Friday, March 2, 2012

Mission of God's People 5: REDEMPTION

[Kotbah ini dibawakan oleh Effendy Aritonang, SE pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat, 24 Februari 2012]

Dalam sebuah film Mr Bean, ada sebuah peristiwa dimana Mr. Bean sedang melihat-lihat sebuah lukisan. Lukisan itu adalah lukisan yang akan segera dipamerkan oleh museum di California. Ketika melihat-lihat lukisan tersebut, Mr. Bean bersin dan percikan bersinnya mengenai lukisan itu. Lalu kemudian dia ingin membersihkan bekas percikan itu dengan tissue. Sayangnya, niat baik itu justru membuat lukisan itu tercorat-coret. Lukisan itu menjadi rusak. Dia mencoba berbagai cara untuk memperbaiki lukisan yang sudah berantakan itu. Hasilnya nihil, bahkan makin hancur dan makin berantakan, dan semakin rusak parah.

Peristiwa dalam Kejadian 3 juga menceritakan kisah yang sama. Peristiwa dalam Kejadian 3 mengisahkan bagaimana potret bumi yang indah ini tiba-tiba berubah menjadi kacau balau oleh karena dosa, seperti lukisan agung yang mahal yang menjadi rusak dalam kisah Mr Bean. Sebuah peristiwa yang merusak gambar ciptaan yang telah dicipta dengan sangat baik. Bumi yang semula dicipta dengan baik makin hari menjadi makin rusak dan suram.

Yahweh, Sang Pencipta, begitu kecewa. HatiNya luka, sakit, dan perih. Ada dua pilihan yang dapat dilakukan atas ciptaan yang rusak itu. Allah bisa saja membuang hasil gambar yang sudah dirusak oleh iblis dan penuh dengan coretan dosa dan kejahatan dan menggantikannya dengan sebuah dunia baru. Ketika Mr. Bean sangat frustrasi dengan usaha yang terus gagal untuk memperbaiki gambar yang telah rusak itu, dia akhirnya menemukan ide brilian. Dia menyingkirkan gambar yang telah ternoda. Dia menggantinya dengan duplikasi dari lukisan asli. Membingkainya dengan bingkai lukisan asli. Tidak lagi terlihat dengan mata telanjang apakah lukisan itu asli atau bukan. Allah bisa saja mengambil cara seperti yang diambil Mr. Bean, mengambil jalan pintas dengan menghapus gambar yang jelek itu.

Tetapi Yahweh mengambil langkah yang berbeda dari Mr. Bean. Dia tidak memilih jalan frustrasi dengan menghancurkan ciptaanNya dan menggantinya dengan yang baru. Dia memilih jalan yang sulit dan panjang. Dia memilih jalan untuk memperbaiki lukisan itu sekalipun terus menerus lukisan itu dipenuhi corengan-corengan kejahatan dan dosa. Allah terus menerus meyakini bahwa lukisan itu akan dibuat menjadi lukisan yang baik. Ciptaan yang berantakan itu akan menjadi tindakan yang sempurna pada akhirnya nanti. Dia akan membuat alam semesta yang telah ternoda oleh dosa menjadi kembali bersih dan bahkan lebih dari sekedar amat baik. Dia akan membuatnya menjadi semesta yang sempurna. Inilah yang menjadi sebuah kisah panjang yang kita temukan mulai dari Kejadian sampai pada kitab Wahyu, yaitu kisah tentang Allah yang bekerja untuk memperbaiki dan membuat apa yang rusak berantakan menjadi sesuatu yang baik dan sempurna (the story of redemption).

Kisah panjang ini, yang dimulai dari pemilihan Abraham hingga Wahyu, merupakan kisah tentang karya Allah yang tidak menyerah dan tidak menyerahkan manusia, bumi dan semua alam semesta yang telah ternoda untuk dihancurkan sesuai dengan keinginan si jahat. Keinginan si jahat ialah supaya bumi, maha karya Allah, dibuang saja. Allah memilih untuk menebus dan membuat yang rusak menjadi sempurna.

Dalam PL kita melihat bahwa kejahatan manusia mengalami ekskalasi (makin lama makin jahat). Dalam Kej 11 kita melihat bahwa manusia menghadapi dua persoalan besar. Di satu sisi manusia menghadapi persoalan yang bersifat individu dimana dosa telah merasuk ke dalam setiap hati manusia dan tidak ada satu pun dalam elemen hidup kita yang bersih dari dosa. Di sisi lain, struktur masyarakat itu semakin kacau. Disorder and confusion menjadi karakter struktur masyarakat. Dunia ini penuh dengan peristiwa kriminal setiap harinya. Bahkan tayangan Buser (tayangan kriminal) menjadi tayangan yang dinikmati oleh orang-orang.

Yang menarik adalah, dalam berbagai peristiwa dalam PL dimana ada kekacauan dan tanda-tanda disorder itu, berulang kali kita menemukan munculnya harapan-harapan baru. Kejadian 5 menceritakan bagaimana makin lama kehidupan manusia semakin buruk dan jahat, tetapi pada Kejadian 6, setelah dikatakan bagaimana Allah begitu kecewa dengan apa yang dilakukan manusia, kita menemukan Nuh yang mendapat belas kasihan Allah. Ada terbit harapan. Betul bahwa semua manusia membawa ciri-ciri kejahatan, tetapi di dalam diri Nuh ada harapan baru. Kemudian dalam Kejadian 11 kita menemukan kekacauan di kota Babel. Tetapi di tengah situasi itu, Allah melihat dan memilih Abraham. Harapan baru tetap terbit. Nuh dan Abraham adalah contoh terbitnya harapan baru dalam zaman patriak. Musa, Yosua, dan para Hakim adalah orang-orang yang membawa harapan dalam masa keluaran dan pendudukan ke tanah Kanaan. Daniel beserta kawan-kawannya, Nehemia-Ezra dan Ester adalah orang-orang yang lahir dan memberikan harapan pada masa pembuangan sejarah Israel. Semua orang-orang ini semua menjadi semacam pelita harapan dalam kegelapan sejarah bangsa dan umat manusia secara keseluruhan. Setiap saat ada orang yang taat kepada Allah maka akan selalu terbit harapan bahwa kejahatan bukanlah kata akhir bagi peradaban manusia. Hal ini perlu kita renungkan. Mengapa kita perlu untuk tetap setia adalah karena itu merupakan tanda adanya harapan yang bukan saja berdampak bagi kita secara pribadi tetapi juga bagi peradapan dunia secara keseluruhan. Setiap kali ada kesetiaan di situ lahir harapan baru. Di dalam seluruh kisah redemption story selalu ada orang-orang yang memberikan lahirnya hope. Satu tema penting dalam redemption story adalah datangnya harapan di setiap zaman.

