Friday, July 25, 2014

Self-Leadership

Laksana Umanda Sitanggang

[Kotbah ini merupakan bagian ke 03 dari Seri KEPEMIMPINAN yang disampaikan pada ibadah Mimbar Bina Alumni 31 Mei 2013] 

Sebagai manusia kita bisa membayangkan diri kita berada di tempat lain – misalkan di pantai. Kita bisa membayangkan bagaimana kita berjalan di sana dengan seseorang yang kita kasihi. Semua adegan bisa kita lihat dengan jelas dan bisa merasakan setiap moment yang ada dalam imajinasi kita dan menjadi bagian dari pengalaman kita. Kita sebagai penonton terhadap diri kita sendiri. Ternyata kita memiliki kemampuan untuk memisahkan diri kita dari kenyataan. Kenyataannya kita sedang berada di sini, tetapi kita bisa menempatkan diri kita di suatu tempat lain.

Dengan kata lain kita bisa menjadi sutradara terhadap diri kita sendiri, di mana kita mengatur bagaimana kita berperilaku, berbicara, dan bersikap. Bahkan sesungguhnya memahami hal ini kita bisa memenangkan pertarungan bahkan sebelum perang dimulai. Misalnya, pada suatu malam minggu dan kita hendak pergi ke rumah seseorang yang kita sukai. Kita sudah melakukan persiapan bagaimana nanti jika ditolak dnegan memikirkan alternatif sikap kita. Bisa saja nanti akan berkata “Terimakasih untuk jawabanmu. Akhirnya saya tahu bahwa selama ini saya berdoa dengan orang yang salah”. Jadi, sebelum kita menghadapi kenyataan ini kita sudah bisa menang. Inilah keajaiban dan kelebihan manusia.

Kristopher dan temannya Charles mengatakan bahwa ada sebenarnya seseorang di mana bersamanya kita menghabiskan banyak waktu dibandingkan dengan siapa pun. Seseorang yang sangat berpengaruh dan mampu mendukung kita lebih dari siapapun. Seseorang itu adalah diri kita sendiri.

Selfleadership atau kepemimpinan pribadi adalah berbicara mengenai hubungan ‘saya’ dengan ‘saya’; tentang bagaimana kita memperlakukan ‘diri saya’ sendiri, tentang bagaimana ‘saya ‘ memimpin, mengarahkan, atau mengatur ‘diri saya’. Ada banyak aspek dalam kepemimpinan pribadi dan saat ini kita hanya akan fokus kepada dasar-dasarnya.

Mari melihat kepada tiga bagian firman Tuhan. Pertama adalah Kej 3:1-6, yaitu kisah mengenai kejatuhan Adam dan Hawa. Kedua dari Hakim-Hakim 16:15-16, kisah mengenai Samson yang memberitahukan rahasi kekuatannya. Ketiga adalah dari Kej 39:7-12, yaitu kisah Yusuf yang digoda oleh isteri Potifar. Apa yang kita pelajari dari ketiga bagian ini? 

Dalam kisah Adam dan Hawa kita menemukan bahwa ketika manusia pertama itu memakan buah yang dilarang itu – yang terjadi oleh karena ketidaktaatan mereka – maka jatuhlah mereka dan seluruh keturunannya dalam dosa.  Dalam kisah itu kita melihat bagaimana ketidaktaatan mereka menghasilkan konsekuensi yang tidak ringan bahkan tragis dan terjadi sampai sekarang dan sampai pada masa yang akan datang. Pertanyaannya adalah mengapa mereka jatuh? Dalam kisah itu kita melihat bahwa si ular sama sekali tidak ada mengajak Hawa untuk memakan buah itu. Si ular hanya memutar balikkan fakta atau kebenaran. Tidak saja bujukan atau rayuan untuk memakan buah itu. Bahkan tidak ada ancaman terhadap Hawa jika dia tidak memakan buah itu yang bisa membuat kita menyimpulan bahwa dia melakukannya dengan terpaksa. Tidak ada sama sekali. Nah, mengapa mereka memakannya? Dalam kisah itu kita melihat bagaimaman Hawa melihat buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya. Kemudian dia mengambilnya dan memakannya. Dia tidak dipaksa tetapi itu terjadi karena pilihannya sendiri. Tidak ada upaya untuk bertahan dan berpegang kepada perintah Tuhan. Dia memakannya kerena pilihan sadarnya untuk memakannya.

Dalam kisah Simson berbeda lagi. Ketika perempuan itu menanyakan letak kelemahannya, Simson menolak untuk menjawab. Dia bertahan. Tetapi perempuan itu berhari-hari merengek-rengek kepadanya dan terus mendesak-desak dia, dan akhirnya Simson tidak dapat lagi menahan hati, sehingga ia mau mati rasanya. Bahkan sampai perempuan itu mempertanyakan kadar cintanya.  Simson akhirnya jatuh dan menceritakan kelemahannya. Kelihatannya, apa yang dilakukan Simson jauh lebih masuk akal dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Adam dan Hawa.

Kemudian mari melihat Yusuf. Rayuan kepada Yususf adalah untuk tidur denagn isteri Potifar. Pastilah isteri Potifar ini merayu bukan hanya sekali atau dua kali dan pastilah juga perempuan ini tidak tampil apa adanya tetapi akan menunjukkan penampilannya yang paling menarik ketika mengajak Yusuf tidur. Kemudian pada suatu hari yang sangat memungkinkan, di mana hanya dia dan Yusuf yang ada di rumah pada saat ini. Dia kemudian kembali mengajak Yusuf. Tetapi Yusuf tidak mau. Walaupun ia menyadari yang ditolak adalah nyonyanya dan ia budak, ia tetap memilih untuk menolak.

Apa yang membedakan dari ketiga tokoh dalam tiga kisah di atas? Dimananya ketiga pihak ini berbeda? Ada yang digoda seperti mau mati rasanya akhirnya jatuh. Ada yang digoda oleh nyonyanya tetapi menolak. Tetapi yang lain, tanpa digoda bahkan terjun bebas. Dimanakah letak perbedaannya? Mereka berbeda dalam hal responsibility, tapi yang dimaksud disini bukan tanggungjawab. Akar kata responsibility adalah response dan ability. Jadi bisa dikatakan bahwa responsibility adalah kemampuan untuk mengambil respon atau kemampuan untuk memberi tanggapan. Dalam hal inilah mereka berbeda.

