Friday, May 25, 2012

Theology of Work 2012 -2: The Ethos

[Kotbah ini dibawakan oleh Desmiyanti Tampubolon, STP pada Mimbar Bina Alumni Perkantas Medan, Jumat 20 April 2012]

Hari ini kita akan bicara mengenai ethos dan juga etika. Hal ini dilakukan agar kita belajar untuk bisa bekerja keras dalam pekerjaan tanpa menyimpang dari prinsip-prinsip kebenaran.
M.D.Geldard (dalam Encyclopedia of Biblical & Christian Ethic) mendefinisikan kerja sebagai investasi energi seseorang dalam rangka menguasai alam dan melayani orang lain. Definisi ini ada karena dalam setiap pekerjaan kita pasti akan terlibat dalam memberikan pelayanan kepada orang lain. R.Paul Stevens mendefinisikan kerja sebagai kegiatan bertujuan yang melibatkan energi mental, emosional,atau fisik atau ketiganya dengan dibayar atau tidak.
Dalam bahasa Inggris kata ethos memiliki arti yaitu ‘ciri khas’, ‘prinsip kerja’ atau ‘disiplin kerja’. Jadi ethos kerja dibanyak perusahaan itu bisa berbeda. Ada perusahaan yang tidak mempermasalahkan ketika karyawannya datang tepat waktu atau tidak, yang penting datang. Sedangkan di perusahaan lain sangat memperhatikan ketepatan waktu kedatangan dari karyawan tiap harinya. Jika tidak tepat waktu maka akan ada sanksi dari perusahaan. Jadi bicara mengenai ethos berarti bicara mengenai prinsip-prinsip yang ada di perusahaan tersebut. Sedangkan etika atau etis adalah seluruh tingkah laku manusia, yang meliputi benar atau salah. Dalam diri orang percaya seluruh tingkah laku itu harus dipertanggung jawabkan kepada Allah dalam terang firmanNya. 
Karena itu kita perlu memikirkan apa yang menjadi tujuan kita dalam bekerja. Beberapa tujuan yang diharapkan dari para pekerja Kristen tentang teologi kerja adalah:
  1. Agar setiap pekerja Kristen mengerti bahwa bekerja dalam berbagai bidang dan jenis, sangat penting, bermanfaat dan bermakna tidak hanya bagi manusia tapi juga bagi Allah. Dimana pun kita bekerja, sekecil apapun itu, semuanya sangat penting dan bermanfaat bagi manusia dan bagi Allah. Kehadiran kita di tempat kerja juga itu setidaknya bisa menjadi tempat sharing bagi rekan-rekan sekerja kita di mana kita bisa membagikan atau menekankan nilai-nilai-nilai kebenaran yang alkitabiah kepada mereka.
  2. Agar tiap pekerja Kristen mengerti bahwa kerja bukan sekedar jalan memenuhi kebutuhan hidup mereka, tetapi berdampak nyata bagi kehidupan global bersama Allah. Misalnya kita tidak hanya sekedar titip absen dan akhir bulan gajian.
  3. Agar tiap pekerja Kristen mengerti bahwa apa yang mereka kerjakan di dunia ini haruslah merupakan cerminan, bagian atau lanjutan dari pekerjaan Allah. Ketika kita melihat ketidakbenaran dan ketidakadilan di tempat kita bekerja, maka tujuan kita adalah menegur hal itu.
  4. Agar tiap pekerja Kristen mengerti serta dapat menempatkan pekerjaannya dalam terang wawasan dan tujuan Allah, sehingga dapat melihat campur tangan dan peranan Allah dalam pekerjaan mereka. Jangan pernah sekalipun berpikir bahwa Tuhan tidak campur tangan dalam pekerjaan kita.
  5. Agar tiap pekerja Kristen mengerti bahwa Allah adalah Sang Pekerja Agung yang juga menghendaki manusia bekerja dengan motif, modus, serta dengan kualitas dan standar Allah melalui berbagai talenta yang diberikan Allah pada tiap-tiap orang. Jadi Tuhan memiliki keinginan agar kita bekerja dengan motif, semangat, dan kerinduan yang sama dengan berbagai talenta yang kita miliki.
Jadi, berbicara soal Allah, kita juga bisa menemukan bahwa Allah adalah sang pekerja agung. Dalam Kej 1:1 dikatakan, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Sejak ayat pertama dalam Alkitab telah menggambarkan bahwa Allah adalah Sang Pekerja. Ia bersabda, mencipta, melengkapi serta memperindah pekerjaanNya dengan hasil yang Dia nilai baik (Kej 1:10, 12, 18, 21, 25). Yesus sendiri juga mengatakan “BapaKu bekerja hingga sekarang, maka Aku pun bekerja juga” (Yoh 5:17). Dalam semua kitab-kitab Injil kita melihat bagaimana sibuknya Yesus. Roh Kudus juga bekerja memberi anugerahNya dengan memberikan berbagai karunia. Roh Kudus mengingatkan dan mencegah kita melaukan perbuatan-perbuatan jahat. Roh kudus juga bekerja sampai hari ini.
Bekerja adalah hakikat manusia karena Allah Sang Pekerja Agung itu telah menciptakan manusia segambar dengan Dia (Kej 1:26-27), karena itu manusia harus bekerja sebaik mungkin mengikuti teladanNya, baik motif dan modus, pola dan cara serta siklus dan musimnya (Kel 20:9, 11). Manusia adalah mitra kerja Allah (Kej 1:26), Allah masih terus berkarya setelah kejatuhan manusia dengan menebus manusia dari kuasa dan efek dosa, dan manusia dilibatkan sebagai rekan kerja dalam semua kerja besar itu. Orang Kristen bekerja di dalam dan bagi Kerajaan Allah, semua pekerjaan harus kita lakukan untuk kemuliaan Allah dan demi perluasan Kerajaan Allah. Itulah sebabnya tidak ada alasan untuk malas pergi ke kantor. Paulus (dalam Kolose 3:23) mendesak pembaca suratnya untuk bekerja segenap hati, seperti untuk Allah dan bukan untuk manusia. Jika kita bekerja untuk Tuhan, tidak ada alasan untuk main-main atau mengerjakan tugas sekedarnya, yang penting hadir. Jika kita berpikir seperti ini maka kita tidak melakukan pekerjaan kita dengan segenap hati.
Dunia kerja adalah wilayah yang menyita sebagian besar waktu produktif manusia. Pada umumnya kita paling banyak menghabiskan waktu kita di kantor. Itulah sebabnya keberadaan kita dikantor seharusnya memberi pengaruh yang banyak. Jika keberadaan kita tidak berpengaruh, berarti ada sesuatu yang perlu dipertanyakan dalam diri kita. Dunia kerja adalah bidang kontak yang penting bagi perluasan Kerajaan Allah. Allah mengandalkan semua pekerja Kristen untuk mencapai tujuanNya. Ia hadir membantu dan memberdayakan kita untuk menjadi pemenang. Bicara soal garam dan terang , berarti kita harus keluar dan memberi dampak.
Masalahnya adalah bagaimana kita dapat bekerja dengan etos kerja yang baik sesuai dengan prinsip etika? Apakah diperbolehkan kita kerja keras dan overtime setiap minggunya? Banyak teman-teman kita di Batam selalu lembur untuk mengejar uang bahkan memakai hari Minggu untuk tetap bekerja. Prinsip etika untuk hal ini dapat kita baca dalam 2 Tim 3:16-17. Dikatakan di sana, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermafaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Artinya bahwa standar kebenaran dari segala tindakan kita haruslah Firman Allah. Hal ini manjadi penting ketika kita harus mengambil keputusan apakah ini area ‘hitam’, ‘putih’ atau “grey area”. Jika antara hitam dan putih saya berharap kita yang ada di MBA ini sudah menang semuanya. Yang masalah adalah yang abu-abu.
Ingat, jangan takut melakukan dosa bukan karena kita takut akan hukuman atau hal lain. Tetapi kita takut berdosa karena sebuah respons kagum dan hormat kepada Allah. Kita tidak ingin menyakiti hati Tuhan. Ada rasa bersyukur kepada Allah sehingga muncul kataatan yang tulus. Etika juga menjadi dasar untuk serupa dengan Dia sebagai mahluk yang dicipta serupa dan segambar dengan Allah. Karena itu, ketika kita jalan, kita adalah gambaran Allah. Kita menjadi model dan teladan di tengah-tengah pekerjaan di mana kita berada. 
Tindakan etis merupakan bagian dari panggilan seorang murid (Mark 8:34), status sebagai murid berarti kita harus bertumbuh dalam pemuridan (Gal 5:13). Pemahaman ini harus menjadikan kita sebagai orang yang benar di kantor dalam setiap perkataan atau tindakan kita. Perbuatan etis adalah panggilan dedikasi kepada Allah dan tuntutan transformasi (Rom 12:1-2). Jangan sampai orang korupsi kita juga ikut-ikutan korupsi. Jika kita serupa dengan dunia ini berarti tidak ada artinya kita menjadi murid Kristus. Kita harus suci di tengah-tengah kenajisan, seperti ikan yang berenang di laut asin tapi tetap tawar.
Untuk beberapa keputusan “grey area” kita perlu mempelajari peraturan apa yang berlaku di kantor/sekolah tempat kita bekerja. Jika apa yang kita lakukan menyebabkan orang lain tersandung, pertimbangkanlah. Prinsip salah atau benar harus memperhitungkan semua hal. Misalnya jika terlambat lima menit apa yang menjadi konsekuensinya. Boleh atau tidak mengambil cuti ketika keluarga menikah, dll. Hal ini dirangkum dalam KKB (Kesepakatan Kerja Bersama). Jika keputusan yang kita ambil menimbulkan keberatan-keberatan hati nurani, pertanyakanlah. Ada beberapa hal yang harus kita ketahui dalam daerah yang kadang menjadi daerah abu-abu bagi kita. Misalnya apakah kita bisa menerima uang tips? Seharusnya tidak boleh. Contoh lain adalah apakah boleh membagi uang sisa kas dalam sebuah kepanitian? Jawabannya tentu saja tidak bisa. 
Sering kali juga kita terjebak dalam sebuah perjalanan dinas. Misalnya dalam rangka tugas dinas kita berangkat ke Jakarta dan diberikan uang untuk menginap di hotel bintang lima. Tetapi demi alasan penghematan dan agar kita bisa menyimpan uang (dengan alasan untuk ditabung) membuat kita memilih untuk menginap di hotel kelas melati atau menginap di kos teman kita? Hal ini tentu saja tidak diperbolehkan. Alasan kita melakukan penghematan mungkin baik, tetapi ketika kita memilih untuk menginap hotel kelas melati, kita bisa tidak cukup fit, merasa tidak segar, capek atau bahkan ngantuk sehingga kita tidak maksimal untuk mengerjakan urusan kita yang sebenarnya. Hal ini sama dengan ketika kita diberikan tiket perjalanan untuk naik pesawat terbang tetapi kita memilih naik bus juga demi alasan (lagi-lagi) penghematan. Hal ini juga tidak diperbolehkan. Karena perjalanan menggunakan angkutan darat jauh lebih melelahkan dibandingkan dnegan naik pesawat terbang dan hal ini berpengaruh terhadap kondisi kita dalam mengerjakan tugas yang harus kita kerjakan. 
Ada delapan etos kerja (menurut Jansen Sinamo), yaitu:
  •               Kerja adalah anugerah
    Kita seharusnya mensyukuri ketika kita bekerja. Ketika belum bekerja, kita sangat merindukan pekerjaan dengan impian yang menyertainya (membantu orang tua, memberikan pesembahan, dll). Tetapi ketika kita bekerja, kita bersungut-sungut. Ingat, kerja adalah anugerah, syukurilah! Kesadaran bahwa anugerah Allah membuat kita menjadi  manusia yang berjiwa besar, berhati mulia, kepribadian matang, dewasa, tenang, percaya diri dan bijaksana. Itulah sebabnya orang yang semakin lama bekerja akan semakin dewasa, baik dari segi pemikiran maupun perkataan, bukan sebaliknya. Orang yang berparadigma anugerah selalu yakin karirnya dibimbing dan dijamin Allah, terbebas dari nafsu mengejar uang, dan sanggup mengatasi godaan saling sikut demi rebutan rezeki yang sebenarnya tidak seberapa.
    •               Kerja adalah tanggung jawab
      Sebagai pemegang tanggungjawab, kita dipercaya dan diharapkan untuk mampu melaksanakannya, dipercaya berarti mempunyai kompetensi profesional dan dipercaya secara moral (berintegritas). Jika kita bekerja dengan penghayatan seorang pengemban tanggungjawab kita akan menjadi orang yang dapat diandalkan dan terpercaya. Makanya orang-orang Kristen adalah orang-orang yang dapat diandalkan dalam dunia kerja dimana dia berada. Ketika orang lain tidak bisa dipercaya, kita, sebagai orang Kristen, bisa dipercaya.
      •           Kerja adalah panggilan
        Ingat, panggilan kerja bukan hanya bagi mereka yang fulltime (dalam artian dalam kegiatan rohani). Orang yang terpanggil menjadi dokter misalnya, sebenarnya sudah dilengkapi dengan rasa belas kasihan kepada orang yang menderita dan kekuatan untuk tidak merasa ngeri melihat darah. Demikian juga dengan orang yang terpanggil menjadi guru sudah dianugerahi bakat mengajar, rasa cinta pengetahuan, rasa sayang pada siswa, bahagia melihat pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Tidak hanya menyuruh murid-murid untuk mengerjakan kepentingan gurunya.
        Keterpanggilan yang berpusat pada Allah pada akhirnya akan menjadi kecenderungan hati hal inilah yang mendorong kita dan dengan kemauan hati yang kuat dan menumbuhkan keyakinan  untuk berkata: “Kesanalah aku harus pergi ! Itulah jalan hidupku!”
        •            Kerja adalah aktualisasi (Kerja keras, telaten)
          Kerja menunjukkan siapa kita. kerja keras dan ketelatenan kita tunjukkan dengan kerja keras. Jadi tidak ada keluhan (tetapi pekerjaan tidak selesai juga). Kerja keras tanpa arah, tanpa skenario, tanpa visi hanya akan menghamburkan energi kita. Jadi target harus dipatok, visi harus dibentang dan hasrat harus diwujudkan. Rumuskan visi dan target-target yang ingin diraih, tutup pikiran terhadap godaan lain dan fokuskan energi untuk mencapainya. Bukan target materi, tetapi apa yang ingin kita capai dari kerja kita.
          •            Kerja adalah ibadah
            Kita harus senantiasa menghayati kehadiran Tuhan di ruang kerja, ibadah itu menyatu dengan kehidupan profesional dan sosial, karena itu kerja diniatkan sebagai bakti, dedikasi dan persembahan pada Tuhan. itulah sebabnya pekerjaan jangan main-main. Sebagai dosen atau pengajar kita harus persiapan. Sehingga melalui kerja kita orang bertanya-tanya akan siapa Tuhan yang kita sembah. Mengapa kita tidak pernah mengeluh atau melakukan hal yang macam-macam.
            Etos seorang pekerja Kristen haruslah bekerja dengan standar Tuhan yang menjadi berbeda dengan pekerja lain, membuat kita bekerja sebaik-baiknya tidak hanya memuaskan hati manusia tapi juga hati Tuhan. Bisa saja orang yang kita layani puas, tetapi apakah Allah juga puas dengan apa yang kita kerjakan?
            •            Kerja adalah seni
              Bekerja sebagai seni adalah sebuah kompetensi kerja dengan mutu tinggi baik dilihat dari segi esensinya, tekniknya, prosesnya; bekerja tanpa estetika hanya berujung pada proses kerja yang membosankan, monoton, kering dan tanpa daya tarik. Karena itu, buatlah meja kerja  kita menjadi tempat yang menarik. Jangan biarkan file-file menumpuk tidak beraturan yang membuat kita bingung mengerjakan yang mana terlebih dahulu. Bekerja dengan seni membuat kita kreatif, penuh daya cipta, gagasan-gagasan inovatif. Misalnya mengajar dengan metode GASING (Gampang, asyik, menyenangkan - yang dipopulerkan oleh Bapak Yohanes Surya).
              •            Kerja adalah kehormatan
                Kerja sebagai kehormatan berarti kerja seutuhnya dan setuntas-tuntasnya, mencapai apa yang diharuskan untuk diselesaikan secara terhormat. Orang yang bekerja setengah-setengah hasilnya juga akan setengah-setengah. Jangan suka menunda pekerjaan sehingga kita tidak tergoda untuk mengerjakan setengah-setengah.
                Kita harus membangun kehormatan profesi kerja. Banggalah berprestasi, banggalah tepat waktu, banggalah bekerja keras, banggalah berintegritas, banggalah berdisiplin, dan banggalah menjadi seseorang yang berkualitas.
                •            Kerja adalah pelayanan
                  Bukan hanya hamba Tuhan yang pelayan. Semua pekerjaan adalah pelayanan. Semua profesi, pada mulanya sekali adalah untuk melayani, bankir melayani nasabah, guru melayani bangsa dengan mendidik, jaksa, hakim dan polisi melayani masyarakat untuk keadilan hukum. Kerja sebagai pelayanan berarti kita harus bekerja melampaui harapan dengan memberikan hasil yang bermutu.

