Tuesday, March 1, 2011

Hasangapon

(Dari Sudut Pandang Alkitab)
Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div
Yoh 12:20-36

Peristiwa dalam Yoh 12:20-36 ini adalah peristiwa pesta perayaan Paskah orang Yahudi yang dihadiri banyak orang Yunani. Tapi Yunani yang di sini adalah Helenis, yaitu orang Yahudi yang telah kehilangan akar keyahudian. Pesta Paskah ini adalah sebuah pesta peringatan keluarnya bangsa Israel dari Mesir. Biasanya ada puasa dan pesta selama tujuh hari. Jadi sebelum hari itu, Yesus memasuki sebuah daerah (19). Waktu pesta itu dikatakan mereka ingin bertemu dengan Yesus dan mereka menghubungi Filipus lalu ke Andreas, akhirnya mereka tiba pada Yesus.

Tetapi satu hal yang menarik adalah jawaban Yesus. Dalam ayat 23 dikatakan, “Tetapi Yesus menjawab mereka, kata-Nya: "Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan”. Yesus memberikan respon yang tidak mereka duga. Ada dua hal yang bisa kita lihat, pertama adalah ‘saat’ yang dimaksudkan di sini adalah ‘saat kematian’ (sacrificial death) pada kayu salib. Kedua, ‘dimuliakan’ itu berarti ‘kematian di salib’, kebangkitan dan pengangkatan (41, 13:31-32), sesuatu hal yang sangat dibanggakan di dalam diri Kristus.

Dalam teologia Yohanes, salib adalah kemuliaan bukan kegagalan, kehinaan, ataupun kenistaan. Yesus langsung mengarahkan perhatian mereka pada bagian ini (baca: salib). Ketika Yesus berkata demikian, muncul pertanyaan, ‘Bagaimanakah Yesus dimuliakan?’(24). Dalam ay 24 dikatakan, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah”. Cara Yesus dimuliakan dibicarakan melalui tiga hal, yaitu 1) biji dan tanaman, 2) kehidupan dan kematian, dan 3) hamba dan tuan (24-26). Dalam tiga aspek ini Yesus hendak menggambarkan bahwa kematianNya bagaikan menanamkan sebuah benih ke dalam tanah. Kelihatannya ini adalah sebuah tragedi (salib) – bagaikan benih yang sudah ditanam tidak kelihatan lagi, tetapi pada waktunya akan tumbuh – besar dan berbuah. Sesungguhnya hal ini adalah sebuah kemenangan. Sebuah kemenangan dari kasih Allah yang berkorban (God’s self giving love), yaitu kasih yang menarik seluruh dunia (diwakili oleh Yunani) datang kepada Allah (32-33).

Dalam konteks biji dan tanaman, hidup dan kematian dan Tuhan dan hamba, yang dimaksudkan Tuhan Yesus adalah sebuah paradigma berpikir yang berbeda dengan orang-orang dunia. Dalam konteks orang Yahudi, salib adalah sebuah kehinaan. Ini adalah hukuman untuk pelaku kriminalitas tingkat tinggi dan hukuman yang paling hina dalam budaya Yahudi. Tetapi di sini kita melihat ada paradigma berpikir bahwa yang paling hina dan paling tidak dihargai orang Yahudi justru yang paling dimuliakan di dalam diri Kristus dan dengan cara kematian di atas kayu saliblah Yesus ditinggikan.

Yesus membuat sebuah metafora di mana jika biji tidak ditanam dan ditenggelamkan di dalam tanah, maka biji itu tidak akan pernah bertumbuh dan berproduksi. Dalam tiga metafora ini Yesus ingin menyampaikan bahwa jika kita ingin berproduksi, tidak ada jalan lain bahwa kita harus menderita dan mati dan hal ini bisa menghasilkan sebuah kehidupan yang berelasi dengan ketaatan dan kerelaan untuk menderita. Sesungguhnya hal ini adalah sebuah kemenangan. Jadi ada sebuah kebanggaan bukan dengan paradigma dunia atau dengan apa yang dihargai oleh dunia, tetapi kita memiliki cara pandang yang berbeda bahwa yang hina bagi dunia ternyata adalah sesuatu yang mulia di hadapan Allah bagi anak-anak Tuhan.

Karena itu, salib adalah sebuah tragedi karena merupakan penghinaan dan penderitaan yang sangat mengerikan. Tetapi salib juga adalah sebuah kemuliaan. Jika kita mau hidup berguna dan berdampak bagi orang lain, maka salah satu syarat adalah mati atau berkorban untuk kebenaran dan itulah sebuah kemuliaan yang harus kita miliki sebagai anak-anak Tuhan. Inilah Kemenangan dari God’s self giving love, yaitu kasih yang menarik seluruh dunia datang kepada Allah (32-33).

Dalam ay 24-25 ada sebuah prinsip kehidupan jika ingin berguna. Jika kita perhatikan ada sesuatu yang berbeda dari ayat ini. Dunia seharusnya membanggakan kelepasan dari penderitaan, tetapi kebanggan bagi Allah adalah harus menderita dan mati. Jika mereka (Yunani) itu sungguh-sungguh mau melihat Dia (20-22), mengenal dan memahami apa yang dikerjakan Yesus, mereka harus siap untuk ‘ditanamkan/mati’ dengan cara yang sama dan bersedia menerima semua resiko dalam melayani Kristus. Inilah prose untuk pengenalan. Ketika merka sangat ingin ketemu dengan Tuhan Yesus (20-21), maka Yesus berkata bahwa jika mereka ingin mengenal Yesus lebih dalam, maka mereka harus menjalani jalan yang Yesus jalani (24). Jika kita tidak masuk dalam proses seperti yang Tuhan katakan maka pengenalan kita akan Tuhan akan tetap dangkal. Ada kehidupan yang berpusat, bukan kepada kesuksesan duniawi tetapi berpusat kepada Kristus (25). Ketika hidup kita berpusatkan kepada kehidupan dan kesuksesan duniawi, maka kita sebenarnya kehilangan makna pemuridan (band Mark 8:34-35). Tanpa mengalami hal ini kita tidak akan pernah mengalami pembaharuan hidup dan yang kita banggakan pun akan tetap apa yang dibanggakan oleh dunia.

