Friday, December 9, 2011

Seri Problem of Pain IV (2009) - Memaknai Penderitaan dan Jawaban Allah Atas Penderitaan

(Berdasarkan Kisah Ayub)

[Kotbah ini dibawakan oleh Esni Naibaho, M. Div, CE pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat 23 Oktober 2009]


Dalam seri Problem of Pain yang ke - 4 ini kita akan belajar memaknai arti penderitaan dan jawaban Allah atas penderitaan berdasarkan kisah Ayub, seorang yang mengalami penderitaan yang besar tetapi bisa menyelesaikannya sampai akhir.

Mari melihat latar belakang kitab Ayub. Dalam Ayub 1:1-12 diceritakan beberapa latar belakang dari kisah Ayub. Ada beberapa ahli yang mengatakan tema utama dari Kisah Ayub adalah ”wisdom teaching about God and human suffering”, dan ada yang mengatakan bahwa tema utamanya adalah ”iman seseorang yang menderita”. Penulis dari kitab ini diyakini sebagai seorang Israel karena menyebut nama ”Jahweh”. Ayub juga hidup lama (lebih dari 100 tahun) dan ini sama dengan zaman para bapa leluhur (era patriach, seperti Abraham). Kekayaan pada waktu itu diukur berdasarkan ternak yang dimiliki (1:3). Ayub merupakan salah satu orang terkaya di Timur pada waktu itu. Dia juga bertindak sebagai imam dalam keluarganya (1:5-6). Pada masa Ayub ini penyerangn terhadap suku adalah hal yang sering terjadi (1:15, 17) dan ini cocok dengan periode tahun 2000-1000 sM.

Struktur kitab Ayub terdiri dari tiga bagian. Bagian yang pertama adalah Prolog (pasal 1-2). Prolog ini merupakan sebuah cerita atau prosa yang berbicara tentang kesejahteraan hidup dan penderitaan Ayub. Bagian yang kedua adalah Isi (3-42:6). Bagian ini berbentuk puisi dan merupakan dialog atau diskusi tentang penderitaan Ayub serta pendapat para sahabatnya. Bagian yang ketiga adalah Epilog (42:7-17). Bentuk bagian ini kembali berbentuk prosa dan berisikan pembelaan Ayub dan kesejahteraan hidup Ayub.

Dalam pasal 1:13-19 kita melihat ada berbagai sumber musibah yang menimpa Ayub, yaitu: serangan dari orang Sheba (15), Api dari langit (16), Serbuan dari orang Kasdim (17), dan angin robut-taufan yang menyerang dari empat penjuru yang menewaskan anaknya (18-19). Kita melihat musibah yang ada terjadi tanpa ada tanda-tanda yang luar biasa. Musibah tejadi pada saat Ayub dan keluarga besarnya melakukan kegiatan seperti biasa. Kehidupan berjalan sebagaimana adanya dalam rutinitas yang berjalan seperti biasanya. Musibah ini membuat Ayub kehilangan harta benda, budak, dan anak-anaknya. Sebuah musibah yang mengakibatkan kemiskinan bagi Ayub (dari penderitaan yang satu ke penderitaan yang lain). Tetapi jika kita melihat dialog di awal kitab ini, antara Tuhan dan Iblis, kita bisa melihat bahwa semua musibah yang terjadi kepada Ayub merupakan cara yang dilakukan oleh iblis.

Ayub berkabung dengan amat sangat. Ayat 20 mengatakan: ”Maka berdirilah Ayub, lalu mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian sujudlah ia dan menyembah.” Menurut Walter Brueggemann, respon Ayub ini adalah ”the formfulness of grief” (bentuk kledukaan yang sangat komplet). Tetapi, dalam berkabungnya yang amat sangat ini, Ayub masih memuji dan menyembah Tuhan. Ayat 21 mengatakan: ”katanya: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” Sebuah respon yang sangat sulit ditemukan dari seseorang yang mengalami penderitaan.

Tidak hanya sampai di situ penderitaan Ayub. Dalam pasal 2:7-8 kita melihat bagaimana Allah menijinkan iblis menjamah tubuh Ayub melalui penyakit barah yang busuk. Bukan hanya kena barah, Ayub juga dimurkai isterinya (2:9: ”Maka berkatalah isterinya kepadanya: "Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!”). Kalimat isterinya sama dengan pernyataan Iblis dalam pasal 1:11,”Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu.” Respon isterinya akan penderitaan yang menimpa keluarganya adalah sebuah repon manusiawi, yang mungkin merupakan respon kebanyakan orang. Iblis memang berhasil membuat mereka yang mengalami penderitaan mengutuk Allah, tetapi bukan Ayub melainkan isterinya. Sasaran utama dari iblis tidak berespon seperti yang diharapkan iblis tersebut.

Setelah kehilangan harta dan anak dan menderita fisik, ia juga mengalami penderitaan secara psikis. Kita pasti sangat sedih jika ada yang mencobai iman kita. Ketika kita menderita orang berkat: ”Mananya Tuhanmu? Mengapa engkau menderita?” Sebuah kesedihan yang juga di alami Ayub dimana imannya dicobai oleh isterinya sendiri. Penderitaan yang sangat sulit untuk dikalimatkan dan dipahami. Tetapi Ayub tidak ikut menyalahkan Tuhan melainkan menegur isterinya. Dalam pasal 2:10 dikatakan: ”Tetapi jawab Ayub kepadanya: "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.”. Respon Ayub selanjutnya adalah duduk diam selam tujuh hari [bersama dengan sahabat-sahabatnya (13)]. Baru kemudian Ayub buka suara. Ada sikap marah kepada Allah karena telah menyiksanya (13:21, 25), telah menghukum dia atas dosa yang tidak dilakukannya (9:21-24). Ayub juga meminta Allah meninggalkan dia (7:17-21; 10:20; 19:22), meminta Allah berbicara keapdanya (14:15 agar dia dibela (13:15). Ayub juga merasa bahwa Allah menjadi musuhnya (7:20; 10:16-17; 16:9).

Dalam dialog antara Ayub dan sahabat-sahabatnya kita melihat apa pengertian mereka akan penderitaan. Ada dua pendekatan yang dipakai oleh para sahabatnya ini. Pendekatan yang pertama, yang dilakukan tiga sahabat pertama adalah pendekatan observasi dan pengalaman. Elipaz, seorang mistis yang saleh, mengatakan bahwa kalaupun orang benar menderita tapi tidak sampai kepada penderitaan yang tidak ada akhirnya (4:7, 15:16-19; 15:20-26). Dia merasa ada sesuatu yang salah kepada Ayub karena mengalami penderitaan yang bertubi-tubi. Dia juga melihat bahwa penderitaan sebagai akibat langsung dari dosa. Bildad, seorang tradisionalist, meyakini bahwa kematian yang menjemput anak-anak Ayub adalah akibat dari dosa mereka sehingga dia pun memperingatkan Ayub bahwa dia akan menerima nasib yang sama kecuali dia membenahi diri (8:4-6). Konsepnya adalah keadilan Allah menuntut yang bersalah dihukum. Dia percaya percaya bahwa Allah senantiasa bekerja untuk menghukum orang-orang yang jahat, demikianlah yang Tuhan lakukan kepada Ayub. Allah sedang menghukum. Zophar, seorang dogmatis, menyerang Ayub secara langsung. Ia menyatakan Ayub sebagai pencemoh Allah dan menyuruh Ayub untuk bertobat karena pertobatan adalah harapan satu-satunya (11:13-15).

Sebenarnya secara teologi, apa yang dinyatakan para sahabat Ayub adalah benar tetapi menjadi tidak benar karena tidak relevan dengan kasus yang dialami Ayub. Sepertinya mereka menganut paham tradisi Ibrani yang menyatakan bahwa “suffering comes from God. God is just. Therefore, you, Job, are guilty.” Dengan kata lain konsep mereka adalah: “righteous person always prosper, sinners always suffer” (Lih. Mazmur 1:3; 37:21-26). Hal ini sama dengan prinsip “siapa yang menabur, dia yang menuai”. Mereka bertiga menyimpulkan bahwa penderitaan yang menimpa Ayub adalah karena dosa, keras kepala, dan tidak mau berubah. Itulah sebabnya mereka mendesak supaya Ayub merendahkan diri dan bertobat.

Pendekatan yang kedua adalah pendekatan divine inspiration. Pendekatan yang dilakukan oleh sahabat Ayub yang keempat dan yang masih muda, bernama Elihu. Dia adalah seorang yang merasa diri benar dan percaya diri bahwa dia memiliki pengetahuan yang lebih dari penasehat-penasehat pertama. Dia lebih kepada mengoreksi pertanyaan dan kalimat Ayub misalnya pertanyaan Ayub tentang keadilan Allah. Elihu menjawabnya dengan mengatakan bahwa penderitaan juga bagian dari pendisiplinan (33:19-22) bukan hanya hukuman. Dia mengingatkan Ayub bahwa Allah menunjukkan ke Mahakuasaan-Nya atas dunia melalui keadilan dan kasihNya (37:13, 23). Elihu melihat penderitaan sebagai cara bagi Allah untuk mengajar. Pandangan inilah yang sering kita miliki dalam memberikan nasihat bagi orang yang menderita.

Kedua pendekatan di atas merupakan pendekatan yang dangkal (bahwa penderitaan Ayub serta merta karena dosa) dan tidak ada yang memuaskan bahkan Allah sendiri menghukum tiga sahabat pertama tapi tidak Elihu. Ini menjadi sebuah refleksi bagi kita dalam memberikan nasihat kepada orang yang berduka. Bisa saja dalam nasihat yang kita berikan Allah malah menghukum kita karena telah memberikan nasihat yang tidak kontekstual.

Ada empat penyebab penderitaan, yaitu: 1) dosa pribadi, 2) Konsekuensi dari dosa orang lain, 3) karena aktifitas iblis, dan 4) Sesuatu yang misteri. Dan kelihatannya untuk kisah Ayub, penderitaan yang dialaminya adalah karena aktifitas dari iblis. Menurut John Stott penderitaan Ayub merupakan bukti – not of God’s judgment on him for his sins, but of God’s confidence in him for his integrity. Dan terbukti Allah tidak salah terhadap Ayub.

Mari melihat paham tradisi Ibrani tentang penderitaan. Dalam tradisi Ibrani Allah adalah yang ke MahaKuasaan-NYA tidak dapat dipertanyakan. Allah adalah yang keadilanNya sempurna. Jadi tidak boleh mempertanyakan keadilan Allah. Tidak ada manusia yang sepenuhnya tidak bersalah. Jadi, setiap penderitaan manusia dikaitkan dengan kebersalahan mereka dihadapan Allah. Prinsip umum yang diterima luas adalah “a man reaps what he sows”. If you sin, then you will suffer, or If you are suffering, then you have sinned. Berdasarkan paham tradisi dan apa yang dinasihatkan oleh sahabat-sahabat Ayub, maka kesalahan dasar dari sahabat-sahabat Ayub adalah terlalu berlebihan menilai kebenaran yang mereka miliki, mengaplikasikan dengan salah kebenaran yang mereka miliki, dan menutup pikiran mereka dengan semau fakta yang berlawanan dengan apa yang mereka miliki. Kita harus terbuka terhadap hal-hal lain yang mungkin tidak bisa kita mengerti secara logika.

Bagaimana dengan pemahaman Ayub sendiri? Ia memang marah, tetapi apa pandangannya terhadap penderitaan sendiri. Ayub melihat penderitaannya sebagai “What has God done?” Sahabat-sahabatnya melihat penderitaan Ayub sebagai “What has Ayub done?”.

Alla tidak diam tetapi Ia menjawab Ayub. Allah menunjukkan karyanya melalui ciptaan (38:2-5). Sewaktu kita mempertanyakan Tuhan atas penderitaan yang kita alami, tanpa sadar kita menempatkan diri kita sebagai seseorang yang pantas dan pantas mempertanyakan Allah dan lebih tahu dari pada Allah itu sendiri. Melalui theophani, Allah menyadarkan Ayub bahwa apa yang Ayub tahu mengenai ciptaan Tuhan adalah sangat kecil. Hal ini diakui oleh Ayub . Ayub juga mengaku bahwa Allah adalah pencipta dan penyokong ciptaanNya Ayub (42:1-6). Allah juga menjawad dengan menyatakan bahwa Dia berkuasa menghancurkan orang fasik. Hal ini mengajarkan Ayub bahwa Allah bukan hanya Allah atas ciptaan melainkan juga Allah atas moral (40:8-14). Respon Ayub atas pelajaran ini adalah bertobat (42:1-6). Allah menjawab pertanyaan Ayub dengan memberikan pertanyaan. Allah juga menjawab Ayub melalui angin yang bergemuruh, dimana Allah menunjukkan diriNya sebagai Pencipta dan Pemelihara. Allah memakai penderitaan untuk maksud mulia (lih. Joh 9:3).