Setiap tanggal 14 bulan Nissan (sekitar minggu ke empat bulan Maret), orang Yahudi berkumpul dalam tiap-tiap rumah untuk makan malam bersama. Sebelum mulai makan, mereka akan menyanyikan Hallel atau Mazmur 113-114. Kemudian seisi rumah akan makan bersama, memakan roti tidak beragi dan daun-daun yang pahit dan daging domba serta minum anggur. Setelah selesai makan mereka akan menyanyikan Hallel, yaitu Maz 115-118. Begitulah orang Yahudi mengingat peristiwa penebusan nenek moyang mereka dari tanah Mesir. Penebusan merupakan motif dalam kitab Keluaran di mana Allah menebus umatNya dari penindasan, ketidakadilan, dan dari penjajahan bangsa Mesir. Pembebasan itu bukan saja memiliki makna sosial tetapi juga spiritual. Dalam kitab-kitab awal Keluaran, ketika bangsa Israel mengalami penindasan, mereka berseru-seru kepada Allah dan Allah mendengar seruan mereka. Redemption secara teknikal berarti menebus dan mengambil kembali apa yang telah hilang atau dirampas dengan membayar harga yang pantas. Eksodus (Keluaran) dari Mesir merupakan analogi atau lebih tepat bayang-bayang akan datangnya penebusan yang universal atas seluruh umat manusia. Secara sosial, pembebasan itu adalah pembebasan dari kejamnya penindasan bangsa Mesir atas bangsa Israel. Secara spiritual bangsa Israel mengalami penindasan di tangan orang Mesir yang tidak mengenal Allah. Bangsa Mesir menganggap bahwa Firaun adalah wakil dari dewa mereka. Dan bangsa ini mengajak bangsa Israel untuk menyembah allah yang lain selain YHWH. Dalam Kel 4:22-23b Allah berkata, “Maka engkau harus berkata kepada Firaun: Beginilah firman TUHAN: Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung;4:23 sebab itu Aku berfirman kepadamu: Biarkanlah anak-Ku itu pergi, supaya ia beribadah kepada-Ku.” Ada pembebasan secara spiritual utnuk beribadah kepada Allah bagi bangsa Israel. Sekali lagi, peristiwa Keluaran dari Mesir merupakan analogi atau lebih tepat bayang-bayang akan datangnya penebusan yang universal atas seluruh umat manusia.

1500 tahun kemudian bayang-bayang itu kemudian terlihat nyata ketika Allah berinkarnasi dalam Yesus Kristus. Saya terkadang berpikir mengenai hal yang menarik dari Allah bahwa Allah itu adalah Allah yang ‘lambat’ bekerja. Mari bayangkan perlu waktu 1500 tahun dari pembebasan Mesir sampai Yesus datang. Kesabaran adalah satu ciri yang bisa kita lihat dalam diri Allah ketika bekerja dalam story of redemption. Dia sabar memperbaiki hal-hal yang telah rusak dengan cara yang kelihatannya sangat hopeless. Tetapi, setiap Allah menemukan satu orang setia maka ada harapan di sana. Begitulah Allah terus bekerja dari waktu ke waktu sepanjang zaman sehingga akan menghasilkan karya yang brilian. Misi adalah undangan dari Allah yang bekerja dengan penuh kesabaran. Orang yang tidak sabar biasanya tidak punya tempat dalam misi Allah. misi adalah pekerjaan yang membutuhkan kesabaran. Jika kita ingin melihat kantor kita diubahkan, bekerjalah dengan sabar. Ada banyak dosa di dunia ini yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan dosa. Allah berkata, “Just do it slowly and patiently.” Hampir 2000 tahun yang lalu Yesus berkata bahwa Dia akan kembali, dan sampai sekarang belum datang. 2000 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ada panggilan bersabar untuk bekerja bersama dengan Allah.

Setelah 1500 tahun, bayang-bayang tersebut memiliki wujud nyata di dalam Allah yang berinkarnasi dalam Yesus. Inkarnasi adalah pesan yang sangat dalam secara teologis. Secara teologis inkarnasi itu berarti bahwa Allah secara kasat mata hadir di tengah-tengah sejarah manusia. Allah yang sangat tinggi dan kita kenal dengan Allah yang transenden, menjadi Allah yang bisa disentuh dan dipeluk. Sesuatu yang tidak masuk akal sebenanya, tetapi itulah Allah yang kita kenal di dalam Alkitab. Allah hadir dalam sejarah manusia. Allah bersolidaritas dengan manusia yang telah mengkhianatiNya. Inkarnasi adalah wujud nyata hadirnya Kerajaan Allah di tengah dunia dalam wujud yang sangat mengejutkan kita. Kerajaan itu tidak datang dengan pedang tetapi dengan cara yang sangat lembut. Kerajaan Allah datang ingin membawa perubahan tetapi dengan cara yang membuat orang berkata, “tidak mungkin Allah bekerja dengan cara itu!”. Kerajaan Allah datang ke dalam dunia dalam wujud yang tidak diharapkan oleh manusia. Inkarnasi itu sendiri menjadi model misi bagi umat Allah di tengah-tengah dunia, bagaimana manusia dipanggil Allah kelak untuk bermisi.

