Denni B. Saragih, M. Div
Eksposisi hari ini merupakan Eksposisi terakhir dari Seri Eksposisi Mazmur, yaitu Mazmur 132. Mazmur ini akan dibahas dan direnungkan dan bawah satu tema – Obedience.
Calvin pernah mengatakan: “Pengenalan yang benar akan Tuhan lahir dari ketaatan.” Artinya adalah hanya dengan pengalaman ketaatanlah kita bisa bertumbuh di dalam pengenalan atau pemahaman akan Tuhan. Jika kita membaca Mazmur 132, maka kita akan melihat bagaimana pengalaman ketaatan dan juga visi ke depan, yang diberikan kepada mereka, membentuk jenis ketaatan yang mereka miliki dan rayakan khususnya ketika mereka berada dalam pergumulan sebagai bangsa yang tercerai-berai yang kemudian berziarah untuk kembali ke negeri mereka.
Kita semua pasti bergumul untuk hidup dalam ketaatan. Tentu saja ada waktu-waktu di dalam hidup kita di mana kita sangat taat. Di lain waktu juga kita mengalami satu masa di mana kita sulit untuk bisa taat. Ada Ilustrasi tentang seorang yang akan tenggelam. Ketika dia merasa terancam, dia berdoa kepada Tuhan. Katanya: ”Tuhan, selamatkanlah aku. Jika Engkau menyelamatkan diriku, maka aku akan menyerahkan seluruh harta dan nyawaku dan segala yang kumiliki kepadaMu.” Sehabis dia berdoa, maka melintaslah di depannya sepotong kayu yang mengapung. Dia meraih kayu itu dan menjadikannya pelampung. Kemudian dia berdoa lagi: ”T’rima kasih Tuhan, Engkau menjawab doaku. Tetapi Tuhan jika Engkau membawa aku sampai ke daratan, maka aku akan menyerahkan seluruh hartaku. Inilah janjiku Tuhan!” Sudah ada yang berkurang. Jika di awal dia akan ’menyerahkan harta dan nyawanya’, sekarang hanya ’menyerahkan hartanya’. Tidak berapa lama kemudian, dia melihat daratan. Dia berseru kepada Tuhan: ”Tuhan, Engkau sangat baik. Jika Engkau membawa aku selamat sampai ke daratan itu, maka aku akan memberikan hartaku yang paling bernilai kepadaMu.” Kembali berkurang. Dari ’seluruh harta’ menjadi ’harta terbaik’. Ia lalu berenang ke pantai dan tiba dengan selamat. Ia berkata kepada Tuhan: ”Terima kasih Tuhan, Engkau sudah ’ku tipu.”
Ilustrasi ini adalah gambaran tentang bagaimana jika seseorang berada di dalam kondisi kritis, ia berjanji dan bernazar kepada Tuhan, tetapi ketika hidupnya kembali normal, dia tidak mentaati apa yang telah dijanjikan/dinazarkan kepada Tuhan. Ada dalam satu fase hidup, kita juga pernah melakukan hal yang sama. Dalam kondisi yang kritis, terpojok, dan tidak berdaya kita berjanji kepada Tuhan. Kita mau taat dan setia kepada Tuhan. Bahkan mungkin kita mengucapkan sesuatu yang luar biasa untuk diberikan kepada Tuhan. Tetapi ketika hidup kita berangsur normal, kita lupa kepada janji/nazar atau apa yang telah kita sebutkan dengan begitu indah kepada Tuhan. Semuanya telah hilang ditelan oleh waktu.