Allah memang menegur Ayub tetapi bukan karena dia telah berdosa melainkan karena ketidakpahamannya akan Allah (38:2; 42:2) karena sebelumnya Allah membela Ayub (42:7-9). Dalam pasal 38-41, Allah menyatakan kepada Ayub bahwa manusia tidak sepenuhnya mengenal jalan Allah tetapi manusia mecoba menghakimi Allah. Kesalahan Ayub adalah mengutuki kelahirannya dan mempertanyakan tujuan kekuasaannya atas manusia dan dunia. Allah tidak memberi jawaban yang rasional dan berhubungan dengan penderitaan Ayub. Elmer B. Smick berkata bahwa Allah tidak memberikan penjelasan teologis akan misteri dari penderitaannya. Jadi buku Ayub ini mengajarkan kepada kita bahwa melalui theophani ilahi ada sesuatu yang lebih fundamental daripada sekedar solusi yang intelektual terhadap misteri dari penderitaan orang yang tidak berdosa. Penderitaan pun bisa dialami oleh orang yang benar seperti Ayub ini. Konsep ’siapa yang menabur, dia yang menuai’ adalah konsep general dan bukan berarti kita menerima nya secara mutlak dan menolak kasus seperti yang dialami oleh Ayub. Kita harus terbuka akan dua hal in dimana prinsip ayng satu adalah bahwa ada sesuat misteri dibalik penderitaan yang kita alami tetapi mari kita menundukkan diri kita kepada Tuhan. Mungkin secara intelektual kita tidak kuat dan puas memahaminya, tetapi hal in membuat kita semakin menundukkan diri kita kepada Allah bukan menantang Allah.

Ayub pun merespon terhadap jawaban Allah. Ayub menyadari bahwa Allah tidak membutuhkan hikmat atau nasehat manusia atas apa yang terjadi di dunia ini. Dan tidak ada penderitaan yang sehebat apapun yang dapat mempertanyakan kuasa, keadilan dan kasih Tuhan. Ayub menyadari ketidakpengenalannya kepada Allah dan ketidakpahamannya mengenai jalan-jalan Tuhan. Sikap Ayub membuktikan bahwa Ayub benar dan iblis salah. Dari jawaban Allah kepada Ayub kita melihat bahwa Allah menuntun Ayub melihat tujuanNya atas seluruh ciptaanNya. Allah sebenarnya tidak pernah sepenuhnya diam. Melalui ciptaan Allah menunjukkan hikmat dan kuasaNya yang tak terbatas. Allah menuntun Ayub untuk tidak fokus pada “why” melainkan “to what end”, yaitu penderitaan dapat dipakai untuk mendatangkan kebaikan.

Ada beberapa hal yang bisa kita refleksikan dari kehidupan Ayub ini. Betapa terbatasnya kemampuan manusia mengerti jalan-jalan Allah dan betapa tidak terselami dan sempurnanya Allah dan jalan-jalanNya. Jawaban atas misteri hidup ini hanya diperoleh dari Allah. Dan Allah akan membuat kita memahami secara benar makna penderitaan itu dan bukan sekedar menjawab pertanyaan kita dan memuaskan keinginantahuan kita. Sekalipun Ayub tidak pernah meminta supaya Tuhan memulihkannya dan menggantikan semua yang telah hilang namun Allah memulihkan dan memberkati dia lebih dari sebelumnya. Ayub tiba pada kedewasan rohani yang tinggi dimana dia meminta pengampuan kepada Allah untuk sahabat-sahabatanya (Lih. Luk 6:28). Penderitaan seharusnya menghantar kita kepada kedewasaan yang lebih tinggi.

SoliDeo Gloria!

Seri Problem of Pain III (2009) - Orang Kristen dan Penderitaan

[Kotbah ini dibawakan oleh Denni Boy Saragih, M. Div, pada ibadah Mimbar Bina Alumni - PAK Medan, Jumat 16 Oktober 2009]


Siapa diantara kita yang merasa dan berani mengatakan bahwa penderitaan yang kita alami adalah karena dosa? Oleh sebab itulah Tuhan menghukum karena kita berdosa sehingga kita mengalami kesusahan dan penderitaan. Teologia seperti ini banyak dimiliki oleh gereja-gereja tertentu. Ada pandangan yang mengatakan bahwa orang Kristen tidak akan menderita, sakit, kemiskinan, atau kegagalan. Hal ini perlu dibicarakan karena konsep ini berbahaya bagi iman kristiani kita. Mengapa? Pertama, orang yang memiliki konsep seperti ini sama dengan membohongi diri sendiri karena baik orang Kristen maupun yang bukan orang Kristen tidak ada yang tidak menderita. Kedua, pandangan seperti ini juga menjerumuskan orang dalam sikap menyalahkan diri sendiri karena dia akan berusaha mencari apa dosa yang ia miliki.

Hal inilah yang terjadi kepada empat sahabat Ayub yang berdialog dengan Ayub. Kitab Ayub adalah kitab yang bercerita tentang seorang Ayub yang tidak memiliki kesalahan dan Tuhan sendiripun memuji dirinya, tetapi mengalami penderitaan. Sampai akhir cerita pun tidak ada penjelasan mengapa Ayub menderita. Karena semuanya ada di dalam kedaulatan Allah. Kita juga tidak bisa memahami jalan dan maksud dari Tuhan. Karena itu, hari kita akan mencoba merenungkan konsep yang akan menolong kita menyikapi dan memahami penderitaan dengan cara yang lebih kristiani.

Ada empat hal yang akan kita renungkan, yaitu: pertama, ada penderitaan yang tidak Kristiani. Penderitaan itu tidak ada hubungannya apakah seseorang itu Kristen atau bukan. Semua orang di dunia bisa mengalami penderitaan ini. Kedua, ada penderitaan yang Kristiani. Penderitaan ini bisa disebut sebagai penderitaan yang indah dan jika kita tidak rindu untuk mengalaminya maka kita perlu bertumbuh dalam kedewasaan rohani kita. Ketiga, sebagai akibat dari penderitaan yang Kristiani itu, kita melihat penderitaaan sebagai anugerah. Keempat, bagaimana kita memaknai penderitaan yang kita alami.

Penderitaan Yang Tidak Kristiani
Ada banyak penderitaan yang tidak Kristiani. Penderitaan yang tidak ada hubungannya dengan apakah seseorang itu Kristen atau bukan. Semua orang pasti akan mengalami penderitaan seperti ini. Semua orang pasti akan mengalami yang namanya penyakit dan kematian. Penderitaan ini tidak hanya memilih orang yang agama tertentu saja.

Ketika kita mengatakan bahwa dalam satu kecelakaan kita selamat adalah karena kita dijagai oleh Allah, bagaimana dengan anak Tuhan yang lain, yang mengalami kecelakaan yang sama tetapi dia tidak selamat? Apakah Allah tidak menjaga dia? Pemahaman seperti ini akan memunculkan sebuah pertanyaan ”Apakah Allah tidak adil karena Allah menyelamatkan seseorang dan tidak menyelamatkan yang lain?” Jika kita memiliki konsep seperti ini jawaban kita akan jatuh ke dalam jawaban yang sangat sederhana dan menyederhanakan persoalan. Mengapa Allah menyelamatkan saya adalah karena saya setia padaNya dan mengapa Tuhan tidak menyelamatkan yang lain adalah kerana mungkin mereka jatuh ke dalam dosa. Kita tidak bisa menjawab pertanyaan seperti ini dengan gampang. Penderitaan itu dialami semua orang.

Kesulitan hidup dan persoalan manusiawi juga merupakan penderitaan yang dialami oleh semua orang. Betapa sulitnya menabung, membiayai pengobatan, memiliki rumah, dll. Selama hidup kita akan mengalami banyak kesulitan dan persoalan hidup lainnya.

Begitu juga dengan bencana alam dan kecelakaan. Apakah ada diantara kita yang berpikir bahwa Tuhan menjagai Medan? Aceh dan Padang kena gempa, tetapi Medan akan selamat karena banyak anak Tuhan di sini. Jika ada yang memiliki pikiran seperti ini kita tidak perlu terkejut jika suatu hari kelak kita terkejut karena rumah kita kena bencana. Tidak ada perbedaan soal hal ini. Walaupun tidak ada perbedaan soal apa yang kita alami, mungkin yang berbeda adalah bagaimana cara kita menghadapinya. Bagaimana kita beriman dan pengharapan di tengah penderitaan. Kita merasakan bahwa Allah tidak meninggalkan kita dan senantiasa memberikan pertolongan bagi kita.

Penderitaan yang tidak kristiani lainnya adalah penderitaan karena berbuat jahat (1 Pet 4:15, ”Janganlah ada di antara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau pengacau.”). Kita bisa menderita dan semua orang bisa menderita karena dihukum. Baik orang Kristen maupun bukan Kristen jika berbuat jahat maka akan dihukum. Jika tidak duhukum pun seseorang yang melakukan kejahatan bisa menderita karena rasa bersalah yang melanda dan menderita karena hidup mereka tidak berbahagia.

Kita juga bisa menderita karena kejahatan orang lain. Orang-orang yang mengalaminya karena perbuatan musuhnya. Orang-orang menderita karena radiasi nuklir dalam peristiwa Nagasaki dan Hirosima atau karena korban tabrak lari. Apakah anda kristen atau bukan, kita bisa mengalami penderitaan seperti ini. Yang membedakan adalah cara kita menghadapinya, apakah kita menghadapinya dengan iman atau kita menghadapinya tanpa iman.

Penderitaan Yang Kristiani
Ini adalah jenis penderitaan yang sebenarnya – sebagai anak-anak Tuhan – harus kita rindukan. Penderitaan ini bisa ada karena kita menjadi orang Kristen. Karena kita orang Kristen maka orang lain jadi benci. Dalam 1 Pet 4:16 dikatakan, ”Tetapi, jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu.” Jaman dahulu pun banyak orang yang hanya karena Kristen ia menderita. Ada kisah dalam Gereja mula-mula dimana ada seorang Pengacara yang membela terdakwa dan berdebat dengan Hakim. Ia berkata kepada Hakim: ”Mengapa anda menyalahkan orang ini? Ia tidak ada membunuh, mencuri, ataupun kejahatan lain. Ini bertentangan dengan hukum Roma!” Lalu Hakim bertanya: ”Apakah kamu orang Kristen?” Pengacara iin menjawab: ”Ya! Saya orang Kristen.” Lalu hakim memberi perintah kepada pengawalnya untuk menangkap pengacara ini.

Mungkin diantara kita ada juga yang mengalami hal-hal seperti ini. Mungkin tidak dibunuh atau ditangkap tetapi mengalami promosi yang terkendala hanya karena kita Kristen. Orang antipati kepada kita karena kita orang Kristen. Tetapi ingat, jangan bersikap reaktif. Sewaktu kita menderita karena kita orang Kristen, bersyukurlah karena sesungguhnya hal tersebut adalah penderitaan yang indah.

Penderitaan yang Kristiani juga bisa ada karena kita menderita karena kebenaran. 1 Pet 3:14 berkata: ”Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar.” Oleh sebab itulah Yesus mengatakan: ”Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat 5:10). Mungkin sewaktu kita menolak untuk membuat data fiktif di kantor kita mengalami penganiayaan. Sekali lagi dikatakan: ”Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran.”

Penderitaan berikutnya adalah penderitaan karena berbuat baik. 1 Pet 2:20-21 berkata: ”Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah. Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.” Jika kita berbuat baik dan kita menderita, ini adalah anugerah Allah. Jadi jika kita berbuat baik jangan selalu berharap untuk dimengerti atau meminta balas budi atau diapresiasi. Jika kita menderita karena berbuat baik, bersyukurlah. Sebagai anak-anak Tuhan jangan bertindak dari perasaan atau mood. Jika ingin menolong, menolonglah karena kebenaran. Mengapa kita menolong orang lain adalah menolong adalah sebuah keharusan bagi kita. Jangan kecil hati karena ditolak atau di cela karena hal tersebut adalah anugerah Tuhan.

Penderitaan Kristiani juga bisa ada karena penderitaan yang diakibatkan oleh pemberitaan Injil. 2 Tim 2:8-10 berkata: ”Ingatlah ini: Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang mati, yang telah dilahirkan sebagai keturunan Daud, itulah yang kuberitakan dalam Injilku. Karena pemberitaan Injil inilah aku menderita, malah dibelenggu seperti seorang penjahat, tetapi firman Allah tidak terbelenggu. Karena itu aku sabar menanggung semuanya itu bagi orang-orang pilihan Allah, supaya mereka juga mendapat keselamatan dalam Kristus Yesus dengan kemuliaan yang kekal.”

Penderitaan Adalah Anugerah
Jika kita bisa menghayati penderitaan kristiani tadi, maka pendereitaan itu menjadi sebuah anugerah. Melalui penderitaan itu kita menyatu dengan Kristus karena Kristus juga menderita dengan cara yang sama. Paulus juga mengatakan hal yang sama dalam suratnya di Fil 3:10: ”Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya.” Paulus menggambarkan keinginannya untuk menyatu dengan Yesus dalam penderitaanNya. Saya melihat bahwa di sini ada konsep bahwa penderitaan yang disebut adalah penderitaan yang menyembuhkan. Penderitaan Kristus adalah penderitaan yang memulihkan dan memberikan pengampunan yang menjembatani antar orang berdosa dengan Allah. Paulus ingin mengambil penderitaan seperti itu. Mungkin penderitaannya sendiri tidak redemptive tetapi penderitaan itu sendiri dipakai sebagai ’balsem’ yang menyembuhkan permusuhan dosa dan kesakitan manusia. Hal ini berhubungan denagn penderitaan Yesus sebagai Allah yang menderita. Penderitaan tersebut membawa kesembuhan dan balsem penyejuk bagi penderitaan manusia.

Makna Penderitaan
Ada tiga hal bagaimana kita memaknai penderitaan. Pertama, Penderitaan membawa kedewasaan rohani (Roma 5:3-5; Yak 1:2-4). No crisis no growth. Dalam penderitaan kita semakin bertumbuh, dekat dan semakin mencintai Tuhan. Orang-orang akan semakin dewasa jika mengalami banyak penderitaan. Waktu kita mengalami penderitaan kita tidak ingin menderita, tetapi kita menyabutnya ibarat api yang menyucikan kita. Yakinlah, kalau kita menderita segala keinginan duniawi kita akan sirna.