Inkarnasi yang mencapai klimaksnya dalam peristiwa penyaliban dan kebangkitan. Inkarnasi memberikan kepada kita petunjuk bagaimana misi seharusnya kita kerjakan sebagai umat Allah. Inkarnasi menjadi patron yang baik bagaimana seharusnya bermisi.

Inkarnasi memberikan kepada kita sebuah indikasi bahwa misi itu bukan sebuah tindakan abstrak dari jarak jauh. Kita tidak bisa bermisi jika kita tidak terlibat secara langsung dan mencemplungkan diri kita kepada apa yang ingin kita tranformasi. Misi itu tidak bisa dilakukan dengan remote control tetapi menuntut kita untuk datang dan terlibat di dalamnya. Misi haruslah menjadi sebuah karya yang membumi.

Misi adalah sebuah tindakan solidaritas dengan mereka yang kita layani. Jika kita melihat orang miskin, kita cukup hanya berdoa dan simpati saja. Kita harus memiliki solidaritas dengan mereka, sama seperti Yesus yang solidaritas dengan cara menjadi manusia. Penulis Ibrani mengatakan kelak tidak ada kesusahan manusia yang Allah tidak rasakan karena Allah itu adalah Allah yang berinkarnasi dan solidaritas.

Inkarnasi juga adalah tindakan yang humble dan low profile. Allah menjadi manusia sangat sulit untk dicari bandingannya. Bahkan manusia menjadi tikus pun tidak dapat dibandingkan dengan Allah menjadi manusia. Allah memilih kehadiranNya dengan tidak dilihat orang dan Ia memulai pelayananNya dari daerah pinggiran, bukan dari Yerusalem. Yesus memulai dari Galilea, yang merupakan darerah paling jauh dari semua daerah pinggiran dari Israel dan paling jauh dari Yerusalem. Secara simbolik, orang Israel percaya semakin dekat mereka ke Yerusalem, semakin dekat mereka dengan Allah dan kekuasaan. Tetapi Yesus memilih hadir jauh dari sana. Ini adalah reinterpretasi yang sangat radikal mengenai apa yang penting. Sering sekali kita berpikir bahwa untuk mengubah Indonesia ini kita harus pergi ke Jakarta (sebagai ibu kota). Jika kita bisa menguasai Jakarta maka kita akan bisa mengubah Indonesia. Ini adalah pemikiran yang salah. Yesus hadir di tempat dimana tidak ada orang yang memperhatikan sama sekali. Sebuah kehadiran yang low profile sekali.
Misi itu adalah sebuah tindakan berkorban. Di kayu salib kita melihat bahwa misi hanya bisa diselesaikan jika kita mau berkorban. Tanpa keinginan atau kerelaan berkorban tidak akan ada misi yang diselesaikan. Apakah kita ingin melihat perubahan dan transformasi terjadi (apakah di kantor atau di dalam masyarakat? Jika iya, pertanyaan sebenarnya adalah. Apakah kita mau berkorban untuk itu semua? Kita melihat banyak kekacauan dan kita berkata kepada Tuhan bahwa hal itu perlu diperbaiki. Ya, dan pertanyaannya adalah maukah kita berkorban untuk itu.

Penebusan di Mesir melahirkan sebuah umat yang baru. Di gunung Sinai, Israel diformasi menjadi sebuah bangsa. Sebuah bangsa yang hidup dengan perjanjian dengan Allah. Demikian pula pula penebusan di Kalvari melahirkan umat yang hidup dengan perjanjian yang ditandai dengan materai, Roh Kudus. Sebagai umat tebusan kita dipanggil untuk membawa karya penebusan Kalvari kepada seisi dunia bahkan seluruh semesta. 2 Kor 5: 18-19 berkata, “Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami”, dan Kol 1:19-20 berkata, “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus”.

Dosa dan kejahatan telah merusak seluruh bumi ini. Tidak ada satu sudut di bumi ini dimana kita tidak bisa menemukan kejahatan. Dosa telah memporak-porandakan ciptaan yang baik ini. Tetapi di dalam Yesus, semua orang telah diperdamaikan. Eksodus berbicara soal penebusan yang terpusat kepada satu bangsa dan penebusan di Kalvari adalah penebusan yang membuat seluruh manusia mengalami sebuah pembaharuan dan pembebasan. Dosa memberi efek kosmik dan di dalam darah Yesus, semua diperdamaikan kepada Allah. Di dalam Yesus Kristus kita dibawa kepada pengharapan yang baru bahwa sama seperti dosa telah meporak-porandakan seluruh dunia yang tadinya baik dan indah, demikian juga di dalam Yesus, melalui kehadiran dan pengorbananNya, akan membuat dunia ini kembali punya harapan. Jikalau dalam PL ada harapan-harapan baru, maka puncak harapan itu ada ketika Yesus datang ke dalam dunia.

Di dalam kitab keluaran Allah melahirkan umat yang baru, yaitu Israel, dan kepada mereka Allah memberikan titipan agar sebagai bangsa mereka membawa nilai-nilai Yahwh kepada dunia. Agar mereka bisa menjadi contoh bagi semua bangsa lain bagaimana seharusnya mereka hidup. Dan sekarang Allah terus mengerjakan dengan intens yang sama lewat umat yang baru yang kita sebut dengan gereja. Tempat dimana orang dipersatukan dengan Allah, menemukan rekonsiliasi dengan sesama, tempat dimana orang bisa menerjemahkan apa artinya hidup sebagai orang yang ditebus oleh Yesus.