                  Kolose 3 :23 berkata, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Hal inilah yang seharusnya menjadi ethos kerja kita dan mengerjakan pekerjaan dengan etika yang benar. Kita menemukan kenyamanan di tengah orang-orang yang sepaham dengan kita dan kita mengalami pertumbuhan di tengah orang-orang yang tidak sepaham dengan kita. Ini adalah bukti kehadiran kita dalam rangka memperbaiki dunia yang yang terdegradasi karena dosa.

                  Theology of Work 2012 -1: Vocation & Calling

                  [Kotbah ini dabawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M. Th pada ibadah Mimbar Bina Alumni Perkantas Medan pada hari Jumat, 13 April 2012]

                  John Stott pernah menyatakan bahwa biasanya kerja dihubungkan dengan pribadi seseorang. Hal ini bisa kita lihat dalam percakapan ketika kita bertemu dengan seseorang, maka pertanyaan yang keluar pasti “Anda kerja dimana?’. Dan pekerjaan juga sering dihubungkan dengan satus seseorang. Pandangan dunia melihat bahwa semakin tinggi pekerjaan seseorang maka makin tinggi pula penghormatan yang ia terima. Kerja menjadi segala-galanya dalam kehidupan seseorang. Segala sesuatu disubordinasi atau ditundukkan pada pekerjaan sehingga berlaku prinsip ‘your are what your job is’ (George W. Forell). Ini adalah pandangan yang salah. Hal ini menyebabkan pekerjaan menjadi sesuatu yang utama, dimana pekerjaan tersebut bisa kita minder atau sombong. Orang yang seperti ini menganggap kehilangan pekerjaan/jabatan adalah sebuah malapetaka.

                  Ada beberapa pandangan kontemporer yang lain akan kerja. Ada pandangan yang melihat kerja itu sebagai beban atau kutuk. Pandangan ini membuat seseorang tidak pernah serius kerja, bila seandainya mungkin memilih menjadi pengangguran tetapi dapat hidup lebih baik dan nyaman. Mereka adalah orang yang menikmati akhir minggu tetapi membenci awal minggu. Pandangan berikutnya adalah pandangan yang hanya melihat kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kita harus menyadari bahwa dapat memenuhi kebutuhan hidup bukanlah tujuan kerja, tetapi efek samping dari kerja. Semua orang yang kerja pasti makan. Jika kita bepikir kerja hanya sebatas hidup maka nilai akan kerja yang kita miliki sudah bergeser. Pandangan ini juga membuat kerja itu diarahkan untuk memuaskan hasrat memiliki sampai pada sebuah ketamakan. Kerja berorientasi pada diri sendiri dan pemuasan hasrat. Itulah sebabnya pandangan ini menghasilkan orang-orang yang terjebak dengan kartu kredit sehingga bekerja dengan serius.