Kedua, penderitaan adalah bagian dari proses menghayati pengharapan kristiani (IPet 4:13; 5:1, 10). Sewaktu menderita, kita semakin bertumbuh di dalam pengharapan. Pengharapan itu tidak pasif dan kita harus terus belajar mengharapkan yang terbaik dari Tuhan. Waktu kita mengalami penderitaan, kita melihat abhwa dunia ini bukanlah tempat kita, dan rumah kita ada di Sorga kelak.

Ketiga, dengan poenderitaan kita akan mengharapkan kesempurnaan dari segala sesuatu yang akan Tuhan berikan ketika IA nantinya akan menutup satu episode daripada sejarah. Wahyu 21:1-4 berkata: ”1 Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan laut pun tidak ada lagi. Dan aku melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari sorga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya. Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: "Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu." Betapa indahnya janji itu.

SoliDeo Gloria!

Tuesday, December 6, 2011

[Seri Eksposisi] Habakuk 3 (Habakuk Pasal III)

[Kotbah ini dibawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat, 20 November 2009]

Mari membuka Habakuk pasal yang ke-3. Pasal yang ke-3 ini adalah doa dari nabi Habakuk yang ditulis dalam syair Ibrani dan biasa dinyanyikan seperti Mazmur (1, 19b) dalam bentuk ratapan. Pasal ini hanya memiliki satu permohonan yaitu ”TUHAN, telah kudengar kabar tentang Engkau, dan pekerjaan-Mu, ya TUHAN, kutakuti! Hidupkanlah itu dalam lintasan tahun, nyatakanlah itu dalam lintasan tahun; dalam murka ingatlah akan kasih sayang! (Hab 3:2)”.

Pasal in dibagi dalam dua bagian besar. Pertama adalah ayat 3-15 yaitu rekoleksi akan siapa Allah dan karyaNya bagi Israel, khususnya pembebasan dari Mesir. Kedua ayat 16-19 yaitu pernyataan keyakinan dan kepercayaan (confidence and trust) dari Habakuk.

Dalam bagian pertama ini kita melihat bahwa ada kekaguman Habakuk pada Allah dimana dalam ayat 2 dikatakan ‘I stand in awe of Your deeds’. Rekoleksi adalah mengingat kembali apa yang Allah lakukan di dalam hidup. Ketika Habakuk melakukan rekoleksi dalam hidupnya, dia merasa kagum kepada Allah. Ketika mendengar karya Allah di dalam hidupnya, dia merasa merasa ‘gemetarlah hatiku, mendengar bunyinya, menggigillah bibirku; tulang-tulangku seakan-akan kemasukan sengal, dan aku gemetar di tempat aku berdiri; namun dengan tenang akan kunantikan hari kesusahan, yang akan mendatangi bangsa yang bergerombolan menyerang kami.” (16). Di dalam rekoleksi ini, Habakuk kembali mengingat karya Allah khususnya dalam konteks pembebasan bangsa Israel dari Mesir. Di dalam ayat 3 digambarkan bahwa Allah Sang Pembebas itu datang dari Teman (selatan Yehuda) dan Paran (Barat Daya teluk Aqaba). Ini adalah sebuah gambaran untuk menyatakan dari hal yang tidak mungkin pun pembebas dapat datang. Hal ini disebabkan oleh karena daerah yang dipakai sebagai gambaran bukanlah daerah orang Israel.

Siapakah Allah yang datang itu? Pertama, Allah yang datang itu adalah Allah “Keagungan-Nya menutupi segenap langit, dan bumipun penuh dengan pujian kepada-Nya. Ada kilauan seperti cahaya, sinar cahaya dari sisi-Nya dan di situlah terselubung kekuatan-Nya.” (3b-4). Ini adalah sesuatu yang penting. Jika seseorang tidak pernah melihat kebesaran dan kemuliaan Allah, maka tidak akan pernah berkata: “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” (17-18).

Kedua, siapakah Allah yang datang itu? Dia adalah Allah yang ‘mendahului-Nya berjalan penyakit sampar dan demam mengikuti jejak-Nya’ (5). Allah yang datang dengan kemuliaan itu adalah Allah yang akan menghakimi musuh-musihNya. Mungkin kita ,memiliki banyak persoalan di sepanjang tahun 2009 ini. Tetapi di dalam semua itu, apakah kita bisa memahami bahwa Allah itu adalah Allah yang membawa penghakiman? Jadi ketika kita mengalami ketidakadilan di kantor, keluarga atau masyarakat kita bisa terhibur. Inlah pentingnya rekoleksi untuk menghayati kembali karya Allah di dalam hidup kita.

Ketiga, siapakah Allah yang datang itu? Dalam ayat 6-7 dikatakan: ”Ia berdiri, maka bumi dibuat-Nya bergoyang; Ia melihat berkeliling, maka bangsa-bangsa dibuat-Nya melompat terkejut, hancur gunung-gunung yang ada sejak purba, merendah bukit-bukit yang berabad-abad; itulah perjalanan-Nya berabad-abad. Aku melihat kemah-kemah orang Kusyan tertekan, kain-kain tenda tanah Midian menggetar.” Inilah gambaran yang diingat Habakuk ketika Israel keluar dari Mesir. Pada waktu itu bangsa Mesir penuh ketakutan dan gemetar ketika bangsa Israel keluar dari sana (Kel 15:14-16; Yos 2:9-10). Inilah yang diingatkan Habuk dalam rekoleksinya dimana Habakuk mengatakan bahwa ketika Allah hadir dan melakukan karyaNya maka semua orang akan mengalami kegentaran dan keterkejutan. Jika ini kita pahami, kita tidak akan pernah berkeinginan untuk mengakhiri hidup kita karena tidak punya harapan karena Allah kita bukanlah pribadi yang biasa, tetapi Allah yang karyanya membuat semua orang gemetar.

Keempat, siapakah Allah yang datang itu. Allah itu adalah Allah yang kedatanganNya juga membuat alam ikut gemetar. Ayat 8 berkata: ”Terhadap sungai-sungaikah, ya TUHAN, terhadap sungai-sungaikah murka-Mu bangkit? Atau terhadap lautkah amarah-Mu sehingga Engkau mengendarai kuda dan kereta kemenangan-Mu?” Inilah Allah yang kita sembah. Apakah kita memiliki pengalaman empiris bahwa Allah yang kita sembah itu adalah Allah yang maha kuasa? Atau apakah kita merasa bahwa Allah adalah Allah yang diam karena doa kita belum terjawab dan sepertiunya semua buntu? Jika kita merasakan bahwa Allah diam, mari belajar dari Habakuk dalam rekoleksinya yaitu Allah kita bukanlah Allah yang biasa, tetapi Dia adalah Allah yang luar biasa yang kedatangannya bahkan membuat alam gemetar.

Kelima, kedatangan Allah bukan hanya membuat alam gemetar, tetapi ”Matahari, bulan berhenti di tempat kediamannya, karena cahaya anak-anak panah-Mu yang melayang laju, karena kilauan tombak-Mu yang berkilat. Dalam kegeraman Engkau melangkah melintasi bumi, dalam murka Engkau menggasak bangsa-bangsa.” (11-12). Dia adalah Allah yang jagat raya juga tunduk kepadaNya (band. Kemenangan Israel di Gibeon, Yos 10:12-13). Jika kita bisa memahami bahwa Allah adalah penguasa jagat raya, bukankah dia juga adalah Allah yang berkuasa atas hidup, pekerjaan, persoalan besar yang kita alami? Habakuk mengalami penantian yang panjang akan jawaban Tuhan (ayat 1-2) tetapi bukan berarti dia menganggap Allah itu adalah Allah yang pasif, tetapi dia tetap melihat Allah itu sebagai Allah yang luar biasa, Maha Besar dan Maha Kuasa yang penuh dengan kemuliaan.

Keenam, Allah yang datang itu adalah Allah yang kedatanganNya adalah untuk menyelamatkan umat dengan menghancurkan Mesir dan Laut Merah. Ayat 13-15 berkata: ”Engkau berjalan maju untuk menyelamatkan umat-Mu, untuk menyelamatkan orang yang Kauurapi. Engkau meremukkan bagian atas rumah orang-orang fasik dan Kaubuka dasarnya sampai batu yang penghabisan. Sela. Engkau menusuk dengan anak panahnya sendiri kepala laskarnya, yang mengamuk untuk menyerakkan aku dengan sorak-sorai, seolah-olah mereka menelan orang tertindas secara tersembunyi. Dengan kuda-Mu, Engkau menginjak laut, timbunan air yang membuih.” Allah berperang bagi kita untuk musuh-musuh kita. Apakah pengalaman ini kita alami dalam tahun ini dimana Allah berperang melawan musuh kita atau kita merasakan kalah dan musuh kita semakin besar? Ingat, jika Allah dipihak kita siapa yang dapat menjadi lawan kita?

Waktu untuk melakukan rekoleksi itu sangat penting. Mengapa kita lemah dan susah untuk bersyukur? Seberapa banyak dari kita bersyukur kepada Allah dalam tahun 2009 ini? Mari hitung berkat, karya, pertolongan, dan apa yang Tuhan anugerahkan kepada kita selama tahun-tahun dalam kehidupan ini. Hal ini akan menghiburkan kita dan mebuat kita bersyukur serta berharap kepada Allah. Melalui rekoleksi yang dilakukannya Habakuk berkata: ”Ketika aku mendengarnya (nyanyian rekoleksinya tadi), gemetarlah hatiku, mendengar bunyinya, menggigillah bibirku; tulang-tulangku seakan-akan kemasukan sengal, dan aku gemetar di tempat aku berdiri; namun dengan tenang akan kunantikan hari kesusahan, yang akan mendatangi bangsa yang bergerombolan menyerang kami.” (16). Inilah pentingnya sebuah rekoleksi dan perenungan. Mengapa seseorang susah bersyukur adalah karena ia kurang menghitung berkat Allah di dalam hidupnya dan kurang bisa menikmati rahmat Allah. Ia dikuasai keinginan dan target sehingga menimbulkan kekuatiran. Tetapi jika kita dikausai oleh ucapan syukur yang muncuk ketika menghitung berkat Allah, maka akan muncul ketenangan dalam menjalani hidup. Ketenangan batin dan jiwa akan hilang jika kita kurang bersyukur kepada Allah. Mari memberikan waktu untuk rekoleksi di penghujung tahun ini.

Dengan rekoleksi ini akan muncul komitmen kepada Allah. Dalam ayat 17-18 dikatakan: ”Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” Komitmen yang muncul dari Habakuk ini adalah buah dari rekoleksi yang benar dihadapan Allah. Ketika dia melakukan rekoleksi, dia tahu bagaimana invasi dan devastasi dari Babilonia dan kehancuran yang terjadi. Tetapi Habakuk memberikan komitmen tanpa syarat apa-apa. Dia tetap memberikan komitmennya walaupun semua yang diharapkan tidak ada hasilnya seperti pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah dan pohon zaitun mengecewakan, pertanian/usaha hancur, dan simpanan juga habis. Yang sudah ada pun lenyap, yang sedang dikerjakan pun gagal, dan yang ditabunganpun habis. Semua hilang dan hal ini mengerikan.

Jika kita jatuh dalam situasi yang sama dimana kita ditimpa berbagai masalah, apa yang akan kita lakukan. Habakuk dengan jelas berkata ”namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” Apakah kalimat ini juga bisa muncul dari mulut kita ketika mengalami hal yang sama dengan Habakuk? Apakah kita bisa berkata sekalipun masalah menerpa aku tetap beria-ria kepada Tuhan? Mungkin semua mengecewakan, tetapi mari kita berkata sekalipun bayak masalah aku tetap beria-ria kepada Tuhan. Ada hal yang sangat kontradiksi antara Habakuk dengan cara berpikir dunia. Dunia akan bersukacita jika uangnya banyak, jabatannya naik, atau semua bisa berjalan sukses, tetapi Habakuk berkata bahwa sukacitanya bukan di dalam uang, kesuksesan, atau jabatan, tetapi sukacitanya di dalam Tuhan. Selama kita menempatkan sukacita kita di dalam uang, harta, dan jabatan, selama itu juga kita akan kehilangan sukacita. Kenapa Habakuk bisa bersukacita dalam berbagai masalah sekalipun adalah karena dia bersukacita di dalam Tuhan. Hal ini yang penting untuk kita miliki. Jangan pernah bangun sukacita kita di dalam apapun atau siapapun kecuali di hadapan Tuhan.

Hal kedua yang membuat Hbakuk bersukacita adalah keyakinan bahwa Allah yang akan menyelamatkan dia dan bangsa Israel. Di dalam Dialah Habakuk besorak-sorai dan beria-ria. Walaupun kita merasa banyak ’awan yang gelap’ di sekitar kita, tetap di dalam kita tetap meiliki terang bersama dengan Allah.

Allah itu adalah kekuatan. Ayat 19 berkata: ”ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku.” (bd. Fil 4:13, ”Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”.; 1 Kor 10:13, ”Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”). Dia adalah Allah yang menguatkan kaki umatNya bagaikan kaki rusa dan memampukan berjalan di tempat yang sulit. Di dalam kelemahan kita, Allah akan menguatkan kita dalam menghadap banyaknya persoalan di dalam hidup ini. Kita mungkin menghadapi banyak onak duri dan berjalan di tempat yang berbatu-batu. Tetapi rekoleksi akan karya Allah memampukan kita untuk senantiasa beroleh kekuatan dari Tuhan. Inilah sumber kekuatan untuk bertahan dalam kesulitan dan sumber pengharapan di masa yang akan datang.