Misi adalah panggilan secara komunial, bahwa kita dipanggil oleh Allah untuk membawa karya penebusan Yesus, yang bukan saja memberikan keselamatan secara pribadi, tetapi memberikan harapan bahwa bumi dan seluruh isinya (termasuk strutur social yang sudah ambruk) akan dipulihkan kembali dengan kuasa Tuhan. Dengan prinsip yang sama Dia akan bekerja dengan passion dengan setiap orang yang mau meresponi dengan ketataatan dan kesetiaan. Setiap kali ada orang yang meresponi Tuhan dengan kesetiaan dan ketaatan, maka bumi ini memiliki harapan yang baru dan kejahatan bukanlah kata akhir bagi peradapan manusia dan dosa bukan kata akhir bagi seluruh umat manusia. Tetapi Tuhanlah yang menjadi kata akhir. Redemption dan salvationlah yang menjadi kata akhir. Dan klimaks dari redemption adalah New Creation (langit dan Bumi yang baru).
Solideo Gloria!

Mission of God's People 4: FALL

[Kotbah ini dibawakan oleh Effendy Aritonang, SE pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat, 10 Februari 2012]

Topik hari ini adalah tentang fall. Fall adalah sebuah istilah yang sering diterjemahkan dengan kejatuhan. Kejatuhan kerap dipakai oleh para teolog sebagai kata yang menggambarkan peristiwa yang dicatat dalam Kejadian pasal 3.

Ada banyak pertanyaan baik teologis maupun filosofis disekitar narasi ini. Sebagian orang bertanya apakah peristiwa ini merupakan peristiwa historis atau bukan? Apakah benar peristiwa ini pernah terjadi dalam ruang dan waktu yang kita kenal atau hanya kisah yang bersifat simbolik? Benarkah memang ada ular yang dapat berbicara? Benarkah ular sebelum Kejadian 3 merupakan binatang yang berkaki? Apakah Adam memang benar ada dalam sejarah dan merupakan manusia pertama? Jangan-jangan penulis sedang berbicara tentang karakter yang imajinatif.

Selain pertanyaan yang bersifat teologis, ada juga pertanyaan yang bersifat etis. Jika Allah memang menghendaki sesuatu yang baik bagi manusia, mengapa Allah tidak mencegah Hawa ketika ia akan mengambil buah di pohon yang ia lihat baik dan menarik perhatiannya? Mengapa Allah membiarkan hal itu terjadi dan menuntut mereka bertanggung jawab atas hal yang bisa dicegah oleh Allah. semua pertanyaan ini adalah pertanyaan yang valid. Jika benar Allah adalah baik mengapa ia membiarkan tragedi itu terjadi? Jikalau benar Allah menghendaki kebaikan bagi umat manusia, mengapakah dia tidak mencegah pelanggaran itu ketimbang menuntut pertanggungjawaban dari Adam dan Hawa?
Belum lagi pertanyaan yang bersifat folisofis seperti, jika kita menyebut kejatuhan, kejatuhan yang bagaimana atau jatuh dari mana dan jatuh kemana?

Apabila kita membaca kisah dalam Kejadian 3 ini, kelihatannya si penulis kitab ini tidak berminat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Dia kelihatannya tidak sedang membuat tulisan atau kitab yang bertujuan dan akhirnya bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang sering sekali mengganggu alam pikiran, rasa adil, atau perasaan etika kita. Penulis memiliki perspektif lain yang ingin disampaikan kepada kita. Kita kelihatannya akan terus dibiarkan tanpa bisa menjawab pertanyaan itu. Ada banyak tulisan-tulisan orang yang mencoba dan mendiskusikan tentang apa yang kita bicarakan tadi. Jadi kita pada hari ini diharapkan memiliki perspektif lain. Kita tidak sedang berusaha untuk memberikan jawaban-jawaban dari semua pertanyaan di atas. Kita dapat dengan pasti mengataan bahwa semua pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu para teolog dan ‘orang awam wanna be teolog’ bukanlah pertanyaan yang mendasari penulisan kisah kejatuhan itu sendiri.
Di dalam kitab Kejadian kita bisa melihat bagaimana si penulis mengisahkan ada keadaan yang berbeda sebelum peristiwa kejatuhan. Kejadian pasal 3 seperti sebuah devider dari satu keadaan ke keadaan yang baru dan berbeda. Kejadian pasal 3 menjadi satu batas yang memisahkan satu zaman sebelumnya dengan zaman yang baru. Dalam Kej 1-2 kita dapat menemukan bagaimana Allah menciptakan segala sesuatunya sungguh amat baik, sempurna, indah, dan harmonis. Hubungan manusia dan isterinya baik dan mesra. Hubungan Allah dan manusia akrab. Allah berjalan bersama-sama dengan manusia di taman itu. Hubungan manusia dan alam juga harmonis. Manusia bekerja mengelola kebun Eden dengan baik dan tidak ada keluhan atas kerja yang dia lakukan. Kejadian pasal 3 adalah sebuah interupsi terhadap potret dunia ciptaan yang indah dan harmonis tersebut.

Jadi bisa disimpulkan bahwa fall itu adalah interupsi terhadap potret ciptaan sebelumnya, yang adalah ciptaan yang baik, indah, dan harmonis sekarang menjadi rusak, tidak indah, dan konflik antar manusia. Setelah peristiwa Kejadian, kita akan melihat bagaimana konflik makin lama makin banyak, bukan hanya satu dengan satu, tetapi antar kelompok dengan kelompok lain. Kisah peperangan menjadi kisah yang abadi dalam hidup manusia di sepanjang abad setelah Kej 3. Kita tidak pernah tahu berapa lama Kej 1 sampai ke Kej 3 sebagai sebuah kronologis, tetapi kita melihat setelah Kej 3 waktu itu menjadi panjang sekali.