                  Pandangan berikutnya adalah pandangan yang melihat kerja sebagai sebuah keharusan yang tidak terhindarkan. Pandnagan ini menjadikan kerja menjadi sebuah rutinitas yang mekanis dan melahirkan ketertekanan dan tidak dapat menikmati kesenangan atas kerja. Pandangan ini menganggap kerja adalah kodrat manusia sama seperti kodrat ayam yang harus bertelur (H. L Mencken, orang arif dari Baltimore).

                  Ada juga pandangan yang melihat kerja itu demi kepuasan diri sendiri. Perjuangan untuk memberi kepuasan kepada diri sendiri dalam dunia masa kini merupakan ujung tombak dari suatu revolusi kebudayaan sejati (Daniel Yankelovich). Kerja mengarah pada keasyikan sendiri untuk memuaskan keinginan sebagai pengaruh dari materialisme dan hedonisme. Kerja menjadi memabukkan untuk meraih karir tertinggi dan meraup sebanyak mungkin uang. Orang dengan pandangan seperti ini akan terjebak menjadi seorang yang workaholic.

                  Ada juga pandangan yang menyatakan bahwa sukses dalam hidup berarti sukses dalam kerja atau sebaliknya gagal dalam kerja berarti gagal dalam hidup. Kesuksesan hidupnya diukur dari kerja dan karir yang ditempuh. Kesuksesan itu ada di kantor atau perusahaan. Mereka akan kehilangan harga diri jika karir tidak naik atau kehilangan jabatan karena aktualisasi dirinya menyatu dengan pekerjaannya. Demi kerja dia merasa sukses meskipun istri dan anak-anaknya terabaikan (kerja adalah perpaduan prestise dan prestasi). Kelompok ini disebut yuppie atau dinks (double income, no kids) yang biasanya workaholic. Ini bukan pandangan yang benar. Kalau dulu kita memiliki posisi yang bagus dan karena ketaatan kita kepada Allah kita kehilangan jabatan, dan turun jabatan, apakah kita orang gagal? Tentu tidak. Dalam pandangan Kristen, kita adalah orang yang berhasil.

                  Kerja atau pekerjaan dipersiapkan sebagai cultural mandat (Kej 1:28, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."). Allah memerintahkan manusia untuk berkarya. Jadi jika ada manusia yang tidak bekerja itu adalah sebuah hal yang salah. Kerja adalah mandat Allah. Orang yang mengenal Tuhan dengan benar harus memahami bahwa dia bekerja dalam memenuhi mandat ilahi. Manusia bertanggungjawab untuk dunia dan membentuk peradaban dan sejarah (Kej. 4: 17, 20-21; 9: 20). ‘Be cultivated and kept’ mencakup seluruh aspek hidup manusia termasuk ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, seni, literatur, pendidikan, dll, dan semuanya bermuara kepada untuk pemeliharan kesinambungan ciptaan Allah.

                  Tetapi peristiwa kejatuhan merubah semua itu. Di dalam Kej 2:8-14 adalah kisah taman Eden dengan segala situasinya. Dan pada ay 15 ada mandat yang Allah berikan kepada manusia untuk memelihara taman Eden (kesinambungan dari Kej 1:28). Mandat itu akan digenapi dengan sebuah pernikahan (Kej 2:18) di mana tidak baik jika manusia itu seorang diri dalam rangka menggenapi misi Allah. Dalam konteks inilahpekerjaan harus dilihat sebagai mandat Allah. Tetapi kejatuhan dan manusia kedalam dosa membuat kerja ternodai/terkutuk. Kerja menjadi sesuatu yang penuh dengan masalah dan persoalan. Kemudian lingkungan pekerjaan kita bermusuhan dengan Allah dan sesama. Itulah sebabnya secara etika pekerjaan kita menjadi sulit. Kita mengalami bagaimana susahnya untuk jujur dan memiliki nilai yang benar dalam pekerjaan kita. dunia kerja menimbulkan berbagai pertanyaan akan makna, tujuan, konflik, dan kuasa kerja.

                  Dosa melahirkan sesuatu yang menyakitkan. Kefanaan masuk ke dalam dunia kerja sehingga pekerjaan kehilangan tujuan semula. Ada yang merendahkan dan memuliakan kerja. Alienasi antara manusia dengan Allah dan dengan sesamanya membuat pekerjaan atau usaha sebagai sumber kesulitan dan penderitaan. Hal ini sering sekali membuat orang tidak menikmati pekerjaannya. Kerja didegradasi menjadi sebuah peluh dan jerih payah (toil ). Dalam Kej. 3: 17-19 Tuhan berkata , ”Lalu firman-Nya kepada manusia itu: "Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” Betul, kita harus bekerja dengan maksimal, tetapi kita juga harus menikmatinya. Ingat, tidak ada kerja yang rendah jika kita mengerjakan dan menaatinya sebagai panggilan. Mari kita menikmati semua jenis pekerjaan yang Tuhan percayakan kepada kita. Tidak ada yang sombong ataupun minder ketika mendapatkan pekerjaan tertentu. Orientasi kerja kita bukan uang. Uang itu akibat, bukan tujuan.

                  Dosa membuat kerja juga dikondisikan oleh keterbatasan manusia untuk mencapai yang terbaik, sehingga kerja tidak pernah maksimal hasilnya menurut pandangan Allah. Dosa juga membuat kerja menjadi sebuah sumber bahaya dan dehumanisasi (Kej. 4: 23-24). Banyak sekali orang bekerja mengalami dehumanisasi. Salah satu dehumanisasi yang sering dialami pekerja adalah eksploitasi, dimana hak-hak sebagai pekerja tidak dipedulikan. Seringkali juga pekerja itu mengalami overtime tanda diberikan upah dan jenis eksploitasi lainnya.

                  Kerja dapat menjadi sebuah kompetisi dengan Allah? Ingat kisah menara Babel (dalam Kej. 11: 1-9)? Jangan sampai pekerjaan kita membuat kita tidak bergantung lagi kepada Allah tetapi justru ‘menyaingi’ Allah.

                  Tetapi, dalam karya Kristus, kerja juga mengalami penebusan. Kerja ditebus dan dipulihkan oleh Allah (bukan hanya dosa yang ditebus oleh Allah), sehingga kerja terintegrasi kepada Allah. Jadi semua profesi kita terintegrasi kepada Allah. Semua kerja dipandang dari kacamata Kristus (bd. Ef. 2: 10; Kol. 3: 17, 23). Kerja bukanlah sebuah beban dan sekedar untuk pemenuhan kebutuhan.
                  Vocation merupakan keyakinan seseorang akan panggilan dirinya untuk memuliakan Allah melalui profesi yang kita miliki. Apa panggilan kita untuk memuliakan Allah? Apakah kita meyakini bahwa kita jadi PNS, guru, marketing, atau sebagai apapun, apakah sebagai sebuah vocation di mana itu merupakan panggilan Allah bagi kita untuk memuliakan Dia. Inilah yang seharusnya menjadi dasar kita dalam memilih pekerjaan, bukan karena ‘terdampar’.

                  Calling adalah panggilan Allah bagi manusia untuk mengerjakan mandat ilahi. Memuliakan Allah dari segi vocation, dan untuk mengerjakan misi Allah dari calling. Konsep teologia Lutheran mengatakan bahwa calling dan vocation bagi orang Kristen menuju kepada sebuah kehidupan yang baru di dalam Kristus sehingga maksimal berkarya. Saya berharap tidak ada menganggap kerja sebagai pelarian, dan tidak ada menganggap pekerjaan sebagai sampingan. Pekerjaan adalah karena calling dan vocation. Dengan dasar pemikiran inilah tidak tepat anak-anak Tuhan bekerja dalam semua level kantor tertentu (dalam semua lapangan pekerjaan). Misalnya pabrik minuman keras, pabrik rokok dan marketing rokok. Tidak mungkin bidang ini menjadi calling dan vocation karena dampak produknya itu merusak. Apakah ada diantara kita yang bekerja dalam level seperti ini penting sekali untuk mengevaluasi kembali dasar mengapa dia bekerja di sana. Mari melihat apakah dalam pekerjaan itu kita sebagai sebuah panggilan untuk memuliakan Allah dan apakah itu juga cara kita dalam rangka mengerjakan mandat Allah. Jika iya, lanjutkan, jika tidak, mari segera resign segera mungkin.

                  Semua kegiatan sehari-hari adalah beruf atau calling (Marthin Luther). Tidak ada yang sekuler dalam hidup orang Kristen (Kol. 3: 17). Tidak lebih rohani orang yang bekerja sebagai pendeta atau penghotbah dibandingkan dengan seorang guru atau marketing. Kita akan lebih rohani jika mengerjakan pekerjaan kita sebagai panggilan atau vocation. Ketika kita mengerjakan pekerjaan kita yang adalah vocation dan calling dengan ketaatan kepada Allah, maka kita lebih mulia dibandingkan dengan pendeta yang tidak mengerjakan tugasnya dengan benar.

                  Panggilan khusus dalam kerja adalah panggilan ke suatu pekerjaan spesifik, ke suatu pekerjaan yang tidak semua orang dipanggil melakukannya. Karena itu sadari potensi, kemampuan dan talenta agar bisa melihat dengan jelas panggilan Allah akan kerja yang harus kita lakukan.