Ingat, pada waktu Habakuk berdoa, semua yang diharapkan belum terjadi. Walaupun bangsa Babilonia menjajah bangsa Israel, Habakuk bisa beria-ria di hadapan Tuhan dan menghadapi penuh iman dan kekuatan. Ingat, sekembalinya dari ibadah in, masalah kita belum tentu selesai, mungkin bertambah berat. Tetapi mari miliki apa yang Habakuk lakukan dimana hal ini akan melahirklan iman dan pengharapan dan kita berani melangkah dengan iman dan semangat yang baru untuk mengakhiri tahun 2009 dan semangat yang baru untuk menghadapi 2010.

Soli Deo Gloria!

[Seri Eksposisi] Habakuk 2 (Habakuk Pasal II)

[Kotbah ini dibawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat, 6 November 2009]


Hari ini kita akan membahas kitab Habakuk pasal yang ke-2. Pasal dua ini merupakan respon Allah terhadap seruan nabi Habakuk (tepatnya dimulai ayat 2). Sebuah respon Allah mengenai bangsa Babilonia atau Kasdim.

Dalam ayat 1 dikatakan: “Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menantikan apa yang akan difirmankan-Nya kepadaku, dan apa yang akan dijawab-Nya atas pengaduanku.” Respon Habakuk ini sangat wajar karena dia sangat merindukan pertolongan Tuhan atas hidupnya dan atas bangsa Yehuda. Habakuk sangat berharap akan kedatangan Tuhan. Harapan inilah yang membuat dia sampai naik ke menara pengintaian di tembok.

Ada dua hal yang diharapkan nabi Habakuk, yaitu meninjau dan menantikan apa yang difirmankan Allah kepadaNya dan apa yang menjadi respon Tuhan atas pengaduan nabi Habakuk kepada Tuhan. Inilah yang dinantikan oleh nabi Habakuk. Sebuah kerinduan yang sangat wajar. Hal ini juga dapat terjadi kepada kita dimana kita menjadi seorang yang tidak sabaran dalam menantikan jawaban Tuhan. Hal ini dapat diibaratkan dengan situasi dimana kita sedang menantikan telepon dari seseorang yang kita sukai dan berjanji akan menghubungi kita. Tentu saja dalam kondisi seperti ini kita akan membiarkan ponsel kita agar aktif terus agar tidak kehilangan moment ketika ia menghubungi kita. Dan ketika ponsel kita berdering, maka kita selalu penuh harap bahwa itu adalah panggilan dari dirinya. Kita menjadi tidak sabaran. Mengapa demikian? Karena kita berada di dalam masa penantian. Menunggu yang sangat menyenangkan karena sangat penuh dengan harapan. Inlah yang dialami oleh nabi Habakuk sampai ia memanjat menara pengawal untuk menantikan respon Tuhan.

Dan Allah Tuhan kemudian menjawab. Dalam ayat 2, Tuhan berkata: ”Lalu TUHAN menjawab aku, demikian: "Tuliskanlah penglihatan itu dan ukirkanlah itu pada loh-loh, supaya orang sambil lalu dapat membacanya.” Ini adalah sebuah perintah Tuhan kepada Habakuk agar Habakuk mempublikasikan penglihatannya ini kepada seluruh orang di Yehuda dan juga kepada orang Kasdim karena hal ini juga penting bagi mereka. Jika bagi bangsa Yehuda pesan ini memiliki arti bahwa Allah akan segera merestorasi bangsa mereka, dan sebaliknya bagi bangsa Kasdim penglihatan ini memilik arti arti penghukuman Allah yang akan dinyatakan kepada mereka.

Ada beberapa isi publikasi yang dituliskan ke dalam loh batu dan yang akan dipublikasikan tersebut. Isi yang pertama ada di dalam ayat 3. dikatakan disana: ”Sebab penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh”. Kejatuhan Babilonia adalah pada tahun 539 sM atau sekitar 66 tahun setelah penglihatan Habakuk. Perlu kita perhatikan, meskipun pengharapan itu ‘linger’ tetapi umat harus menantikannya. Dikatakan linger adalah karena pengharapan tersebut sepertinya sudah gelap, dan hampir mati, tetapi apa yang diharapkan pasti akan terjadi. Tuhan berkata bahwa restorasi itu tidak akan tertunda dan sungguh-sungguh akan datang. Dan itu terjadi 66 tahun kemudian. Ini adalah penantian yang amat panjang. Hal ini juga menjadi sebuah refleksi bagi kita. Berapa lama kita sudah bergumul? Apakah yang kita doakan sepertinya sudah mulai redup dan hilang? Jika ada, mari belajar dari hidup Habakuk, bahwa janji Allah itu adalah sebuah pengharapan yang linger. Inilah iman yang perlu kita miliki sebagai alumni.

Isi dalam loh batu ada di dalam ayat 4: ”Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.” Ada sebuah perbandingan yang dibuat Tuhan dalam ayat 4 ini. Sebuah perbandingan antara orang yang membusungkan dadanya tetapi tidak lurus hatinya dengan orang yang benar yang hidup oleh percayanya. Ini adalah perbandingan orang Kasdim dengan umat Allah, bangsa Yehuda. Orang Kasdim yang membusungkan dadanya adalah tanda bahwa mereka bukan orang yang benar dan suci hatinya tetapi orang Yehuda adalah orang yang benar karena hidup oleh karena iman mereka.. Mungkin kita berpikir bahwa wajar orang Kasdim mengalami hal yang demikian karena mereka adalah orang jahat. Tetapi, mari coba melihat ke dalam kehidupan kita. Kapan kita pernah membusungkan dada kita dan merasa diri kita yang paling hebat? Menganggap diri mampu dan kekuatan tertentu? Sebenarnya ini adalah bukti orang yang tidak lurus hatinya. Orang yang benar itu seharusnya hidup oleh iman percayanya. Allah menegaskan dalam ayat 5 dengan berkata: ”Orang sombong dan khianat dia yang melagak, tetapi ia tidak akan tetap ada; ia mengangakan mulutnya seperti dunia orang mati dan tidak kenyang-kenyang seperti maut, sehingga segala suku bangsa dikumpulkannya dan segala bangsa dihimpunkannya." Khianat, kesombongan, dan keserakahan dipadukan menjadi ciri khas orang Kasdim yang tidak akan pernah dipuaskan dan Tuhan mengatakan bahwa mereka tidak akan ada lagi pada waktu tertentu. Orang Kasdim digambarkan seperti lobang maut dan kubur yang tidak pernah berkata cukup (band. Amsal 30:15-16).

Dalam bagian berikutnya, kita melihat ada dua pengelompokan yang sesuai dengan cara penyusunan Ibrani. Pertama ayat 6-14 dan kedua ayat 15-20. Setiap bagian diakhiri dengan pernyataan teologis yang sangat bagus (ayat 14 dan ayat 20). Pernyataan teologis ini didahului dengan celaan atau penghukuman dari Allah.

Mari melihat kelompok yang pertama. Dalam ayat 6 dikatakan: ”Bukankah sekalian itu akan melontarkan peribahasa mengatai dia, dan nyanyian olok-olok serta sindiran ini: Celakalah orang yang menggaruk bagi dirinya apa yang bukan miliknya--berapa lama lagi? --dan yang memuati dirinya dengan barang gadaian.” Ini adalah syair yang merupakan sebuah olokan yang ditujukan bangsa Babilonia. Tuhan berbicara soal keserakahan orang Kasdim karena mereka merampas yang bukan milik mereka. Ini adalah teguran bagi Kasdim karena mereka menjajah bangsa Yehuda dan menjarah dengan sangat buas harta bangsa yang ditaklukkannya. Oleh karena tindakan mereka inilah Tuhan mencela mereka dan berkata ’celaka’ kepada mereka. Mari kembali mengevaluasi hidup kita akan hal ini. Apakah ada benda atau sesuatu yang ada di rumah kita yang bukan menjadi hak kita? Apakah ada sesuatu di rumah kita yang kita dapat karena merampas kepunyaan orang lain? Inilah perbuatan yang dicela Tuhan.

Kemudian dalam ayat tujuh dijelaskan akibat dari keserakahan tersebut. Akibatnya adalah ”Bukankah akan bangkit dengan sekonyong-konyong mereka yang menggigit engkau, dan akan terjaga mereka yang mengejutkan engkau, sehingga engkau menjadi barang rampasan bagi mereka?” (7). Allah menegaskan bahwa jika mereka (bangsa Babilonia) tetap berlaku demikian, maka mereka juga akan menjadi korban dari orang-orang yang pernah mereka rampas. Hukuman berikutnya ada di dalam ayat 8, yang berbunyi: ”Karena engkau telah menjarah banyak suku bangsa, maka bangsa-bangsa yang tertinggal akan menjarah engkau, karena darah manusia yang tertumpah itu dan karena kekerasan terhadap negeri, kota dan seluruh penduduknya itu.” Apa yang dapat kita pelajari adalah bahwa dalam segala sesuatu yang kita miliki, maka sumbernya harus benar dan dalam usaha untuk memperolehnya kita tidak boleh mengorbankan siapapun. Teguran kepada bangsa Kasdim adalah teguran bagi kita juga.

Mari melihat kata ’celaka’ yang kedua dalam kelompok yang pertama. Dalam ayat 9-10 dikatakan: ”Celakalah orang yang mengambil laba yang tidak halal untuk keperluan rumahnya, untuk menempatkan sarangnya di tempat yang tinggi, dengan maksud melepaskan dirinya dari genggaman malapetaka! Engkau telah merancangkan cela ke atas rumahmu, ketika engkau bermaksud untuk menghabisi banyak bangsa; dengan demikian engkau telah berdosa terhadap dirimu sendiri.” Celaka kedua yang diperingatkan kepada bangsa Kasdim adalah kesombongan material mereka berupa bangunan istana yang megah yang dibangun melalui laba/hasil yang tidak halal. Jika kita melihat pada masa kini, banyak orang terlibat dalam membunga-bungakan uang (rentenir). Ini adalah praktek yang menghasilkan laba/hasil yang tidak halal. Jika kita terlibat dalam hal ini, segera bertobat dan tinggalkan. Alkitab dengan jelas melarang praktek. Ada banyak ayat Alkitab yang melarang tentang riba. Jangan pernah mendapatkan keuntungan dengan tipu daya. Bangsa Kasdim membangun istananya yang megah dan membangun rumah mereka dengan sangat indah yang mereka maksudkan untuk kenyamanan hidup mereka. Mereka menikmati kemewahan dengan hasil yang tidak halal. Dalam ayat 11 dikatakan: ”Sebab batu berseru-seru dari tembok, dan balok menjawabnya dari rangka rumah.” Jika kita mendapat sepeda motor melalui hasil yang tidak halal, maka sepeda motor tersebut akan berteriak-teriak bahwa dia adalah hasil curian. Bangunan di dalam rumah kita pun akan berteriak-teriak jika dibangun dengan hasil yang tidak halal. Apakah hati nurani kita tidak berteriak ketika kita menggunakan barang yang didapat dengan cara yang tidak halal? Atau apakah kita merasa nyaman menggunakan fasilitas yang kita dapat melalui cara yang curang? Oleh sebab itu sangat penting bagi kita untuk memegang yang namanya kejujuran.

Mari melihat kata ’celaka’ yang berikutnya dalam ayat 12-13, ”Celakalah orang yang mendirikan kota di atas darah dan meletakkan dasar benteng di atas ketidakadilan. Sesungguhnya, bukankah dari TUHAN semesta alam asalnya, bahwa bangsa-bangsa bersusah-susah untuk api dan suku-suku bangsa berlelah untuk yang sia-sia?" Inilah ucapan yang disampaikan Tuhan kepada Habakuk untuk mengingatkan orang Kasim bahwa mereka adalah orang yang celaka ketika mereka membangun di atas ketidak adilan sosial yang terjadi. Sebuah peringatan juga bagi kita pada pada zaman ini untuk tidak membangun di atas ketidakadilan tetapi membangun sesuatu dengan benar. Jika kita membangun di atas ketidak adilan atau dalam ketidak benaran maka kita hanya akan membangun dalam kesia-siaan. Setelah semua ucapan celaka ini maka pada ayat 14 muncullah pernyataan teologis yang sangat indah. Pernyataan tersebut berbunyi: ”Sebab bumi akan penuh dengan pengetahuan tentang kemuliaan TUHAN, seperti air yang menutupi dasar laut.”

