Tuesday, May 25, 2010

[Christian Ethic 01-2009]: Foundation of Christian Ethic

Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Hari ini kita akan berbicara mengenai etika kristen dari sudut pandang teologis dan tiga pertemuan ke depan kita akan membahasnya dalam sudut pandang praktika. Etika kristen yang kita bahas pada hari ini adalah Foundation of Christian Ethic. Ada beberapa pertanyaan dalam hal etika. What is the basis of the action? [Apa yang menjadi dasar dari sebuah tindakan?] On what ground ought one to do this action and not do others? [Apa dasar kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu?]. Kita tidak melakukan sesuatu tanpa peraturan. Kebebasan itu ada di dalam peraturan dan kebebasan tanpa peraturan bukanlah kebebasan. Pertanyaan berikutnya adalah What is the criterion of evaluation? [Apa yang menjadi kriteria dari evaluasi?] Kemudian, Is there some absolute or only a relative rule or principle by which to judge? [Apakah ada sesuatu yang absolute atau hanya aturan atau prinsip yang relative dalam penilaian?] Di dalam perkembangan zaman, khususnya post-moderism, salah satu cirinya adalah tidak ada sesuatu yang absolute. Semuanya adalah kebenaran dan semuanya adalah salah. Maksudnya, jika sesuatu dikatakan benar dan bisa dibuktikan benar, dan kalaupun tidak bisa dibuktikan benar, itu adalah kebenaran. Bukan pula ketika kita menyatakan sesuatu itu benar maka yang lain salah. Ini adalah konsep dalam dunia postmoderism dan inilah relativisme. Tetapi di dalam etika kristen hal ini tidak berlaku. Pertanyaan berikutnya adalah What is the goal of human conduct? What end or ends should action serve.

Kata ‘etika’ berasal dari kata ‘ethos’ (Yunani) yang berarti ‘habit or custom, and cultic ordinance or law’ yang mencakup seluruh tingkah laku manusia. Tetapi habit or custom di sini harus dipandang melalui pandangan biblikal (PL dan PB). Dengan demikian kita melihat bahwa semua hal yang dikerjakan orang percaya harus dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah dan di mana semua tindakan itu harus ada dalam terang Firman. Mari melihat 2 Tim 3:16-17 [band Maz 119:105], dikatakan di sana, “16 Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. 17 Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” Ketika Alkitab mengatakan benar maka sesuatu itu benar dan jika Alkitab mengatakan salah, maka sesuatu itu menjadi salah. Ada satu pemahaman bahwa Alkitab adalah firman Allah yang merupakan satu-satunya standart kebenaran. Oleh sebab itulah ketika berbicara soal pondasi etika kekristenan kita tidak bisa lepas dari pandangan Alkitab, bukan pandangan teolog atau budaya.

Budaya dan tatakrama itu bersifat lokal, geografikal, temporal dan kultural. Tetapi etika biblika bersifat universal. Misalnya, sesuatu yang baik menurut suku Toba belum tentu baik bagi suku Karo. Apalagi dibandingkan dengan kehidupan di Eropa. Tetapi etika kristen tidak berubah dan tetap bersifat universal. Yang salah menurut Alkitab di tanah Batak, tetap salah menurut Alkitab di Eropa. Kebiasaan dan tingkah laku merupakan sebuah refleksi teologis yang dalam hal ini disebut etika biblika. Kita memahami bahwa teologia seseorang menentukan cara pandang dan cara hidup seseorang. Kalau teologia kita salah maka cara hidup dan pandang kita juga salah [band. dengan pemahaman seseorang akan agama tertentu sehingga ia mampu membakar rumah ibadah agama lain karena menurut dia hal tersebut adalah benar menurut ajaran agamanya].

Setelah Allah menciptakan segala sesuatu dan memberi mandat kepada manusia, maka Dia juga membuat peraturan dalam kehidupan manusia dan inilah peraturan yang pertama. Dalam Kej.2:15-17 dikatakan, “ 15 TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. 16 Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: "Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas.” Ini adalah etika yang Allah berikan pada manusia. Allah, yang menciptakan manusia itu, tidak membiarkan manusia hidup tanpa sebuah stándar/etika. Allah bertujuan agar ada harmoni antara Allah dan ciptaanNya dan tatanan inilah yang menjadi pondasi atau dasar tindakan etis manusia. Ketika Adam jatuh ke dalam dosa, terciptalah disharmoni karena tatanan etis dilanggarnya. Allah menentukan apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh manusia agar manusia itu hidup sepadan dengan Dia. Sebagai ciptaan, maka semua tindakan manusia harus berpusatkan kepada Allah.