Paulus berhasil di dalam pembaharuan ini (Fil 3:4-7). Jika kita melihat reputasinya, dia adalah orang yang memiliki banyak kemampuan dan memiliki kedudukan yang tinggi di tengah-tengah bangsanya. Tetapi dia menganggap apa yang dia miliki semua itu adalah kerugian dan sampah jika dibandingkan dengan Kristus. Apa yang paling kita banggakan dalam hidup kita ini? Mari kita melihat bahwa dalam hal ini Kristus dimuliakan dan kemuliaan yang dilihat Kristus adalah sebuah ketaatan kepada Bapa dan mati di kayu salib.

Gambaran ‘ditanamkan’ identik dengan menjadi satu dalam baptisan dan kematian Yesus (Rom 6:3-6). Salib adalah sebuah kemuliaan? Mujliakah kita memandang orang/alumni yang tetap setia kepada Allah tetapi secara ekonomi pas-pasan? Muliakah kita melihat diri kita sebagai orang yang dihargai Allah atau kita menjadi minder karena pekerjaan kita begitu-begitu saja? Muliakah ketika kita bertahan di dalam kebenaran tetapi akhirnya dipaksa untuk berhenti? Jawabannya adalah mulia. Jadi, mari kita melihat kemuliaan bukan dengan cara berpikir orang batak. Orang batak memandang kemuliaan jika seseorang kaya, memiliki jabatan, dan memiliki keturunan. Salib adalah sebuah kebanggaan. Dalam ay 26 dikatakan, “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situ pun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa”. Dari ayat ini kita bisa melihat bahwa melayani Yesus berarti mengikuti Dia kemanapun Dia pergi dan bearda di jalan di mana Dia ada. Jika Kristus memandang salib sebagai sebuah kehormatan dan kemuliaan, bukankah kita juga sebagai murid harus memandang salib sebagaimana Dia memandangNya. Inilah yang harus kita miliki bersama-sama. Dalam ayt 26 juga dikatakan bahwa orang yang melayani Tuhan dengan setia adalah orang yang dihormati Bapa. Jalan untuk itu bukan sesama biji/benih saling sikut dan hidup untuk dirinya sendiri (25) melainkan dibenamkan ke dalam tanah dan menjadi tumbuhan yang baru dan menghasilkan buah. Apakah kita merasa hina sebagai orang Kristen? Atau merasa gagal karena ketaatan kita kepada Tuhan? Mari berjalan di jalan Kristus dan ada bersama dengan Kristus ada.

Dalam ay 27-30 kita melihat bagaimana Yesus berkata bahwa jiwanya merasa haru (troubled) karena melihat salib yang ada di depan. Dalam kondisi seperti ini, Ia tidak meminta Bapa untuk mengangkap salib tersebut. Seringkali kita berbalik dari Kristus, kita menghindari penderitaan dan tantangan dari ketaatan kepada Allah atau jalan salib. Yesus, walau dia tertekan, dia tidak meminta agar bapa mencabut hal itu, tetapi menjalaninya karena untuk itulah Dia datang ke dalam saat kematian dan penderitaanNya. Itulah kemuliaan. Dalam menjalani jalan salib kita juga pasti terganggu, tetapi mari kita melihat bahwa jika kita menderita karena kebanaran itu adalah sesuatu yang berharga bagi Allah dan sesuatu yang mulia. Mari kita bayangkan jika tidak ada misionaris dari Eropah datang ke tanah batak, kita tidak akan pernah menjadi orang percaya pada masa sekarang ini. Apa yang kita rasakan sekarang ini adalah karena para missionaris merelakan diri mereka ditanam sebagai benih di dalam tanah. Bagi Yesus, Ada bahaya/tragedi di depan tetapi melalui hal tersebut kemuliaan akan bersinar ke seluruh dunia. Father, glorify your name! (28). Hanya ketika bisa melihat sesuatu itu mulia dalam kaca mata ilahi, maka itu jugalah yang ki9ta ambisikan untuk memuliakan Bapa.

Apa respon Bapa atas doa Tuhan Yesus (28b) adalah bahwa Yesus sudah dan akan dimuliakan. Bapa telah dimuliakan pleh pelayanan dan karya Yesus sebelumnya dan akan dimuliakan lagi melalui ketaatan serta kematianNya di akyu salib. Apa tujuan deklarasi Allah (30) adalah meneguhkan dan demi kepentingan orang yang mendengarnya saat itu. Artinya adalah abhwa Kristus sang Mesias, Anak Allah, telah menggenapi mandat Allah dan itulah jalan untu kemuliaan Bapa dan jalan Bapa memuliakan Dia.

Ay 31-32, “Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini: sekarang juga penguasa dunia ini akan dilemparkan ke luar; dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.” Hal ini dikatakan utuk menyatakan bagaimana caranya ia akan mati. Ayat 32-33 dikatakan bagaimana anak manusia akan ditinggikan melalui salib di mana Yohanes menyamakan dengan patung ular di gunung dimana setiap orang Israel yang memandangnya akan selamat, tetapi orang yang tidak memandangnya akan binasa (3:14-15; Bil 21:9). Yesus sang Mesias akan menggantikan kerajaan dunia (Romawi) dengan Kerajaan Allah. Bukan dengan pedang atau kekerasan, melainkan dengan kasih (self giving love) dan kematian di salib. Inilah cara untuk menyelamatkan dunia – biji yang mati karena kasih (34). Mari melihat sebagai sebuah kehormatan jika kita rela menderita. Negara ini akan berubah jika alumni rela mati seperti benih yang di tanam dan hal ini adalah kebanggaan.