Bagian kedua dari pengelompokan adalah ayat 15-20. Ayat 15 berbunyi: ”Celakalah orang yang memberi minum sesamanya manusia bercampur amarah, bahkan memabukkan dia untuk memandang auratnya.” Ini adalah ucapan celakan bagi orang Kasdim akan kejahatan mereka. Mereka seolah-olah akan menolong raja dan bangsa Yehuda, tetapi sebenarnya mereka memusnahkannya. Mereka mendekati dengan baik, setelah bangsa Yehuda lengah, mereka merampas semua hartanya dan menindas dengan sangat jahat. Dalam ayat 16-17 dikatakan: ”Telah engkau kenyangkan dirimu dengan kehinaan ganti kehormatan. Minumlah juga engkau dan terhuyung-huyunglah. Kepadamu akan beralih piala dari tangan kanan TUHAN, dan cela besar akan meliputi kemuliaanmu (Ini soal Kasdim yang dihancurkan oleh Allah menjadi kehinaan) Sebab kekerasan terhadap gunung Libanon akan menutupi engkau dan pemusnahan binatang-binatang akan mengejutkan engkau, karena darah manusia yang tertumpah itu dan karena kekerasan terhadap negeri, kota dan seluruh penduduknya itu.“ Setelah berbicara soal kehancuran orang Kasdim, perhatikan juga ucapan Allah soal ilah bangsa Kasdim. Dalam ayat 18 dikatakan: “Apakah gunanya patung pahatan, yang dipahat oleh pembuatnya? Apakah gunanya patung tuangan, pengajar dusta itu? Karena pembuatnya percaya akan buatannya, padahal berhala-berhala bisu belaka yang dibuatnya.“ Dalam ayat 8 ini dikatakan dengan jelas bahwa berhala-berhala itu hanyalan sesuatu yang bisu dan tidak berdaya. Allah yang sejati bukanlah allah yang diberi makan tetapi Allah yang memberi makan. Allah yang benar bukanlah Allah yang dipelihara tetapi Allah yang memelihara. Allah orang Yehuda bukanlah Allah yang dijaga tetapi Allah yang menjaga. Jadi, rang kasdim bukan hanya dihancurkan dari segi negara saja, tetapi juga terhadap apa yang mereka sembah sebagai ilah mereka.

Ucapan 'celaka’ berikutnya ada di dalam ayat 19 dikatakan: ”Celakalah orang yang berkata kepada sepotong kayu: "Terjagalah!" dan kepada sebuah batu bisu: "Bangunlah!" Masakan dia itu mengajar? Memang ia bersalutkan emas dan perak, tetapi roh tidak ada sama sekali di dalamnya.” Apakah masih ada keluarga kita yang terlibat dalam kuasa kegelapan? Misalnya, dalam akhir tahun, pergi ziarah untuk buang sial, atau ritual-ritual lainnya. Ritual-ritual penyembahan berhala ini dicela oleh Tuhan.

Setelah ucapan celaka ini, maka Allah mengakhirinya dengan sebuah pernyataan teologis. Ayat 20 berbunyi demikian: ”Tetapi TUHAN ada di dalam bait-Nya yang kudus. Berdiam dirilah di hadapan-Nya, ya segenap bumi!” Allah yang benar adalah Allah yang umatnya diam dihadapanNya tetapi berhala adalah allah yang diam di depan umatnya. Tuhan berkata agar Habakuk menyadarkan orang Kasdim akan siapa Allah yang benar. Ini juga merupakan sebuah peringatan bagi kita ketika kita pulang kampung diakhir Tahun. Jangan ada diantara kita yang terlibat dalam olkutisme dan jangan ada seorang pun diantara kita yang membiarkan orang terlibat dalam olkutisme. Oleh sebab itu mari melayani mereka (orang ayang terlibat olkutisme) agar tidak terjebak di dalam kuasa kegelapan ini. Mari mengingat bahwa Allah yang benar adalah Allah yang berfirman, mengajar dan mendidik.

SoliDeo Gloria!

[Seri Eksposisi] Habakuk 1 (Habakuk Pasal I)

[Kotbah ini dibawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat, 30 Oktober 2009]


Eksposisi kita pada hari ini adalah kitab Habakuk pasal 1. Habakuk hidup dalam zaman yang saman dengan nabi Yeremia. Habakuk juga adalah nabi yang mengakar dalam tradisi Yahudi. Kitab Habakuk ini ditulis sewaktu perang Terkemis (600 sM) dan Habakuk merupakan nabi yang masih hidup ketika nubuatannya terjadi. Kitab Habakuk merupakan dialog antara nabi Habakuk dengan Allah bukan antara bangsa Israel dengan Allah walaupun hal ini terjadi di tengah-tengah bangsa Israel.
Dua pasal yang pertama berisikan argumentasi Habakuk dengan Allah. Pasal pertama ini memperlihatkan bahwa jalan-jalan Allah tidak terselami dan terduga bahkan bisa dikatakan ’tidak adil’. Setelah mendapat jawaban, Habakuk berespon dengan pengakuan iman yang indah (pasal 3). Habakuk menunjuk dengan jelas akan perasaan yang dalam yang menyertakan beberapa frasa kenangan dalam Perjanjian Lama. Hal yang sama dan biasa dilakukan para nabi lain- mengingatkan Allah akan janjiNya di masa lalu kepada bangsa Israel.

Dalam ayat 1 dikatakan: ”Ucapan ilahi dalam penglihatan nabi Habakuk.” ’Ucapan Ilahi’ adalah sebuah penglihatan atau oracle melalui visi berisi peringatan juga bisa pengharapan. Jadi oracle itu adalah penglihatan Ilahi yang sifatnya pribadi melalui visi bisa berupa teguran, peringatan, atau pengharapan dan juga nubuatan. Ada dua oracle dalam kitab Habakuk. Pertama dalam pasal 1:5-11 dan kedua pasal 2:2-20.

Dalam ayat 2 kita melihat ada keluhan atau jeritan Habakuk. Ada dua hal yang di keluhkannya yaitu ’mengapa kejahatan sepertinya tidak dihukum’ dan ’mengapa Allah diam atau tidak mendengarkan jeritan umatNya’. Ini adalah dua pergumulan yang berat yang dirasakan Habakuk. Dia berkata: ”Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: "Penindasan!" tetapi tidak Kautolong?” Ini bukan sesuatu yang gampang. Ini adalah pergumulan yang berat pada seorang nabi akan umat Allah dimana ketika umat mengalami penindasan, maka Habakuk, sebagai Hamba Allah, berseru kepada Tuhan akan pembebasan. Seruan ini terjadi karena bangsa Kasdim atau Babilonia itu sangat menindas dengan kejam bangsa Israel, padahal mereka adalah bangsa yang fasik sedangkan Israel adalah umatNya. Hal inilah yang membuat Habakuk berseru kepada Tuhan.

Pergumulan yang dialami Habakuk juga bisa kita alami. Mungkin kita sudah menunggu Allah menyembuhkan kita dari penyakit kita, melepaskan kita dari diskriminasi di kantor kita dan dari setiap penindasan yang kita alami. Kita bertanya kepada Tuhan ’Berapa lama lagi Tuhan?’. Kita bertanya dan berseru kepada Tuhan mengapa Ia tidak menolong kita. Sudah berapa lama kita berseru tetapi tidak didengarkan oleh Allah? Sepertinya Allah memalingkan telinga, jauh dari kita sehingga kita bertanya Allah bagaikan tembok yang tidak mendengar apapun. Bahkan persoalan yang kita hadapi semakin bertambah besar. Akhirnya kondisi ini bisa membuat kita kecewa, marah, frustrasi bahkan menyerah dan tidak mau berurusan lagi dengan Tuhan. Ini adalah pergumulan yang berat bagi setiap orang dan dialami Habakuk sendiri. Apakah kita sudah pernah kecewa dan ingin berhenti mengikut Tuhan, karena Ia tidak mendengar seruan kita? Saya harap tidak akan terjadi demikian karena Habakuk juga mengalami hal yang sama tetapi memberikan respon yang indah (pasal 3).

Habakuk juga menyerukan bahwa ada ketidakadilan dan bertanya mengapa Allah diam melihat ketidakadilan tersebut. Dalam ayat 3 dikatakan : ”Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi.” Apa yang dimaksudkan Habakuk adalah agar Allah menyingkirkan ketidakadilan tersebut dari hadapan mereka. Habakuk melanjutkan dalam ayat 4: “Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik.” Bagaimana sebenarnya keadaan bangsa Israel sehingga Habakuk berseru seperti ini? Orang Kasdim atau Babilonia menindas orang Israel. Selain menindas mereka juga menganiaya, melakukan kekerasan, dan menimbulkan pertikaian. Inilah yang dikatakan Habakuk sebagai ketidakadilan. Ketidakadilan yang sama mungkin juga bisa terjadi kepada kita. Ada banyak hal dalam negara ini yang kita rasakan merupakan ketidakadilan. Keadilan justru terbalik. Yang benar dianggap salah dan yang salah dibenarkan. Orang yang menyuap dan korupsi cepat naik jabatan atau mendapat promosi, tetapi yang jujur semakin lama semakin tertindas. Orang yang jahat mudah dalam mengurus segala sesuatu, tetapi yang benar selalu dipersulit dalam mengurus sesuatu. Di depan mata kita terjadi ketidakadilan sosial, penindasan maupun kekerasan .

Yehuda berada di bawah pemerintahan Yoyakim. Yoyakim adalah seorang raja muda yang sangat ambisius, jahat dan sangat korup. Keadaan ini semakin parah dengan penindasan orang Kasdim yang lebih jahat lagi lagi. Harapan orang Yehuda sepertinya hilang dan menguap. Ketika Raja masih berkuasa, bangsa Israel tertindas, ketika orang Kasdim datang, mereka juga tertindas lagi bahkan lebih parah. Inilah yang membuat Habakuk berseru kepada Allah. Habakakuk menyuarakan korupsi sosial dan ketidakadilan. Hukum lumpuh dan keadilan hancur (4) karena tuan tanah dan orang kaya menguasai peradilan dengan suap.

Jika kita melihat kondisi negara kita ini, hal yang sama bisa terjadi. Seseorang yang mencuri ayam dapat dihukum lebih dari lima tahun, tetapi koruptor yang mencuri uang negara dengan jumlah yang sangat besar dapat lepas dan bebas dari jeratan hukum. Ini adalah kebobrokan peradilan yang terjadi di negara kita ini. Mafia peradilan sangat bebas beroperasi untuk membela yang bayar (bukan yang benar). Keadaan yang sama di Israel membuat Habakuk bertanya kepada Tuhan ’Berapa lama lagi Tuhan?’. Apakah pergumulan Habakuk pada zamannya menjadi pergumulan kita pada zaman ini? Apakah kita melihat ketidakadilan di depan mata kita atau apakah kita disingkirkan dan ditekan, dan kita mengalami penindasan?

Apa jawaban Tuhan? Mari melihat ayat 5 dimana Tuhan berkata: ”Lihatlah di antara bangsa-bangsa dan perhatikanlah, jadilah heran dan tercengang-cengang, sebab Aku melakukan suatu pekerjaan dalam zamanmu yang tidak akan kamu percayai, jika diceriterakan.” Inilah jawaban Tuhan! Tuhan sedang bekerja dan kita akan tercengang, heran dan tidak mengerti melihat pekerjaan Tuhan. Kita tidak menduga dan tidak pernah memikirkan bahwa Allah bekerja dengan cara demikian. Kita menginginkan semua tertata dengan baik, mulus dan lancar sesuai dengan apa yang telah kita rencanakan. Tetapi Allah bekerja dengan cara yang membuat kita tak habis pikir (band Rom 8:28, ”Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”). Mungkin diakhir dari semuanya kita bisa memahami, tetapi di awal dari persoalan kita tidak akan bisa mengerti karena Allah bekerja dengan cara yang luiar biasa. Kita mungkin bertanya-tanya kepada Tuhan akan apa yang terjadi di dalam hidup kita, tetapi ingat bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Hal ini tidak gampang, tetapi ketika kita melihat jawaban Tuhan kelak, maka kita akan tercengang dan terheran-heran. Mari belajar bahwa Allah sedang melakukan sesuatu kepada kita. Inilah yang harus kita nantikan dengan sabar, tenang, dan dengan iman.

Dalam ayat 6, Tuhan berkata: ”Sebab, sesungguhnya, Akulah yang membangkitkan orang Kasdim, bangsa yang garang dan tangkas itu, yang melintasi lintang bujur bumi untuk menduduki tempat kediaman, yang bukan kepunyaan mereka. Bangsa itu dahsyat dan menakutkan; keadilannya dan keluhurannya berasal dari padanya sendiri.” Melihat ayat ini, tentu saja kita tidak habis pikir mengapa Tuhan membangkitkan bangsa yang jahat untuk menindas bangsa Israel. Bagaimana mungkin bangsa yang dahsyat dan dan menakutkan itu Allah bangkitkan untuk menindas bangsa Israel? Sungguh tidak masuk akal! Tetapi, semua tindakan Allah yang tidak masuk akal menguatkan bahwa Ia adalah Allah. Jika semua tindakan Allah masuk akal, maka ia bukan Allah. Tindakan manusia saja bisa membuat kita merasa tidak habis pikir, apalagi tindakan Allah. Hal ini terjadi karena kita dikuasai oleh target, prinsip, dan konsep kita. Jadi ketika Allah memberikan sesuatu yang diluar dari apa yang kita duga dan rencanakan, maka sering sekali kita anggap tidak masuk akal.

Habakuk juga merasa demikian. Ia merasa sangat tidak masuk akal mengetahui bahwa bangsa Kasdim dibangkitkan oleh Allah untuk menghukum umatNya (band Yes 42-49 dimana Allah menggunakan Raja yang tidak mengenal Allah, yaitu raja Koresh, menyelamatkan bangsa Israel dari pembuangan. Juga sesuatu yang tidak masuk akal bukan?).

Mari melihat dalam kehidupan kita. Adakah kejadian dalam hidup kita yang diluar pemikiran dan perhitungan kita dimana orang yang lebih jahat dari pada kita bisa dipakai Allah untuk mendidik, menegor dan menghajar kita. Ingat, ketika Bileam tidak mau mendengarkan malaikat Tuhan berbicara kepada dia? Apa yang terjadi? Tuhan memakai keledai untuk berbicara kepada Bileam baru ia mendengar. Dalam hidup kita juga mungkin kita perlu ’dirotan’ oleh Allah. Tetapi kiranya jangan seperti orang Yehuda yang begitu jahat sehingga Allah mendatangkan orang yang lebih jahat lagi untuk menegur mereka. Allah ingin menegur Yehuda karena kejahatannya bukan melalui nabi, tetapi melalui bangsa yang kejam dan sadis. Ketika ada orang jahat yang berbuat jahat kepada kita, jangan langsung kecewa atau putus asa. Mungkin Allah sedang bekerja membentuk kita.