Kejadian pasal 3 menegaskan beberapa hal, yaitu:

Pertama. Kata jatuh atau fall itu tidak ada disebutkan secara literal dalam Alkitab. Itu adalah sebuah konsep (sama seperti konsep Tritunggal). Apa yang diceritakan teks ini kepada kita bahwa Adam dan Hawa telah melakukan pelanggaran terhadap perintah Allah. Ini adalah pelanggaran. Jika kita melihat kita akan berpikir bahwa kasus ini adalah kasus yang sederhana. Jadi, kasusnya sederhana dimana ada seorang perempuan yang melihat sesuatu yang sangat indah. Ketika ia melihat dan mengambilnya masalah besar terjadi. Ini sepertinya perkara kecil, dimana Hawa mengambil buah dari pohon diantara ribuan pohon yang ada di taman itu. Kesalahan Hawa adalah melanggar Firman Tuhan.
Pelanggaran ini membawa sebuah konsekuensi yang sangat fatal bukan saja terhadap diri mereka sendiri namun juga terhadap semua hal lain yang berkaitan dengan diri Adam dan Hawa. Pelanggaran yang mungkin kita sebut kecil secara fisik membawa kejatuhan yang mempunya efek fisik dalam diri manusia. Secara fisik, kejatuhan membuat manusia menjalani proses menuju keausan dan berakhir pada kematian. Dari debu kembali menjadi debu. Perjalanan hidup kita senantiasa dibayangi teror sakit penyakit dan kematian.

Pelanggaran membuat manusia yang dikaruniai kemampuan rasional, kemudian memakai kemampuan rasionya itu untuk merasionalisasi dan menormalisasi semua kejahatan dan pelanggarannya. Kejadian pasal 3 mengisahkan dimana Adam dan Hawa mendemonstrasikan kemampuan mereka untuk berani berdebat, berargumen dengan Allah, pencipta mereka. kejadian pasal 3 mengubah pola hubungan yang patuh menjadi mempertanyakan perintah dan wewenang Allah. Ada banyak perintah Allah yang mulai dipertanyakan karena kita memakai rasio kita untuk membenarkan diri, membenarkan apa yang salah, atau bahkan lebih parah, memikirkan sebuah grand design untuk melekukan kejahatan yang brilian, yang bisa tidak ketahuan.

Hal ini membuat kita tidak terkejut melihat politisi pintar berargue. Mereka belajar dari nenek moyang yang pertama. Jika mereka berani berdebat keapda Allah, apalagi kepada hukum, tentu saja lebih mudah. Jika orang berasumsi bahwa Allah yang Maha Tahu itu tidak tahu pelanggaran kita, apalagi orang yang tidak maha tahu.

Secara sosial, kejatuhan manusia membuat manusia menjadi mahluk yang egois. Kejatuhan membuat seorang suami (Adam) yang selama bertahun-tahun begitu terpesona dengan kecantikan isterinya, akhirnya membuat isterinya menjadi kambing hitam. Dia tidak bersalah mengatakan ‘perempuan ininya Tuhan biang kerok persoalan ini’. Adam tidak merasa sungkan untuk menyalahkan isterinya, demi menyelamatkan dirinya sendiri. Ini adalah jawaban yang sangat egois. Hubungan antar manusia berubah menjadi hubungan transaksional dan oportunistik. Kita selalu bertanya apa pentingnya dan untungnya yang kita dapat dari orang lain. Bahkan hubungan kasih yang sangat mulia dipenuhi benih-benih yang bersifat transaksional. Berapa banyak laki-laki yang memikirkan ulang hubunganya dengan perempuan karena ada perempuan lain yang dipandang lebih dari yang perempuan pertama. Dan akhirnya memutuskan perempuan pertama dengan membuat alasan logis dan ‘rohani’ dengan menyatakan bahwa dia semakin lama tidak sejahtera dengan perempuan pertama ini. Ada sesuatu yang rohani yang terlibat dalam kejahatan bodoh ini dengan mengatas namakan ‘aku tidak sejahtera dan tidak yakin dengan doaku dulu’. Kita selalu pintar mencari alasan dan cara-cara yang baik untuk membenarkan kekeliruan kita.

Di kemudian hari, seorang abang berkata ‘Apakah aku penjaga adikku’ sebagai upaya bodoh untuk berkelit dari dakwaan Sang Maha Tahu. Hubungan manusia dengan sesama dan lingkungannya menjadi hubungan utilitarian, kecenderungan untuk saling memanfaatkan. Mandat kita adalah penata layan, dan kejatuhan telah membuat kita menjadi lintah darat yang hanya ingin menyedot keuntungan pribadi dari semua bentuk hubungan. Kita tidak pernah memikirkan apakah tindakan kita ini memberikan manfaat yang baik bagi orang lain atau lingkungan. Tidak pernah! Hubungan kita sangat berpusat kepada diri sendiri. Sepanjang itu baik bagi saya akan tetap dilakukan, jika hal itu tidak baik bagi saya, saya tidak akan lakukan. Konsep berkorban dan melayani menjadi konsep yang asing bagi manusia.

Secara spiritual kita menjadi terasing dari Sang Khalik. Sejak Kej pasal 3, kehadiran Allah menjadi kehadiran yang ditakuti, bukan lagi yang dinanti-natikan. Kedatangan Tuhan adalah kedatangan yang mengerikan, bukan lagi kedatangan yang menyenangkan. Dalam Kej pasal 2, manusia dan Allah bisa bersama-sama mengelilingi taman, tetapi Kej 3 mendengar Allah saja membuat manusia berlari dan bersembuni. Allah menjadi oknum yang harus dihindari bukan dihampiri.