Dalam ay 35-36 kita melihat ada perubahan. Pendengar saat itu sulit untuk mengerti konsep Mesias yang sejati karena sudah tertanam pemahaman tentang Mesias dan kemenangan/ kemuliaan yang salah (2 Sam. 7: 13-16). Tetapi Mesias yang ada adalah Mesias yang menderita dan Kristrus yang disalib adalah kemenangan bukan kegagalan, sebuah kemuliaan bukan kehinaan. Karena itu, bisakah kita melihat adalah sebuah kehormatan jika kita bisa terus melayani Allah apapun konsekuensinya. Yesus sang terang dunia (1:4; 8: 12) tidak akan lama lagi ada bersama mereka, karena itu ada undangan untuk datang kepadaNya agar tidak berjalan dalam kegelapan. Mereka harus datang, hidup dan berjalan dalam Terang itu. Apa yang menjadi kegelapan dan terang bagi kita sekarang ini adalah soal paradigm berpikir kita akan apa itu ‘hasangapon’. Ketika kita tidak mau berkarya dan emlayani tuhan dengan sungguh-sungguh, dan tidak mau seperti benih yang mau mati agar dapat mengabdi dan hidupo kita berdampak bagi orang lain .

Apa dan bagaimana kemuliaan kita? Salib dan penderitaan (ketaatan dan kesetiaan pada Bapa) adalah kemuliaan sejati. Tidak dikatakan kita harus miskin, tidak punya jabatan, harus pengangguran, atau tidak punya apa-apa, atau mengalami penderitaan, tetapi jika dalam rangka ketaatan kita memikul salib kita memiliki kekayaan atau tidak memiliki kekayaan mari berkata: “Terpujilah Tuhan!” Bagaimana agar hidup berproduksi dan memuliakan Allah? Mari belajar dari metafora yang Yesus katakana bahwa hidup kita sama dengan benih yang mati ditanam. Mengubah dunia, kota, gereja, kantor, lingkungan, keluarga (suami, istri, anak) bukan dengan pedang dan kekerasan tetapi dengan kasih yang mau untuk berkorban. Menghadirkan kerajaan Allah kita mati seperti biji dan semua dilakukan karena kasih. Ini adalah cara kita untuk memuliakan Allah.

Hagabeon

(Menurut Alkitab)
Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Berbicara mengenai keturunan merupakan pergumulan bagi banyak keluarga khususnya dalam budaya batak. Dalam kehidupan manusia sering mengalami pergumulan antara memiliki harta dan keturunan. Bagi orang batak dianggap sebagai kekurangsempurnaan jika tidak punya anak, walapun memiliki harta yang banyak. Kemudian, dalam orang batak juga diharapkan ada anak laki-laki dan perempuan.walaupun mereka memiliki empat orang anak, tetapi jika semua adalah perempuan, maka menurut mereka keluarga mereka tidak sempurna. Ada juga pergumulan akan anak kandung dan anak angkat. Dan banyhak orang memilih tidak memiliki anak daripada harus mengadopsi anak. Semua ini pergumulan ini bermuara kepada kebanggaan dan kemuliaan yang semu. Oleh karena itu mari berbicara soal hagabeon (bahasa batak: gabe = keturunan) dari segi nilai-nilai kekristenan.

Banyak anak-anak Tuhan yang sudah lama dibina, ikut pemuridan, tetapi nilai dan kebanggaan dunianya tetap tertahan. Mari belajar dari Paulus ketika ia mengalami pembaharuan yang radikal. Dalam Fil 3:4-5 dikatakan, “Sekalipun aku juga ada alasan untuk menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi”. Paulus memiliki kapasitas yang sangat hebat. Tetapi di dalam ayat 7-9 dia berkata, “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan”. Dan akhirnya dalam ay 10 dia berkata, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya”. Apa yang hendak dikatakan di sini adalah kebanggaan-kebanngaan duniawi yang tidak alkitabiah disingkirkan Paulus ketika dia bertobat, dan digantikan dengan satu ambisi yang benar. Tanpa ambisi yang benar ini, maka konsep nilai yang ada pada kita (khisusnya dalam lingkungan suku Btak) akan sulit terkikis dari diri kita. Jadi kita terlabih dahulu mengalami pembaharuan nilai dan ambisi yang baru secara alkitabiah.

Apa yang menjadi tujuan hidup dari pernikahan? Dalam pernikahan itu ada tujuan dan buah. Anak bukan tujuan pernikahan, tetapi buah dari pernikahan. Jika tujuan menikah untuk anak, maka ketika anak tidak hadir dalam keluarga itu, sangat memungkinkan pernikahan akan bermuara kepada perceraian. Menikah bisa memiliki anak atau bisa tidak. Jika konsep ini jelas, maka keluarga tidak akan terlalu stress dan gelisah jika masih belum memiliki anak. Tujuan pernikahan adalah untuk mandat Allah. Ada dua mandat yang Tuhan berikan untuk setiap orang percaya. Dalam Kej 1:28 adalah mandat budaya yaitu untuk mengeksplorasi dunia. Perlu kita ketahui bahwa beranak-cucu yang dimaksud di sini tidak berbicara sebatas keturunan biologis, tetapi juga keturunan ilmu pengetahuan, karya, berkat bagi banyak orang. Kemudian, yang kedua adalah mandat injil (amanat agung) dalam Mat 28. Karena itu mari kita pamahi agar ketika kita memasuki pernikahan, salah satu hal yang harus disiapkan adalah untuk tidak punya anak. Ini adalah pandangan yang alkitabiah. Jika keluarga ini lama memiliki anak berarti Tuhan memberikan kesempatan yang banyak bagi mereka untuk maksimal melayani.