Dala ayat selanjtnya digambarkan bagaimana sebenarnya orang Kasdim itu. Dalam ayat 8-12 dikatakan: ”Kudanya lebih cepat dari pada macan tutul, dan lebih ganas dari pada serigala pada waktu malam; pasukan berkudanya datang menderap, dari jauh mereka datang, terbang seperti rajawali yang menyambar mangsa. Seluruh bangsa itu datang untuk melakukan kekerasan, serbuan pasukan depannya seperti angin timur, dan mereka mengumpulkan tawanan seperti banyaknya pasir.Raja-raja dicemoohkannya dan penguasa-penguasa menjadi tertawaannya. Ditertawakannya tiap tempat berkubu, ditimbunkannya tanah dan direbutnya tempat itu. Maka berlarilah mereka, seperti angin dan bergerak terus; demikianlah mereka bersalah dengan mendewakan kekuatannya.” Yoyakim yang dipilih Allah tetapi karena ketidak setiannya dihukum Allah melalui bangsa yang jahat. Jangan sampai kita sangat jahat sehingga Allah mendatangkan orang yang lebih jahat untuk menegur kita.

Habakuk berespon terhadap jawaban Tuhan ini. Habakuk berkata: ”Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Tidak akan mati kami. Ya TUHAN, telah Kautetapkan dia untuk menghukumkan; ya Gunung Batu, telah Kautentukan dia untuk menyiksa.” Apa yang mau dikatakan Habakuk disini? Habakuk berseru bahwa Allah adalah gunung batu, yang Maha Kudus, dan Allah mereka, tetapi mengapa Allah membiarkan semuanya ini terjadi. Rom 8:31 berkata: ”Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita”. Ini jugalah yang dipamahi oleh Habakuk. Sebagai umat pilihan Tuhan, mengapa mereka ditindas oleh bangsa kafir. Bukankah jika mereka dipihak Allah tidak akan ada yang melawan mereka? Pemahaman yang sama juga bisa terjadi kepada kita ketika orang berkata kepada kita: ”Dimana Allahmu? Kalau Allahmu itu betul-betul ada, mengapa kau tidak sembu-sembuh?” atau pertanyaan-pertanyaan lain yang senada dengan pertanyaan tersebut. Adakah kita berkata kepada Tuhan: ”Tuhan mengapa hal ini terjadi, bukankah Engkau Allahku?” Mungkin dalam respon kita, kita mulai meragukan Allah karena banyaknya masalah yang kita hadapi dan mempertanyakan Tuhan.

Tetapi belajar dari Habakuk, apa yang menjadi respon Habakuk adalah sebuah keluhan juga sekaligus pernyataan iman. Perhatikan ayat 13: ”Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman. Mengapa Engkau memandangi orang-orang yang berbuat khianat itu dan Engkau berdiam diri, apabila orang fasik menelan orang yang lebih benar dari dia.” Ini adalah pernyataan yang luar biasa. Habakuk berkata bahwa mata Tuhan terlalu suci untuk memandang kejahatan atau kelaliman tetapi mengapa ia membangkitkan bangsa yang jahat untuk menghukum orang Israel. Ini bisa terjadi dimana pergumulan ketidakadilan sosial dalam pergumulan sebuah bangsa. Dalam negara kita sepertinya orang jahat sangat gampang mendapat apa yang diinginkannya. Night Club dan Cafe sangat gampang untuk didirikan, tetapi tidak demikian halnya dengan gereja. Kejahatan sepertinya bertumbuh dengan suburnya. Kita miris melihat ini. Habakuk menlihat bahwa Allah terlalu suci melihat kejahatan, tetapi mengapa ia membiarkan kejahatn terjadi. Hal ini jugalah sesuatu yang tidak masuk akal dalam pikiran Habakuk.

Habakuk melanjutkan dalam ayat 14 dengan berkata demikian: ”Engkau menjadikan manusia itu seperti ikan di laut, seperti binatang-binatang melata yang tidak ada pemerintahnya?” Dan orang Kasdim menjajah mereka dalam situasi yang seperti ini. Dalam ayat 15-16 dikatakan: ”Semuanya mereka ditariknya ke atas dengan kail, ditangkap dengan pukatnya dan dikumpulkan dengan payangnya; itulah sebabnya ia bersukaria dan bersorak-sorai. Itulah sebabnya dipersembahkannya korban untuk pukatnya dan dibakarnya korban untuk payangnya; sebab oleh karena alat-alat itu pendapatannya mewah dan rezekinya berlimpah-limpah. Sebab itukah ia selalu menghunus pedangnya dan membunuh bangsa-bangsa dengan tidak kenal belas kasihan?” Selain menganiaya, bangsa Kasdim juga memeras orang Yehuda dan mengambil harta mereka. Inilah yang digambarkan oleh Habakuk. Orang Yehuda sangat powerless dan tidak memiliki apapun. Rajanya dicopot dan dipermalukan, bangsa diobrak-abrik dan akhirnya tidak ada pemerintahan. Mereka ditindas, diperas, dan dianiaya. Habakuk protes kepada Tuhan karena terjadi penindasan dan ketidakadilan sosial.

Adakah selama tahun 2009 kita protes kepada Allah dimana Allah seolah-olah tidak mendengar seruan kita dan akhirnya kita berbantah dengan Allah sampai mempertanyakan Tuhan dan akhirnya Tuhan menjawab? Adakah keluhan dan jeritan kita kepada Allah dan merasakan bahwa Allah memalingkan wajahnya dari kita? Apakah orang seenaknya berbuat kejahatan kepada kita? Silahkan berkeluh, silahkan protes, tetapi ingat, ada maksud Tuhan dalam segala hal. Ini penting bagi kita. Tidak ada doa yang tidak didengar oleh Allah. Mari melihat Maz 27:7-10. dikatakan di sana: ”Dengarlah, TUHAN, seruan yang kusampaikan, kasihanilah aku dan jawablah aku! Hatiku mengikuti firman-Mu: "Carilah wajah-Ku"; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN. Janganlah menyembunyikan wajah-Mu kepadaku, janganlah menolak hamba-Mu ini dengan murka; Engkaulah pertolonganku, janganlah membuang aku dan janganlah meninggalkan aku, ya Allah penyelamatku! Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku.” Kalaupun kita mengalami seperti apa yang Habakuk rasakan dan bertanya ’Berapa lama lagi Tuhan?’, mari tetap akui kedaulatan Tuhan dan belajar dari Daud dalam Maz 27:7-10 tadi.

SoliDeo Gloria!

[Knowing God 2009-04]: The Adequacy of GOD

[Kotbah ini dibawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat 6 Februari 2009]



Mari melihat dan membaca Roma 8:1-39! Berbicara mengenai The Adequacy of God berarti kita berbicara mengenai kecukupan Allah. Dan kita akan mempelajari hal ini dengan melihat Rom 8. Perlu kita ketahui bahwa Rom pasal 1-3 memaparkan mengenai manusia yang adalah orang berdosa yang terhilang dan tidak berdaya untuk menyelamatkan dirinya. Dalam Rom 1:18 kita melihat bagaimana Allah menyatakan dirinya tetapi manusia tidak mengenal tetapi menyembah berhala. Dan di dalam ayat 22 sampai seterusnya kita melihat bagaimana manusia diserahkan oleh Allah kepada hawa nafsunya yang jahat, maka muncullah homoseks dan dosa-dosa yang lain di sana. Dalam pasal 2 berbicara hal yang sama dan pasal 3 menyatakan bahwa manusia semua berdosa. Pasal 4-5 berbicara mengenai bagaimana manusia hanya bisa dibenarkan melalui iman atau anugerah Allah di dalam Kristus. Oleh sebab itu di dalam Rom 3:1-10 dinyatakan bahwa manusia telah berdosa secara totsl di dalam hidupnya dan dalam ayat 11-21 dinyatakan bahwa Taurat tidak bisa membenarkan. Di dalam Rom 3:20 dinyatakan, “Sebab tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa”, kemudian barulah dalam ayat 21 dinyatakan, “Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para nabi”. Hal ini disebabkan oleh karena tidak ada perbedaan (ayat 22) yaitu semua manusia telah berdosa (23). Dan di dalam ayat 24-25 digambarkan bahwa semua manusia telah dibenarkan oleh kasih karunia secara cuma-cuma melalui penebusan di dalam Yesus Kristus karena Kristus Yesus ditetapkan Allah sebagai jalan pendamaian orang percaya yang merupakan ketetapan Ilahi yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, jika kita perhatikan pembenaran oleh anugerah atau iman di dalam kasih karunia Allah dimunculkan lagi pada pasal 4 dengan mengambil contoh Abraham. Abraham dibenarkan oleh Allah bukan karena mengerjakan Taurat, tetapi oleh karena iman. Dalam Roma 5:1-11 dinyatakan bahwa manusia dibenarkan, ditebus, dan diperdamaikan. Di dalam Rom 5:8-10 dinyatakan, ”Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah. Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya”.

Kemudian di dalam Rom 6 dinyatakan bahwa orang yang sudah dibenarkan memiliki hidup yang secara total harus dipersembahkan kepada Allah dan hidup di dalam kekudusan. Artinya, dibenarkan atau sudah benar secara status menghasilkan pembenaran yang bertumbuh terus yang menghasilkan hidup yang semakin suci. Dalam Rom 6:12-23 dinyatakan, ”Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya. Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran”.

Di dalam pasal 7 ada kontradiksi. Daging bertentangan dengan Roh sehingga manusia hidup yang kontradiksi. Maksudnya adalah manusia tidak bisa sepenuhnya mencapai apa yang baik yang Allah kehendaki.(ayat 19-20, ”Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku”). Di dalam ayat 24 Paulus mengatakan, ”Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini” tetapi kemudian di dalam ayat 25, ia berkata, ”Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita”.

Itulah sebabnya, di dalam pasal 1-3 kita melihat ada konsep teologia dimana manusia yang berdosa not able not to sin---tidak mampu untuk tidak berdosa. Tetapi oleh karena anugerah, dari pasal 3:20 sampai pasal 7 ada pemahaman teologia dimana orang yang sudah beriman able not to sin---dimampukan untuk tidak berdosa. Barulah kita mencapai puncak, di dalam pasal 8, yang memaparkan bagaimana kekayaan Allah yang penuh yang diberikan kepada kita. Dan dalam bingkai inilah kita akan membahas the adequacy of God---kecukupan Allah bagi umatNya.

Di dalam pasal 8 Paulus seolah-olah kembali membicarakan apa yang terdapat di dalam pasal 5:1-11. Ayat 1 dari pasal 5 berbicara bahwa orang yang dibenarkan diperdamaikan, dan orang yang diperdamaikan diselamatkan. Hal inilah yang diulang Paulus kembali lalu muncullah soal keselamatan dengan pembenaran (pasal 5:8-11). Jika kita perhatikan Rom 8:1-30, kita melihat pada bagian ini Paulus membentangkan kecukupan kasih karunia Allah untuk menyelesaikan seluruh rangkaian keadaan yang sulit dalam diri manusia. Di sini dipaparkan dengan jelas oleh Paulus permasalan manusia. Pertama, oleh anugerah Allah, rasa bersalah dan kuasa dosa yang ada di dalam diri manusia diselesaikan(1-5); kedua, fakta maut (6-13); ketiga, ketakutan untuk menghadap kekudusan Allah (15-16); keempat, kelemahan dan keputusasaan saat menghadapi penderitaan (17-25); kelima, kelumpuhan dalam doa (26-27); keenam perasaan bahwa kehidupan itu tidak berarti dan tidak memiliki pengharapan (28-30). Dalam setiap permasalahan yang kita miliki, seperti yang Paulus paparkan, Allah cukup bagi kita untuk menyelesaikan semua hal tersebut.

Ada empat karunia yang diberikan oleh Allah sehingga kita berani berkata bahwa Allah cukup bagi kita. Pertama. Pembenaran. Karena pembenaran yang dilakukan oleh Allah bagi umatNya tidak ada lagi penghukuman (ayat 1). Karya Allah yang mebenarkan cukup untuk membebaskan kita dari maut. Itulah sebabnya tidak ada Injil plus. Pembenaran bukan karena Injil plus seperti bapis selam atau yang lain. Kedua, karunia Roh Kudus. Di dalam ayat 4-27 kita melihat bahwa Roh Allah diberikan bagi kita sehingga kita menjadi anak-anak Allah dan kita menjadi milik Kristus dan oleh Roh itulah kita bisa bersaksi bahwa kita adalah anak-anak Allah. Status baru sebagai anggota Kerajaan Allah merupakan karunia Allah yang ketiga. Ini adalah karunia yang luar biasa. Bagi kita Allah cukup untuk menyelamatkan dengan RohNya yang menguatkan, menyertai, memateraikan, menghiburkan, dan berdoa bagi kita ketika kita tidak mampu. Dan karunia keempat adalah adalah ada keterjaminan/keamanan kini dan selamanya (28-30).