Kalau kita berbicara kepemimpinan intrapribadi maka kita sedang masuk dalam kesadaran bahwa kita mampu untuk memilih tanggapan kita terhadap segala sesuatu. Kalau kita berbicara selfleadership kita sedang berbicara tentang kesadaran bahwa ‘saya mampu memisahkan diri saya dari realitas’ di mana ‘saya mampu menjadi penonton, sutradara bagi diri saya dan saya mampu memenangkan penrtempuran bahkan sebelum pertempuran itu dimulai. Saya mampu memilih apa yang harus kulakukan’. Itulah dasar dari kepemimpinan pribadi.

Baik Adam dan Hawa, Simson, atau Yusuf sama-sama menghadapi godaan. Dalam kejatuhannya, Adam dan Hawa mencari kambing hitam. Padahal Hawa sendiri yang memilih untuk memakannya. Kelihatannya Adam dan Hawa tidak menyadari kalau merekalah yang memilih sendiri untuk memakan buah. Berbeda dengan Simson, di mana dia awalnya bertahan dan kemudian dirayu berulang-ulang. Karena didesak sedemikian rupa dia akhirnya memberitahukan kelemahannya. Lihat, pada awalnya dia tidak mau memberitahukan rahasianya. Pada akhirnya dia memilih untuk memberitahu bukan terpaksa. Memberitahukan rahasianya adalah pilihan dasar dari Simson. Itulah sebabnya dia tidak pernah mengomel akan pilihannya dan tidak pernah melemparkan tanggungjawab terhadap pilihannya itu karena itu adalah pilihan sadar dan dia menerima konsekuensi dari perbuatannya itu.

Demikian juga dengan Yusuf yang dirayu berulang-ulang. Sebagai seorang anak muda tentu saja Yusuf memiliki gairah seksual yang tinggi. Pasti juga ada pergumulan dalam hati Yusuf ketika isteri Potifar mengajak dia tidur. Pergumulan antara ya atau tidak. Dia pasti memikirkan konsekuensi dari jawaban ya atau tidak. Bermacam-macam mungkin pergulatan dalam dirinya untuk memilih sikapnya. Dan pada akhirnya dia memilih untuk menjawab ‘tidak’. Dia memilih dari berbagai altenatif itu apa yang menjadi pilihannya. Ketika dia memilih untuk menjawab tidak, dia akhirnya dimasukkan kepenjara. Tetapi dia juga tidak mengomel dan mencari kambing hitam dan siap menerima konsekuensinya. 

Inilah perbedaan antara mereka. Inti kepemimpinan pribadi itu adalah kesadaran dalam diri kita bahwa apapun yang kita lakukan, kita lakukan karena  kita pilih untuk kita lakukan, tidak ada kata terpaksa untuk kita lakukan.

Ada banyak bagian dari Alkitab mulai dari PL sampai PB tentang ‘memilih untuk melakukan sesuatu’ mis dalam dalam Maz 119:173; Amsal 1:29-31; Amsal 3:31; dan masih banyak lagi. Apapun yang kita lakukan kita lakukan karena kita pilih untuk kita lakukan. Tidak ada orang yang pernah bisa memaksa kita untuk melakukan sesuatu. Yusuf sebenarnya dibawah paksaan untuk menuruti keinginan nyonyanya tapi dia memilih untuk tidak melakukannya. Simson memang dipaksa untuk melakukan pilihan itu, tetapi bukan karena paksaan karena ia memilih untuk mengikuti paksaan itu karena sebelumnya dia memilih untuk tidak mengikutinya. 

Perasaan ditinggalkan seseorang yang kita sayangi karena dia akhirnya menikah dengan teman baik kita adalah perasaan yang bisa menimbulkan sakit hati. Tetapi ingat, ketika kita sakit hati itu karena kita memilih untuk sakit hati. Kepemimpinan pribadi adalah ‘aku memilih untuk besikap’. Ketika kita merasa remuk dan hancur itu karena kita pilih untuk merasa demikian. Memang pasti ada masa-masa suram dalam kondisi seperti ini. Tetapi jika kita semakin larut dalam sakit hati itu terjadi karena kita memilih untuk sakit hati. Bukan hanya sakit hati yang menjadi pilihan. Kita bisa memilih sikap yang lain karena ada banyak alternatif pilihan yang bisa kita pilih. Inilah dasar dari selfleadership. Mari menyadari dan mengamini bahwa kita bisa seperti itu karena kita memilih untuk menjadi seperti itu dan hal tersebut kita lakukan bukan karena terpaksa.

Dikecewakan atau dikhianati adalah stimulus yang bisa kita rasakan. Ketika stimulus seperti ini datang kepada kita maka respon spontan kita adlah marah, sakit hati, atau kecewa. Tetapi sebenarnya ketika stimulus datang kepada kita ada sebuah ruang dimana kita bisa memilih. Ketika stimulus yang datang ekpada kita adalah sesuatu yang menyakitkan sebenarnya kita memiliki waktu untuk memikirkan respon apa yang harus kita tunjukkan. Ingat, Simson berulang-ulang terus didorong untuk memberitahukan apa rahasianya dan dia tidak langsung menyerah. Ada masa di mana ia mempertahankan sikapnya sampai pada akhirnya dia memilih untuk tidak mempertahankannya. Ada ruang di mana kita bebas untuk memilih. Demikian dengan Yusuf yang diajak terus-menerus. Tentu saja ada pergumulan dan range waktu di mana dia bergumul dalam ruang untuk memilih antara ya atau tidak. Baru kemudian ia memilih untuk menjawab tidak.

Inti kepemimpinan pribadi terletak di ruang itu. Kualitas hidup kita terletak di ruang itu, ruang antara stimulus dan respon. Seseorang berkata ketrampilan dasar dari kepemimpinan pribadi itu adalah berhenti dan mundur dari setiap hal yang mendorong kita untuk bertindak. Jika kita langsung bertindak maka yang menjadi pengendali akan tindakan kita adalah stimulus itu, bukan diri kita. Tetapi jika kita berhenti dan berpikir apa yang harus kita lakukan dalam hal seperti ini maka bukan stimulus yang menjadi pengendali kita tetapi diri kita sendiri. Di sinilah kualitas kepemimpinan pribadi – ruang untuk memilih yang menentukan kualitas hidup seseorang.

Yesus juga dalam akhir masa hidupnya mengalami hal ini. Yesus menyadari bahwa anak manusia datang untuk menanggung banyak penderitaan bahkan dibunuh dan bangkit pada hari yang ketiga. Ketika semakin mendekati akhirnya hidupNya, Dia yang awalnya dengan mantap menegur Petrus karena menghalangi penderitaannya, menjadi sangat bergumul. Dia berdoa jika kiranya memungkinkan cawan itu lalu dari padaNya. Di Getsemane adalah masa pergumulan bagi Yesus untuk memilih respon. Alternatif pertama adalah ‘jikalau mungkin cawan ini berlalu daripadaKu’. Dan alternatif kedua adalah ‘tetapi jangan kehendakKu tetapi kehendakMulah yang terjadi’

Yesus berdoa sebanyak tiga kali. Dan akhirnya Dia menetapkan hati untuk memilih cawan itu. Dengan hati yang mantap dan tidak takut lagi Dia kemudian membangunkan ketiga murid-muridNya dan memerintahkan mereka bersiap-siap karena Dia akan ditangkap. Yesus sudah memenangkan pertempuran dengan keyakinan yang teguh sebelum Dia ditangkap dan dibawa. 