Tidak semua orang menikah Tuhan karuniai keturunan biologis. Bagi orang batak, tidak memiliki anak berarti bala. Dalam pernikahan, ketiadaan anak bisa membawa pernikahan dalam arah yang tidak jelas. Dalam budaya Simalungun dulu (sebelum Injil masuk) ada istilah pinjam jago. Jika si isteri tidak melahirkan dia diijinkan untuk berhubungan dengan pria lain agar punya anak dan ini adalah perjinahan. Dalam batak Toba dan Karo langsung diceraikan. Dan seharusnyalah sikap kita sebagi orang yang sudah mengenal Tuhan jika belum diijinkan untuk memiliki anak berarti Tuhan ijinkan kita melayani dengan maksimal tanpa kehadiran anak biologis. Dalam Yes 54:1, dikatakan, “Bersorak-sorailah, hai si mandul yang tidak pernah melahirkan! Bergembiralah dengan sorak-sorai dan memekiklah, hai engkau yang tidak pernah menderita sakit bersalin! Sebab yang ditinggalkan suaminya akan mempunyai lebih banyak anak dari pada yang bersuami, firman TUHAN.”

Jangan selalu berpikir bahwa kehadiran anak akan selalu membawa sukacita, sebaliknya kehadiran anak juga dapat membawa dukacita. Dalam Ams 10:1 dikatakan, “Amsal-amsal Salomo. Anak yang bijak mendatangkan sukacita kepada ayahnya, tetapi anak yang bebal adalah kedukaan bagi ibunya.” Ams 15:20, “Anak yang bijak menggembirakan ayahnya, tetapi orang yang bebal menghina ibunya”. Ams 17:25, “Anak yang bebal menyakiti hati ayahnya, dan memedihkan hati ibunya”. Tidak ada jaminan bahwa anak kita adalah orang bijak semua bukan?

Disamping dari anak biologis, ada juga anak teologis. Sesuatu yang sangat diberkati jika bisa melahirkan anak biologis juga anak teologis. Tetapi jika anak biologis tidak terbina, kita akan dimurkai Allah. Orang Kristen haruslah lebih memprioritaskan keturunan teologis daripada keturunan biologis karena keturunan biologis belum tentu menjadi keturunan kekekakalan. Lihat Eli dan dua anaknya. Dua anak nabi Eli adalah perampok dalam bait Allah. Memiliki anak itu penting, tetapi yang menjadi perhatian kita adalah apakah anak yang telah Tuhan percayakan akan bermuara kepada anak teologis. Mari lebih berfokus kepada anak teologis daripada anak biologis supaya kita bisa berkata bahwa hagabeon di dalam Tuhan adalah keturunan kekekalan bukan sebatas biologis.

Jika kita melihat anak-anak allah sebagai keturunan ilahi, maka Israel itu adalah anak-anak Allah ketika mereka taat kepada Allah. Orang-orang beriman kepada YHWH disebut sebagai anak keturunan Abraham. Di dalam Kej 15 dikatakan ada janji Allah akan keturunan kekekalan melalui Ishak seperti pasir di tepi laut dan bintang di langit, keturunan yang bukan dari segi biologis tetapi keturunan ilahi, yaitu keturunan teologis dari segi iman kepada YHWH.
Apakah hagabeon bagi orang percaya? Mari melihat Mar 3:33-35. Dikatakan di sana, “Jawab Yesus kepada mereka: "Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?" Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata: "Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku." Kita memang dengan teman kelompok kita, beda kampong, dan bahkan beda ornag tua. Walaupun demikian mereka adalah saudara sejati kita. Artinya, kita adalah orang yang beriman kepada Kristus dan sama-sama manjadi ahli waris dari Allah. Jika saudara kandung kita tidak beriman kepada Allah, mereka hanya saudara semenntara di dunia dan tidak di dalam kekekalan. Tetapi mereka yang telah menerima Kristus adalah saudara kita dalam kekekalan. Mari berorientasi kepada keturunan kekekalan. Jadi mari prioritaskan kebanggan kita bukan pada anak biologis, tetapi kepada anak teologis, yaitu yang beriman kepada kristus dan dimuridkan menjadi murid kristus. Jadi jika Tuhan belum memberikan pasangan hidup atau anak, maka Tuhan memberikan kesempatan untuk melahirkan anak-anak teologis.

Dalam Mark 10:28-30 dikatakan, “Berkatalah Petrus kepada Yesus: "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!" Jawab Yesus: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang, sekalipun disertai berbagai penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.” Jangan berorientasi kepada fisik walaupun fisik penting, jangan berorientasi kepada apa yang kita punya zaman ini, tetapi berorientasi sesuatu hal yang bernilai kekal dan rohani.
Di dalam 1 Tim 1:2, Paulus memanggil Timotius dengan ‘Anakku yang sah dalam iman’, dan dalam 2 Tim 1: 2 dengan panggilan ‘anakku yang kekasih’.Inilah yang seharusnya menjadi ambisi kita, yaitu melahirkan anak yang sah dalam iman. Ini jauh lebih penting daripada anak biologis tetapi bukan anak yang sah dalam iman. Adalah sesuatu yang menyakitkan jika keturunan kita adalah anak yang bebal bahkan berpaling dari Kristus. Jangan hanya berpikir bangga punya anak, tetapi anak yang seperti apa yang dibanggakan itu? Orang yang kita banggakan adalah orang yang takut akan Tuhan.