Karena itu, status kita sebagai orang yang sudah dibenarkan dan ditambah dengan dinamika rohani oleh pekerjaan Roh bagi orang percaya ditambah dengan identitas sebagai anak-anak Allah dan ditambah dengan hidup yang terjamin bersama dengan Allah, membuat kita memahami bahwa kecukupan Allah cukup bahkan lebih dari cukup bagi kita. Hal ini juga lebih daripada cukup untuk mendukung orang kita sebagai orang Kristen apapun persoalan hidup kita. Dengan demikian ketika banyakpun persoalan atau tantangan di dalam hidup kita ingatlah status, dinamika, identitas, dan keterjaminan hari ini sampai selama-lamanya oleh karena Kristus membuat kita berkata bahwa kecukupan Allah cukup bagi kita.

Ada berbagai kemungkinan persoalan yang dihadapi orang. Apakah kehilangan pekerjaan atau sahabat demi integritas; orangtua, anak-anak atau pasangan yang mengecewakan, kesehatan dan keterbatasan jasmani yang serius, merasa orang asing di rumah atau tempat kerja karena iman, kehilangan orang yang dikasihi, merasa Allah tidak memperhatikan, kesulitan ekonomi, usaha bangkrut, PHK, dimarginalkan, difitnah, dikecewakan orang lain dll, kita berani berkata bahwa Allah cukup bagi kita---The adequacy of God is enough for us!

Dalam Rom 8:31-39, ada empat pemikiran utama. Pertama, kalau Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita (31)? Kedua, bagaimana mungkin Dia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama dengan Kristus (32)? Ketiga, siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah (33-34)? Keempat, siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus (35-36)? Dan keempat pemikiran ini akan kita lihat lebih dalam.

Allah Dipihak Kita.
“Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita.” (ay 31)

Berbicara mengenai Allah dipihak kita akan menimbulkan pemahaman mengenai Allah yang cukup untuk diandalkan, di mana tidak ada lawan yang pada akhirnya dapat menghancurkan kita (Kel.34:6; Yes.46:9-10)? Selama Allah dipihak kita, maka tidak ada satu kuasapun yang mampu menggeser kita. Hal ini harus dimiliki oleh anak-anak Tuhan. Kata ‘di pihak kita’ menyatakan komitmen dalam perjanjian (covenant) Allah yang tidak pernah dibatalkan oleh Allah (Kej.17:1,7-; Mzm.56:10. bd. Kel.3:12; Yosua.1:9 ‘Allah menyertai’). Allah cukup sebagai pembela kita. Karena itu mari lebih mengarahkan pandangan kepada Allah dari pada kekuatan para musuh dalam kehidupan. Kegagalan kita sehingga tidak bisa berkata: ”Kecukupan Allah cukup bagiku!”, adalah karena kita lebih fokus pada persoalan dan musuh yang akhirnya melemahkan dan membuat kita kecut. Allah tidak pernah menjanjikan hidup tanpa masalah atau persoalan dan tantangan, tetapi Dia menjanjikan penyertaan dan kekuatan bagi anak-anakNya dalam menghadapi masalah tersebut (1 Kor.10:13; Flp.4:13). Kecukupan Allah dalam persoalan hidup dan menghadapi musuh, - jangan pandang betapa besarnya kekuatan musuh, tetapi lihat dan andalkanlah betapa besarnya kuasa Allah yang dipihakmu. Jika berfokus kepada persoalan dan kekuatan musuh, maka hal itu akan membuat kecut dan melemahkan iman dan semangat kita.

Kebaikan Allah Tidak Ditahan
"Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia" (ay 32)

Mari kita perhatikan ayat ini. Allah tidak menahan kebaikanNya. Allah sebagai dermawan yang maha kuasa. Perhatikan, di sini tampak dua pribadi Allah mampu melakukan kedermawananNya. Dia yang sangat dermawan, sekaligus Allah yang tidak menahan kebaikan dan kepastian karya penebusanNya. Salib adalah puncak pengorbanan terbesar (AnakNya yang tunggal). Rom 5:8 berkata, ”Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa”. Tidak ada karunia kasih yang melampaui hal ini – Yesus menyerahkan nyawa untuk memberi apa yang paling kita butuhkan yang paling berharga dan penting di dalam hidup kita melalui kematian dan kebangkitanNya. Dengan pemahaman seperti ini, maka ketakutan dan kekuatiran kita bisa hilang. Allah pemilik segala sesuatu, penuh kasih yang dermawan dan mahakuasa untuk menyatakan segala kebaikanNya. Allah yang menyerahkan diriNya bagi kita, merupakan jaminan bahwa ‘segala sesuatu’ akan diberikan. Kristus dan ‘segala sesuatu’ berjalan bersama-sama seperti ramuan dalam satu karunia tunggal. Ketika Allah memberikan keselamatan itu, maka semua berkat dan semua yang Allah janjikan ada di dalam Kristus. Panggilan, pembenaran dan pemuliaan umat Allah (ay 30) mencakup segala sesuatu dari kelahiran baru sampai kebangkitan tubuh, semuanya telah disebutkan dan disediakan oleh Allah (bd. Mt.6:33; Mrk.10:29-30).

‘Segala sesuatu’ berarti segala sesuatu yang baik menurut Allah, sebab hikmat dan kuasaNya yang tak terbatas memandu kemurahan hatiNya. Hal ini harus kita sadari karena sering sekali kita menjadikan konsep kita menjadi konsep Allah. Allah lebih tahu apa yang lebih tepat dan berguna bagi diri kita. Sama seperti anak kecil yang minta silet kepada bapanya. Siapa bapa yang tega memberikannya. Oleh sebab itu, kita harus mengevaluasi jangan-jangan permintaan kita itu berbahaya bagi kita. Hal inilah yang dikatakan Yakobus, jangan-jangan apa yang kita minta itu memuaskan hati kita dan ketika itu terjadi jangan-jangan kita semakin jauh dari Tuhan. Hikmat Allah dan kemahakuasaan Allah yang tidak terbatas itu cukup untuk memandu kita. ‘Segala sesuatu’ juga dalam waktu dan caranya Allah bagaimana Dia menggenapinya dalam kehidupan kita. Inilah bukti yang menunjukkan kecukupan Allah bagi orang percaya.

Tidak Ada yang Menggugat Kita
"Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka? 34Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita." (ay 33)

Tidak ada gugatan yang dapat membatalkan warisan kita sebagai Anak Allah oleh siapapun dan apapun. Kecukupan Allah sebagai Pemenang yang mahakuasa dan kepastian keputusanNya dalam membenarkan kita tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun (bd. Rom.5:1-2). Ini akan menghapus ketakutan atas penolakan Allah – Allah tidak akan menolak kita. Jika kita betul-betul lahir bari, sejauh manapun kita berdosa Allah tidak pernah menolak kita jika kita datang kepadaNya. Keselamatan kita tidak akan pernah diragukan. Tetapi ingat, Dia juga hakim yang adil. Ada 2 jenis hati nurani yang sakit dalam dosa. Pertama, dia tidak sadar bahwa dia berdosa. kedua tidak sadar bahwa dosanya sudah diampuni. Dua hal ini berbahaya.

Paulus melihat betapa mudahnya hati nurani orang dibawah tekanan dosa dan kegagalan akan meragukan pengampunan Allah (Rom.7:14-25). Orang Kristen dapat gagal dan jatuh, dan hal tersebut adalah sesuatu yang menyedihkan. Tetapi Paulus menyangkal bahwa setiap pelanggaran saat ini bisa membahayakan status kita yang sudah dibenarkan. Artinya tidak seorangpun yang sudah dibenarkan berada dalam posisi peninjauan kembali. Mengapa hal ini bisa terjadi? Alasannya adalah yang dibenarkan Allah saat ini sudah dipilih sejak kekekalan berdasarkan kasih karunia Allah untuk mendapatkan keselamatan kekal. Adanya kedaulatan Allah dalam penghakiman. Dia, Sang Hakim telah membenarkan orang percaya dan tidak seorangpun dapat mengubah keputusan tersebut. Karya penebusan dan pembenaran Kristus yang sempurna ada bagi kita sebagai orang yang percaya (34. bd. Kis.5:31).

Tidak Ada yang Sanggup Memisahkan Kita
"Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? 36Seperti ada tertulis: "Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan." (ay 35)

Kasih dalam Kristus adalah kasih yang memilih, membenarkan dan memuliakan orang percaya. Inilah kecukupan Allah dalam segala sesuatu. Artinya adalah Allah cukup sebagai Penjaga kita (1 Ptr.1:5), Allah cukup sebagai tujuan hidup kita (Flp.3:8-14), dan Allah cukup untuk menjaga atau memegang kita, sehingga tidak ada satu kuasa apapun yang dapat merebut kita dari tanganNya (Yoh.10:28-29). Sebagai orang tebusan yang sudah dibenarkan tidak ada satu hal apapun baik maut, penderitaan, kelemahan, kekurangan, kegagalan atau kesengsaraan (35-36) yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah, bahkan kita lebih dari pemenang oleh Dia yang telah mengasihi kita (37). Tidak ada satu kuasa apapun yang cukup kuat untuk memisahkan kita dari Allah (38-39, ”38Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, 39atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita”).

Jika demikian bagaimana? Pertama, memiliki Kristus tidah hanya cukup, tetapi lebih dari cukup---to have Jesus is not only enough but more than enough. Kita akan merasa puas jika memahami bahwa Allah telah memberikan yang terbaik bagi kita. Kecukupan Allah membuat kitabisa memahami hal ini dengan baik. Jadi, jika ada hal yang belum atau tidak akan pernah kita miliki tidak akan mengurangi sukacita atau ketenangan batin kita. Kecukupan Allah sempurna bagi kita semua. Having Jesus is more than everything. Maka seandainya jika masih ada hal yang belum atau tidak akan pernah kita miliki atau raih dalam hidup ini, hal itu tidak akan mengurangi sukacita, damai dan ketenangan jiwa kita. Kecukupan Allah menghiburkan, menguatkan dan memberi kedamaian sejati bagi umat-Nya. Apapun yang terjadi di dalam hidup kita, Allah cukup bagi kita.

Solideo Gloria!

[Knowing God 2009-03]: God the Judge

[Kotbah ini dibawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat, 30 Januari 2009]


Malam ini kita akan berbicara mengenai God The Judge-Allah adalah hakim. Jika kita berbicara kepada orang lain bahwa Allah itu baik, kasih, atau murah hati pasti orang akan senang dan menerimanya dan mengatakan: ”Amin!” Tetapi ketika bicara soal Allah yang adalah hakim yang adil dan Allah akan membalaskan setiap perbuatan manusia, apa respon mereka? Jika kita ditanya mengenai konsep kita akan Allah---Allah itu baik atau Allah itu adil---yang mana menjadi pemahaman kita? Banyak dari kita akan memilih pemahaman yang pertama. Kita tidak ragu memilih yang pertama karena kotbah yang sering kita dengarkan adalah mengenai Allah yang baik dan kasih.

Allah yang adalah kasih juga adalah Allah yang adil. Dan salib adalah perpaduan antara kasih dan keadilan Allah. Yoh 3:16 berkata: ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” dan Ulangan 32:4 berkata, ”Gunung Batu, yang pekerjaan-Nya sempurna, karena segala jalan-Nya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia.” Kasih dan keadilan Allah berjalan bersama dan harus dipahami dengan berimbang. Jika kita tidak memaminya dengan baik, maka akan ada ketimpangan yang akan mempengaruhi bagaimana hidup kita. Teologia menentukan cara dan nilai hidup manusia dan akan mewarnai hidup. Jika kita hanya fokus kepada kasih, kebaikan, dan kemurahan Allah, maka bisa saja hidup seseorang itu menjadi tidak tertib dan suka bermain-main. Jika kita hanya fokus kepada Allah yang adil, maka kita bisa hidup di dalam ketakutan. Itulah sebabnya jika kita perhatian Fil 2:12 dikatakan, ”Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir.” Ada sikap penuh hormat dan taat kepada Allah dan penting ada kesimbangan antara Allah yang kasih dan Allah yang Adil. Di dalam kasih Allah kita tenang dan di dalam keadilan Allah kita membutuhkan disiplin dan rasa hormat dan taat kepada Allah. Allah adalah Hakim sebagai penyataan karakterNya dan penanaman pentingnya nilai moral dalam kehidupan manusia. Allah bukan hanya hakim di akhir zaman, melainkan Dia adalah juga Hakim pada setiap masa (presentis dan eskatologis).

Allah adalah hakim (Maz 75:8, ”tetapi Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain”) dan Dialah Hakim segenap bumi (Kej 18:25, ”Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?”). Yesus juga adalah agen Bapa dalam penghakiman. Maksudnya adalah untuk melaksanakan pemnghakiman, Bapa melimpahkannya kepada Yesus ( Mt.7:13-27; 10:26-33; 12:36; Lk.13:23-30; 16:19-31; Yoh.5:22-30. lih. Mt.25:31 -; Dan.7:13-14).

Sebagai Pencipta, Allah adalah pemilik; sebagai Pemilik, Dia berkuasa atas ciptaan, karena itu Dia berhak untuk membuat hukum/peraturan bagi manusia ciptaanNya. Dengan hukum, Allah memberi pahala bagi yang menaati dan hukuman bagi yang melanggar. Allah Pemberi hukum sekaligus juga hakim untuk pelaksanaan hukum. Allah adalah Hakim yang adil dan membenci hal yang serong. Allah adalah hakim yang mahatahu dan penuh hikmat penyelidiki hati manusia, sehingga tidak seorangpun dapat membohongi Allah. Jika pengadilan di dunia bisa membalikkan fakta, yang salah jadi benar atau benar jadi salah, tetapi pengadilan Allah tidak demikian. Karena kemahatauanNya tidak ada satu orangpun yang bisa membohongi Allah karena Dia dapat menyelidiki hati manusia. Sebagai hakim, Allah membuat hukum, menjatuhkan hukuman dan pelaksana hukuman itu sendiri. Allah adalah Hakim yang sempurna moral, kebenaran, keadilanNya, hikmat, kemahatahuan, dan kemahakuasaanNya sehingga keputusan yang dilakukanNya selalu benar. Sebagai Hakim yang adil maka Allah menuntut pembalasan dimana setiap orang menerima apa yang pantas mereka terima, yaitu membalas yang baik dengan yang baik dan yang jahat dengan yang jahat (Rom.2:6-11; 2 Kor.5:10-11).