Perbedaan itu benar-benar ada jika kita memikirkan dengan matang apa yang akan menjadi respon kita. Kita bisa memenangkan pertempuran dan bagimana kita menjalani proses selanjutnya bahkan siap dengan kosekuensi dari respon kita tersebut. 

Paulus juga dalam pergumulan untuk memilih respon mana yang harus dia pilih. Dia mengatakan, “Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya,” (1Kor 9:27). Ini adalah proses di ruangan kebebasan untuk memilih. Itulah sebabnya dia bisa berkata, “Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah; kami telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama dengan kotoran dari segala sesuatu, sampai pada saat ini” (1Kor 4:12-13). Hal ini tidak bisa terjadi secara otomatis. Pastilah Paulus memiliki masa untuk bergumul dalam memilih responnya. Dia melatih dirnya dan menguasainya supaya tahu memilih apa yang baik dan yang jahat. 

Ketika besok di kantor ada hal yang membuat kita marah dan akhirnya kita menjadi marah. Hal ini terjadi bukan karena seharusnya kita marah tetapi karena kita memilih untuk marah. Bukankah sebenarnya ada banyak alternatif pilihan lain selain dari marah? Bahkan jika kemampuan kerja kita tetap di bawah standar itupun karena kita memilih tetap seperti itu. Kita tahu bahwa kebutuhan akan bahasa Inggris dan Komputer begitu dituntut untuk bagus dan jika kemampuan kita masih seperti-seperti itu sadar atau tidak sadar itu terjadi karena kita memilih untuk seperti itu, bukan karena terpaksa seperti itu. Konsekuensinya sangat besar jika kita memahami konsep ini. Jika kita bermasalah dengan karakter yang kasar atau ketus, itu pun terjadi karena kita memilih untuk tetap seperti itu bukan karena harus seperti itu. Jika saya kecewa itupun terjadi karena saya memilih untuk kecewa. Jika saya marah itupun terjadi karena saya memilih untuk marah. Jika saya tidak melakukan sesuatu dengan tidak benar itu terjadi karena saya memilih untuk tidak melakukannya dengan benar. Itulah kepemimpinan pribadi, di mana ada ruang untuk memilih respon.

Dalam ruang itu ada banyak pilihan respon dan satupun diantaranya tidak mengandung nilai kebenaran. Kenapa kita sering gagal untuk memilih respon yang tepat atau benar adalah akrena kita kekurangan perbendaharaan terhadap hal-hal yang baik dan yang benar. Dalam banyak kasus kita sudah mencoba untuk memilih tetapi tidak menemukannya karena kekosongan perbendaharaan. Di sinilah kebenaran firman Tuhan tergenapi, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2Tim 3:16). Inilah solusi untuk mengatasi minimnya perbendaharaan pilihan dalam ruang kosong tadi. Kita harus selalu bersahabat dengan kebenaran firman Tuhan agar ada alternatif-alternatif pilihan yang benar. Kita sering memilih untuk tidak mengisi diri kita sehingga pilihan yang muncul hanya itu-itu saja. Sebagai orang percaya maka seharusnyalah sumber pilihan kita adalah kebenaran firman Tuhan.

Kita sudah tahu banyak, tetapi kenapa kita belum melakukan? Apa masalahnya? Ingatlah, dalam Yoh 15:5b dikatakan, “sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” Selalu berada dalam pokok anggur yang benar adalah situasi yang selalu memampukan kita untuk memimpin diri kita dengan benar, untuk memiliki kemampuan kepemimpinan pribadi.