Mari melihat dan belajar dari kisah Abraham dan Sarah. Allah telah memberikan panggilan dan janji berkat Allah kepada Abraham (Kej 12:1-3). Kemudian Allah kemudian berjanji bahwa Abraham akan memiliki keturunan seperti bintang di langit dan pasir di pantai (Kej 15:2-6). Tetapi dalam perjalannya, Abraham merasa terlalu lama. Allah tidak akan pernah ingkar janji tetapi Abraham tidak sabar. Ia mengambil jalan pintas ketika Sarah menawarkan pembantunya, Hagar, kepada Abraham agar mereka beroleh keturunan. Kemudian Abraham menghampiri hagar dan punya anak, yaitu Ismael. Dan kemudian akibat ketidak sabaran imannya, Sarah direndahkan Hagar. Kemudian Sarah marah dan meminta Abraham mengusir Hagar dan Ismael. Di sini kita belajar bagaimana Abraham meragukan janji dan kuasa Allah yang membuat dia mengambil jalan pintas. Bukankah kita sering melakukan hal yang sama? Karena sangat ingin memiliki keturunan, kita pergi ke dukun? Atau pergi ke tempat tulang untuk menerima berkat? Atau melakukan tindakan-tindakan yang merupakan jalan pintas lainnya? Kenapa kita harus memaksa Tuhan dengan berbagai cara ini? Ketika kita memaksa Tuhan dengan cara kita, maka yang terjadi adalah sebuah kesalahan. Abraham dan Sara melakukan kesalahan ketika mereka tidak sabar menunggu janji Tuhan. Mereka mengambil jalan pintas karena kekuatiran, ketidak sabaran dan kurang iman mereka.

Banyak orang yang terlalu sibuk kesana dan kemari agar memiliki anak sehingga tidak memiliki waktu untuk melayani. Jangan coba-coba untuk melakukan sesuatu yang salah hanya karena kebanggaan duniawi yang berkata punya anak adalah kebanggaan. Mari mengubah nilai hidup dan paradigma berpikir kita dengan teologia yang benar.

Hanmoraon

(Menurut Alkitab)
Mat 6:19-24
Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Dalam filosofi orang batak ada tiga H, yaitu Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon. Dalam falsafah batak ketiga hal ini sangat susah dikikis dalam dalam orang batak (baik batyak Karo, Toba, atau Simalungun). Jadi, bagi orang suku Batak, meskipun kaya tetapi jika tidak memiliki anak kurang dihormati dan dianggap belum sesuatu yang memuaskan dirinya. Atau sebaliknya, dia memiliki banyak anak tetapi miskin, juga kurang dihargai. Di dalam orang batak itu, orang yang memiliki harta, jabatan, dan keturunan adalah orang yang dianggap sudah lengkap dan sempurna dan orang yang berbahagia.

Bagaimana Alkitab memandang ketiga falsafah batak ini? Hari ini kita akan belajar konsep yang benar dan untuk pertama kita akan melihat konsep hamoraon (kekayaan) menurut Alkitab.
Kita akan melihat konsep mengenai hamoraon berdasarkan kitab Matius 6:19-24. Dalam Matius pasal 6 in kita melihat ada kontras antara upah duniawi dengan Sorgawi dalam melakukan ibadah (ay 1-18) dan hal ini akan memimpin kepada kontras antara harta duniawi dan harta surgawi (19-24). Setelah bicara mengenai ibadah atau ritual yang palsu dan benar, antara kemunafikan dan ketulusan (memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa), maka dilanjutkan dengan cara menjalani hidup yang beriman dengan nilai yang benar sehingga tulus mengabdi kepada Tuhan dan hidup tanpa kekuatiran.

Ibadah memang penting, tetapi yang paling penting adalah esensi dari ibadah itu sendiri. Kita tidak mengharapkan sebuah upah dari ritual yanag mekanis dan palsu tetapi mendapatkan upah yang bernilai kekekalan yang kita dapat oleh karena ketulusan hati yang sungguh-sungguh mencintai Allah. Jika kita melihat kontras antara upah duniawi dengan sorgawi dalam melakukan sebuah ibadah, maka kita akan cenderung untuk mencintai harta surgawi dan bisa luput dari kecintaan dari harta duniawi dan hal inilah yang membuat kita luput dari rasa kuatir (25-33). Ada sebuah ketulusan mengabdi kepada Allah dan luput dari kekuatiran.
Ibadah dan kesalehan yang tulus harus disertai dengan nilai hidup dan iman yang sejati. Tidak akan ada ibadah menjadi benar jika tidak muncul ketulusan dan iman yang sejati,. Dalam pemahaman ini muncul kesejajaran antara dimensi ritual dengan cara hidup yang benar. Sering sekali hal ini terjadi dengan timpang. Secara ritualisme, orang sering sekali melakukan dengan benar tetapi tidak menghasilkan hidup yang benar. Harta dan kekuatiran dihubungkan sebagai sebuah pancaran daripada dimensi ritual yang benar. Artinya, jika orang memiliki dimensi ritual yang benar maka seharusnya dia beriman kepada Allah dan menghancurkan kecintaannya kepada materi dan menghancurkan kekuatiran di dalam dirinya. Dapat dikatakan jika orang tetap kuatir dan haus dan cinta akan uang, itu berarti bahwa dimenasi ritualnya tidak benar.
Yang kuatir tidak selamanya yang miskin. Orang kaya juga kuatir. Yang miskin kuatir akan apa yang akan dimakannya besok, sedangkan yang kaya kuatir akan hartanya. Cara hidup yang orientasinya uang dan kuatir adalah tanda kekafiran (ay 32) dan orang beriman justru mengambisikan kebenaran bukan kenyamanan duniawi. Jadi yang perlu kita hindari adalah bagaimana kita tidak mengambisikan sebuah kenyamanan duniawi tetapi sebuah ketenangan batin bersama dengan Allah.