Seringkali seseorang itu punya iman dan ketaatan yang conditional (terkondisi), karena ketaatannya sangat tergantung kepada perasaan, mood atau pengalaman yang dia miliki pada saat dia mengucapkan janji tersebut. Ada sebuah kisah di mana seorang pendeta bernama Patterson harus diopname di rumah sakit karena tulang hidungnya patah. Pasca operasi tulang hidungya tersebut sangat sakit. Pada saat itu, seorang pemuda yang menderita infeksi laring masuk Rumah Sakit tersebut dan diopname di samping Patterson. Ketika Patterson dalam kesakitan, pemuda itu menyapanya. Karena kesakitan, Patterson menjawabnya dengan kurang responsif. Si pemuda tahu diri dan menutup tirainya. Pada satu waktu, Patterson mendengar pemuda itu bercerita kepada teman-temannya bahwa dia adalah petinju dan patah hidunya yang dideritanya adalah karena bertinju. Setelah teman-teman pemuda ini pulang, Patterson berkata kepada pemuda itu bahwa dirinya bukan petinju, tetapi seorang pendeta. Mendengar bahwa Patterson adalah seorang pendeta, si pemuda ini menutup tirainya dan tidak ingin berbicara lagi karena dia tidak ingin berhubungan dengan agama-agama.
Ini adalah gambaran sikap mental dari orang-orang pada umumnya ketika berbicara soal agama dan kerohanian (khususnya di Negara Barat). Cerita di atas masih berlanjut. Ketika pemuda tadi akan dioperasi, dia merasa ketakutan. Dia memanggil Patterson dan minta didoakan. Diawal cerita, ketika tahu bahwa Patterson adalah seorang Pendeta, pemuda ini tidak ingin berbicara kepada dirinya, tetapi dalam situasi kristis, dia bahkan minta didoakan oleh Patterson. Selesai operasi, pemuda ini merasa kesakitan yang amat sangat. Dia sampai menggigau dan mengalami halusinasi. Sewaktu dokter dan perawat datang ketempatnya, dia mengalami sebuah penglihatan dan terus berteriak agar di doakan.
Tuhan itu paling sering dipanggil dengan sungguh-sungguh hanya di dua tempat. Pertama adalah Medan Perang. Di Medan Perang tepatnya di foxhole akan ditemukan banyak serdadu yang menyerukan doa-doa yang paling tulus yang pernah mereka angkatkan. Kedua adalah Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Di RSJ, anda akan menemukan banyak sekali penglihatan-penglihatan. Ada yang melihat naga, bertemu dengan malaikat atau setan, dll. Kita melihat dalam perang, orang mengucapkan doa yang paling bergantung, dan di RSJ orang akan mendapatkan penglihatan-penglihatan dan bernubuat tentang Tuhan. Oleh karena itu, sewaktu kita berbicara mengenai Firman Tuhan, seringkali tidak relevan dengan situasi normal di dalam kehidupan. Kita berbicara mengenai Tuhan di dalam situasi yang darurat, sehingga jika bicara soal ketaatan, ketaatan tersebut tidak memiliki keseimbangan antara iman dan kematangan, antara iman yang benar dan ketaatan yang mendalam, karena akar dari ketaatan yang dimiliki orang-orang sering- kali berakar pada perasaan, situasi, atau pengalaman pribadi, bukan berakar pada pengalaman atau sejarah yang ada di dalam Alkitab.
Seorang pendeta pernah berkata kepada jemaatnya di atas kapal pesiar: ”Jika kamu memiliki iman, maka kamu bisa berjalan di atas air.” Lalu tiga orang jemaatnya mencobanya. Orang pertama melompat ke air lalu jatuh dan mati. Tetapi Pendeta berkata: ”Dia kurang iman.” Lalu orang kedua dan ketiga melompat dan mati. Ini adalah kisah nyata. Tiga orang mati karena mereka percaya, beriman, dan taat secara buta. Seringkali ketaatan dan iman itu dihubungkan dengan situasi-situasi ekstrim, situasi dimana kita ditantang melompat dengan iman dan taat dengan cara yang luar biasa. Di sinilah orang-orang biasa berbicara soal ketaatan.