Kedua. Kejatuhan bukanlah pengalaman atau peristiwa yang terjadi secara tidak sengaja. Kejatuhan, yang adalah pelanggaran Adam dan Hawa, adalah sebuah tindakan yang terjadi dalam keadaan sadar. Jadi kata jatuh tidak sama dengan terjatuh. Itu sebabnya adalah wajar apabila Allah meminta pertanggungjawaban dari si pelanggar perintah Allah. Hal ini kemudian menjadi dasar berpikir yang sangat penting dalam Alkitab, yaitu dosa adalah sebuah tindakan yang pertama sekali dikaitkan dengan pelanggaran terhadap Allah dan perintahNya. Mungkin di dalam pengalaman pribadi kita juga seperti itu. Agak susah kita mengatakan ada dosa yang tidak disengaja. Kapan kita berdosa dalam keadaan tidak sengaja? Tetapi yang sering terjadi adalah kita mengerti itu adalah dosa dan memilih untuk melakukannya. Jadi dosa adalah tindakan sadar. Alkitab mengatakan bahwa dosa itu pertama sekali dikaitkan dengan pelanggaran yang dilakukan atas kesadaran manusia untuk melawan atau mengabaikan atau menihilkan atau pura-pura tidak tahu bahwa Allah pernah berkata ‘Tidak boleh’. Kejatuhan bukan sebuah kecelakaaan tetapi tindakan yang diambil Adam dan Hawa dengan kesadaran penuh. Itu sebabnya Allah menjatuhkan konsekuensi yang serius.

Ketiga. Kitab Kejadian menceritakan bahwa dosa itu mengalami ekskalasi. Dosa itu semakin lama semakin besar. Setelah kejadian 3, kita akan menemumakan kisah yang penuh dengan tragedi demi tragedi. Kejahatan bukan lagi hanya mencengkeram pribadi namun juga merambah kepada komunitas dan hingga kepada bangsa dan antar bangsa. Komunitas menjadi komunitas yang hidup dalam kejahatan. Bahkan kejahatan melinggkupi seluruh bumi (Kej 6), dimana akhirnya Allah berencana memusnahkan bumi (dan hal ini dilakukan dengan membersihkan bumi dengan air bah).
Dalam Perjanjian Baru, Rasul Paulus kemudian menuliskan dalm Rom 1:18-23 dimana semua totitas manusia telah terjangkiti atau terinfeksi oleh dosa sebagai akibat dari kejatuhan. Semua orang! (ay 28-29). Kemudian di dalam Roma 8:20-21 dikatakan, “8:20 Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, 8:21 tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah”. Menurut Paulus efek dosa tidak saja dirasakan oleh manusia, tetapi elemen-elemen lain dari ciptaan yang disebut Paulus sebagai mahluk-mahluk, semua mahluk. Dosa memiliki efek yang universal atau lebih tepatnya bersifat kosmis. Seluruhnya membawa tanda-tanda kejatuhan. Dosa menjadi sesuatu yang bersifat total dan universal.

Kelau kejatuhan itu memberi dampak yang seluas dan sedalam yang disaksikan Alkitab, maka jalan keluar atas efek kejatuhan itu haruslah sangat kuat dan berkuasa dan juga bersifat kosmik. Dosa telah memasuki seluruh aspek orang individu demi individu. Dosa juga memberikan efek negative terhadap seluruh ciptaan yang lain. Semua mahluk sedang menanti-nantikan pembebasan mereka. Apkah yang Allah lakukan kepada dunia yang hancur lebur karena dosa ini? Di sinilah kita berbicara soal misi Allah bagi dunia dan juga misi yang membawa redemption bukan saja hanya kepada individu yang secara total telah berdosa, tetapi redemption juga berbicara tentang seluruh semesta yang telah dijangkiti oleh dosa.

Fall adalah sesuatu yang terjadi mencakup seluruh keberadaan kita, maka kalau bicara soal solusi, solusi itu harus sangat kuat, perkasa, untuk bisa melawan dosa yang telah menghancurkan totalitas hidup kita dan dosa tang telah merusak dan merasuki seluruh hidup ciptaan.

Solideo Gloria!

Mission of God's People 3: CREATION

[Kotbah ini dibawakan oleh Esni Naibaho, M, Div pada ibadah MBA, Jumat, 3 Februari 2012]

Misi bukanlah soal bicara masalah pribadi dan mengajak orang bertobat. Bukan juga sekedar mengirim orang keluar negeri sebagai misionaris, tetapi meliputi banyak hal dimana maksud dan tujuan Allah akan digenapi. Oleh sebab itu penting sekali memahami di bagian mana kita terlibat di dalam misi Allah atas dunia ini.

Alkitab adalah buku yang berisikan grand story, suatu kisah metanaratif yang dimulai dari kisah dalam kitab Kejadian sampai kepada kitab Wahyu, sebuah kisah mengenai Allah dimana kita, manusia, terlibat di dalamnya. Alkitab bukan hanya berisikan etika, teologia, atau pengajaran, tetapi keseluruhan alkitab sedang bercerita tentang kisah besar Allah atas dunia dan tujuan Allah atas dunia tersebut.