                  Marthin Luther menyatakan bahwa panggilan kita datang kepada kita melalui posisi kita (waktu, talenta dari tugas yang terkait dengan posisi kita dalam kehidupan dengan kesempatan-kesempatan yang terbuka di hadapan kita). Dalam creatio continua Allah memanggil manusia dengan upaya (kerja) dalam aneka ragam posisi yang harus manusia emban di dunia ini denagn satu pemahaman yang lapar diberi makan, yang telanjang diberi pakaian, yang sakit disembuhkan, yang tidak berpengetahuan dididik dan yang lemah dilindungi. Dalam rangka inilah ada sebuah vocation dan calling untuk penciptaan yang berkesenambungan.

                  Melalui kerja yang Allah tugaskan untuk kita lakukan, Allah sendiri sedang melanjutkan kegiatan kreatif-Nya dalam dunia ini melalui profesi yang kita miliki. Melalui pekerja kita (sesederhana apapun itu) Allah memelihara orang lain melalui kita. Inilah misi melalui kerja atau profesi. Mari menyadari hal ini agar orientasi kita bukan uang atau karir tetapi misi Allah yang kita kerjakan melalui profesi kita. Dengan kerja kita mengokohkan posisi unik manusia sebagai wakil Allah di bumi ini sebagai pengelola dan penatalayanan karunia dalam ciptaan Allah yang ditujukan untuk kesejahteraan semua orang. Itulah sebabnya kita tidak sembarangan memilih pekerjaan tetapi di dasari oleh vocation dan calling kita masing-masing.

                  Kerja dengan prinsip ini maka pekerjaan itu memiliki nilai intrinsik (semua pekerjaan ada kaitan dan sumbangsihnya dengan rencana dan kerja Allah). Apapun profesi kita, jika itu ada di dalam vocation dan calling, maka profesi itu memiliki kaitan dengan rencana dan kerja Allah. Orientasi kerja bukan kepada produksi (hasil), kompensasi (income), prestis dan prestasi tetapi kepada Allah dengan memberi yang terbaik (Kol. 3: 23; Ef. 6: 5-9). Vocation and calling dalam kerja kerja untuk menghadirkan Kerajaan Allah (service), supaya manusia lebih sejahtera dan bermartabat yang kemudian memuja Allah.

                  Mari memiliki pemahaman ini agar kita bisa bekerja dengan baik. Mari mengevaluasi dan mendoakan pekerjaan kita sekarang agar bisa menjadi vocation dan calling yang Allah berikan kepada kita. mari kita memberi yang terbaik dalam pekerjaan. Jika konsep ini (Vocation dan Calling) jelas, kita tidak akan perlu terlalu berjuang dalam menghadapi etika dalam kerja, karena dengan dasar yang jelas kita berani menerima konsekuensi apapun karena kita sedang mengerjakan misi Allah.

                  Seri PASKAH 2: KETAATAN

                  [Kotbah ini dibawakan oleh Indrawaty Sitepu, MA pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat, 4 Mei 2012]

                  Topik ketaatan merupakan satu topik yang penting dan relevan untuk kita gumulkan bersama-sama sebagai alumni. Bagaimana kita sebagai alumni melihat ketaatan bukan sebagai cerita masa lalu ketika kita adalah seroang mahasiswa atau penjadi pengurus di kampus tetapi memahami ketaatan sebagai sebuah realita dalam dinamika kehidupan setiap harinya sebagai seorang Kristen. Oleh sebab itu kita akan melihat dua bagian firman Tuhan, yaitu dari Markus 14:32-41 dan Yohanes 12:24-36a.
                  Ada enam hal yang bisa kita pelajari dan teladani dari ketaatan Yesus melalui dua bagian firman di atas.

                  1. Ketaatan yang sukarela.

                  Ini adalah ketaatan yang bukan karena paksaan atau terjebak tetapi ketaataan karena penyerahan diri dan penundukan diri secara sukarela pada kehendak Allah Bapa. Pada Mar 14:32-41 tadi kita bisa melihat ada beberapa catatan penting peristiwa di Getsemani. Pada ay 34 dikatakan, “lalu kata-Nya kepada mereka: "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah." Peristiwa Paskah memang tidak terlepas dari peristiwa salib. Tetapi sebenarnya peristiwa salib bisa terjadi karena ada langkah ketaatan di Getsemani. Pada peristiwa ini, Yesus merasakan pergumulan yang berat (ay 34). Peristiwa Getsemani adalah peristiwa yang mencekam – ‘seperti mau mati rasanya’. Orang yang mengatakan hal ini bukanlah orang yang cengeng atau orang yang sedikit-sedikit mau mati. Tetapi Dia adalah Yesus. Hal ini menggambarkan sesuatu yang sangat berat dan sangat serius.

                  Ketaatan Yesus bukan hanya sekedar sukarela, tetapi sukarela yang dalam keadaan yang tidak kondusif. Hal ini terlihat dari bagaimana murid-murid yang selama ini bersama dengan Dia tertidur walaupun Yesus meminta mereka untuk berjaga-jaga. Yesus sepertinya berjuang seorang diri.
                  Setelah melalui masa-masa yang berat itu Yesus akhirnya memutuskan untuk taat. Dalam Mark 14:41 dikatakan, “Kemudian Ia kembali untuk ketiga kalinya dan berkata kepada mereka: "Tidurlah sekarang dan istirahatlah. Cukuplah. Saatnya sudah tiba, lihat, Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa. “ Ketaatan Yesus yang muncul karena pengenalannya akan BapaNya melalui doaNya.

                  Apa yang menjadi Doa Yesus? Ay 36 menuliskan, “Kata-Nya: "Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” Inilah namanya doa yang sejati. Doa yang sejati membuahkan ketaatan yang sukarela, bukan terpaksa atau terjebak. Doa yang sejati bukanlah doa yang memaksa Tuhan. Doa sejati itu tahu jika Tuhan mampu melakukan sesuatu dan menyadari bahwa Tuhan bisa mengubah rencanaNya dan memakai cara lain jika Dia mau. Dengan kata lain Tuhan itu Mahakuasa dan bisa melakukan apa saja yang Dia mau.. Yesus memahami benar akan hal hal ini. Yesus – melalui doaNya – mengetahui bahwa Bapa berkuasa mengambil cawan itu dari diriNya. Tetapi doaNya dilanjutkan dengan menyerahkan semuanya kepada kehendak Bapa, bukan kehendakNya. Sekali lagi, inilah doa yang membuahkan ketaatan yang sukarela.

                  Jika kita berdoa dengan sikap terpaksa, maka kita juga akhirnya akan merasa terpaksa untuk ikut Tuhan. Jadi bukan karena memilih untuk taat. Ucapan Yesus yang ketujuh di kayu salib adalah “Bapa, ke dalam tanganMu ku serahkan nyawaku”. Yesus menyerahkan diriNya. Ketaatan yang sukarelan dan tunduk kepada Allah dan ketaatan yang total. Inilah ketaatan yang bisa kita tiru dari Yesus. Dalam peristiwa Getsemani Yesus betul-betul sudah siap dan tidak bergumul lagi karena dia tunduk kepada kehendak BapaNya. Sangat berat, tetapi Yesus telah menyelesaikannya di Getsemani.

                  Saya mengajak kita agar senantiasa mengambil ‘waktu-waktu getsemani’ kita karena disitulah tekad kita putuskan. Jadi waktu masalah itu datang kita tinggal menjalaninya. Mungkin kita telah melewati ‘getsemani’ kita yang pertama, tetapi akan ada lagi ‘getsemani-getsemani’ yang berikutnya, dan perjuangan ini akan terus ada sepanjang hidup. Mari mengambil ‘waktu-waktu getsemani’ kita dan dalam setiap ‘waktu-waktu getsemani’ itu kita memutuskan kepada Tuhan bahwa ‘Bukan kehendakku Tuhan tetapi kehendakMulah yang terjadi’. Kita tahu bahwa Tuhan memiliki kuasa untuk apa saja (untuk setiap pergumulan kita), tetapi lagi-lagi kita menyerahkan segala sesuatunya kepada kehendak Tuhan. Hal inilah yang menghasilkan ketaatan yang sukarela.

                  2. Ketaatan yang tuntas.
                  Ini adalah ketaatan yang dikerjakan sampai selesai atau sampai akhir hidup, bukan ketaatan yang setengah jalan atau masa periode tertentu saja. Sewaktu mahasiswa masih taat, tetapi ketika alumni sepertinya untuk emnjadi taat itu adalah sebuah pergumulan yang berat.
                  Perkataan Yesus yang keenam di kayu salib adalah: “Sudah selesai.” Setelah itu Dia menyerahkan nyawaNya. Perkataan Yesus yang keenam ini adalah pekik kemenangan. Dia telah menyelesaikan persoalan terbesar di dunia ini, yaitu hutang dosa kita. Dia menyelesaikan sampai pada detik terakhir, sampai pada darah penghabisan.

                  Banyak orang memulai dengan baik, tetapi hanya pada periode tertentu, lalau setelah itu berakhir dengan buruk. Ketaatan yang Yesus lakukan adalah ketaatan yang tuntas dan selesai sampai akhir. Kita mungkin gentar dan bertanya-tanya apakah kita bisa setia sampai akhir dan bagaimana kita bisa taat sampai akhir.

                  Ada tips untuk bisa setia sampai akhir dan tips ini sangat sederhana yaitu mari kita berjuang taat sesehari. Dalam saat teduh kita setiap hari, mari meminta kepada Tuhan untuk menolong kita agar ditolong dan dikuatkan untuk bisa taat, untuk satu hari itu saja. Hari itu saja dulu. Besoknya kita meminta hal yang sama lagi. Jadi mari menyiapkan tenaga untuk taat hanya untuk hari itu saja. Pokoknya apapun yang terjadi kita meminta hari ini agar Tuhan menolong kita untuk taat satu hari ini saja. Kemudian besoknya kita kembali meminta hal yang sama, demikian terus menerus sampai kepada hari terakhir kita (yang entah kapan). Yang jelas ketika hal ini terjadi terus-menerus, maka kita akan memiliki ketataan yang tuntas.