Mazmur 132 mengingatkan kita tentang apa sebenarnya akar dari ketaatan. Dalam ayat 6-8, kita melihat Pemazmur bicara mengenai ketaatan dengan satu sejarah. Ketaatan tidak berakar dari perasaan atau suasana hati, tetapi berakar pada pengalaman sejarah di masa yang lalu. Ayat-ayat ini sebenarnya berbicara mengenai Tabut Perjanjian. Dalam ayat-ayat ini ada teologia mengenai akar dari ketaatan yang mengambil konsep peran Tabut dalam hidup orang Israel. Tabut Perjanjian adalah sebuah kotak dengan panjang sekitar 45 inchi, lebar: 25 inchi, dan tinggi: 25 inchi. Di dalam Tabut tersebut terdapat dua loh batu yang berisikan tulisan yang Allah tulis sendiri dengan tanganNya. Inilah Tabut Perjanjian itu. Jika kita membaca Keluaran 25:10-22, kita akan menemukan sebuah kisah dimana Tabut Perjanjian sampai ke Iasrael. Tabut tersebut tidak boleh diperlakukan dengan sembarangan. Ketika satu kali Tabut tersebut di bawa dan posisinya agak miring, lalu ada orang yang ingin memperbaiki posisinya. Ketika orang tersebut memperbaiki posisinya, dia dihantam kekudusan Tuhan dan mati seketika. Jadi di dalam ingatan bangsa Israel ada ingatan simbolisasi Tabut. Mereka mengingat bagaimana Tabut ini pernah dibawa oleh orang Filistin, dan ketika orang Filistin meletakkan Tabut ini dalam rumah perben- daharaan, maka bencana besar melanda mereka. Bencana ini tetap ada sampai Tabut Allah tidak dipermainkan oleh bangsa Filistin. Tabut tersebut adalah simbol kehadiran Allah. Kehadi- ran Allah demikian dasyat dan menggetarkan hati siapa saja.
Bagian Mazmur ini juga menggambarkan tentang kalimat Daud. Dalam ayat 7-8 dikatakan: "Mari kita pergi ke kediaman-Nya, sujud menyembah pada tumpuan kaki-Nya. Bangunlah, ya TUHAN, dan pergilah ke tempat perhentian-Mu, Engkau serta tabut kekuatan-Mu!” Jika kita membaca ayat 1-5, dikisahkan bagaimana Daud tidak tenang sampai rumah Allah dapat berdiri. Ketika akhirnya rumah Allah berdiri, Daud membawa Tabut Perjanjian itu. Dia menari-nari, bersorak-sorai, dan bergembira karena Tabut Allah dan kehadiran Allah telah dibawa kembali dan diletakkan di dalam rumahNya. Tabut ini menjadi satu memori yang dinyanyikan dalam satu perjalanan ziarah (ingat, Mazmur ini adalah Mazmur ziarah). Ketika mereka berjalan pulang dari negeri yang jauh menuju Sion, mereka menyanyikan tentang Tabut Allah. Mereka mengingat akan pekerjaan-pekerjaan besar yang telah terjadi kepada mereka. Mereka mengulang kembali sejarah, peristiwa masa lalu yang menjadi bagian dari iman mereka. Hal ini menjadi simbolisasi dari kehidupan mereka. Dalam hal inilah Patterson menyatakan bahwa ketaatan Israel untuk berangkat berziarah dibentuk oleh sejarah pada masa lalu. Ketaatan mereka berakar pada tindakan Allah dan kehadiranNya pada masa lalu yang telah mereka dengar dan diulang-ulang ceritanya. Mereka mengingat kembali cerita itu dan hal ini membentuk pikiran, konsep diri dan ketaatan mereka. Oleh karena itu, ketaatan mereka bukan di dasarkan kepada perasaan sesaat tetapi pada satu sejarah konkrit yang telah membentuk jati diri mereka sebai umat Allah.