Ada banyak situasi yang bisa kita lihat untuk mengukur kepemimpinan pribadi kita.
  1. Ada sebuah situasi di mana hari itu hujan turun dan menyebabkan kita terlambat ke kantor. Lalu kita menjadikan hujan itu alasan keterlambatan kita padahal kita mengetahui bahwa kita sebenarnya bisa tidak terlambat walau hujan datang. Fakktor-faktor fisik kita jadikan alasan untuk tidak mengerjakan tanggungjawab. Bermacam-macam alasan yang kita keluarkan yang kedengarannya logis sekali. Tetapi kita tahu itu bukan permasalahan sebenarnya. Kita tidak sedang mengatakan bahwa hujan itu tidak berpengaruh. Pasti berpengaruh. Tetapi kita menjadikan hal itu sebagai temeng untuk pembelaan diri, padahal kita sebenarnya bisa mengatasi hal itu dan tidak terlambat. Pilihan seperti ini menunjukkan bahwa tingkat kepemimpinan pribadi kita masuh rendah.  
  2. Kita sangat dipengaruhi lingkungan sosial. Kita sangat dipengaruhi oleh apa yang dikatakan orang lain atau bagaimana orang memperlakukan kita. Jika kita disanjung, dihargai, dipuji, atau diharapkan maka semangat kita begitu melonjak. Tetapi ketika kita disalah mengerti, diremehkan, pekerjaan kita tidak dianggap, maka kita berkecil hati dan merasa kecewa bahkan semangat kita bisa mundur bahkan kita akhirnya memilih untuk mundur. Ketika kita memilih hal ini, ingatlah bahwa yang menjadi pengendali kita adalah sikap atau perilaku orang lain, bukan diri kita sendiri. Kita tidak bisa mengatur bagaimana orang bersikap terhadap kita. ketika kita memilih hal ini berarti tingkat kepemimpinan pribadi kita juga masih rendah
  3. Kita selalu berfokus pada kelemahan orang lain. Artinya kelemahan orang lain itu kita jadikan alasan untuk tidak melakukan tanggungjawab kita. Jika kita melihat kisah mengenai talenta yang diberikan kepada tiga hamba (Mat  25:15-28) kita bisa menemukan kasus seperti ini. Alasan hamba yang diberi satu talenta tidak mengusahakan talenta yang diberikan kepadanya adlah karena dia mengetahui siapa tuannya, yang dikatakan adalah kejam. Jika hambat ini mengetahui, tentu saja kedua hamba yang lain juga mengetahui hal ini. Tetapi pengetahuan mereka akan kelemahan tuannya tidak membuat mereka mengabaikan tanggungjawab mereka. Seberapa sering dan banyak kita menggunakan kelemahan orang lain sebagai lasan kita tidak mengerjakan tanggung jawab kita (misalnya boss yang otoriter atau rekan sekerja yang tidak koperatif, dll)?  Ketika kita bergantung kepada kelemahan orang lain maka kita sedang memberi kekuatan kepada kelemahan orang lain itu untuk mengendalikan diri kita.
  4. Ketika dihadapkan pada kelemahan orang lain atau hal-hal sosial yang tidak mendukung maka yang kita harapkan bahwa yang berubah adalah hal-hal yang lain itu, bukan kita. Ketika kita selalu berharap agar kita optimal maka semua yang di luar sana itu harus berubah itu artinya kita melepaskan tanggungjawab. Hal ini juga menunjukkan kepemimpinan pribadi kita masih rendah.
  5. Sering sekali bahasa yang kita gunakan selalu membebaskan kita dari tanggungjawab. ‘Memang saya seperti itu’ atau ‘Memang itulah saya’ atau ‘Itulah karakterku, kan aku orang Batak’ atau ‘Aku tidak bertanggung jawab karena sudah kukatakan aku seperti itu’  adalah contoh-contoh bahasa yang sering kita gunakan untuk melepaskan tanggungjawab kita. Ketika kita biasa menggunakan bahasa-bahasa yang suka mengalihkan tanggungjawab dari diri kita, maka kita harus lebih lagi berjuang untuk memimpin diri kita sendiri. Simson atau Yusuf untuk memilih respon mereka dan tidak ada sama sekali omelan dari diri mereka walaupun konsekuensi dari pilihan mereka adalah sesuatu yang tragis. Mereka tidak melepaskan tanggung jawab mereka.
  6. Suka berbohong atau mengaburkan. Kalau berbohong kita mungkin tidak lagi. Definisi berbohong itu tidak sebatas mengatakan ya pada yang tidak atau mengatakan tidak pada yang ya. Mengaburkan juga adalah kategori berbohong. Benarnya ada hujan tetapi sebentar, tetapi hal itu kita jadikan alasan karena keterlambatan kita, padahal alasan sebenarnya adalah karena telat bangun. Ketika kita suka mengaburkan agar kelihatan logis dan mudah diterima maka kita terjebak dalam kebohongan. Hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat kepemimpinan pribadi yang rendah.
Banyak aspek dari kepemimpinan pribadi, tetapi kita hanya fokus kepada dasarnya agar kita sungguh-sungguh menyadari bahwa apapun yang kita lakukan hal tersebut kita pilih untuk kita lakukan, tidak ada paksaan untuk melakukannya. Karena kita menyadari bahwa hal itu kupilih untuk melakukan maka tanggungjawabnya juga ada padaku. Jika di antara pilihan tidak ada satupun yang menjadi pilihan yang benar maka kita perlu mengubah perbendaharaan pilihan dengan firman Tuhan. Jika pilihan yang benar ada tetapi kita tidak mampu melakukannya, ingatlah ‘di luar Aku kamu tidak bisa berbuat apa-apa’. Mari fokus dan harus terus-menerus bergantung kepada Dia yang memberi kekuatan kepada kita. Ingat, jika kita sakit hati itu terjadi karena kita memilih untuk sakit hati dan kita melakukannya tanpa paksaan. Tidak ada satu orangpun yang bisa memaksa kita untuk melakukan sesuatu karena kita bebas untuk memilih respon kita. Inilah kepemimpinan pribadi – ketika aku melakukan sesuatu itu terjadi karena aku memilih untuk melakukan sesuatu itu.

Solideo Gloria!

Tanggung Jawab


Pelayanan, Pekerjaan, dan Keluarga


Ir. Simon Dertha Tarigan

[Kotbah ini merupakan bagian ke 2 dari Seri KEPEMIMPINAN yang dibawakan dalam ibadah Mimbar Bina Alumni 17 Mei 2013]

Hari ini kita akan memasuki seri kedua mengenai leadership dan kali ini kita akan berbicara mengenai tanggung jawab (Pelayanan, Pekerjaan, dan Keluarga). Tanggung jawab berarti ada satu tugas atau panggilan yang merupakan kewajiban yang harus kita kerjakan. Berbicara soal area pekerjaan, pelayanan, dan keluarga, maka langkah pertama yang harus kita pahami dan yakini adalah apa yang dikatakan firman Tuhan kepada kita tentang ketiga hal ini? Sebagai orang yang percaya kepada Kristus seharusnyalah seluruh kebenaran dan perintah ataupun kehendak Allah yang dinyatakan dalam firmanNya tentulah adalah hal yang harus kita kerjakan.

Ada tiga panggilan bagi orang yang percaya. Panggilan yang pertama adalah panggilan untuk melayani. Dalam Ef 2:10 dikatakan, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” Mari melihat kepada frase ‘yang persiapkan Allah sebelumnya’. Ketika saya merenungkan bagian ini, saya menyadari dan diingatkan kembali bahwa ketika Tuhan menciptakan saya kembali menjadi ciptaan baru adalah untuk melakukan pekerjaan baik yang sebelumnya telah dipersiapkan Allah. Artinya adalah bahwa sebelum kita diselamatkan oleh darah Kristus, Allah telah memilih dan mempersiapkan bagi kita suatu pekerjaan atau tanggungjawab. Ketika kita belum dilahirkan kembali kita tidak bisa melihat apa pekerjaan yang tekah dipersiapkan oleh Tuhan, bahkan mungkin kita menolak terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan yang telah dipersiapkan oleh Allah. Kita diselamatkan bukan untuk menjadi bebas tanpa tujuan atau bebas untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan kehendak kita. Firman Tuhan mengatakan bahwa kita diselamatkan untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan oleh Allah sebelumnya. Hal ini mengingatkan kita bahwa kita mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan Tuhan dalam hidup kita.