                  3. Ketaatan yang didasari oleh panggilan yang jelas.
                  Yesus memiliki panggilan yang jelas untuk hidupNya, seperti yang tampak dari waktu ke waktu Dia memberitahukan murid-muridNya bahwa dalam rangka melaksanakan misi penyelamatan, Anak Manusia akan menanggung banyak penderitaan, dibunuh dan bangkit pada hari ketiga (Mat. 16: 21-28, 17:22-23, 20:17-19, yang diulangiNya lagi,”.... sebab untuk itulah Aku datang ...”). Yesus mengetahui dengan persis untuk apa Dia datang kedunia ini. Mengetahui mengapa Ia adalah hal yang penting. Sama seperti Yesus, kita juga perlu mengetahui dan terus menerus memperjelas untuk apa kita ada di dunia ini pada masa yang sekarang ini dengan setiap kondisi yang ada.
                  Kita mungkin sudah diberitahu ketika kita memperoleh pembinaan ketika mahasiswa untuk apa kita hidup atau untuk apa kesarjanaan kita ini. Sebagai kelompok intelektual di negeri Indonesia ini kita harus terus menerus bertanya bagaimana kita memenuhi panggilan kita di bumi Indonesia ini. Kita tidak hanya sebatas tamat, lalu bekerja, kemudian menikah, dan selesai sudah. Panggilan di sini bukan kita harus menjadi staf perkantas atau pendeta atau pun rohaniawan. Tetapi panggilan di mana kita bisa berkontribusi maksimal untuk berkarya sesuai dengan kesempatan yang Tuhan berikan bagi kita. Hal ini harusnya menjadi pergumulan agar ketaatan kita bisa tuntas.

                  Kita harus hati-hati dan bertanya-tanya kepada diri kita. Jangan-jangan kita sekarang berada pada zona nyaman kita. Jangan kita kira telah memenuhi panggilan Tuhan jika menghadiri ibadah-ibadah, atau rajin dalam kelompok kecil. Kita harus menyelidiki panggilan Tuhan kepada kita. Jangan-jangan Tuhan menyuruh pergi dari posisi kita sekarang ini. Tetaplah memiliki ‘waktu-waktu getsemani’ kita. Mari bertanya kepada Tuhan dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan Tuhan – ‘bukan kehendakku melainkan kehendakMulah yang terjadi.

                  Untuk kita ketahui bersama, kota Medan adalah salah satu kota yang memiliki jumlah AKK yang terbesar di Indonesia. Sudah sewajarnyalah jika Medan mengirimkan orang-orang/alumni-alumni ke seluruh Indonesia ini untuk berkarya. Ini adalah tanggung jawab Medan (kita para alumni). Para alumni sangat dibutuhkan dengan berbagai bidang ilmu. ini adaah bagian dari panggilan, memenuhi panggilan Tuhan atas hidup kita. George Barna menyatakan bahwa visi (atau bisa kita sebut panggilan) itu memiliki tiga dimensi yaitu kehendak Allah, ada kemampuan (talenta atau latar belakang studi) yang kita miliki, dan ketiga adalah ada kebutuhan. Perpaduan ketiga hal inilah yang menjadi dasar visi dan panggilan kita. Kebutuhan ini bisa di depan mata atau jauh dari mata. Oleh sebab itu mari kita mengevaluasi apakah kita sedang berada dalam jalur yang tepat. Yang jelas kita harus sering memiliki ‘waktu-waktu getsemani kita’. Sadarilah, bahwa salah satu musuh alumni untuk tidak berkarya adalah zona nyaman.

                  4. Ketaatan yang dikarenakan fokus pada panggilan.
                  Yesus senantiasa fokus dengan panggilan yang Ia terima. Walaupun situasi saat itu sangat mendukung untuk mengikuti keinginan orang banyak, di tengah popularitas yang meningkat, sekaligus menghindari salib. Jika Yesus tidak ke Getsemani, dan tetap tinggal di Yerusalem, kemungkinan Ia tidak akan ditangkap karena pemimpin-pemimpin agama takut menangkap Yesus di depan umum. Yesus memilih ke Getsemani untuk berdoa, jauh dari keramaian dan ada kemungkinan pemimpin agama menangkap Dia.

                  Jika Tuhan sudah nyatakan kehendakNya melalui seluruh perlengkapan-perlengkapan yang Ia berikan bagi kita dan juga ada kebutuhan yang dibukakan, mari kita fokus. Ada mungkin banyak hal di sekeliling kita yang bisa mengalihkan perhatian kita. Oleh sebab itu mari belajar untuk fokus pada panggilan. Sesuatu yang telah kita putuskan pada ‘waktu-waktu getsemani’ kita.

                  5. Ketaatan dan bayar harga.
                  Yesus bersedia membayar harga yang tidak ternilai untuk menggenapi panggilanNya, dalam sebuah kerelaan dan ketaatan penuh kepada Bapa-Nya (Fil 2:5-10), seperti biji gandum yang rela jatuh ke tanah, demi menghasilkan banyak buah (Yoh 12:24).

                  Kita mungkin ada yang sedang menggumuli panggilan atau mungkin sedang menjalani panggilan. Apakah karena panggilan ini mengharuskan kita membayar banyak hal, mari belajar dari Yesus. Dalam Yoh 12:24 dikatakan, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.“ Ini adalah metafora kehidupan kita sebagai orang Kristen. Sama seperti biji yang rela mati maka ia akan membuahkan buah yang banyak, demikian juga dengan kita yang jika dengan kerelaan mati dengan segala kedagingan dan ambisi pribadi kita di sanalah sebenarnya terjadi buah, buah, dan buah.

                  6. Ketatan dan Kemuliaan Bapa.
                  Kerinduan utama Yesus adalah melihat nama Bapa dimuliakan, setelah misi yang diembanNya dalam panggilanNya tersebut terlaksana.

                  Sebagai alumni, sadar atau tidak sadar, kerinduan ataupun arah kita bisa bergeser dari Bapa ekpada hal-hal lain. Hal ini menjadi peringatan-peringatan yang harus kita gumuli bersama sesuai dengan bagian kita masing-masing di ‘waktu-waktu getsemani’ kita.

                  Mari melihat wajah ketidaktaatan. Fil 3:18 dikatakan, “Karena, seperti yang telah kerap kali kukatakan kepadamu, dan yang kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus”. Banyak orang yang hidup sebagai seteru Kristus. Ini adalah kondisi yang sangat mengerikan. Ini adalah nasihat Paulus kepada jemaat Filipi. Ini adalah nasihat yang sering diberikan Paulus kepada jemaat Filipi ini bahwa banyak orang menjadi seteru salib Kristus yang mungkin awalnya mereka itu adalah jemaat. Bukan hanya satu atau dua orang tetapi banyak yang hidup sebagai seteru salib Kristus.

                  Kemudian dalam 2 Tim 4:10, 14, “10 karena Demas telah mencintai dunia ini dan meninggalkan aku. Ia telah berangkat ke Tesalonika. Kreskes telah pergi ke Galatia dan Titus ke Dalmatia.; 14 Aleksander, tukang tembaga itu, telah banyak berbuat kejahatan terhadap aku. Tuhan akan membalasnya menurut perbuatannya”. Demas dulunya adalah teman sepelayanan Paulus tetapi akhirnya lebih memilih dunia ini dan meninggalkan pelayanan dan menjadi sekutu salib Kristus. Saya berharap tidak ada satu orangpun di antara kita yang menjadi Demas, yang meninggalkan pelayanan lalu mencintai dunia ini. Wajah ketidaktaatan itu adalah menjadi seteru salib Kristus.

                  Jadi, ada empat wajah ketidaktaatan, yaitu:

                  1. Penyangkalan.
                  Demas adalah contohnya. Paulus menyatakan bahwa bukan hanya seorang, tetapi banyak orang yang melakukan penyangkalan ini dan nasihat ini diungkapkan Paulus berkali-kali. Zaman sekarang juga banyak orang yang meninggalkan iman mereka karena memilih untuk mencintai dunia ini. Mungkin kita tidak bisa membayangkan bahwa kita akan menyangkali iman kita. Tetapi tidak sedikit saya menemukan bahwa mereka dulu adalah orang-orang yang militan dan gigih serta serius dalam pelayanan akhirnya memilih untuk mencintai dunia ini. Jika kita pikir kita kebal terhadap godaan atau penyangkalan, kita bisa lebih mudah diserang. Sering kali bukan doktrin yang menjadi alasan orang itu meninggalkan Tuhan. Penyangkalan iman sering kali muncul ketika ada pertentangan kehendak (antara kehendak ku dan kehendak Allah).

                  2. Kompromi
                  Bukan penyangkalan terang-terangan akan doktrin lalu berubah keyakinan. Mark 4:19 dikatakan, “lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan dan keinginan-keinginan akan hal yang lain masuklah menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah”. Pergumulan ini bisa sangat subur dalam dunia alumni. Mungkin satu atau dua tahun pergumulan ini belum terasa, tetapi sepuluh tahun mulai sedikit-sedikit bergeser. Kompromi itu bukan sesuatu yang perubahan secara total, tetapi sedikit-sedikit. Mungkin dimulai dari hal-hal yang kecil yaitu fokus penggunaan uang, waktu, atau pikiran kita yang sedikit demi sedikit bergeser. Dan akhirnya kita begitu tergoda dengan apa yang ada di sekeliling kita.
                  Dalam Maz 73 kita juga menemukan bagaimana si Pemazmur iri kepada orang jahat yang tidak mengalami kesulitan dalam hidup mereka bahkan terlihat sehat-sehat sedangkan dia yang adalah orang percaya kepada Tuhan mengalami pergumulan yang berat. Tetapi ketika sampai pada titik dimana ia datang dan bertemu dengan Tuhan, dia tahu apa yang menjadi akhir dari hidup orang jahat itu. Pemahaman ini akhirnya membuat si Pemazmur sadar bahwa dia tidak perlu kompromi. Mari belajar dari si Pemazmur ini dan sampai pada titik dimana kita akhirnya menyadari bahwa kita tidak perlu kompromi karena rasa iri melihat orang-orang yang tidak percaya tetapi kehidupan mereka sepertinya tidak ada pergumulan.