Oleh karena itu, Mazmur ini berkata jika kita ingin hidup taat, maka ketaatan kita janganlah didasarkan pada pengalaman rohani yang dangkal, tetapi kepada satu ingatan akan masa lalu, akan orang-orang seperti Daud yang selalu taat pada Allah. Akan Abraham yang tetap setia kepada Allah. Akan Yesus yang memikul salib, yang meminta pengampunan bagi orang yang menyalibkanNya. Akan Paulus yang sedemikian berkorban secara luar biasa untuk mentaati Amanat Agung di dalam hidupnya. Inilah yang disebut dengan Liturgical Spirituality. Oleh karena itu jangan mengecilkan makna ke Gereja setiap hari Minggunya karena di Gereja kita dapat merenungkan kembali cerita-cerita tentang Alkitab dan mengingat kembali bagaimana banyak orang mengalami kedasyatan Tuhan. Ada satu simbolisasi yang kita renungkan dan hal ini akan menjadi dasar dari ketaatan yang dalam di dalam hidup kita.
Tetapi ketaatan itu bukan hanya berdasarkan pada ketaatan masa lalu saja, tetapi satu ketaatan yang melihat pengharapan di masa yang akan datang. Ayat 15-18 menunjukkan hal ini kepada kita. Dalam ayat 15-18 dapat kita lihat satu tipologi dari pengalaman masa lalu yang dijadikan sebagai satu pengharapan di masa yang akan datang. Seperti sebuah pemicu bagi kita untuk meraih janji Allah. Dalam ayat 15 dikatakan: ”Perbekalannya akan Kuberkati dengan limpahnya, orang-orangnya yang miskin akan Kukenyangkan dengan roti,” Ini adalah pengalaman di Padang Gurun. Ketika orang Israel mengatakan hal ini, mereka melihat kembali bagaimana Allah memelihara segala kebutuhan mereka dengan manna selama di gurun. Ayat 16 mengatakan : ”..., imam-imamnya akan Kukenakan pakaian keselamatan, dan orang-orangnya yang saleh akan bersorak-sorai dengan girang.” Dalam ayat ini mereka diingatkan kembali bagaimana para imam-imam menyelenggarakan keselamatan dalam ibadah Israel. Setiap kali mereka beribadah, maka diberitakanlah bahwa Tuhanlah yang memelihara keselamatan diantara umatNya. Hal ini akan menjadi satu pengharapan dan menjadi satu simbolisasi bagaimana Allah akan terus mengerjakan hal ini di masa yang akan datang untuk menuju kesempurnaan. Ayat 17 mengatakan: ”Di sanalah Aku akan menumbuhkan sebuah tanduk bagi Daud, Aku akan menyediakan sebuah pelita bagi orang yang Kuurapi.” Tanduk adalah simbl dari kekuatan dan pelita adalah simbol dari pengharapan. Dalam ayat ini kita dapat melihat bagaimana kekuatan dan pengharapan diletakkan pada kehadiran Tuhan, bahwa Tuhan hadir bersama-sama dengan umatNya. Dan semuanya diakhiri dalam ayat 18. Dikatakan di sana: “Musuh-musuhnya akan Kukenakan pakaian penuh malu, tetapi di atas kepalanya akan bersemarak mahkotanya." Dalam ayat ini ada kemenangan final dan kebenaran yang dinyatakan. Ada satu pertarungan dan di dalam Mazmur ini kembali diingatkan akan pengharapan Israel, bahwa pada akhirnya akan ada kemenangan Final dan kebenaran bagi orang-orang Israel. Ada satu kebenaran-kebenaran teologis yang diletakkan pada pengharapan akan masa depan mengenai pemeliharaan Allah di Gurun, ingatan akan keselamatan yang selalu dibacakan dalam ibadah, mengenai kekuatan dan pengharapan atas kehadiran Tuhan, dan mengenai kemenangan final, kemenangan atas kejahatan.