Ada dongeng pada orang Hindu dimana ada enam orang buta yang ingin menggambarkan bagaimana gajah itu sebenarnya. Orang buta yang pertama mengatakan bahwa gajah itu sebenarnya sebuah dididing, karena dia meraba bagian yang rata dari badan gajah. Orang kedua mengatakan bahwa gajah itu seperti ular karena dia meraba belalainya. Orang buta yang memegang gadingnya mengatakan bahwa gajah itu seperti panah. Orang buta lainnya yang memegang kakinya mengatakan bahwa gajah itu seperti pohon. Orang buta kelima yang memegang telinga mengatakan bahwa gajah itu hanyalah telinga besar. Sedangkan orang keenam yang memegang ekornya mengatakan bahwa gajah itu seperti jubah berbulu yang dipilin. Tentu saja kita bisa melihat bahwa tidak ada satu pun dari keenam orang buta itu yang benar. Semuanya salah, tetapi jika disatukan maka kita melihat bahwa keenam orang buta sedang menceritakan keseluruhan atau metanarasi tentang gajah.

Ilustrasi ini mengingatkan kita bahwa pendekatan kita akan akan Alkitab sangat mungkin seperti enam orang buta tadi, dimana kadang kita lebih suka membaca PB dari PL, lebih suka membaca Injil daripada Wahyu, dst. Jika kita berpikir bahwa kita memahami keseluruhan Alkitab dengan hanya membaca PB, maka kita salah besar. Jika kita ingin memahami misi Allah maka kita harus memulainya dan memaknai kisah tersebut dari awal sampai akhir. Dengan memahami kisah penciptaan maka kita bisa memahami konsep misi Allah atas dunia dan hal ini akan mempengaruhi respon kita terhadap masalah bumi. Kemudian kita akan disadarkan bahwa sesungguhnya Allah tidak hanya peduli dan ingin menyelamat manusia saja melainkan seluruh ciptaanNya. Kisah alkitab adalah Allah yang menciptakan alam semesta, yang kemudian melihatnya dirusak oleh kejahatan dan dosa, berkomitmen kepada penebusan dan pemulihan total dari seluruh ciptaan, menggenapinya di muka melalui salib dan kebangkitan Yesus, dan akan membawanya kepada penggenapannya yang mulia dalam ciptaan yang baru saat Kristus kembali (C. Wright).

Mari melihat Kej 1-2:4. Pada ay 1 dikatakan, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’. Bagian ‘pada mulanya’ menggambarklan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Dengan kata lain menggambarkan asal mula dari segala sesuatu. Inilah awal sejarah dimulai. ‘Allah’ menggambarkan ada satu pribadi yang disebut secara menonjol. Dialah sang pencipta, sumber dari segala kreatifitas dan pemilik tujuan penciptaan. Kemudian ‘langit dan bumi’ menggambarkan keseluruhan bumi.

Allah menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada (creating out of nothing). Artinya Allah tidak menggunakan bahan atau materi yang telah ada untuk mencipta. Melalui perkataan yang keluar dari mulut Allah dijadikanNya ciptaanNya dan dengan tanganNya dibentukNya manusia. Ada tindakan kreatif Allah mendesign semua ciptaanNya sesuai dengan fungsi dan perannya. Misalnya dalam ay 6 kita melihat, “Berfirmanlah Allah: "Jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari air.” Ketika Allah menciptakan cakrawala, maka Allah sendiri sudah menetapkan untuk apa cakrawala itu diciptakan. Dia sudah memberikan fungsi atau peran, yaitu memisahkan air dari air.

Allah juga mendesign adanya hubungan dan komunikasi antara pencipta dengan ciptaan (manusia dan isi bumi---Kej 2:4b-25). Kemudian Allah memberkati dan berbicara langsung kepada manusia itu: “beranakcucu dan bertambah banyaklah…..” dan memberi tanggung jawab untuk mengelola ciptaan lainnya. Natur dari hubungan antara manusia dengan Allah diekspresikan melalui bagaimana manusia memelihara dan mengelola ciptaan Allah. Dunia bukan sekedar tempat untuk singgah atau melakukan aktifitas semata, tetapi tempat kita hidup dan mengelola dunia ini.

Setelah Allah menciptakan dan selesai mengerjakan penciptaan, Allah mengagumi hasil karyanya ‘sungguh amat baik’. Ay 31 mengatakan, “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.” Kata ‘baik’ dalam konteks ini sangat luas. Kata baik disini bukan sekedar ekspresi kita melihat keindahan sesuatu dengan kata lain mengangumi sesuatu, seperti kita mengangumi Danau Toba. Tetapi, ‘sungguh amat baik’ adalah sebuah pernyataan bahwa semua yang telah dijadikanNya itu cocok dan tepat dengan tujuan diciptakanNya ciptaan tersebut (Claus Westermann). Hal ini menjadi sebuah refleksi bagi kita bagaimana kita memainkan peranan kita. Kita diciptakan Allah untuk mengerjakan apa yang Tuhan inginkan seturut dengan kehendakNya. Ingat, Tuhan tidak asal mencipta, tetapi menciptakan sesuai dengan tujuanNya.

Kemudian mari melihat kisah penciptaan dalam Ayub 38:1-18 – pasal 41. Dalam bagian ini kita melihat bagaimana Allah menantang hikmat dan pengetahuan Ayub tentang seberapa mampunya Dia menyelami hikmat dan tindakan Allah khususnya melalui karya penciptaanNya. Dalam kisah ini juga kita melihat bagaimana semua ciptaan Tuhan berada pada posisi yang paling pas. Jika Tuhan sedemikian menciptakan bumi ini, tentu saja Tuhan tidak akan mengabaikan bumi ini begitu saja dan hanya peduli pada manusia. Allah sangat peduli dengan ciptaanNya yang lain.

Dalam maz 148 juga kita menemukan kisah penciptaan. Pasal ini menggambarkan mengenai Pencipta dan ciptaan. Kita melihat bahwa seluruh memuji Allah dan hal ini berarti bahwa Allah adalah pusat dari seluruh ciptaan. Seluruh ciptaan menjadi alat pemujian kepada Allah. Dalam Maz 19:1-8 juga kita melihat bagaimana ciptaan mencerminkan kemuliaan Allah. Kita sebagai manusiapun, ketika memuliakan Tuhan tidak cukup dengan kata-kata. Tetapi dalam setiap apa yang kita kerjakan dalam kehidupan sehari-hari, kemuliaan Allah juga seharusnya terpancar.