                  3. Kepuasan diri.
                  Hal yang sering membuat kita sering cukup berpuas diri adalah karena kita hanya focus dengan apa yang telah kita lakukan. Seharusnya kita harus focus kepada apa yang telah Allah lakukan dan melupakan apa yang telah kita lakukan. Melupakan apa yang telah kita lakukan dan mengingat apa yang telah Allah lakukan adalah seperti koin dengan dua sisi dan tidak boleh dibalik. Hal ini akan mendorong kita Tetapi hal ini mendorong kita untuk terus dalam perlombaan. Perlombaan untuk ketaatan tidak akan selesai sampai kita mati. Adalah sesuatu yang sangat sangat baik jika kita telah taat satu atau dua tahun sebelumnya. Tetapi Pernanyaannya adalah bagaimana dengan ketaatan kita untuk haris esok, dan untuk seterusnya? Itu adalah sebuah perjuangan dan kita tidak akan pernah berhenti berjuang atau berlomba untuk hidup taat.

                  4. Tanpa sukacita
                  Jika kita melayani, tetapi semuanya terasa sangat berat dan tidak ada sukacita, berarti kita mungkin sedang dalam kondisi tidak taat. Sukacita disini bukan berarti bahwa hidup kita ebbas dari air mata bukan juga hidup yang senantiasa dipenuhi dengan tawa tetapi sukacita yang muncul karena kita berada di dalam Tuhan (Fil 3). Jadi sukacita kita itu ada di dalam Tuhan karena menaati Tuhan. Jika sukacita kita ada di luar Tuhan justru itu adalah tanda bahwa kita sedang tidak taat.
                  Ketiadaan sukacita bisa karena hal-hal yang kita miliki, tidak aman karena hal-hal yang tidak/belum kita miliki, sikap kita terhadap Allah yang belum memberikan jawaban doa sesuai dengan yang kita pikirkan.

                  Jika hal ini yang menjadi kondisi kita sangat besar kemungkinan kita sedang menaruh harapan kita bukan kepada Tuhan tetapi kepada pemberian-pemberianNya, dan hal ini membuat kita menjadi tidak bersukacita. Ketika harapan kita tidak lagi kepada Allah, harapan kita akan sering dikecewakan dan membuat kita kehilanagan sukacita dan arah dan spirit untuk taat.

                  Mari mengevaluasi ketaatan kita. Hati-hati dengan penyangkalan, kompromi, kepuasan diri, dan hilangnya sukacita dalam hidup kita. Hal itu adalah penjelmaaan dimana kita ebrubah menjadi seteru salib Kristus. Mari berdoa kepada Tuhan agar Dia menolong kita untuk hidup taat dengan sukarela, sampai akhir, dan sampai tuntas. Kita mohon kepada Dia untuk meneguhkan panggilan kita agar terus fokus menyelesaikan panggilan kita walaupun kita harus membayar harga yang mahal karena kerinduan kita yang terutama adalah untuk melihat nama Bapa dimuliakan melalui hidup kita dan melalui segala sesuatunya di muka bumi ini.
                  Solideo Gloria!

                  Seri PASKAH 1: INKARNASI

                  (Refleksi Keunikan Iman Kristen)

                  [Kotbah ini dibawakan oleh Effendy Aritonang, SE, M. Div pada Mimbar Bina Alumni pada hari Jumat, 27 April 2012]


                  Pada tanggal 16 Juli 1969, pada pukul 13.32 waktu setempat di Merrit Island, Florida, Amerika Serikat berhasil meluncurkan Apolo 11. Empat hari kemudian, yaitu pada tanggal 20 Juli, Apollo yang diawaki Neil Amstrong, Michael Collins, dan Edwin Aldrin, berhasil mendarat di permukaan bulan dan memenuhi ambisi Presiden John F. Kennedy untuk mendaratkan manusia di bulan sebelum tahun 1970. Pada waktu ketiga astronot itu mendarat di bulan, presiden Amerika pada saat itu, Presiden Nixon, menyampaikan pidato di media. Dia mengatakan bahwa keberhasilan Amerika Serikat mendaratkan manusia di bulan merupakan peristiwa paling besar dan paling bersejarah dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia.

                  Hari itu, setelah menyampaikan pidato itu, presiden Nixon mendapat telepon dari Billy Graham. Billy Graham berkata pernyatan presiden Nixon yang mengatakan bahwa pendaratan manusia di bulan sebagai peristiwa paling penting dalam sejarah manusia adalah salah. Billy Graham mengingatkan presiden Nixon bahwa peristiwa paling besar, menentukan dalam sejarah manusia adalah ketika Allah datang ke dalam dunia, berinkarnasi di dalam Yesus Kristus, hidup, mati tersalib, dan bangkit kembali.
                  Secara etimologi, kata ‘incarnation’ berasal dari bahasa latin, yaitu ‘incarno’, yang berasal dari prefix in dan cartio (daging/tubuh). Jadi dapat didefinisikan secara etimologi bahwa inkarnasi berarti “membuat menjadi daging” atau “dibuat menjadi daging’.

                  Inkarnasi adalah doktrin unik yang membentuk dan merajut kekristenan. Doktrin inkarnasi membuat Yesus menjadi bukan sekedar nabi besar ataupun seorang pendiri agama saja. Jika kita menyatakan bahwa Yesus adalah nabi yang hebat, maka tidak akan ada orang yang keberatan. Tetapi ketika kita mengatakan bahwa Yesus adalah inkarnasi dari Allah yang kekal, maka akan banyak muncul ketidaksetujuan. Doktrin inkarnasi memberi implikasi bahwa Yesus telah ada sebelum eksistensiNya di dunia dan tetap senantiasa ada setelah eksistensiNya di dunia ini. Dengan kata lain inkarnasi berarti bahwa Yesus adalah Allah. Doktrin inilah yang menjadi inti dari iman Kristen. Secara tidak langsung, doktrin inkarnasi ingin menyatakan bahwa Yesus lebih dari sekedar manusia karena Dia adalah - jika kita tidak mau menyebutnya Allah - sesuatu yang lain yang bukan manusia yang sekarang menjadi manusia. Tetapi iman Kristen menyatakan bahwa ‘sesuatu yang lain’ itu adalah Allah sendiri yang menjadi manusia.

                  Doktrin inkarnasi ini menimbulkan banyak masalah. Jika kita lihat dari sudut pandang filsafat maka masalah yang pertama adalah bagaimana mungkin Allah yang transcendent (sesuatu yang jauh di luar sana, yang tidak tersentuh) bisa menjadi immanent (bisa dilihat dan disentuh melalui peristiwa inkarnasi)? Bagaimana mungkin Allah yang transcendent sekaligus immanent dalam waktu yang bersamaan. Kemudian bagaimana Allah yang immaterial (spiritual) sekaligus material? Banyak masalah yang muncul.Sejarah gereja mencatat berbagai pergumulan komunitas iman untuk memahami misteri inkarnasi. Ada banyak pendapat. Sebagian pendapat tersebut dicap bidat. Komunitas iman berulang-ulang mencoba mendeskripsikan keunikan Iman ini.

                  Definisi paling luas dan dianggap konsisten dirumuskan dalam berbagai konsili. Ada Konsili Nicea I tahun 325, Konsili Efesus tahun 431, dan Konsili Chalcedon tahun 451. Konsili-konsili ini mendeklarasikan dan menegaskan bahwa Yesus adalah sepenuhnya Allah – datang dari Bapa namun bukan diciptakan; dan bahwa Ia adalah sepenuhnya manusia – Dia mengambil rupa seorang manusia. Kedua natur ini, Ilahi dan manusia, menyatu utuh dalam satu pribadi Yesus Kristus yang oleh pengakuan Chalcedon dikatakan without confusion (tidak melebur), without change (tidak ada yang berubah dimana manusianya tetap utuh dan Allahnya tetap utuh), without division (tanpa pembagian), and without separation (tanpa pemisahan).

                  Kita tidak akan pernah bisa tuntas menjelaskan mengenai inkarnasi ini. Inkarnasi kelihatannya akan tetap menjadi misteri iman bagi kita. Ada satu titik di mana kita harus dengan rendah hati mengatakan bahwa kita tidak tahu dan tidak bisa menjelaskannya. Inkarnasi juga merupakan sebuah undangan bagi orang Kristen untuk datang menghampiri Allah denagn sikap rendah hati dan menyadari bahwa ada banyak hal tentang Allah yang membuat kita hanya bisa diam.

                  Secara biblika/teologia inkarnasi juga menimbulkan persoalan lain. Bagaimana kita melihat teologi Inkarnasi? Apakah kristologi tentang Yesus yang berinkarnasi itu merupakan teologi yang dibangun karena ada hirarki dari atas atau karena proses dari umat sendiri dari bawah yang akhirnya melihat Yesus sebagai Allah? Harus diakui bahwa seluruh tulisan dalam PB ditulis dalam perspektif kebangkitan dan hal ini tentu saja mempengaruhi cara mereka melihat Yesus. Ada orang dengan krisis bertanya seandainya Markus, Matius, Markus, dan Paulus menulis tentang Yesus sebelum Dia bangkit, apakah mereka akan menuliskan hal yang sama dengan apa yang mereka tulis ketika mereka telah melihat dan mengalami Yesus bangkit dalam hidup mereka? Ini adalah pertanyaan yang sangat tricky. Tentu saja kita harus mengakui bahwa sudut pandang semua penulis-penulis PB dipengaruhi karena mereka melihat Yesus bangkit.