Semuanya ini menjadi bentuk pengharapan yang mendasari dan menjadi sayap bagi ketaatan. Dengan kata lain, sewaktu Mazmur 132 berbicara soal ketaatan, maka pemazmur mendasarkan ketaatan itu pada satu sejarah suci di masa lalu tentang bagaimana Allah bertindak. Hal ini menjadi dasar yang dalam dan kuat tentang bagaimana mereka artinya mereka meletakkan iman mereka. Tetapi hal ini membawa visi ke depan dimana ada satu pengharapan di amsa depan, satu kerinduan untuk melihat apa yang telah Allah janjikan terjadi. Dan di dua titik inilah, pengalaman akan masa lalu dan penglihatan akan masa depan, ketaatan bertumbuh menjadi besar. Jadi bukan pada pengalaman sesaat atau pada mood kita.
Sewaktu kita mencoba taat, ada satu pergumulan, masalah, persoalan, dan harga yang harus dibayar. Sama seperti seorang bayi yang berusaha menyeruak keluar dari rahim ibunya untuk meraih satu kehidupan. Dalam Mazmur 132 kita melihat bahwa sewaktu bangsa Israel pulang untuk berziarah, mereka mungkin merasakan satu pengalaman yang tidak enak atau merasa hidupnya normal-normal saja, tetapi janji akan masa depan tidak pernah luntur dari benak mereka walaupun hidup mereka normal.
Ketika kita bangun besok, mungkin hari kita akan biasa-biasa saja. Kita bekerja, makan dan melakukan kegiatan yang lain yang biasa yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Apa yang membedakan kita dengan orang lain? Yang membedakannya adalah kita menjalani hidup kita sebagai bagian dari sejarah orang-orang yang taat kepada Tuhan dan hidup kita meraih ke masa depan di mana janji Allah akan digenapi. Dalam pemahaman inilah kita melahirkan ketaatan yang berbeda, ketaatan yang tidak tergantung pada situasi, bukan ketaatan yang muncul ketika kita stress, tetapi ketaatan yang tenang dan dewasa, dimana semua kegiatan kita dalam keseharian, hari demi hari,dilakukan dengan ketaatan yang benar di hadapan Allah.
Hal inilah ayang dirayakan oleh bangsa Israel dalam Mazmur ini. Mereka hidup pada zaman mereka,. Mereka ziarah, merayakan ketaatan hari lepas hari dengan mengingat masa llu dan masa depan yang akan mereka raih.
Apa arti penting dari Mazmur 132 ini?
1. Mazmur ini menolong kita untuk melepaskan diri dari bentuk-bentuk ketaatan yang cocok dengan temperamen kita. Mazmur ini juga membantu kita untuk memahami bahwa ketaatan tidak tergantung pada temperamen atau standar hidup di mana jika kita kaya maka akan gampang memberi tetapi jika miskin, susah untuk memberi, jika periang maka ramah tetapi jika pendiam susah untuk ramah.
2. Mazmur ini mengajarkan pentingnya mengacu pada sejarah. Pentingnya melihat pada visi ilahi sebagai satu dasar ketaatan kristiani kita.
3. Mazmur ini juga mengajarkan bahwa ketaatan yang hanyan berdasarkan satu periode dalam kehidupan merupakan ketaatan yang dangkal, tidak berarti, dan tidak tahan uji. Ketaatan kita harus berdasarkan kebenaran yang Tuhan berikan dan melihat pada satu visi yang Tuhan janjikan.
4. Mazmur ini menumbuhkan ingatan dan menumbuhkan pengharapan yang dewasa.
5. Mazmur ini juga bahwa bahwa hidup kita adalah perjalanan yang mungkin kelihatan biasa saja, tetapi merupakan bagian dari perjalanan iman yang berkesinambungan dengan karya Allah yang luar biasa di masa lalu, dan juga sebuah eksplorasi yang menegangkan untuk meraih masa depan yang telah Allah janjikan.
Bagaimana dengan kehidupan kita? Apakah ketaatan kita hanya semata-mata sebuah ketegangan yang didorong oleh kekuatan dari perasaan kita atau ingin sebuah ketaatan yang berdasar pada sejarah suci masa lalu yang konkrit dan satu eksplorasi menuju masa depan?
Solideo Gloria!
No comments:
Post a Comment