Ay 19 dikatakan, “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya”. Secara sederhana, yang dimaksud dengan harta di Sorga adalah kasih kepada Allah, ketaatan dan kesetiaan untuk melayani Allah. Dimanakah tendanya Paulus? Di manakah perahu dan jalanya Petrus dan Yohanes? Dimanakah semua harta yang mereka raih selama ini? Semua sudah lenyap dan hanya tinggal kenangan. Tetapi apakah yang bisa mereka bawa ketika meninggal hanya satu yaitu jiwa dan orang yang mereka layani untuk dipersembahkan kepada Allah. Agar kita tidak terjebak dalam sesuatu yang berorientasi kepada uang, di mana dalam suku batak hal ini menjadi sesuatu yang dibanggakan, adalah mengorientasikan diri kita kepada nilai-nilai sorgawi.

Alasan menyimpan untuk tidak menympan harta di dunia ada dua, yaitu, pertama, demi alasan ekamanan, karena ngengat dan karat tidak akan memakannya. Juga aman dari pencuri. Jika kita menyelamatkan jiwa orang dan melayani dengan sungguh-sungguh, tidak aka nada suauatu yang perlu ditakutkan karean tidak aka nada yang mencurinya. Kedua, alasan keterikatan (ay 21). Jika kita perhatikan ay 22-23 kita melihat soal mata (penglihatan). Dikatakan di sana, “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.” Apa artinya adalah bahwa mata rohani sebagai penentu orientasi hidup kita. Hal ini kita lakukan dengan mengarahkan mata kita benar-benar tertuju kepada Allah. Kemudian melihat apa yang paling menarik dari mata kita. Waktu kita mahasiswa, kita tidak terlalu peduli merk kameja atau merk handphone, tetapi ketika alumni hal ini menjadi perhatian kita dan menjadi orientasi kita Kemudian, penglihatan menunjukkan kepada kita jalan yang harus kita tempuh. Oleh sebab itu penulis Matius mengatakan betapa pentingnya mata rohani untuk menentukan orientasi hidup manusia. Paulus berkata dalam Ef 1:18, “Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus.” Bagaimana kita memfokuskan kita dan mata kita bukan pada hal-hal yang bersifat glamor dan hanya melihat indahnya dunia ini tetapi kepada Allah. Hal ini tidak gampang. Mari mengorientasikan hidup kita kepada kebutuhan bukan kepentingan atau keinginan agar kita tidak tejebak dalam hamoraon yang tidak alkitabiah. Dan kita juga tidak menghargai orang karena dia kaya atau miskin tetapi karena dia adalah pribadi yang mencintai dan takut akan Tuhan.

Nilai hidup menentukan cara kita memandang kehidupan (23b). Bayangkan sedang mengendarai mobil di tengah hutan di mana bola lampunya semua putus. Kita terjebak tanpa arah dan tidak bisa bergerak. Di dalam diri kita ada terang dan jika menjadi padam maka betapa gelaplah hidup kita. Oleh sebab itu jangan sampai mata kita lebih tajam melihat glamornya dunia dari pada melihat hal-hal yang Tuhan tunjukkan kepada kita.

Dalam ay 24 dikatakan, “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” Dalam ayat ini muncul sebuah pengajaran yaitu betapa pentingnya mono loyalitas. Kata hamba memiliki makna ada sebuah pengabdian yang tulus. Tidak ada seorang pun mau diduakan atau dinomor duakan. Itu sebabnya penulis Matius mengatakan tidak mungkin ada orang mengabdi dengan setia kepada dua tuan. Mengapa Matius membandingkan Allah dengan Mamon adalah karean dua-duanya punya daya tarik yang kuat. Dalam Mat 19:22 dikatakan, “Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya.” Alasan orang muda itu tidak mengikut Kristus adalah karena banyak hartanya padahal dia sangat moralis dan melakukan kejahatan apapun. Ini adalah sebuah realita sampai saat ini. Sering sekali orang tidak peduli keberanan jika berhubungan dengan uang.
Jadi bagaimana seharusnya sikap kita? Menjadi kaya tidak salah (band Abraham Kej 13:2; Pkh 5:18), karena merupakan anugerah. Tetapi ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita. Pertama, jangan sampai melekat kepada uang (Maz 62:11b). Kedua, jangan tamak (Luk 12:15). Ketiga, jangan berambisi untuk kaya (Ams 23:4; band 1 Tim 6:7-10; 1 Yoh 2:16).
Hidup tidak tergantung kepada kekayaan tetapi kepada Tuhan (Luk 12:15b, 20). Tipu daya kekayaan itu menghimpit Firman Tuhan (Mat 12:22). Jadi mari kita kaya dihadapan Tuhan (Luk 12:21). Mari kita kaya dalam kemurahan (2 Kor 8:2-3). Jemaat Korintus tidak kaya secara materi tetapi mereka kaya dalam kemurahan. Jika Tuhan memebrikan banyak berkat agar kita bisa menyalurkan kepada orang lain. Lebih berbahagioa orang yang memebri daripada menemerima. Mari kaya dalam kemurahan dan memuliakan Tuhan dengan harta kita (Ams 3:9). Jangan berharap kepada kekayaaan (1 Tim 6:17). Jika kita diberi kekayaan jangan tinggi hati karena Allah adalah sumber harta. Dan jangan berharap kepada kekayaan. Dalam Ams 15:16 dikatakan, “Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan TUHAN dari pada banyak harta dengan disertai kecemasan”. Perhatikan juga Ams 22:1 yang mengatakan bahwa nama baik lebih baik dari kekayaan. Yang kaya jangan bermegah dalam kekayaannya (Yer 9:23-24). Ams 30:7-9 dikatakan, “Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kautolak sebelum aku mati, yakni: Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.” Ini jugalah yang seharusnya menjadi doa kita sebagai orang yang percaya. Jika Tuhan izinkan kita kaya, mari menikmati dan memakainya untuk Tuhan. Jika Tuhan tidak izinkan untuk kaya, mari bersyukur. Satu hal yang paling penting adalah kita menikmati. Orang kaya dengan uangnya bisa membeli makanan yang enak tetapi tidak bisa beli selera makan, mereka bisa membeli kasur yang mahal tetapi tidak tidur yang nyenyak, membayara artis tetapi tidak sukacita. Mari belajar untuk doa seperti Amsal tadi dan denagn demikian kita akan didorong untuk tetap beriman kepada Allah.