                  Masalah juga muncul dalam melihat apakah itu sebagai proses ‘Christology from Below’ (melihat Yesus berfokus kepada hidup dan pelayananNya) atau ‘Christology from Above’ (memberikan penekanan kepada ‘karya-karya spiritual’ Yesus, seperti pembenaran, penebusan, dll). Ini adalah pesoalan-persoalan yang muncul.

                  Di luar pembicaraan kita tentang Yesus ada banyak sekali perdebatan-perdebatan yang sangat rumit tentang siapakah Yesus. Doktrin inkarnasi merupakan undangan bagi kita untuk bergumul dengan sekuat tenaga dalam anugerah Tuhan untuk bisa secara konsisten dan secara utuh menghadirkan Yesus sebagaimana Dia dinyatakan oleh Alkitab tanpa terperangkap oleh higher Christology atau lower Christology.

                  Kita akan melihat inkarnasi dari dua bagian alkitab yaitu Yoh 1:1-14 dan dan Fil 2:5-11. Mari melihat apa yang dikatakan Alkitab tentang siapakah Yesus dan bagaimanakah inkarnasi membentuk iman orang-orang percaya pada abad I.


                  Yoh 1:1-14.

                  Jika kita perhatikan penulis Injil selalu mengaitkan kedatangan Yesus kepada peristiwa historis yang terjadi pada masa sebelum Dia. Markus menghubungkan kedatangan Yesus dengan pelayanan Yohanes Pembaptis. Matius mengaitkan kedatangan Yesus dengan Abraham, dimana silsilah yang ditulis Matius berhenti di Abraham. Lukas mengaitkannya dengan Adam di mana Lukas menuliskan silisilah Yesus berhenti pada Adam. Dan injil Yohanes lebih jauh lagi dimana ia mengaitkan kedatangan Yesus dengan Allah sendiri. Yohanes mengaitkannya dengan titik yang jauh lebih kebelakang, yaitu penciptaan (pre Existence).

                  Yoh 1:1-14 ini bisa dikonstruksikan dalam tiga bagian dari perspektif Inkarnasi, yaitu bagaimana Yesus digambarkan sebelum inkarnasi (ay 1-5), pada waktu persiapan Inkarnasi (6-13), dan pada saat inkarnasi (14-48).

                  • Saat Sebelum Inkarnasi (1-5)
                  Sebelum Inkarnasi kita bisa melihat siapa Yesus. Dalam ay 1 dikatakan, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” Jadi Yesus adalah logos [Firman]. Kita bisa melihat bahwa ada relasi yang intim antara logos dan Allah – ‘Firman itu bersama-sama dengan Allah’. Bukan saja memiliki keintiman dengan Allah tetapi logos itu juga identik dengan Allah – ‘Firman itu adalah Allah’. Kata ‘bersama-sama’ membungkus keidentikan itu, tetapi intinya adalah Ia adalah Allah. Dia adalah Allah itu sendiri tetapi Allah itu sendiri adalah Allah yang berelasi dengan logos itu. Sekali lagi hal ini berbicara tentang sesuatu yang sangat kompleks. Bagaimana logos yang adalah Allah pada waktu yang sama digambarkan bahwa logos itu juga mempunyai keintiman. Saudara tidak bisa berhubungan dengan satu zat yang sama. Jika hanya ada satu unsur, maka unsur tersebut tidak bisa berelasi dengan unsur yang juga sama. Sebuah unsur anya bisa berelasi jika ada unsur yang lain. Ketika Yohanes mau bicara tentang relasi yang intim antara logos dan Allah, Yohanes tidak mau pembacanya berhenti pada keintiman. Dia mau mereka mengingat hal yang paling inti yaitu keidentikan. Logos adalah Allah itu sendiri. Logos adalah pencipta (3-5). Ini menjadi sebuah gaungo dari Kejadian pasal 1. Bukan saja Allah yang berfirman itu, tetapi Firman itu sendiri menjadi sebuah create power yang menciptakan semua yang kita sebut ciptaan. Sebelum berinkarnasi, Yesus digambarkan sebagai logos yang kekal yang bersama-sama dengan Allah dan firman itu adalah Allah itu sendiri. Pre-inkarnasi ini memberikan kepada kita perspektif lagi bahwa Dia adalah pencipta, hidup, dan terang. Semua atribut- atribut ini (pencipta, pemberi hidup, sumber terang) adalah sesuatu yang selalu dikaitkan dengan Yahwe dalam PL. Secara tidak langsung Yohanes ingin membawa pembacanya untuk berkesimpulan bahwa logos adalah Yahwe.

                  • Persiapan Inkarnasi (6-13)
                  Pada masa itu setiap kali ada pembesar datang maka ia akan mengirimkan utusannya terlebih dahulu. Jika sang utusan datang maka orang bisa mengantisipasi kedatangan tamu yang sebenarnya (band. 1:22-27). Yohanes adalah seorang utusan dan hal ini menandakan bahwa akan datang lagi yang lain setelah ia yaitu pribadi yang sangat Agung dan Mulia. Pengharapan mesianik bangsa Israel akan digenapi dan Yesus sang Inkarnasi itu juga adalah Mesias yang dinanti-natikan oleh orang Israel. Pada ay 10-13 kita bisa melihat bagaimana kira-kira respon orang akan inkarnasi. Ada yang menolak (10-11) dan menerima (12-13). Penolakan digambarkan sebagai sebuah gambaran yang ironis dimana Sang Pemilik tidak diterima oleh milik kepunyaaNya. Jika kita membaca seluruh kitab Yohanes kita akan menemukan dua hal ini, ada orang yang menerima dan ada orang yang menolak.

                  • Moment of Inkarnation (14-18)
                  Apa yang kita sebut dengan inkarnasi? Ay 14 dikatakan, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” Frase ‘Allah diam bersama kita’ mempunyai arti literal ‘memasang tenda diantara kita’. Ini adalah sebuah gambaran yang sekali lagi merupakan gaung dari apa yang digambarkan oleh PL. Hal ini merujuk kepada Tebernakel Yahweh yang diam diantara umat Israel dalam perjalanan keluar mereka dari Mesir ke Kanaan. Ini adalah sebuah gambaran yang menggambarkan akan persekutuan dan juga tentang kemuliaan. Kemuliaan Allah kembali hadir. Yesus itu ibarat tebernakel Allah yang hidup. Kemuliaan Allah ada lagi di tengah-tengah manusia. Kemuliaan yang diberikan sebelum dunia dijadikan penuh kasih karunia dan kebenaran. Moment of incarnation is moment of grace (hal ini diulang-ulang dari ay 14-17). Allah datang membawa hidup baik secara spiritual atau jasmaniah.

                  Pada ay 15 ada penegasan kembaliakan pre-eksistence Yesus (band 1:10). Kisah dalam Injil menunjukkan bahwa Yohanes lahir lebih dahulu dari Yesus, tetapi kemudian Yohanes berkata Dia telah ada sebelum aku ada (band. Yoh 8:58). Inkarnasi adalah puncak pewahyuan Allah akan dirinya sendiri. Anugerah membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Semua orang dalam PL jika melihat Allah akan mati. Dalam kesaksian Alkitab, hanya Musa yang pernah bertemu muka dengan muka dengan Allah dan masih hidup. Anugerah adalah hal yang memungkinkan kita bisa melihat Allah dalam wujud yang penuh dalam bentuk yang berbeda dan tidak akan mati ketika melihatNya. Inkarnasi membuat Allah bukan saja bisa dilihat, tetapi kita bisa berjalan dengan Dia.

                  Fil 2:5-11

                  Pada abad ke-18 atau 19 an ada teori lain yang berbicara soal inkarnasi. Teori ini tidak ada pada zaman sebelumnya. Ada sekelompok teolog (dari Jerman dan Inggris) yang mengembangkan teori yang disebut teori kenosis. Teori kenosis bisa didefinisikan dengan inkarnasi adalah tindakan anak Allah untuk membatasi diriNya sendiri akan keilahianNya. Sebuah kemauan untuk membatasi dirinya sendiri. Ketika Yesus berinkarnasi Dia memutuskan – dalam kerelaanNya - untuk tidak memakai sepenuhnya atribut-atrubit Alah yang ada dalam dirinya.

                  Teori ini memiliki banyak variasi. Teolog-teolog Jerman manyatakan bahwa Yesus benar-benar membatasi diriNya ketika Ia hidup di dunia. Tetapi teolog-teolog Inggris memberi sudut pandang lain. Mereka sebetulnya tidak mengatakan bahwa kenosis marupakan tindakan Yesus tetapi lebih kepada sebuah bentuk homevisition, yang mengatakan bahwa Kristologi yang sering di dalam alkitab adalah Kristologi yang tidak melakukan keadilan atau perlakuan yang adil terhadap kemanusian Yesus.
                  Pertanyaan kita bukan membahas mana yang benar dari dua pandangan di atas tetapi apakah teks ini bicara soal kenosis.

                  Ay 5 berkata, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,”. Dalam ayat sebelumnya kita bisa melihat bahwa ayat ini lebih kepada sebuah nasihat kepada orang-orang Filipi yang bersifat sosial. Paulus sedang menuliskan nasihat ini dan membangunnya dari sebuah refleksi teologi tentang inkarnasi Yesus. Ia ingin mengajak pembacanya untuk melihat Yesus dan meneladaniNya dan menjadi orang yang rendah hati dan mengutamakan orang lain. Dalam terjemahan aslinya ay 5 ini bisa diterjemahkan sebagai berikut ‘Lihat dan ingatlah Yesus dan cobalah untuk bisa berpikir dan bertindak seperti Dia”. Seperti apa yang dimaksud?