Dalam 1Pet 2:9 dikatakan, “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.” Secara pribadi saya selalu dikuatkan ketika membaca ayat ini. Ayat ini mengingatkan saya bahwa Allah menciptakan saya untuk melakukan pekerjaanNya yang besar. Oleh karena itu ketika kita sebagai alumni yang sudah mengaku percaya kepada Yesus, tetapi tidak memiliki pemikiran bahwa Allah memiliki rencana yang besar dalam hidup kita, berarti kita telah salah memahami panggilan Tuhan. Firman Tuhan mengatakan bahwa kita dipanggil oleh Allah dalam suatu rencana yang besar untuk menceritakan perbuatan-perbuatan Tuhan yang ajaib. Tuhan tidak memanggil kita untuk bertanggungjawab terhadap pekerjaan-pekerjaan yang kecil. Saya selalu mengatakan kepada mahasiswa saya di jurusan Teknik Sipil demikian, “Jika engkau menjadi sarjana tekni sipil hanya untuk mengawasi pekerjaan-pekerjaan kecil itu bukan maksud dari Allah dalam hidup mu.” Saya yakin Allah memilih saudara dan saya bukan untuk melakukan hal-hal yang kecil. Tanggungjawab pelayanan adalah tanggungjawab yang besar yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Allah yang besar tidak mungkin memberikan pekerjaan yang kecil. Apapun yang dipikirkan dan dipersiapkan Allah bagi kita adalah hal-hal yang besar. Itulah sebabnya dalam setiap pekerjaan kita harus bertanya kepada Tuhan apakah yang sedang kita kerjakan adalah bagian yang sesungguhnya yang Tuhan panggil untuk kita kerjakan. 

Dalam keletihan dalam dunia pekerjaan saya selalu dikuatkan melalui 1Pet 2:9 tadi. Saya mengganti beberapa kata dengan profesi saya. “Tetapi kamulah engineer yang terpilih, imamat yang rajani, engineer yang kudus, engineer kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.” Memahami hal ini membuat saya menyadari bahwa saya adalah seorang Teknil Sipil yang tidak biasa dan ahli kontruksi yang tidak sembarangan karena saya dipilih oleh Alah untuk pekerjaan Tuhan untuk menceritakan perbuatan Tuhan yang besar melalui kompetensi yang saya miliki. Oleh sebab itulah saya memahami mengapa jumlah tidak selalu menentukan kekuatan atau kedasyatan. Alkitab mencatat bahwa pribadi-pribadi yang menyadari bahwa mereka dipanggil  oleh Allah untuk pekerjaan yang besar untuk muncul ke permukaan menjadi tokoh-tokoh besar.

Tanggungjawab pelayanan yang diberikan Allah kepada kita adalah tanggungjawab yang besar. Jika firman Tuhan sudah memanggil kita untuk masuk dalam pelayanan dan mengerjakan pekerjaan Tuhan yang luar biasa itu, maka disitulah lahir satu tanggung jawab. Pertanyaannya adalah apakah kita mau merespon tanggungjawab yang diberikan oleh Allah? Bagaimana cara kita merespon tanggungjawab tersebut?

Panggilan kedua adalah panggilan  untuk bekerja. Terkadang kita tanpa sadar bekerja sepanjang hari dan kita merasa ketika selesai bekerja beban kita lepas dan kita menjadi orang yang bahagia. Bagi kebanyakan orang bekerja merupakan penderitaan yang menyaitkan sehingga setiap hari tidak sabar menantikan jam untuk pulang dari tempat pekerjaan. Ini adalah pandangan yang salah karena dalam perspektif Alkitab pekerjaan tidaklah demikian. Pekerjaan itu harus membawa kebahagiaan bagi orang percaya. Jika dalam satu kantor orang percaya pun mempunyai raut wajah yang lesu dan tidak bersemangat dan tidak memiliki kekuatan untuk menunjukkan bahwa pekerjaan adalah sesuatu yang baik, bagaimana dengan mereka yang belum percaya?  Tanpa kita sadari kita sering mengeluh tentang pekerjaan kita, tentang boss kita atau tentang hal yang lain. Hampir sebagian besar kegiatan kantor diwarnai dengan keluhan-keluhan, baik dalam hati maupun yang tampak. Hal ini bukanlah sesuatu yang baik. 

Dalam Kej 1:28 dikatakan, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Kata ‘taklukkan’ berarti harus ada kemampuan, kompetensi, keahlian, atau inovasi untuk mampu menaklukkan dan menguasai sesuatu. Dan tentu saja hal ini bukalah sesuatu yang gampang untuk dilakukan. Saya memahami dan percaya bahwa Allah juga memanggil kita melalui profesi kita. Kita harus bertanggung jawab untuk menaklukkan dan mengusai ciptaan yang telah dipercayakan oleh Allah kepada kita. Dan untuk melakukan hal itu kita harus memiliki kompetensi. Itulah sebabnya jangan bermain-main ketika kuliah karena itu adalah masa belajar. Tanggungjawab kita adalah bekerja (lihat Kej 2:15).

Dalam 1Tim 5:8 dikatakan, “Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman.” Bekerja dalam perspektif Alkitab bukan sekedar membuat kita memiliki penghasilan yang lebih besar, meningkatkan taraf hidup atau mengembangkan diri. Tetapi ada tanggung jawab di mana pekerjaan membuat kita mampu menolong keluarga kita atau orang lain yang tidak mampu melakukan seperti yang kita lakukan. Hal inilah yang sering diabaikan orang percaya. Sering sekali karena terlalu fokusnya terhadap pekerjaan orang percaya mengabaikan hal ini dan selalu fokus kepada diri sendiri. Kita bekerja untuk bisa memberi kepada saudara-saudara kita. Kita bekerja untuk bisa membantu kesejahteraan keluarga kita. Bekerja itu adalah tanggungjawab dari Tuhan bukan pilihan. Dalam Pengkotbah 3:22 dikatakan, “Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itu adalah bahagiannya. Karena siapa akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesudah dia?” Bekerja dalam persepketif yang diinginkan oleh Allah adalah menghasilkan pekerja-pekerja yang bahagia yang wajahnya memancarkan sukacita. Pekerja yang ketika menghadapi tantangan tidak putus asa tetapi memberikan harapan-harapan bagi teamwork atau siapa saja yang ada di sekelilingnya.  Ketika firman Tuhan mengatakan hal ini dan kita melakukannya dengan ketaatan dalam hidup kita, maka saya berkeyakinan dampaknya akan luar biasa. Apapun yang dikatakan Tuhan tentang pekerjaan, ketika saya taat kepadanya dan melakukan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan caraNya, maka dampaknya akan besar. Yang memberikan dampak adalah Tuhan, bukan kita. Bagian kita adalah melakukan pekerjaan ini dan mempersiapkan diri dengan benar dan yang memberikan efeknya adalah Allah. Itulah sebabnya saya tidak pernah merasa pekerjaan saya terlalu kecil atau terlalu besar. Walaupun sepertinya tidak memberikan dampak dalam jangka pendek saya percaya itu adalah benih-benih yang ditanam yang pada saatnya akan dibuat Tuhan berbuah.