Setelah keluar dari Mesir, Allah memberikan tatanan atau peratutan sebagai pondasi bagi umat tebusannya untuk menuntun tatanan hidup umatnya yaitu Hukum Taurat kepada Musa sebagai penuntun dan standart hidup umatNya (Kel.20). Kemudian Allah memberikan perjanjian (covenant; perjanjian yang bersifat suci dan tidak bisa dibatalkan oleh siapapun karena ditetapkan oleh Allah) untuk menyatukan inisiatif Ilahi dengan tindakan manusia sebagai respon. Di dalam Yeh 34:30 dikatakan, ”Dan mereka akan mengetahui bahwa Aku, TUHAN, Allah mereka, menyertai mereka dan mereka, kaum Israel, adalah umat-Ku, demikianlah firman Tuhan ALLAH.” Melalui ayat ini dipahami bahwa selain sebuah relasi yang erat dan tidak bisa dibatalkan, juga ada sebuah tanggung jawab (band. Yeh 36:28-29). Oleh sebab itu kesalahan (misconduct) bukan hanya dianggap sebagai pelanggaran etika atau kelemahan, melainkan sebuah tanda ketidaksetiaan kepada Allah.

Alkitab dipercaya sebagai satu-satunya sumber pengajaran etis dan merupakan kehendak Yahweh untuk umat yang diciptakanNya dan yang dengannya Dia mengadakan perjanjian (covenant). Kehendak ilahi ini dinyatakan paling tidak dalam peribadahan, hukum dan hikmat (worship, law and wisdom). Peribadahan kepada Allah merupakan etika di mana kita memberi respon akan karya penciptaan dan penebusan Allah. Artinya, kita tidak melakukan dosa bukan karena takut hukuman atau yang lain, tetapi sebuah respon karena kita kagum dan hormat kepada Allah sehingga kita tidak ingin menyakiti hatiNya. Ini adalah pondasi etis bagi kita semua. Jadi prinsipnya adalah senang untuk tidak berdosa. Jadi tidak ada perasaan tertekan untuk tidak berbuat dosa. Ada satu inner drive untuk memilih dan senang untuk tidak berbuat dosa dan hal ini jauh lebih menyenangkan dari pada terpaksa untuk tidak berbuat dosa. Ketaatan kepada Yahweh adalah sebuah ucapan syukur dan kewajiban atas anugerah dan pemeliharaanNya dalam diri kita. Inilah yang dinamakan internal obedience/motive. Ada sebuah hati yang bersyukur kepada Allah dan atas dasar inilah muncul ketaatan yang suci dan tulus tanpa pengaruh apapun. Dalam Ul 6:5 [band Mat 22:37] dikatakan, ”Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Jadi, kasih adalah dasar dari semua perbuatan; love leads to fellowship and fellowship to service (fruit of obedience). Kalau mencintai artinya mentaati Allah, maka cinta yang demikian akan memimpin kita pada sebuah persekutuan yang erat dengan Allah. Dalam persekutuan ini, kita juga akan melayani Allah dan pelayanan yang kita lakukan adalah buah dari ketaatan kepada Allah dan sebagai ucapan syukur serta kasih kepada Allah. Oleh sebab itulah di dalam dunia profesi, kita tidak mau korupsi, memanipulasi data, dll, bukan karena kita takut berdosa tetapi karena kita mencintai Allah. Hukum Turat juga merupakan dasar etika. Hal ini dapat kita lihat dalam Dekalog di Kel 20:1-17 atau Ul 5:6-21. Covenant code juga merupakan dasar dari etika. Covenant Code di sini bersifat kasuistik bukan apodiktik yang bersifat ‘jika’ atau ‘apa bila’.

Holiness code (prinsip kesucian) juga merupakan sumber dari etika (Imamat pasal 17-26). Kesucian ritual ditentukan oleh kehidupan umatNya. (lih.Im.19:1-37). Tidak mungkin Allah berkenan kepada sebuah ibadah jika yang beribadah adalah orang Farisi yang belum bertobat. Apakah ibadah kita berkenan kepada Allah sangat ditentukan oleh siapa yang bekerja dan umat yang datang dalam pelayanan itu. Penyucian hanya bisa terjadi jika umat Allah berkabung akan dosanya dan ada pertobatan yang sejati (band. Yes 58). Jika umat yang datang beribadah itu tetap di dalam dosanya, maka jelaslah ibadah itu menjadi tercemar. Umat Allah dituntut untuk hidup suci dan inilah dasar dari sebuah etika.