Eksposisi RATAPAN 3

Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Ratapan 3:20-26
20 Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku. 21 Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap: 22 Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, 23 selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! 24 "TUHAN adalah bagianku," kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya. 25 TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia. 26 Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN.”

Kitab Ratapan merupakan bagian dari ungkapan nabi Yeremia yang ditulis sekitar tahun 575 SM dalam kondisi pembuangan. Kitab ratapan memiliki lima babak yang bersifat puitis yang terdiri dari lima puisi. Penulisan kitab ini sangat teratur di mana pasal 1, 2, 4, dan 5 terdiri dari 22 ayat, sedangkan pasal 3 terdiri dari 3x 22 ayat (66 ayat). Secara keseluruhan, kitab Ratapan diawali dengan jeritan, tangisan, atau ratapan (Rat 1:1-2). Melalui pergulatan teologis, muncullah pertobatan (Rat 5:21-22). Bisa dikatakan Ratapan memulai dengan sebuah ratapan oleh karena penderitaan tetapi diakhiri dengan lahirnya sukacita oleh karena pertobatan. Hal ini sering sama dengan kehidupan kita sekarang ini ini di mana kita sering mengawali hidup (atau sesuatu) dengan sebuah ratapan dan pergumulan yang dalam oleh karena penderitaan tetapi berakhir dengan sebuah sukacita melalui pertobatan.

Konsep teologia ada di dalam Rat 3:21-26, yang merupakan bagian yang akan kita bahas. Tema kitab Ratapan adalah dengan kacamata rohani melihat kebaikan dan kesetiaan Tuhan walau dalam penderitaan dan mendorong umat (bangsa Israel) untuk bertobat. Hal ini bukanlah sesuatu yang gampang karena di dalam penderitaan orang lebih banyak mengeluh dan sulit melihat siapa Tuhan. Dan keluhan dari umat Israel bisa kita temukan di sepanjang kitab Ratapan yang dituangkan oleh Yeremia oleh karena dosa mereka. Jadi mereka menderita karena mereka melakukan dosa. Yeremia tetap teringat dan tertekan karena sengsara yang terjadi (20). Ketika dia teringat akan kondisi Israel, jiwanya tertekan dan tidak memiliki ketenangan. Dia juga teringat akan sengsara dan penderitaan yang terjadi. Dalam ay 20 ia berkata, “Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku.” Ada bebarpa hal yang membuat Yeremia tertekan. Pertama, Yerusalem runtuh dan sangat sunyi sekali (pemerintahan terakhir bangsa Yehuda) (pasal 1). Kedua, Allah murka kepada Sion (pasal 2). Ketiga, bangsa tercerai-berai dan dibuang ke Babel. Keempat, rakyat menderita sengsara oleh karena diperbudak oleh bangsa lain dan juga menjadi bahan ejekan. Israel yang dahulunya memiliki kebanggaan dan mengalahkan musuh-musuh kini diperbudak bangsa lain dan menjadi bahan ejekan.

Tetapi dalam kondisi seperti ini muncul sebuah pengharapan. Dalam ay 21 dikatakan, “Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:”. Kalimat yang Yeremia untuk “ada hal yang kuperhatikan” adalah ‘I call to my mind’. Dia memunculkan kembali beberapa hal di dalam pikiran dan ingatannya. Pertama, Tak berkesudahan kasih setia TUHAN (22a). Jika di sepanjang hidup kita semuanya berjalan dengan baik tanpa halangan yang berarti, pasti akan gampang untuk berkata tidak berkesudahan kasih setia Tuhan. Tetapi mapukah kita untuk berkata ‘Tak berkesudahan kasih setia TUHAN’ jika dalam sengsara dan penderitaan? Mampu untuk tetap mengatakan bahwa kasih Tuhan tidak berkesudahan menjadi dasar untuk memunculkan pengharapan. Tidak akan ada sebuah pengharapan yang memberikan kekuatan dan penghiburan bagi kita tahun 2011 jika kita tidak bisa berkata kepada diri kita bahwa ‘Tak berkesudahan kasih setia TUHAN’. Apapun yang kita alami tahun 2010, mari mengawali tahun 2011 dengan tetap mengimani hal ini. Masih baikkah menurut kita Tuhan dalam hidup kita? Jika kita tidak bisa melihat kasih Tuhan yang tidak berkesudahaan itu, maka kita tidak bisa semangat menjalani tahun 2011 dan tidak ada keberanian untuk menghadapi tantangan dan tidak akan muncul ambisi untuk semakin mencintai Tuhan.

Hal kedua yang muncul dipikiran Yeremia adalah ‘tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi’ (22b-23a). Seperti matahari pasti terbit setiap pagi, rahmat Allah (His compassion) lebih terjamin lagi. Pemahaman yang baik akan hal ini akan memunculkan pengharapan bagi kita, sebuah pengharapan yang membuat kita semakin percaya kepada penyertaan Tuhan. Ingat, Allah tidak pernah ingkar janji, dan kita seharusnya lebih percaya dan berharap kepadanya. Hal ketiga adalah besar kesetiaan Tuhan (23b). Dengan kata lain cinta Tuhan itu besar bagi setiap kita. Jika kita mengalami ketiga hal in di dalam hidup kita maka kita akan berani untuk melangkah dalam tahun 2011 in dengan iman.

Yeremia mendoorong Israel untuk merasakan ketiga hal ini, meskipun mereka masih hidup dalam kesengsaraan. Ini adalah sesuatu yang luar biasa. Dan mari belajar untuk melihat bahwa kasih Allah tidak berkesudahan, walau apapun yang terjadi. Ini adalah sumber semangat baru dan kekuatan dari Tuhan. Meskipun penderitaan tidak akan lepas dari diri kita dan bahkan mungkin sampai mati penderitaan akan senantiasa bersama dengan kita karena penderitaan adalah bagian dari hidup. Karena itu mari mengingat karakter Allah yang penuh kasih dan kebaikan yang melahirkan iman dan percaya kepada kita yang akan melahirkan sebuah komitmen (ay 24). Dalam ay 24 dikatakan, "TUHAN adalah bagianku," kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.” Sebuah komitmen yang muncul di tengah-tengah penderitaan. Yeremia berkata ‘The Lord is my portion’. Hal ini tidak dia katakan kepada orang lain tetapi keapda dirinya. Sesuatu yang tidak gampang untuk dilakukan jika tidak emmahami dengan jelas apa yang diuangkapkan dalam ay 22-23. Jika kita berbicara kepada orang lain bahwaTuhan itu baik, mungkin sesuatu yang gampang. Tetapi akan lebih bermakna jika kita berkata kepada diri kita Tuhan itu baik dan Tuhan adalah bagianku.

Dalam Mazmur 73 kita melihat bagaimana Daud sangat bergumul karena orang fasik medapat banyak berkat sedangkan dia menderita. Hal yang sama bisa kita temukan pada saat ini di mana mereka yang tidak taat kepada Allah memiliki hidup yang jauh dari masalah. Tetapi Daud dalam semua kondisinya dan dalam pergumulannya sampai pada sebuah titik kesadaran yang memampukan ia berkata, “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (Maz 73:25-26). Komitmen yang melahirkan pengharapan ini juga akan menghasilkan sebuah sikap yaitu sebuah pengharapan kepada Tuhan. Itulah sebabnya kita berharap kepadanya, kita menantikan Tuhan berkarya, menantikan Tuhan menyatakan kuasa dan kehendakNya. Mari menantikan Tuhan berkarya dan berbicara pada waktuNya untuk memulihkan dan memberikan yang terbaik pada bagi kita.

Memiliki dan dimiliki Tuhan jauh melebihi apapun. Sering sekali kita lebih berfokus kepada berkat Tuhan tetapi tidak fokus kepada sumber berkat itu sendiri. Memiliki berkat Allah tidak sama dengan memiliki Allah, karena orang yang tidak beriman pun bisa diberkati Allah. Dan sering sekali orang Kristen pun lebih fokus dan mencintai berkat Allah dari pada Allah itu sendiri. Mari menyadari hal ini dan berubah. Mari memiliki ambisi untuk memiliki sumber berkat karena hal ini melebihi segala-galanya. Ketika kita memiliki Allah berkatnya pasti akan kita miliki, tetapi ketika kita memiliki berkatNya Sang Pemberi berkat belum tentu kita miliki.
Tuhan itu baik bagi setiap orang yang berharap kepadanya dan bagi semua orang yang mencari Dia (ay 25). Apakah kita masih merasakan Tuhan baik dalam hidup kita? Apakah kita hanya menganggap Tuhan baik bagi orang lain tetapi tidak baik bagi kita? Ingat, kita alami atau tidak kebaikan Tuhan dalam hidup kita, Tuhan tetap baik. Kita terima atau tidak Tuhan tetap baik. Kebaikan Tuhan tidak pernah ditentukan pengalaman atau perasaan kita. Kebaikan Tuhan tidak pernah di tentukan dari apa yang kita telah atau belum terima. Apapun itu, Tuhan tetap baik. Hari ini kita belajar dari Yeremia dan bangsa Israel bahwa Tuhan itu baik, tetapi yang menarik adalah di dalam kondisi yang penuh dengan pergumulan mereka berani berkatabahwa Tuhan itu baik. Jika kita tidak melihat Tuhan baik, bagaimana kita bisa menyerakah diri kita kepadanya tahun 2011 ini. Tetapi karena Allah yang kta puja dan sembah itu adalah Allah yang baik memapukan kita menyerahkan diri dan melangkah kepada Dia. Mari di dalal situasi apapun kita betul-betul bisa merasakan dan menikmati Tuhan itu baik (band Luk 11:11-13, “Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”).

Siapa yang diantar kita yang kuatir mengalami 2010? Tetapi kita tetapi melewati tahun 2010 bukan? Ingatlah karakter Allah (kasih, kesetiaan, kebaikanNya dst). Hal ini akan melahirkan iman percaya dan pangharapan dan membuat kita melangkah dengan tidak kuatir akan apapun (band Rom 8:32, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia”.)

Ayat 26, “Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN.” Mari menantikan Tuhan bekerja dan berkarya dengan iman dan pengharapan. Nantikan penuh iman Tuhan berkarya memulihkan dan memberikan (band Yes 30:15b, "Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu.”) Kenapa bisa tenang dan teduh dalam menghadapi tahun 2011 ini adalah karena iman. Mari mendapatkan kekuatan baru karena pengharapan, komitmen, dan mengingat karakter Allah yang baik. Hal ini akan memberikan kekuatan baru yang akhirnya membuat kita dapat menantikan Tuhan dengan tenang dan dapat membuat diri kita menjalani tahun 2011 dengan percaya kepada Tuhan yang baik dan dalam rencana dan kedaulatanNya kita melangkah bersama-sama dengan Dia.
SoliDeo Gloria!