Panggilan yang ketiga panggilan untuk membentuk keluarga. Jika kita membaca Kej 1:28 dan Kej 2:24 kita melihat bahwa Allah juga memanggil kita untuk membentuk keluarga. Sebuah keluarga yang kudus dan erat yang tidak gampang digoyahkan atau dipecahkan. Keluarga yang di dalamnya dilakukan hal-hal yang kekal, kokoh, independen dan penuh dengan tanggung jawab di mana agar melalui keluarga ini nama Tuhan dipermuliakan dan dikasihi dengan segenap hati dan jiwa kita.

Melalui keluarga juga Tuhan ingin mendapatkan gambaran bahwa semua karakter-karakter yang diinginkan Allah tergambar dengan baik melalui keluarga. Melalui keluarga Tuhan menginginkan manusia mendidik anak-anak agar mereka kelak menjadi generasi yang akan dipakai Tuhan untuk kemuliaan bagi nama Tuhan (lih.  Ulangan 11:19). 

Jadi sebagai alumni yang sudah menyerahkan hidup kepada Kristus, ada tiga tanggung jawab kita, yaitu: melayani Allah, melakukan pekerjaan, dan membentuk keluarga.

Selain melakukannya kita juga harus menjalankan ketiga area ini dengan baik. Ada tiga pribadi penting yang bisa membuat tanggungjawab ini berjalan dengan baik, yaitu: Allah, suami, dan isteri. Tiga pribadi ini adalah pribadi penting untuk berbicara soal bagaimana nanti keluarga melakukan pelayanan, pekerjaan, dan pelayanan terhadap keluarganya sendiri. Jika tiga pribadi itu sudah memiliki relasi yang baik maka semua tanggungjawab-tanggungjawab tadi, termasuk keseimbangan yang diharapkan di dalam tiga panggilan tadi mnjadi sesuatu yang lebih mudah dikerjakan. Dalam tiga pribadi itu kita harus menyadari bahwa Allahlah pribadi yang terutama. Semua yang menjadi dasarnya adalah keinginan dan kehendak Alah. Kalau seorang isteri sudah meyakini bahwa menjadikan kehendak Allah adalah yang terutama, dan demikian juga dengan suami, maka semua pekerjaan, pelayanan, dan keluarga akan lebih gampang untuk dikerjakan. Keluarga kita akan menjadi keluarga yang kuat apabila suami dan isteri dan Allah ada dalam relasi yang baik.

Persoalan selalu muncul jika relasi suami, isteri dan Tuhan tidak dalam kondisi yang baik. Pergumulan yang sering terjadi adalah bagaimana agar pasangan suami isteri tidak bertengkar. Focus mereka adalah bagaimana agar masing-masing saling memahami. Dan karena terlalu focus pada hal-hal ini mereka melupakan pelayanan mereka. Jika hal ini terjadi, pernikahan adalah sesuatu yang menyedihkan. Tuhan tidak menciptakan pernikahan menjadi sesuatu yang menyedihkan karena pernikahan adalah inisiatif Tuhan. bagaimana agar pernikahan itu berjalan sesuai dengan kehendak Allah adalah ketika tiga pribadi tadi – suami, isteri, dan Allah – ada dalam relasi yang baik.  Itulah sebabnya sangat penting sekali mencari pasangan hidup yang sepadan dan mencintai Tuhan. Pasangan yang seimbang akan menolong dan mengoptimalkan semua tanggung jawab baik dalam pekerjaan pelayanan atau dalam keluarga sendiri.

Mencari pasangan yang seimbang adalah sesuatu yang sangat penting. Hal ini tidak bisa dikompromikan. Adalah sesuatu yang sangat berbahaya jika kita lentur dalam hal-hal ini (Dan sangat disayangkan banyak anak-anak Tuhan lentur dalam hal ini). Jika kita memang merindukan keluarga yang di dalamnya kita menikmati damai dan sukacita maka ini adalah syarat yang penting, yaitu mencintai Tuhan. Relasi dengan pasangan terjadi pasti akan memengaruhi pelayanan. Relasi Allah terhadap suami yang baik dan relasi Allah dengan Isteri yang juga baik akan menghasilkan realsi suami isteri yang baik juga.

Yang paling penting adalah bagimana ketika hal ini sudah tercapai, bagaimana kita menempatkan diri. Mari kembali melihat area pekerjaan. Ingat, bekerja adalah bagaimana membuat susuatu yang tidak teratur menjadi teratur, yang kosong menjadi indah. Ini yang dilakukan Allah ketika bekerja. Oleh karena itu ketika kita sudah tahu tanggung jawab kita bahwa kita harus bekerja maka kita harus harus hadir dalam dunia kerja untuk mendatangkan kebaikan. Kehadiran kita dalam dunia kerja membuat situasi yang begitu rumit menjadi lebih baik. Penting sekali kita menyadari bahwa kehadiran kita dalam profesi bukan sekedar menghasilkan uang atau mengembangkan diri, tetapi membawa perubahan ke arah yang lebih baik atau membawa shalom dan sukacita. Pekerjaan bukan sekedar rutinitas tetapi ada target seperti yang Allah inginkan dalam hidup kita. Jadi mari kita mempersiapkan diri. 

Sering dalam dunia kerja kita menemukan ada alumni yang satu dua minggu kerja sudah frustrasi dan minta keluar dan mencari pekerjaan lain dengan berbagai alasan. Ingat kita dipanggil untuk bekerja dan oleh sebab itu kita harus memberikan yang terbaik untuk pekerjaan itu. Bekerja dengan baik dan memberikan dampak sangat erat hubungannya dengan kompetensi yang anda miliki. Saya percaya, ketika kita bekerja dalam satu perusahaan dan kita meyakini itu adalah yang Tuhan inginkan pasti ada dampak di perusahaan tersebut. Pasti ada sesuatu yang akan terjadi dalam pekerjaan tersebut yang bisa memengaruhi perusaahaan atau teman-teman kerja kita. Ketika kita menyadari bahwa ketika Allah memberikan pekerjaan kepada kita kita menyadari bahwa ada misi Tuhan di situ. Jadi,  kita tidak perlu takut untuk mengatakan tidak terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Kita tidak boleh ikut dengan system yang salah. Benar, ini adalah sebuah pergumulan. Tetapi ini adalah panggilan bagi kita untuk berkarya bagiNya dan menyatalan shalomNya. Sesuatu yang sangat menyedihkan kalau kita berkata bahwa kita tidak melakukan apa-apa karena sistem sudah seperti itu. Kalau bukan kita siapa lagi yang akan melakukannya?  Sebagai alumni Kristen kita harus menyadari bahwa panggilan dalam dunia kerja harus menyadarkan kita bahwa kita dipilih untuk pekerjaan di mana orang lain tidak bisa lakukan. Inilah panggilan kita pada jaman ini dalam dunia kerja. Menjadi seorang pemimpin yang mampu membawa tim kerja ke arah yang lebih baik. 