                  Dalam ay 6 dikatakan, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan”. Yesus tidak meninggalkan kualitas, tetapi yang Ia tidak pertahankan adalah kesetaran (equality not quality). Inkarnasi Yesus dimulai dari kemauan bebas Allah untuk tidak mempertahankan kesetaranNya. Status keallahan itu Ia tinggalkan dan membuat Ia bisa datang ke dalam dunia dalam wujud manusia. Ia tidak akan bisa melakukannya jika ia tidak meninggalkan kesetaraan itu. Inkarnasi hanya mungkin terjadi kalau Ia melepaskan kesetaraan itu tanpa harus meninggalkan kualitasnya. Dalam banyak hal, Yesus masih Mahatau walaupun Ia tidak selalu mendemontrasikan kemahatauanNya. Ia juga masih bisa membangkitkan orang mati. Ia tidak berdoa kepada Allah seperti para nabi yang berdoa kepada Allah untuk membangkitkan orang mati. Hal ini menunjukkan masih banyak kualitas Allah yang ada pada dirinya sewaktu Ia menjadi manusia. Ia tidak berubah, tetapi kesetaraan itu Ia tinggalkan. Apa wujud kesetaraan itu juga tidak bisa kita pahami secara penuh.

                  Ia juga mengosongkan diri (7). Tidak berhenti disitu namun mengambil rupa seorang hamba lalu menjadi sama dengan manusia. Bahkan lebioh lagi dimana sebagai manusia Ia merendahkan diriNya dan taat sampai mati bahkan mati di kayu salib (8). Seolah-olah Paulus ingin mangatakan kepada pembacanya bahwa Allah saja mau merendahkan diriNya sedemikan, masakan kita yang bukan Allah tidak mau melakukan hal yang sama? Bukankah Yesus adalah Allah, dan sejak Ia menjadi manusia Ia tidak menjadi manusia yang meninggikan diri tetapi merendahkan diri. Jika Ia adalah Allah yang menjadi manusia dan ketika Ia menjadi manusia Ia dengan rela merendahkan diriNya lagi, maka betapa sombongnya kita ini jika tidak bisa merendahkan diri kepada orang lain.

                  Ini adalah sebuah refleksi teologi yang dibuat oleh Paulus. Paulus memakai bagaian ini sebagai refleksi teologisnya dan menjadikannya sebagain dasar argumennya untuk mengatakan kepada pembaca suratnya bahwa tidak ada alasan untuk tidak merendahkan diri kepada orang lain. Mengapa? Karena Allah sudah merendahkan diri. Secara moral merendahkan diri harusnya menjadi mode atau cara hidup atau pilihan-pilihan yang dipilih oleh orang-orang percaya terhadap orang lain. Paulus sekarang mengaitkan sebuah refleksi teologis untuk membangun sebuah karakter. Ini sebagai sebuah refleksi teologis yang dilakukan Paulus yang bergerak dari teologi sebagai sebuah konstruksi konsep dan filsafat menjadi sebuah platform etika moral dan sosial.

                  Di sinilah interaksi perenungan-perenungan kitab suci dengan pembentukan karakter. Jadi waktu kita membaca alkitab dan merenungkan perbuatan-perbuatan Tuhan harusnya itu membawa kita kepada sebuah transformasi karakter. Jika tidak, maka dia tidak sampai kepada tujuan akhirnya. Kita boleh belajar setinggi apapun, tetapi jika pelajaran ataupun perenungan teologi kita yang sangat tinggi tetapi tidak membuat kita bisa turun dan merendahkan diri maka itu adalah sebuah tragedi. Disinilah kita melihat keterkaitan antara teologi dan etika. Berteologi seharusnya tidak berhenti pada pembangunan sebuah wacana berpikir saja namun seharusnya tiba pada formasi moral dan etika. Lewat teks ini Paulus mengajak pembacanya untuk menjadikan Inkarnasi menjadi kerangka yang membangun hubungan antar priobadi orang-orang percaya. Allah telah menjalani perjalan untuk menjadi sama dengan manusia. Sebuah perjalanan dari tempat yang paling tinggi dan turun tempat yang paling rendah. Jika Allah telah menjalani ini, seharusnya kita juga bisa melakukan perjalanan untuk turun ke bawah. Perjalanan iman itu seharusnya menjadi perjalanan yang turun ke bawah bukan naik ke atas.

                  Dalam ay 9-11 ada hal yang menarik. Ketika Yesus ditinggikan Ia menjadi pasif. Yesus tidak meninggikan diriNya sendiri. Yang meninggikan dirinya adalah Allah, tetapi ketika Ia turun dan merendahkan diri Ia yang aktif. Ini adalah sebuah perenungan yang menarik. Kita sering terbalik. Kita begitu aktif untuk meninggikan diri dan begitu pasif untuk merendahkan diri. Yesus memberikan sebuah model dimana kita seharusnya aktif membuat diri kita semakin lama semakin rendah untuk bisa melayani Tuhan dan sesama dan membiarkan Allah atas kemauanNya sendiri untuk membuat kita – kalau dirasa perlu-semakin tinggi. Jangan terlalu aktif untuk meninggikan diri. Jika kita ingin memakai ayat ini dengan konsisten jangan hanya terlalu tetapi tidak boleh sama sekali aktif. Tindakan meninggikan diri itu harusnya pemberian Allah jika dianggap perlu oleh Allah. Pada waktunya jika Allah ingin meninggikan Ia akan melakukannya.

                  Inkarnasi itu menjadi sebuah refleksi teologis yang baik bagi kita. Kita bisa menjadikan inkarnasi menjadi komoditas perdebatan teologis yang rumit. Tetapi harus tetap mengarahkan kepada penegnalan akan Kristus yang semakin dalam agar tidak kehilangan esensinya karena sesensi dari teologis adalah kita bertemu dnegan Tuhan dan semakin mengenalnya dengan baik. Atau kita juga bisa memakai inkarnasi itu menjadi refleksi-refleksi teologis yang menyuburkan iman kita.

                  Refleksi
                  Jürgen Moltman, seorang teolog Jerman, membedakan antara apa yang disebut ‘Inkarnasi kebetulan’ [fortuitous Incarnation] dan ‘Inkarnasi yang diperlukan’ [Necessary Incarnation]. Yang kedua memberikan penekanan makna sotereologis (doktrin keselamatan) kepada Inkarnasi dimana Anak Allah menjadi manusia agar Ia bisa menyelamatkan kita dari dosa. Sedangkan yang pertama, di sisi lain berbicara tentang Inkarnasi sebagai pemenuhan kasih Allah, keinginanNya untuk hadir dan hidup di tengah-tengah umat manusia, untuk “berjalan bersama kita di taman Eden”.

                  Inkarnasi menjadi sebuah gambaran yang paling nyata memperlihatkan keinginan Allah yang begitu besar untuk bersekutu dengan kita. Allah begitu mengasihi kita dan Ia ingin kembali bersekutu degan kita. Seluruh potret manusia dengan Allah hanya berbicara mengenai hal ini. Kitab Kejadian berbicara soal Allah yang intim dengan manusia di taman Eden. Kemudian manusia jatuh dalam dosa. Tetapi kejatuhan itu tidak membuat kerinduan Allah bersekutu dengan manusia hilang. Inkarnasi adalah wujud Allah sekali lagi datang dan berjalan dengan kita. Dan gambaran akan pesekutuan dengan Allah ini kelihatan kembali dalam kitab Wahyu dimana kita bersama-sama dengan Allah lagi untuk selama-lamanya. Darimana kita tahu bahwa Allah mengasihi kita dan ingin emyelamatkan kita, lihatlah inkarnasi. Inkarnasi adalah sebuah undangan untuk kita bisa kembali bersatu dan berjalan bersama dengan Allah.

                  Inkarnasi juga memberikan kepada kita nilai yang begitu tinggi terhadap kemanusiaan. Alkitab memebrikan bahwa ada dua poin penting akan kemanusiaan. Pertama kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Fakta ini sebenarnya sudah cukup membuat kita tersanjung ke awang-awang. Yang kedua, Allah berinkarnasi menjadi manusia. Allah tidak merasa enggan atau terhina ketika Ia menjadi manusia. Allah bangga menjadi manusia. Setelah bangkit Yesus tidak meninggalkan wujud manusianya. Ia masih manusia. Dan jika kita membaca Wahyu, bahkan dalam kemuliananNya ketika Ia datang kembali, kita akan menemukan Dia sebagai manusia. Bersama dengan kita dalam seluruh kekekalan, Yesus akan hadir dalam bentuk manusia. Nilai yang tinggi akan kemanusiaan.

                  Itulah sebabnya orang kristen haruslah menjadi orang yang pertama di garis depan untuk memperjuangkan segala pelanggaran terhadap hak-hak manusia, segala bentuk tindakan yang merendahkan martabat manusia, atau segala bentuk apapun juga yang melecehkean kemanusiaan. Karena hal itu betentangan dengan potret manusia yang diberikan oleh Alkitab. Itulah sebabnya orang Kristen harus terlibat dalam pengembangan masyarakat (community development). Siapa yang mengatakan bahwa pengembangan masyarakat tidak alkitabiah berarti dia tidak memahami apa yang alkitab katakan tentang kemanusiaan.

                  Inkarnasi seharusnya membuat kita menghargai manusia seutuhnya. Perjumpaan kita dengan Allah yang berinkarnasi itu adalah adalah puncak pemenuhan hidup manusia itu sendiri. Itu sebabnya kita tidak bisa memisahkan penginjilan dan pengembangan kemanusiaan. Allah telah menjadi manusia dan jangan membuat manusia menjadi seseuatu yang rendah dari apa yang dimakudkan oleh Allah. Kita harus menghargai kemanusiaan kita baik diri sendiri atau orang lain sebagaimana yang Aklitab kehendaki. Solideo Gloria!