Banyak pemahaman yang mengatakan jika Allah yang adil membalaskan yang adil kepada yang adil dan yang jahat kepada yang jahat, berarti Allah tidak punya kelebihan apapun dan tidak ada bedanya dengan manusia. Jika hanya demikian halnya, bukankah ada satu kontradiksi di dalam pemahaman ini? Bukankah seorang bapak yang jahatpun tahu memberi yang baik kepada anaknya apalagi Bapa yang di Surga? Bukankah ini satu kontradiksi? Jawabannya adalah bukan! Allah tetap adil dengan membalaskan yang baik kepada yang baik dan membalaskan yang jahat kepada yang jahat dan ini tidak bisa dipungkiri oleh siapapun dan pasti terjadi kepada setiap orang baik yang percaya maupun yang tidak percaya. Jika Allah menuntut pembalasan kepada setiap orang bukan berarti mengurangi standart esensi Allah yang adalah adil. Oleh sebab itulah Allah tidak pernah salah dalam memberi keputusanNya. Di dalam Roma 2:6-11 dikatakan Paulus mengatakan, ”  Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya, yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan, tetapi murka dan geram kepada mereka yang mencari kepentingan sendiri, yang tidak taat kepada kebenaran, melainkan taat kepada kelaliman.. Penderitaan dan kesesakan akan menimpa setiap orang yang hidup yang berbuat jahat, pertama-tama orang Yahudi dan juga orang Yunani, tetapi kemuliaan, kehormatan dan damai sejahtera akan diperoleh semua orang yang berbuat baik, pertama-tama orang Yahudi, dan juga orang Yunani. Sebab Allah tidak memandang bulu.” Hal ini relevan dengan Gal 6:7-8 dimana dikatakan, ”Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu.” Allah adalah Hakim yang adil dan Paulus dalam 2 Kor 5:10-11, menggambarkan hal ini, ”Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat. Kami tahu apa artinya takut akan Tuhan, karena itu kami berusaha meyakinkan orang. Bagi Allah hati kami nyata dengan terang dan aku harap hati kami nyata juga demikian bagi pertimbangan kamu”.

Bagaimana dengan jeritan Asaf dalam Mzm.73:2-14. ‘Allah tidak adil’? Benarkah demikian? Jika kita membaca Mazmur ini, sering sekali dalam kehidupan kita kita berkata seperti yang tertulis di Mazmur ini. Kita berkata Allah tidak adil karena melihat hidup orang fasik lebih berbahagia dibandingkan kita dengan orang fasik sedangkan kita adalah anak Tuhan. Ini pergulatan di dalam diri kita masing-masing. Dan Mazmur ini adalah self-talk yang dilakukan oleh Asaf. Inti dari Mazmur ini 73 ini adalah ayat 1, ”Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya.” dan ayat 25 dan 26, ”Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Sebenarnya di dalam Mazmur ini Asaf sedang berdialog dengan Tuhan. Prinsip-prinsipnya ada di dalam ayat 1 dan 15 sampai selanjutnya. Dan dalam ayat 2-14 dia menanyakan dimana keadilan Tuhan dalam self-talknya dan hal yang sama sering kita tanyakan di depan Allah. Sangat menyakitkan jika kita dipimpin oleh orang yang tidak kompeten dibandingkan dengan kita, hanya karena KKN atau karena suku maka dia menjadi bos kita. Oleh sebab itu kita mempertanyakan keadilan Allah. Tetapi ingat Allah adalah adil---God the Judge, dan Dia akan tetap membuat keputusan yang benar dan dia tidak pernah tidak adil. Dengan segala kondisi kita mari berkata, ”Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Apapun yang terjadi, tidak akan menggeser cintaku kepada Allah. Oleh sebab itu sering-seringlah berdoa dengan self-talk kepada Allah dan izinkan Tuhan berbicara kepadamu dan terbukalah dihadapan Allah.

Di dalam PL ada beberapa penghakiman yang dilakukan oleh Allah. Di dalam peristiwa Kejatuhan. Kej.3:17-19 dan pengusiran dari taman Eden, pada masa Nuh (Kej.6-8.), peristiwa Sodom dan Gomorah. (Kej.18-19), 10 tulah bagi orang Mesir (Kel.7-12), Anak lembu emas (Kel.32:26-35) ketika Harun dipaksa bangsa Israel membuat patung lembu emas. PL penuh dengan catatan kasih dan penghakiman Allah dan akibatnya adalah maut. Dan penghakiman Allah di dalam PL juga hadir di dalam PB. Contohnya adalah Ananias dan Safira yang langsung meninggal karena membohongi Allah (Kis 5:1-11). Jika penghakiman seperti ini terjadi bagi kita sekarang ini, ada tidak yang diantara kita masih hidup? Contoh lain adalah Herodes yang sombong (Kis 12:21-23) yang menyatakan tidak ada Tuhan langsung mati. Elimas, tukang sihir yang menentang Injil (Kis 13:8-12) yang langsung dihukum Tuhan melalui Paulus. Demikian juga halnya dengan orang Korintus yang tidak menghormati Perjamuan Tuhan langsung dihukum Tuhan (1 Kor 11:27-32).

Satu pertanyaan yang menjadi evaluasi bagi anda, apakah anda menerima bahwa Allah adalah hakim bagi dirimu pada zaman ini sehingga wajar anda menerima apa yang terjadi dalam hidup anda sekarang ini? Pernahkan anda merasa dihakimi dan dihukum oleh Allah sekarang ini? Ibrani 12:5-8 mengatakan bahwa anak yang dikasihi pasti Tuhan hajar. Adakah Allah yang adil sebagai hakim sedang bekerja dalam diri kita sedang menghakimi kita? Hal ini pasti. Jangan berpikir bahwa Allah menjadi hakim hanya pada akhir zaman. Hari inipun Allah adalah hakim yang adil yang membalaskan sesuai dengan perbuatan kita.

Allah juga adalah hakim dalam penghakiman terakhir. Penghakiman terakhir dihubungkan dengan 2nd coming of Christ (Mrk.8:38; 1 Kor.4:5; bd. 2 Tes.1:5-10) dan Hakim itu adalah Allah sendiri (Kej.15:25;Yak.4:12; Why.20:11) dan hakim itu adalah Kristus sendiri sebagai perwakilan Allah (Mt.16:27; Yoh.5:22-27). Semua orang akan dihakimi (2 tim 4:1, ”Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya;), baik hidup dan yg mati (Kis.10:42, ”Dan Ia telah menugaskan kami memberitakan kepada seluruh bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati); percaya atau bukan (Rom.14:10-12, ”Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. Karena ada tertulis: "Demi Aku hidup, demikianlah firman Tuhan, semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku dan semua orang akan memuliakan Allah." Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah”). Oleh sebab itu jangan bermain-main di dalam hidup kita apalagi teogia Lutheran yang memahami sola gratia, sola scriptura, dan sola fide sehingga kurang berbicara mengenai keadilan Allah dan akhirnya bermain-main di dalma hidup ini. Dengan pemahaman bahwa Allah adalah adil, maka tidak ada seorangpun yang akan bermain-main karena semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Standar penghakiman adalah kebenaran Allah diperhadapkan kepada perbuatan manusia (Mt.16:17; 2 Tim.4:14; 1 Ptr.1:17). Jika kita diperhadapkan dengan Paulus saja, mungkin kita akan menjadi kecut. Bayangkan jika kita diperhadapkan kepada Allah yang tanpa noda, pasti kita akan melihat kenajisan diri kita sendiri. Jika kita bercermin di air kubangan maka kita tidak akan melihat kekurangan diri kita. Diperhadapkan dengan Allah itu adalah penghakiman. Allah yang suci dan benar diperhadapkan dengan segala kebenaran kita, maka pastilah tidak seorangpun kita yang mampu berdiri ditahta keadilan Allah. Tetapi ketika kita bercermin di cermin yang bersih, maka kita akan melihat segala noda di wajah kita. Standart penghakiman adalah kebenaran Allah dibandingkan dengan kebenaran kita. Itulah sebabnya tidak seorangpun berani berdiri di tahta pengadilan Allah jika bukan karena anugerah. Ini berarti hukuman atau kebinasaan bagi yang tidak percaya dan keselamatan (pahala) bagi yang ada dalam Kristus (Mt.10:32-33). Berbicara soal keselamatan, Allah adalah hakim yang adil, dan oleh karena keadilanNya dosa kita yang sudah ditmpakan kepada Yesus, itulah yang menyelamatkan kita. Tetapi bagi mereka yang tidak menerima Yesus maka pengadilan dengan penghukuman kekal. Tetapi ingat, orang yang lahir barupun dihukum oleh Tuhan, tetapi tidak berbicara soal keselamatan yang hilang. Jangan berpikir jika kita sudah lahir baru kita tidak menghadap tahta pengadilan Allah. Tetapi kita akan tetap selamat. Penghakiman disediakan juga bagi para malaikat (2 Ptr.2:4; Yudas.6). Penghakiman dilaksanakan bagi orang yang tidak pernah mendengar Injil atau tidak mengenal Allah (Kis.14:17; Rom.1:19-23; 2:14-16)

Siapakah objek penghakiman Allah? Pkh 11:9; 12:14; Rom 2:16 menyatakan bahwa kita semuanya objek dari penghakiman. Baik malaikat, lahir baru atau tidak, kenal Allah atau tidak, semua akan menjadi objek penghakiman Allah. Hakim berdiri di depan pintu (Yak.5:9) dan siap untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati (1 Ptr.4:5), orang yang percaya atau tidak. Menjadi pertanyaan, di mana letak penghakiman bagi orang percaya atau tidak? Mari melihat 1 Kor 3:10-15. Dari bagian tadi kita melihat bahwa jika memiliki dasar yang adalah Kristus, maka keselamatan mereka tidak akan hilang. Keselamatan orang lahir baru tidak pernah hilang, tetapi pertanggungan jawab akan hidup selama di dunia tetap ada. Dan hal ini berbicara soal pahala (2 Tim 4:7-8). Allah berdiri sebagai hakim yang adil (2 Kor 5:10-11; Yoh 5:24) dan bagaimana Allah membalaskan sesuatu sesuai dengan perbuatannya dan bagaimana bagaimana pengampunan secara cuma-cuma dan pembenaran oleh iman diselaraskan dengan penghakiman berdasarkan perbuatan (Wahyu.20:11-15; 1 Kor.3:10-15). Jangan sampai berpikir yang penting sudah lahir baru dan selamat. Tetapi Allah yang kita pelajari adalah Allah yang membalaskan tindakan kita dan kita harus pertanggungjawabkan. Kita akan selamat, tetapi alangkah lebih baik jika Allah berkata, ”Hai hambaku yang setia, masuklah dan duduklah makan bersama-sama dengan aku". Penghakiman itu juga dasarnya adalah pengetahuan. Pengetahuan bagi orang yang tidak tahu sama sekali dia tidak bisa menuntut Allah, tetapi yang memiliki pengetahuan akan dituntut lebih besar. Mari melihat Luk 12:47-48, dikatakan, ”Adapun hamba yang tahu akan kehendak tuannya, tetapi yang tidak mengadakan persiapan atau tidak melakukan apa yang dikehendaki tuannya, ia akan menerima banyak pukulan. Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan. Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut.” Jika kita banyak tahu, banyak karunia, ilmu atau apapun, maka kepada kita banyak dituntut. Inilah pengetahuan. Tahu kebenaran tetapi tidak dilakukan tuntutannya lebih besar. Inilah penghukuman Allah bagi kita. Oleh sebab itu jangan bermain-main.

Berbicara soal penghakiman, jadikan sang Hakim tersebut menjadi Juruselamat. Yesuslah Hakim sekaligus juga Pembela bagi orang percaya. Inilah jaminan keselamatan kita. Untuk keselamatan kita tidak pelu takut, tetapi mempertanggungjawabkan hidup adalah wajib bagi kita. Tujuan pertobatan atau lahir baru bukan hanya masuk Surga. Jika hanya sekedar masuk Surga maka kita bisa bermain-main dengan hidup kita. Masuk Surga adalah buah dari lahir baru. Tujuan percaya/lahir baru adalah hidup suci (Efesus 1:4, ”Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya”; band ayat 11). Tuntutan hidup suci dan penuh kebaikan supaya tidak kedapatan bercela.” (bd. Flp.2:12-13; Ef.1:4,11). Hal ini juga penting agar kita dapat berkarya nyata bagi Dia (Mt.25:31-46). Bukan hanya hidup suci, tetapi mari berkarya bagi Allah karena Dia adalah Allah yang adil bagi hidup kita. Sebagai anak-anak Tuhan yang sudah dikuduskan, mari kita senang untuk tidak berdosa. Jika kita hanya takut untuk berdosa, seolah-olah kita hanya memandang Allah sebagai hakim yang adil. Jauh dibalik itu kita ingin menyenangkan hati Tuhan oleh sebab itu kita senang untuk tidak berdosa.

Solideo Gloria!