Bagaimana dalam pelayanan? Ketika saya menyadari bahwa pelayanan itu adalah hal yang penting maka di tengah berbagai kesibukan apapun pelayanan itu harus tetap dikerjakan (apakah di ikatan alumni atau gereja). Sangat penting kita menjadi pemimpin dalam pelayanan. Salah satu bidang pelayanan yang membutuhkan alumni adalah gereja. Mari menolong gereja agar senantiasa hidup dalam firman Tuhan dan menjadi gereja yang memberitakan Injil Kerajaan Allah. Ini adalah saatnya bagi kita untuk memberikan hidup kita bagi pelayanan di gereja agar gereja tersebut dapat menjadi berkat bagi sesama. Sangat menyedihkan jika banyak alumni yang tidak mau kembali untuk membangun gereja atau ke gereja hanya mencari nama. Mari masuk ke dalam struktur dalam kepengurusan gereja (menjadi sintua atau diaken) sehinga kita bisa memengaruhi setiap kebijakan dalam gereja itu. Inilah tanggungjawab kita. Mungkin di awal apa yang kita kerjakan sepertinya tidak berguna, tapi jika yang kita kerjakan adalah kehendak Tuhan maka apa yang kita lakukan tidak akan sia-sia. Saya tidak tahu kita pelayanan dimana. Tetapi sebagai alumni Kristen kita harus terlibat dalam pelayanan.

Hal yang perlu kita perhatikan berikutnya adalah keseimbangan. Hal ini bukan masalah berapa jam waktu pelayan, bekerja, atau keluarga. Tetapi pentingnya suami isteri tadi mendiskusikan dan menetapkan target-target apa yang harus dilakukan. Ingat, tadi ada segitiga antara suami, isteri, dan Allah, maka keputusan-keputusan yang penting bukanlah menjadi pergumulan yang terlalu sulit. Persoalan yang mungkin terjadi adalah hal-hal yang tidak prinsipil, seperti lupa menelepon dan sebagainya. Tetapi memutuskan pekerjaan apa atau pelayanan apa tidak menjadi keputusan yang sulit jika relasi dalam segitiga tadi berjalan dengan baik. Mari mencari pasangan yang sepadan maka wilayah perdebatan itu akan berbeda. Kita tidak akan berdebat kenapa kita melayani di sini atau di sana, mengapa bekerja di sini atau di sana. Kalaupun ada diskusi atau perdebatan adalah dalam hal-hal yang tidak prinsipil. 

Kita harus aktif dalam tiga area ini karena kita menyadari tiga area ini adalah panggilan kita. Kita harus menyadari bahwa pelayanan, pekerjaan, dan keluarga adalah tugas yang diberikan Allah kepada kita.

Solideo Gloria!

Life Style


Ir. Surya Sembiring

[Kotbah ini merupakan Kotbah MBA dengan Seri KEPEMIMPINAN bgn 01, yang dibawakan pada MBA 3 Mei 2013]
 

Kita akan belajar satu topik mengenai kepemimpinan dalam hal life style (gaya hidup). Mari membuka dari Rom 12:1-2, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Ketika berbicara mengenai gaya hidup maka satu pertanyaan yang muncul adalah apa itu yang dimaksud dengan gaya hidup? Dalam kamus Oxford dikatakan bahwa gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia dalam masyarakat. Jika kita tarik dalam konteks kita, anak-anak Tuhan yang sudah mengaku sudah ditebus, hal ini bisa berarti adanya satu perubahan yang diminta dalam hidup orang percaya. Paulus, dalam surat-suratnya, sangat menekankan hal ini. Dalam Galatia dia berkata bahwa hidupnya bukannya dia lagi, tapi Yesus yang ada di dalam dirinya ( Gal 2:20); mengenakan manusia baru dan membuang dusta (Ef 4:24-25). Dalam Kol 2:7 dikatakan, “Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” Dan dalam Roma bagaimana kita diminta untuk tidak sama dengan dunia ini (Rom 12:2). Jadi, ada satu perubahan yang diminta kepada kita sebagai orang-orang percaya. 

Bagaimana pola hidup anak Tuhan pada zaman sekarang ini? Pengikut Tuhan berarti mengikut Dia  dalam segenap hidup kita dalam seluruh keseharian diri seutuhnya. Tidak ada pengkotak-kotakan. Bicara soal gaya hidup, salah satu hal yang perlu diputuskan dan mengambil sikap dengan tegas sebagai orang percaya adalah dalam menilai dan menempatkan harta dalam perspektif Tuhan. artinya adalah bahwa pengikut Yesus harus memiliki sikap dan perilaku yang konsisten antara status sebagai warga Kerajaan Allah dengan sikap yang menyangkut wilayah harta benda. Apa yang menjadi standar kita tentu saja firman Tuhan. Segala sesuatu harus kita ukur dan bangun di atas dasar firman Tuhan. Tentu saja pandangan ini bukanlah pandangan yang pupoler. Tapi hal inilah yang harus kita miliki bahwa semua aspek kehidupan kita harus di dasarkan pada firman Tuhan.

Dalam Mat 6:19-24 dikisahkan mengenai mengumpulkan harta. Kalau kita mempelajari bagian ini, khususnya ay 19-20 ada satu hal yang kita dapatkan bahwa Tuhan tidak menganggap harta sebagai sesuatu yang jahat atau salah. Yang menjadi larangan Tuhan adalah dalam konteks mengumpulkan harta. Mengapa hal ini dilarang Tuhan? Karena tindakan mengumpulkan harta adalah tindakan yang berakar dari kesalahan menilai dari hakikat harta itu sendiri. Ketika seorang mengumpulkan harta itu berarti dia meletakkan pengharapannya kepada harta itu sendiri. Tindakan mengumpulkan harta akan memengaruhi kehidupan kita sebagai orang yang percaya.

Sebagai anak-anak Tuhan kita hidup dalam masyarakat dan dunia. Bagaimana kita hidup dan bagaimana sebenarnya kita hidup adalah dua hal yang penting untuk kita renungkan karena kedua hal ini berkaitan dengan gaya hidup. Kedua hal ini sangat penting karena kita hidup dalam dunia yang menawarkan banyak sekali pilihan-pilihan dan kemudahan dalam banyak hal. Orang-orang berkata bahwa dari gaya hidupnya kita bisa tahu siapa dia. Nah, bagaimana hidup anak-anak Tuhan di tengah dunia sekarang ini?

Zaman sekarang ini filsafah hidup materialistic meningkat dengan luar biasa di mana paham ini mengatakan bahwa materi adalah segala-galanya. Sehingga ada prinsip bahwa ‘saya adalah apa yang saya miliki (baik itu rumah, mobil, handphone, dll)’. Dengan kata lain jati diri seseorang itu ditentukan oleh apa yang dia miliki. Jika kita sebagai anak-anak Tuhan ditanya, apakah jati diri kita tergantung dengan apa yang kita miliki? Sebenarnya apa yang terjadi dalam materialism era modern yang menyangkut keserakahan, ketidakpedulian sosial, kemewahan yang sia-sia juga sudah terjadi dan dialami oleh orang-orang Roma pada zaman Paulus. pada masa itu kota Roma merupakan satu kota termaju melebihi kota-kota lain. Dalam kondisi seperti inilah rasul Paulus menasihati orang-orang percaya, yang tinggal di kota Roma itu, untuk hidup sesuai dengan firman Tuhan.

Banyak orang lebih percaya diri ketika gaya hidupnya mengikuti arus dunia yang ada. Dia akan percaya diri ketika memakai pakaian yang bermerk. Dia akan semakin percaya diri jika memakai handphone yang supercanggih. hal-hal seperti ini harus kita waspadai. Karena kita sebagai anak-anak Tuhan juga tanpa sadar bisa dipengaruhi oleh gaya hidup materialism. Bagaimana pengaruh gaya hidup dunia bisa menyelinap dalam gaya hidup orang percaya? Materialis muncul dalam sikap yang diinginkan dari hidup yang perlahan meningkat yang menuntut dan mengikat diri kita. Hal paling sering dan paling utama yang membuat anak Tuhan masuk tanpa sadar dalam gaya hidup materialism adalah meningkatnya karir yang berdampak kepada meningkatnya pendapatan. Ketika memiliki pendapatan yang lebih banyak timbullah keinginan untuk memiliki benda-benda yang lebih mewah dan hal ini didukung dengan maraknya iklan yang muncul melalui televisi. Jadi, ada korelasi antara kemajuan karir dan meningkatnya pendapatan dengan mulai tergerusnya anak Tuhan dalam materialism jika anak Tuhan tersebut tidak berjaga-jaga (band Amsal 4:23). Ketika penghasilan masih rendah lebih banyak dialokasikan kepada kebutuhan pangan, tetapi ketika pendapatan semakin besar maka alokasi pendapatan mulai bergeser kepasa hal-hal yang sekunder dan yang lain. Sebuah refleksi bagi kita adalah apakah ketika penghasilan kita meningkat kita bisa tetap memiliki gaya hidup seperti ketika penghasilan kita masih kecil? Apakah ketika penghasilan kita kecil kita bisa hidup sederhana dan mensyukuri hal tersebut? Mari menyadari dan waspada bahwa gaya hidup dunia ini dengan pastinya dan perlahan-lahan mendatangi hidup kita.

Salah satu gaya hidup dari seorang anak Tuhan adalah gaya hidup yang sederhana. Mungkin kita memiliki kakak alumni yang sekarang gajinya tinggi, tetapi kita masih nyaman berkomunikasi dengan dia karena dia tidak berubah sama sekali.  Salah satu indikator apakah seseorang tetap memiliki gaya hidup sebagai anak-anak Tuhan, bagaimana pun statusnya, berapa besarpun gajinya, adalah kita merasa tetap nyaman berkomunikasi dengan dia. Kehidupannya masih tetap sama dengan kehidupan ketika dia masih seorang mahasiswa. Fasilitas dan gaji tidak membuat dia berubah. Gaya hidup sederhana harus menjadi pilihan anak-anak Tuhan. Dalam mat 6:21 dikatakan, “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.”
 
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk memiliki gaya hidup sederhana, yaitu:
Pertama, belilah barang dengan tujuan yang jelas bukan karena prestise. Hal ini tidak mudah apalagi ketika pendapatan kita sudah bertambah sehingga permintaan dan tuntutan semakin banyak. Mari melihat kebutuhan dari apa yang akan kita beli. Mari meminta hikmat dari Tuhan untuk apapun yang kita beli.

Kedua, menolak hal-hal yang menyebabkan kecanduan atau keterikatan. Salah satu caranya adalah dengan membangun kebiasaan memberi barang-barang kepada oprang lain. Firman Tuhan berkata bahwa adalah lebih bahagia memberi daripada menerima. Jangan pernah percaya dengan pernyataan bahwa kita akan lebih bahagia jika kita lebih memiliki banyak harta. Kebahagiaan bukan ditentukan oleh tampilan kita, tetapi karena kedekatan dan ketaatan kita di atas dasar firman Tuhan.

Ketiga, mari belajar untuk tidak percaya sepenuhnya kepada iklan. Dengan kata lain jangan menjadi korban iklan. Dalam kondisi pulang kerja, dan kondisi tubuh yang lelah, maka ketika menonton iklan kita tidak kritis lagi dan gampang dipengaruhi. Hal ini juga termasuk nasihat untuk hati-hati terhadap propaganda credit card, beli sekarang bayar kemudian. Tuhan Yesus berkata dalam Luk 10:41, “Tetapi Tuhan menjawabnya: "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara,”. Mari memilih apa yang terbaik, yang paling utama. Mari belajar untuk berkata cukup, belajar mencukupkan diri dengan apa yang ada pada kita (band Fil 4:11-13). Harta tidak akan pernah memuaskan kita, tetapi kedekatan dengan Tuhanlah yang bisa memuaskan jiwa kita.

Mari belajar mengucap syukur dengan apa yang ada pada kita karena hidup adalah anugerah. Kita harus bersyukur dengan keadaan kita sekarang ini. Bersyukur adalah kunci untuk bisa tetapi memilih gaya hidup yang sederhana. Mari belajar menghitung berkat Tuhan dalam kehidupan kita sehingga sukacita itu mengalir dalam diri kita meski fasilitas yang kita punya tidak semewah orang miliki. Dalam konteks kecukupan mari kita belajar supaya kita tidak menginginkan lebih dari yang telah kita miliki. Mari bersyukur dengan apa yang kita miliki dan berkata cukup. Diri kita bukan diukur dari apa yang kita memiliki tetapi sejauh mana kita tetap berdiri di atas firman Tuhan.

Berapa banyak anak Tuhan karena pengaruh dunia ini dia akhirnya meninggalkan pelayanan. Tujuan hidup yang sudah tergerus dunia ini membuat anak Tuhan mengasihi dunia ini lebih dari Tuhan. Memilik harta tidak salah, tetapi nilai hidup kita dalam kebenaran firman Tuhan. Inilah hal yang paling terutama. Gaya hidup seorang anak Tuhan adalah gaya hidup yang sederhana. Bagamana dengan kehidupan kita sekarang ini?

Solideo Gloria!