Ada empat implikasi ketika kita belajar kisah penciptaan. Pertama, bagi Allah semua ciptaanNya tepat sesuai dengan rancanganNya dan memuaskan hatiNya. Oleh sebab itu kita harus menghargai bumi Allah ini dan memperlakukannya sesuai dengan tujuan Allah. Kedua, dalam mewujudkan maksud penciptaanNya, Allah menetapkan manusia menjadi rekan sekerjanya mengelola dunia. Sebagai umatNya kita harus berada di barisan paling depan untuk melestarikan alam dan menjaga kesejahteraan ciptaan lainnya. Ada sebuah harapan yang dalam dari Allah kepada manusia untuk menjadi pengelola bumi ini. Apakah orang yang lebih peduli akan alam ini adalah orang yang belum di dalam Tuhan? Ini adalah sebuah hal yang sangat ironi jika benar-benar terjadi.

Ketiga, hubungan tripartite antara Allah-manusia-bumi. Manusia sebagai wakil Allah atas semua ciptaan sekaligus wakil semua ciptaan dihadapan Allah. Sejak dari semula Allah mendesign manusia untuk hidup di dalam dan bagi dunia. Keempat, Allah memperdulikan apa yang terjadi di bumiNya. Dia mendengar dan merasakan erangan dan jeritan ciptaanNya sama seperti Dia mendengar jeritan orang miskin, tertindas, dan terabaikan serta mengerti maksud bahasa kita (Steven Bouma). Tuhan peduli, sama seperti Dia memahami kita, Dia juga memahami ciptaanNya. Jika orang Kristen tidak melihat perusakan yang terjadi terhadap alam sebagai jeritaan ciptaan dan kita tidak bisa mewakili ciptaan berseru kepada Allah, mungkin kita sudah melupakan fungsi kita sebagai pengelola bumi ini.

Bagaimana mengelola bumi? Tugas manusia yang ditetapkan Allah terhadap bumi (Kej 1:26-28+ 2:15) adalah menaklukkan dan berkuasa; mengerjakan (‘amar’) dan memelihara (“samar’). Menaklukkan artinya bahwa Allah memberi kuasa dan kemampuan bagi manusia untuk mengelola bumi ini dan mengarahkannya sesuai dengan tujuan yang dikehendaki Allah. Tetapi akibat dosa, tugas ini tidak berjalan dengan baik. Kata ‘mengerjakan’ memiliki arti sebenarnya yaitu melayani. Jadi ketika manusia diminta mengerjakan maksudnya adalah untuk melayani. Jadi sikap ini jauh dengan yang namanya menghancurkan. Demikian juga dengan ‘memelihara’ memiliki arti menjaga agar sesuatu aman. Berarti berkaitan dengan usaha melindungi, memperhatikan dan mengawasi.
Mari melihat pengelolaan dan pemeliharaan bumi ala Israel (Imamat 25). Dalam Imamat ada peraturan bagaimana orang Israel harus bersikap kepada tanah. Im 25:3-5 dikatakan, “3 Enam tahun lamanya engkau harus menaburi ladangmu, dan enam tahun lamanya engkau harus merantingi kebun anggurmu dan mengumpulkan hasil tanah itu, 4 tetapi pada tahun yang ketujuh haruslah ada bagi tanah itu suatu sabat, masa perhentian penuh, suatu sabat bagi TUHAN. Ladangmu janganlah kautaburi dan kebun anggurmu janganlah kaurantingi. 5 Dan apa yang tumbuh sendiri dari penuaianmu itu, janganlah kautuai dan buah anggur dari pokok anggurmu yang tidak dirantingi, janganlah kaupetik. Tahun itu harus menjadi tahun perhentian penuh bagi tanah itu”. Jadi tanah diberi kesempatan untuk beristirahat selama satu tahun sebagai sabat bagi tanah.

Ada beberapa tindakan praktis yang bisa kita lakukan dalam mengelola bumi. Mari terlibat dan mendukung dan ikut serta dalam program penghijauan, apakah dengan penanaman pohon atau menanam tanaman dalam pot jika kita tidak memiliki lahan yang luas. Kita juga bisa terlibat dengan menjaga kebersihan lingkungan. Hal ini bisa lebih lagi kita lakukan dengan memilah sampah-sampah yang akan kita buang. Kemudian mari membangun gaya hidup yang benar, misalnya dengan hidup hemat (bukah hanya uang, tetapi juga energy lainnya). Kemudian kita juga aktif terlibat dalam aksi dan diskusi berupa tulisan dan kegerakan.

Mari merefleksikan beberapa hal akan hal ini. Kapan kita pernah memikirkan tentang alam dan dunia ciptaan dan apa yang muncul dalam benak kita waktu memikirkannya? Apa reaksi kita terhadap tindakan “jahat manusia atas bumi? Apakah misi Allah juga adalah untuk mengembalikan dunia kepada tujuannya semula? Kerinduan Allah atas dunia ini, sampai ia mengirimkan Anaknya yang tunggal untuk menebus kita, apakah hanya untuk peduli dengan nasib kita saja? Adakah Allah masih mengasihi cipotaan yang lain yang diciptakan untuk maksudNya yang Ilahi? Misi Allah untuk dunia, bukan hanya untuk manusai tetapi juga untuk dunia ini, untuk ciptaanNya yang lain.
Misi Allah adalah mengembalikan dunia kepada tujuan yang semula, dan dalam rangka itu Allah merindukan kita umatNya untuk terlibat juga dalam hal itu. Adakah kita bersedia?
Solideo Gloria!