Saturday, May 16, 2009

Christian Ethic 3 Situational Ethic

Christian Ethic 3

Situational Ethic
By: Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Hari ini kita akan membahas bagian ketiga dari seri Christian Ethic, yaitu Situational Ethic. Di dalam perkembangan postmodernisme, ada muncul fenomena yang disebut dengan Etika Situasi. Sejak abad 20 (1940-an) muncul sebuah aliran baru dalam bidang etika, yaitu Etika Situasi yang dipelopori oleh Joseph Fletcher (1905-1991), seorang Episkopal Moralis Amerika. Dia berpendapat bahwa teologia moral Kristen tradisional tidak sesuai dengan Injil karena Injil sudah ketinggalan zaman dan tidak relevan lagi untuk menjawab kebutuhan perkembangan teologia dan praktika hidup masa kini. Hal ini terjadi karena satu pemahaman bahwa apa yang dialami dan dilakukan oleh Yesus Kristus tidak relevan lagi dan Kristus sendiripun dalam menjalankan hidupnya, secara praktikal, didasarkan pada Etika Situasi. Fletcher berkata bahwa hanya satu dasar prinsip moralitas, yaitu cinta kasih (agape : self-giving love). Inilah dasar untuk melakukan segala sesuatu dan hal ini bersifat hipotetis dan relatif. Bersifat hipotetis artinya sesuatu dipahami sebagai bukan sebuah kesimpulan yang mutlak. Oleh sebab itulah dalam Etika Situasi tidak ada sesuatu yang mutlak dan yang terjadi adalah relatifisme. Menurut Fletcher yang terpenting adalah cinta kasih. Jadi Fletcher menyimpulkan bahwa perbuatan dilihat bukan sebagai perbuatan jahat atau baik, betul atau salah, melainkan apakah sesuai atau tidak dengan situasinya. Jadi sesuatu yang dilakukan akan menjadi benar jika situasi menuntut demikian dan menjadi sesuatu yang salah jika situasinya tidak menuntut demikian.

Oleh sebab itu berbohong itu tidak boleh langsung dikatakan salah atau benar. Berbohong baru bisa dikatakan benar atau salah jika kita melihat situasi dimana bohong itu dilakukan. Dalam pemahaman ini, jika seseorang berbohong dan situasi yang ada menuntut dia untuk berbohong, maka pada hekekatnya berbohong itu tidak salah. Demikian juga halnya dengan premarital-sex, dimana hal ini tidak akan menjadi sesuatu yang salah atau benar jika situasi menuntut hal tersebut. Jadi, atas nama cinta, premarital-sex dapat dilakukan. Sama juga dengan aborsi, berzinah dan pembunuhan dengan sendirinya secara moral tidak jahat bila merupakan cara yang paling tepat untuk mengungkapkan cinta kasih dalam situasi konkrit. Inilah yang disebut relativisme akibat daripada postmodernisme yang berkembang zaman sekarang ini.

Cinta kasih harus terlaksana sementara norma serta moralitas agama tidak akan mengikat bila tidak sesuai dengan tuntutan cinta kasih. Kasihlah yang mengatasi segala-galanya. Hal ini muncul karena Allah adalah Kasih, dan Kasih juga adalah dasar teologia Kristen dan harus diwujudkan, dan kasih juga melampaui segala-galanya melebihi iman dan pengharapan. Jadi atas nama kasih, semuanya bisa dilakukan. Karena itu mencintai berarti mendukung sesama dalam eksistensinya dan perkembangannya, yakni mendukung agar dia berada dalam keadaan baik maka kita bisa melakukannya. Misalnya, demi perkembangan seorang pria agar ia bisa maju di dalam karirnya, maka dia mungkin harus mencari seorang wanita muda untuk bosnya agar dia bisa dipromosikan, dan atas nama cinta terhadap perempuan ini, hal ini sah-sah saja. Etika Situasi tidak bertanya apa yang baik, melainkan bagaimana berbuat baik dan bagi siapa? Maka etika ini adalah etika keputusan. Dikatakan sebagai etika keputusan adalah karena tidak ada standart yang baik. Ketika kita memutuskan apa dan bagi siapa, itu aalah sesuatu yang baik. Etika membuat keputusan lebih dari pada mencari apa yang harus dilakukan.

Bagaimana sebenarnya kita memandang etika? Dalam perbuatan etis ada beberapa faktor yang terlibat, yaitu pelaku, perkara, situasi, prinsip dasar dan norma etis. Dan ini dilakukan oleh kaum konstektual dan konservatif. Tetapi kaum eksistensialis menekankan pada pelaku, yaitu kehendak bebas dan pilihan pribadi. Ini adalah bagian dari postmodernisme, bahwa kebenaran bukan ditentukan oleh siapa tetapi ada the free will of man dan kemampuan untuk memutuskan segala sesuatu. Oleh sebab itu yang baik bagi kita belum tentu baik bagi orang lain dan sebaliknya. Situasionisme (Etika Situasi) mengambil keputusan berdasarkan situasi di mana prinsip dan norma etis di bawah situasi. Situasilah yang menuntut demikian sehingga kita harus melakukannya. Tidak jarang kita mendengar orang bahkan orang Kristen berkata: ”Situasilah yang menuntuk demikian. Maka kami terpaksa melakukannya.” Jika situasi yang menuntut maka akan muncul pertanyaan, apakah situasi berlaku atau bersifat konstan dalam hidup ini? Tidak! Justru situasi itu berubah dan fluktuatif serta mengikuti zaman dan tantangan. Oleh sebab itu tidak ada standart bagi mereka berdasarkan Etika Situasi. Apa yang wajib dilakukan seseorang dalam situasi konkrit tidak dapat disimpulkan dari suatu hukum moral umum, melainkan harus diputuskan secara bebas oleh orang yang bersangkutan. Karena itu penentu standar moral adalah kita sendiri bukan dengan sebuah norma. Etika ini menjunjung tinggi otonomi moral individu dan menolak ketaatan begitu saja terhadap hukum moral sebagai heteronomi. Artinya adalah sesuatu peraturan yang berlaku di dalam masyarakat dengan sebuah standart moral. Tetapi bagi Etika Situasi, pribadi yang mengambil keputusan itu dengan free will adalah standar utama akan tindakan benar atau salah. Baik buruknya suatu tindakan adalah tergantung situasinya.

Ada tiga tahapan struktur tindakan Etika Situasi. Pertama, dari ‘titik tolaknya’, yaitu agape (cinta kasih) yang merupakan hukum satu-satunya yang diakui. Kedua, dengan dasar cinta agape, sebuah tindakan di‘lewat’i atau dilalui dengan sebuah kebijaksanaan (Sophia) yang termuat dalam ajaran agama dan paham moral kebudayaan yang dianggap sebagai aturan umum yang kurang atau lebih dapat diandalkan. Ketiga, ada dasarnya dan ada sesuatu yang dilewati dengan Sophia, tetapi semua akan bermuara ‘ke’ Kairos (kesempatan; waktu yang tepat) di mana individulah yang bertanggungjawab memutuskan dalam situasi konkrit apakah sophia tadi mengabdi pada cinta kasih atau tidak. Jadi berawal dari titik tolaknya yaitu cinta agape, diputuskan atau dilewati dengan Sophia dan bermuara ke pada sebuah kairos, inilah dasar tindakan Etika Situasi.
Ada empat presupposisi (anggapan dasar) dari Etika Situasi. Dasar yang pertama adalah Pragmatisme. Artinya yang baik adalah apa yang bisa dan sedang berjalan, berguna dan yang memuaskan (apakah hasilnya positif atau tidak), bukan yang ideal. Sesuatu yang ideal tetapi tidak bisa berjalan tidak ada artinya. Kedua, Relativisme. artinya, semua hukum atau aturan moral hanya berlaku sejauh mendukung cinta kasih. Cinta diatas segala-galanya oleh sebab itu cinta menutupi banyak peraturan-peraturan moral. Hukum moral hanya berlaku sejauh melayani cinta kasih, sehingga relatif untuk semua hal. Ketiga adalah Positivisme yaitu menolak keberlakukan hukum kodrat (aturan umum) yang tinggal dilaksanakan. Penilaian moral (baik atau salah) merupakan keputusan bagi yang melakukannya, bukan kesimpulan. Misalnya, mencuri, bohong, membunuh menjadi dosa adalah kesimpulan. Tetapi dalam Etika Situasi, mencuri, bohong, membunuh, menjadi dosa bukan karena kesimpulan tetapi keputusan. Ketika seseorang memutuskan mencuri demi cinta kasih, berarti hal tersebut diperbolehkan. Orang bebas memutuskan apa saja berdasarkan cinta kasih. Keempat Personalisme. Dalam Etika Situasi hal personalisme sangat diagungkan. Oleh sebab itu etika ini mengatakan bahwa sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri hanyalah manusia yakni eksistensi, perkembangan dan keadaan baiknya. Itulah ajaran cinta kasih.

Dasar pertimbangan lain dalam Etika Situasi adalah martabat manusia sebagai makhluk rohani dilihat dan dihargai. Dalam hidup ini tidak ada tahap dan keadaan hidup yang sama, tetapi sekedar menyerupai. Misalnya, HUT PAK tahun yang lalu tidak sama dengan HUT PAK tahun ini hanya acaranya yang menyerupai. Karena itu tidak ada peristiwa di dunia ini yang sama tetapi sesuatu yang menyerupai. Karena itu, jangan sekali-kali membuat sebuah patron yang sama karena tidak ada sesuatu yang sama di dalam dunia. Oleh sebab itulah standart yang digunakan untuk setiap peristiwa tidak bisa sama. Penganut paham ini semangat untuk mencari, menentukan dan menanggapi tuntutan situasi secara kreatif, berani dan bertanggungjawab.
Ada enam proposisi (kesimpulan akhir) dari Etika Situasi menurut Joseph Fletcher. Pertama, hanya ada satu hal yang baik pada dirinya sendiri, yaitu cinta kasih; tak ada yang lain sama sekali. Dalam Etika Situasi, sesuatu apapun tidak bernilai pada dan dalam dirinya sendiri. Ia memperoleh nilainya hanya karena ia membantu orang lain (dia jadi baik) atau menyakiti orang (dia jadi jahat). Jadi, membantu orang di dalam ujian jangan dikatakan sebagai sesuatu yang jahat. Kalau itu dilakukan atas dasar cinta kasih, agar teman kita itu bisa tamat, hal tersebut diperbolehkan. Pada dirinya sendiri semua perbuatan itu netral. Apabila dusta diceritakan tanpa cinta maka dusta itu adalah sesuatu yang jahat tetapi apabila diceritakan atas dasar cinta maka dusta itu adalah sesuatu yang baik dan benar. Jadi perbuatan baik itu adalah perbuatan yang paling mengungkapkan cinta kasih dalam situasi yang bersangkutan.

Kedua, norma tertinggi keputusan-keputusan adalah cinta kasih; tidak ada yang lain. Cinta kasih satu-satunya yang bernilai dalam dirinya, maka cinta kasih juga adalah satu-satunya norma tindakan moral. Semua tindakan akan diukur dengan hal ini bukan dengan standar hukum atau sistim norma moral yang ada. Dengan demikian hukum dan norma moral menjadi relatif.
Ketiga, cinta kasih dan keadilan adalah sama karena keadilan adalah cinta kasih yang dibagi, tak ada lainnya. Cinta kasih selalu menuntut kebijaksanaan untuk menentukan perbuatan mana yang paling efektif dalam mewujudkan apa yang baik bagi sesama. Keadilan itu adalah cinta kasih ditambah kebijaksanaan. Bijaksana dan adil adalah perbuatan yang menghasilkan ‘keuntungan terbesar dan jumlah terbesar’ atau membantu mereka yang paling membutuhkan.
Keempat, cinta berkehendak baik terhadap sesamanya entah kita menyukainya atau tidak. Cinta kasih bukanlah perasaan kasih sayang. Mencintai adalah sikap yang tercuat dalam kelakuan dan tidak ada kaitannya apakah kita suka atau tidak pada orang yang dicintai. Cinta kasih adalah suatu sikap rasional dengan perhitungan agar cocok secara optimal untuk mendukung orang yang menjadi alamat cinta kasih (agapeic calculus). Misalnya, Kamikaze (bunuh diri dalam Jepang) bisa dilakukan atas nama cinta, atas nama cinta teroris dizinkan untuk melakukan bom bunuh diri yang melukai atau membunuh orang lain. Dan tentu saja dalam teologia Kristen hal seperti ini bukanlah sesuatu yang benar.

Kelima, hanya tujuan yang membenarkan sarana, tak ada lainnya [bandingkan dengan teologia Kristen yang mengatakan bahwa tujuan harus memurnikan sarana]. Tidak ada perbuatan buruk pada dirinya sendiri. Segala sesuatu adalah benar atau salah tergantung dari situasi (relativisme radikal Etika Situasi). Tujuan tindakan menentukan nilai moralnya. Apa yang kadang baik dapat pada kesempatan lain menjadi jahat atau sebaliknya, tergantung situasi. Misalnya, atas nama cinta agar ada biaya untuk obat ibunya seorang perempuan dijinkan untuk melacurkan dirinya. Jadi segala sesuatu dapat dilakukan jika hal tersebut dilakukan demi satu tujuan yang baik.
Keenam, keputusan cinta kasih dibuat sesuai dengan situasi, bukan menurut sebuah sistem peraturan. Ciri khas keputusan moral adalah kebebasannya. Orang yang yakin melakukan sesuatu hendaklah melakukannya dengan bebas dan berani meskipun bertentangan dengan pandangan moral umum. Misalnya, Aborsi karena berdasarkan diagnosa bahwa janin dalam kandungan tidak sehat (cacat fisik atau mental) maka demi cinta kasih harus dengan bebas bahkan wajib dan berani menggugurkan tanpa terikat dengan norma yang ada. Ingat, aborsi ini tidak sama dengan aborsi dalam kasus dimana jika kehamilan mengancam salah satu nyawa, apakah ibu atau si bayi. Dalam situai seperti ini, maka dengan pertimbangan tertentu, aborsi bisa dilakukan. Ini adalah situasi yang disebut Lesser Between Two Evils.

Etika Situasi memiliki beberapa kelemahan. Pertama menghargai manusia sebagai makhluk yang mampu menentukan pilihan tetapi mengabaikan prinsip dan nilai etis yang berlaku secara umum. Kedua, keputusan etisnya bersifat subjektif karena tidak ada standar dasar untuk menilai baik buruknya sebuah tindakan selain dirinya sendiri. Ketiga, memandang situasi hidup yang dihadapi selalu unik dan menuntut sikap pribadi mendasar dari manusia. Ada banyak hal dalam hidup manusia yang tidak selalu unik dan merupakan hal-hal biasa dan tidak perlu terlalu rumit untuk diputuskan. Keempat, Etika Situasi melebih-lebihkan kapasitas manusia untuk menentukan sebuah pilihan dan tindakan moral. Ingat, dalam Kisah Kejadian, ketika Adam jatuh ke dalam dosa, maka manusia telah didistorsi oleh dosa dan semua keputusan manusia sangat rentan dengan kontaminasi dosa. Kasih agape hanya dapat diekspresikan dan digenapi dengan atau dalam sebuah peraturan moral (Mt.22:34-40; Rom.13:10, ”Kasih tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat”.). Kelima, kasih agape itu suci, maka kasih agape tidak akan mereduksi kebenaran dengan mengabaikan unsur kejahatan misalnya pembunuhan, perzinahan, terorisme dll. Inilah kelemahan Etika Situasi di mana etika ini mereduksi kebenaran. Allah adalah suci dan harus disejajarkan dengan Allah yang adalah kasih. Maka kasih agape hanya bisa dilakukan di dalam kebenaran dan kesucian yang sejati. Dan keenam Etika Situasi terpesona dengan eksistensialisme, tetapi lupa kenyataan antropologis bahwa manusia itu mahkluk sosial yang mengalami dan menghayati setiap situasi sebagai anggota sebuah komunitas yang juga mewarnai kehidupannya. Bila hanya berdasarkan situasi dengan eksistensialis, maka tidak ada lagi peran nasehat dan agama.

Kita semua akan diperhadapkan dengan Etika Situasi. Tidak ada kata demi kebaikan, demi menolong keluarga, menolong sahabat atas nama cinta. Kita harus melakukannya atas nama cinta tetapi tetap di dalam kesucian, kebenaran, dan kejujuran. Inilah etika Kristen.
Soli Deo Gloria!

No comments: