada kemungkinan yang melanggar maka dibuat larangan. Jadi bukan ‘hukum dibuat untuk dilanggar’ tetapi ‘hukum dibuat karena ada kemungkinan orang melanggar hukum itu’.

Jadi, Allah tidak bisa memberikan manusia kehendak bebas sekaligus selalu mencegah manusia berbuat jahat jika manusia ingin melakukannya. Hal ini akan menimbulkan pertanyataan, “Kalau begitu sebaiknya jangan ada kehendak bebas!” Tetapi, apakah kita lebih suka keadaan dimana manusia tidak diberikan kehendak bebas? Jawabannya sangat sederhana. Jika kita ingin pacaran dengan seseorang, maka yang mana lebih kita sukai, ia pasti dan tidak bisa tidak harus mencintai kita atau ia memilih dengan sukarela mencintai kita? Kita pasti memilih yang kedua. Dan jangan salah, pilihan yang kedua ini memiliki resiko. Kalau memang yang kita inginkan ia memilih dengan sukarela mencintai kita maka ada kemungkinan ia tidak memilih untuk mencintai kita. Inilah yang Tuhan lakukan. Ia ingin Adam dan Hawa mencintai Dia dengan segenap hati dan jiwa mereka sebagai manusia dan hal itu berarti bahwa Allah tidak berhak melarang jika manusia memilih untuk memberontak kepada Dia. Disinilah akar daripada penderitaan muncul. Jadi, kita tidak bisa sertamerta menyalahkan Allah ketika mengalami penderitaan karena dalam pilihan nenek moyang kita ada akar dari penderitaan. Manusia tidak hanya bebas memilih yang baik, tetapi manusia juga bebas memilih yang buruk atau jahat. Jadi, Allah tidak berhenti menjadi Maha Kuasa ketika manusia tidak dicegahNya melakukan yang jahat kepada orang lain.

Setelah memahami kemahakuasaan Tuhan, kita juga harus memahami hal yang kedua, yaitu memahami ’Kebaikan Tuhan’. Kebaikan dalam Alkitab bukanlah berarti sesuatu yang manis dan menyenangkan. Dalam Alkitab juga kadang-kadang dibedakan antara yang baik sekarang dan baik yang akan datang. Ada sesuatu yag memang tidak baik tetapi kelak dia menjadi sesuatu yang baik. Misalnya, orang yang senantiasa membanting tulang dan selalu ke ladang mencangkul dan malam baru bisa belajar. Ia memang menderita, tetapi dalam jangka panjang ia adalah seorang yang sehat dan bebas dari penyakit dan menjadi pribadi yang tangguh. Dalam Alkitab juga harus dibedakan antara baik bagi saya, baik bagi orang lain, atau baik bagi semua manusia. Misalnya, kematian seorang ayah yang akhirnya merukunkan semua anak-anaknya yang bertengkar. Jadi, kebaikan harus dipahami dalam konteks dunia yang berdosa.

Sewaktu kita bicara tentang Tuhan yang baik dan memberikan kebaikan kepada kita di tengah-tengah dunia yang penuh dosa, akan memunculkan dua jenis kebaikan. Pertama ada yang disebut Simple Good, yaitu hal-hal yang baik di dalam dirinya sendiri. Misalnya, cinta, sukacita, kebahagiaan, persahabatan dan hal-hal lain yang pada dasarnya adalah baik. Tetapi ada hal-hal yang menghasilkan sesuatu yang baik bagi manusia meskipun menghasilkan penderitaan. Dan hal inilah yang disebut Complex Good. Kita bisa melihat bahwa Allah itu tetap Maha Kuasa dan Maha Baik di tengah-tengah penderitaan yang ada dengan memahami apa sebenarnya kemahakuasaan Allah di tengah-tengah dunia yang memberontak kepada Tuhan dan dunia yang Allah berikan kebebasan untuk mencintai Dia atau untuk memberontak kepadaNya. Sebuah dunia yag dengan kompleksitasnya penuh dengan kebaikan Allah dimana, mungkin, ada kebaikan yang sederhana dan kebaikan yang kompleks.

Jadi, bagaimana kita memahami peran penderitaan bagi manusia? Kita harus belajar bahwa kita tidak bisa memberikan jawaban yang tuntas dalam menjawab penderitaan. Jangan memberikan jawaban yang menyederhanakan masalah seperti ”O, ini ada hikmatnya.” Tetapi kita juga tidak akan bisa menjelaskan semua peristiwa penderitaan itu. Kita harus merenungkan dan memahami apa kira-kira yang berguna dari penderitaan itu kepada manusia. Kita harus mengakui ada titik-titik di mana bahasa dan pengertian manusia harus berdiam dan mengheningkan diri tak berdaya terhadap bencana Alam Yang Tidak Pandang Bulu, Kekejaman Perang dan Terorisme, dan Kebiadaban Para Tiran dan Penindas. Tidak ada jawaban yang tuntas. Tetapi ada tiga hal yang menjadi pegangan kita ketika melihat penderitaan terjadi di dalam manusia. Pertama, penderitaan mengguncang ilusi manusia yang melihat semuanya baik dan tidak ada masalah. Hidup ini tidak baik dan penuh dengan masalah. Kedua, penderitaan menggoyahkan kesombongan manusia yang percaya pada kecukupan diri sendiri. Penderitaan mampu menggoncangkan orang kaya. Ia tidak pernah berpikir akan kekurangan, tidak pernah berpikir akan orang miskin, tetapi dia akan mulai memikirkannya ketika kanker masuk ke dalam tubuhnya. Penderitaan juga menggoncangkan kita bahwa kita tidak ada apa-apanya. Kita membutuhkan Tuhan dan orang lain. Jika kita tahu minggu depan kita akan meninggal dunia, maka satu minggu ini akan menjadi minggu yang luar biasa karena minggu ini akan penuh dengan kebaikan dan sempat meminta maaf kepada orang-orang yang kita sakiti. Dan Ketiga, penderitaan membuat jiwa pemberontak manusia menundukkan diri kepada kekuasaan Tuhan.

Kalau memang itulah inti kebaikan dari penderitaan, bukan berarti ini adalah jawaban dari semua penderitaaan. Kenyataan bahwa penderitaan di tengah-tengah dunia ini adalah sesuatu yang bisa membawa hal yang baik di tengah hal yang buruk dimana orang akhirnya menyerahkan diri kepada Allah. Manusia akhirnya menyerahkan diri karena tenderita, bukan karena kerelaan. Tetapi pertanyaannya adalah ‘Apakah sebuah penyerahan diri yang ‘dikondisikan’ oleh penderitaan adalah sebuah penyerahan diri yang sejati?’ CS Lewis mengatakan inlah yang disebut dengan Divine Humility, kerendah-hatian Tuhan. Tuhan rela menerima penyerahan diri manusia meskipun penyerahan diri itu bukan karena manusia betul ingin takluk kepada Tuhan tetapi karena dikondisikan oleh penderitaan. Hal ini terjadi karena Allah melihat manusia seperti seorang anak yang dalam proses belajar untuk berserah lepada Allahnya secara total di tengah-tengah dunia yang telah jatuh kepada dosa. The Problem of Pain pada akhirnya adalah pertanyaan mengenai penyerahan total kita, apakah dengan melihat segala penderitaan ini bisa dibawa kita kepada penyerahan diri kepada Allah dan menyadari bahwa kita tidak ada apa-apanya dan kita harus belajar takluk kepada Allah, pemilik dan yang empunya segalanya, yang menjaga diri kita dan segala yang kita miliki.
SoliDeo Gloria!