Etika juga menjadi dasar untuk menjadi serupa dengan Dia. Manusia yang dicipta Allah adalah serupa dengan Dia (imago deo). Oleh karena itu hukum yang esensi bagi manusia adalah bahwa dia harus memancarkan imago deo dan menjadi serupa dengan Allah dalam karakternya. Jadi karena kita diciptakan segambar dan serupa dengan Allah maka kita harus hidup seperti dan menyerupai Allah. Dalam hal inlah tindakan etis membuat kita tidak ingin melakukan yang salah. Kesucian Yahweh memanggil manusia kepada kesucian hidup (Im.20:26. band. 1 Ptr.1:15-16).

Hikmat atau berhikmat berdasarkan Firman Tuhan adalah sebuah dasar bagi kita dalam memutuskan atau melakukan segala sesuatu. Hikmat ini bersifat dependent untuk mengamati apa yang terjadi dalam kehidupan (sejarah menjadi pelajaran). Dengan hikmat Allah kita melihat ke belakang dan hal ini menjadi sejarah. Fokus dari hikmat bijaksana dan bodoh; berkat atau kutuk/hukuman. Artinya, jika kita melakukan yang baik menurut Allah dan hikmat Allah berarti kita orang pintar/bijak. Tetapi jika kita melanggarnya berarti kita adalah orang yang bodoh.

Tindakan etis adalah konsekuensi hubungan manusia secara personal dengan Allah di mana dia hidup dalam rencana dan kehendak-Nya (Kej.1:26-28). Jika kita bersahabat dengan seseorang dan dekat dengan dia, maka kita tidak akan mau melukai hatinya. Dalam hal inipun, salah satu tindakan etisnya adalah relasi kita dengan Allah yang bersifat personal bukan kolektif. Kesucian personal akan melahirkan kesucian kolektif. Tindakan etis merupakan respon atas otoritas Allah sebagi pencipta yang ditentukan oleh intimacy (keintiman) dengan Dia.

Ada motivasi dalam tindakan etis. Pertama adalah rewards yang dipandang sebagai eudaemonistic, yaitu good deeds are done for the gain involved, not simply because they are right. Ada sebuah motif yang mendorong orang melakukan sebuah hal yang/tindakan etis yang benar di mana perbuatan ini dilakukan karena mengharapkan sesuatu di dalamnya atau sebuah keuntungan bukan sebatas karena hal itu benar. Misalnya, datang ke kantor on time itu benar. Tetapi seseorang datang on time ke kantor bukan hanya karena itu benar tetapi karena akan mendapat reward yaitu uang kerajinan dan jika terlambat akan dipotong. Kedua adalah Heteronomous di mana their authority lies outside the person, who may be forced to behave in ways with which he does not inwardly concur. Jadi, dalam motivasi kedua ini seseorang melakukan perbuatan baik karena terpaksa melakukannya.

Jika pembahasan di atas banyak melihat etika dalam PL, sekarang mari melihat etika dalam PB. Ada beberapa etika yang berbeda antara PL dan PB. Misalnya, PL memungkinkan untuk poligami, tetapi dalam PB tidak. Sebelum PB dituliskan ucapan dan ajaran Yesus beredar (lisan) di jemaat dan membentuk moralitas dan pemikiran mereka (inilah yang disebut oral tradition). Para penulis PB juga dibentuk oleh pengajaran Yesus yang kemudian meneruskannya sebagai ajaran etis umat Allah. Tindakan etis (menurut Yesus) secara fundamental merupakan respon akan kasih dan karya Allah lebih dari sekedar ketaatan pada Taurat (bd. Mt.6:17-20). Jika hanya karena tuntutan taurat kita melakukan sesuatu yang benar, maka ada sebuah tekanan dan kita dikungkung oleh peraturan (taurat). Tetapi prinsip atau dasar tindakan etis dari orang percaya didasarkan kepada kasih dan merupakan respon atas karya Allah yang membuat kita mencintai Allah dan senang untuk taat kepada Allah.

Apa yang menjadi dasar tindakan etis kita berikutnya? Dikatakan adalah sebuah panggilan pertobatan dan percaya kepada Injil yang di dasarkan pada datangnya Kerajaan Allah. Maka ketika Kerajaan Allah datang itulah sekaligus menuntut kita untuk bertobat dari dosa dan berhenti dari perbuatan jahat dan sekaligus juga melahirkan iman untuk injil Kerajaan Allah (Mrk.1:15; Mt.4:17). Datangnya Kerajaan Allah yang memanggil orang untuk bertobat dan percaya kepada Injil merupakan dasar dari tindakan etis. Pertobatan berarti menyambut datangnya Kerajaan Allah dengan ketaatan pada perintah Yesus. Begitu kita lahir baru maka Kerajaan Allah ada bagi kita. Ketika Kerajaan Allah ada bagi kita maka akan muncul ketaatan. Kerajaan Allah membentuk dan mewarnai semua cara hidup seseorang. Etika biblika merupakan respon akan datangnya Kerajaan Allah dan dampaknya bagi manusia. Dasar sebuah etika biblika adalah kasih akan Allah (Yoh.14:21), sesama (Lk.10:25-37) dan musuh (Mt.6:43-48) (Band Mt.22:37-40). Kasih yang demikian membuat kita tidak ingin melakukan yang jahat. Etika Kristen juga didasarkan pada adanya kebangkitan orang percaya yaitu hidup yang berpadanan dengan Injil Kristus (Flp.1:27). Kebangkitan dan zaman baru menandai kehidupan komunitas orang yang dipanggilNya. Karena kita yakin bahwa kita pasti akan dibangkitkan bersama Kristus, maka hal ini mendorong kita untuk tidak melakukan kejahatan. Jika kita adalah umat Kerajaan Allah dan akan dibangkitkan maka kita tidak akan pernah menodai diri kita dengan dosa.

Tindakan etis merupakan bagian dari panggilan seorang murid (Mrk.8:34). Pertobatan adalah anugerah, oleh sebab itu kita tidak bayar apa-apa (nothing). Tetapi untuk bertumbuh kita membayar something dan dalam pelayanan kita membayar everything. Jadi, agar kita menjadi murid Kristus yang berkenan terhadap sang Guru, maka kita bertumbuh di dalam pemuridan dan tidak akan melukai hati sang Guru. Kemerdekaan dalam Kristus bukan berarti hidup sembarangan, melainkan berbuat segala sesuatu dengan dasar kasih. Gal.5:13 mengatakan, “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (band. 1 Kor.6:12). Nilai atau target tindakan etis orang percaya bahkan harus lebih dari pada Farisi dan ahli Taurat. Mari melihat Mt.5:20, “Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (band Luk 18:20-21).

Perbuatan etis merupakan sebuah panggilan dedikasi kepada Allah dan tuntutan transformasi karena telah mengalami pembaharuan. Rom.12:1-2 mengatakan, “1 Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. 2 Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Hal ini akan mendorong kita untuk berkenan kepada Allah. Tindakan etis bukan sebagai perbuatan moralitas asketik. Dalam 1 Tim.4:3-5 dikatakan, “3 Mereka itu melarang orang kawin, melarang orang makan makanan yang diciptakan Allah supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenaran. 4 Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, 5 sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa.” Kita tidak kurang larangan tetapi kurang cinta kepada Allah. Jadi kita tidak melakukan tindakan etis dalam bentuk yang dikondisikan. Kita harus suci di tengah kenajisan, seperti ikan yang berenang dilautan yang asing tetapi tetap tawar. Dunia ini gelap dan najis, dan di sinilah orang kristen tetap hidup dan tetap menjadi ’tawar’. Tindakan etis juga adalah sebagai implementasi atau perwujudan iman. Yak.2:17 mengatakan, ”Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” Tindakan etis juga didasari oleh sebuah panggilan dan ambisi untuk menjadi serupa dengan Kristus (Flp.3:10-11).

Menempatkan Yesus sebagai Tuhan dari seluruh aspek hidup juga menjadi sebuah dasar tindakan etis. Sudahkah Yesus menjadi Tuhan dari mulut kita sehingga tidak ada lagi kalimat bohong yang keluar dari mulut kita? Sudahkah Yesus menjadi Tuhan dari mata sehingga tidak ada mata zinah? Sudahkan Yesus menjadi Tuhan dari pikiran kita sehingga tidak ada pikiran yang macam-macam? Ini adalah cara membuat Tuhan menjadi segala-galanya. Kalimat dari Bethoven, yang dikutip oleh John Stott, mengatakan, ”If Jesus not Lord of all, He is not Lord at all!”

Pengharapan eskatologis sebagai dasar tindakan etis membuat kita berbuat baik dan hidup suci (Mt.25:31-46). Apakah pondasi etika Kristen? Hanya satu yaitu: “ALKITAB”.
Soli Deo Gloria!

No comments: