Tuesday, May 25, 2010

[Christian Ethic 02 - 2009]: Lesser Beetwen Two Evils

Denni B. Saragih


Saat ini kita akan membahas mengenai seri Christian Ethic yang kedua yaitu Lesser Between Two Evils atau The Dilemma of Two Evils. Artinya adalah sebuah keadaan di mana kita berada di dalam situasi etis yang pilihannya serba sulit dan dalam situasi seperti ini kita harus mengambil keputusan dan mempertimbangkan keputusan yang kita ambil. Hal ini sangat penting karena kita hidup dalam zaman di mana apa yang benar dan apa yang salah itu menjadi kabur, sebuah zaman di mana yang salah mungkin semakin banyak dianggap benar. Dan kadang-kadang sebagai reaksi untuk perkembangan seperti itu banyak anak-anak Tuhan menganggap apa yang benar dan apa yang sebenarnya benar di curigai sebagai sesuatu yang salah. Orang-orang dalam zaman ini semakin pragmatis dalam memandang keputusan sehingga benar dan salah itu menjadi sesuatu yang tidak penting, dan yang penting adalah apakah hal tersebut menguntungkan atau tidak.

Ada sebuah film berjudul Les Miserable. Dalam film ini digambarkan bagaimana seorang Jean Val Jean yang divonis mencuri tetapi hukuman yang diberikan lepada dirinya adalah hukuman untuk perampok. Dia yang seorang maling kecil berkembang menjadi penjahat besar dalam penjara. Kemudian oleh sebuah peristiwa besar, dia berubah. Singkat cerita; dalam bagian akhir, setelah hidupnya tidak lagi menghakimi tetapi penuh dengan kasih, dia berhadapan situasi konflik dalam refolusi Prancis. Seorang polisi mengejar-ngejar dia, karena dia adalah bekas pencuri yang tidak melapor bahwa dia dulunya adalah pernah mencuri sebelum menjadi walikota. Polisi ini terus menerus mengejar dia. Karena terus di kejar Jean Val Jean bersembunyi di balik para pembrontak — orang-orang yang memprakarsai revolusi Perancis. Karena terus mengejar, polisi ini akhirnta ditangkap oleh kaum revolisioner. Setelah dia ditangkap lalu dia dijatuhi dihukum mati. Tentu saja Jean Val Jean seharusnya senang. Tetapi sewaktu polisi ini akan dibunuh, Jean Val Jean mengatakan, “Biar saya yang mengekskusi dia, karena saya punya dendam pribadi dengan dia.” Lalu dia membawa polisi ini ke dalam sebuah gang dan di dalam gang ini dia menembakkan senjatanya ke udara bukan polisi itu. Polisi itu menatap dia dengan mata yang berkaca-kaca dan berkata,”Mengapa kamu menyelamatkan saya.” Lalu Jean Val Jean berkata, “Karena aku juga dulu di selamatkan. Sekarang pergilah! Aku akan mengatakan kepada mereka bahwa kamu sudah mati dan mayatmu sudah kubuang ke dalam sungai.” Lalu polisi ini pergi dan lari. Jean Val Jean kembali ke pada para kaum revolusioner dan mengatakan bahwa dia telah membunuh si polisi tadi. Menurut kita, benarkah tindakan Jean Val Jean? Dia menyelamatkan nyawa tetapi dia berbohong. Apakah kita pernah mempertimbangkan situasi etis seperti ini? Banyak situasi-situasi dimana kita mengalami dilema, dalam pengertian bak makan buah simalakama. Apa yang kita lakukan ketika berada di dalamnya? Ini adalah pertanyaan yang sulit.

Dilema dapat mengambil dua bentuk. Pertama, dua pilihan yang sama-sama memiliki elemen jahat dalam moral non kontekstual. Artinya, terlepas dari konteksnya, dua-duanya tidak bagus. Dalam kisah Jean Val Jean, berbohong adalah tindakan yang salah. Tetapi membunuh atau membiarkan orang lain terbunuh padahal dia berbuat sesuatu juga merupakan sesuatu yang jahat. Di sini kita berhadapan dengan dua pilihan berbohong atau membunuh. Dalam konteks seperti ini, kita tidak bisa memilih untuk tidak berbuat apa-apa. Hal ini juga sama seperti seorang konglomerat pemilik pabrik rokok yang bertobat. Dia memiliki dua pilihan. Dia meneruskan pabrik rokoknya dan dengan demikian pabriknya akan menghasilkan rokok terus menerus dan akan semakin banyak orang merokok dan kena kanker paru-paru. Atau pilihan kedua dia bisa menutup pabrik rokonya dan dengan demikian akan memPHKkan ribuan karyawan dan akan semakin banyak keluarga yang kehilangan mata pencahariannya. Apa yang harus dia lakukan. Jika kita di dalam posisinya apa yang kita lakukan? Meneruskan pabrik rokok adalah sesuatu yang tidak baik dan membuat orang kehilangan mata pencahariannya juga tidak baik.

Bentuk kedua dari dilema adalah pilihan yang ada memiliki efek ganda yang dimana maksud dan akibatnya bertolak belakang. Misalnya seorang ibu yang mengandung bayi dan keberadaan bayi tersebut mengancam nyawanya. Kita bermaksud menyelamatkan nyawa si Ibu tetapi untuk melakukannya kita harus mengorbankan nyawa si bayi. Demikian juga halnya jika ingin menyelamatkan si bayi, maka kita juga harus mengorbankan nyawa si ibu. Ini juga situasi dilematis yang lain. Mana yang lebih diutamakan, nyawa si ibu atau nyawa si bayi?

Contoh lain adalah misalnya kita menjadi seorang pilot pesawat tempur. Kemudian kita diminta untuk menghancurkan pabrik senjata dengan serangan bom. Menghancurkan pabrik senjata tersebut juga berarti bahwa masyarakat di sekitar pabrik akan menjadi korban. Bagaimana kita berhadapan dengan situasi seperti ini? Inilah situasi yang disebut dengan two evils. Dua pilihan yang dilematis dimana yang satu jahat dan yang lain juga jahat. Kalau menghancurkan pabrik senjata yang berakibat kematian warga tidak berdosa adalah jahat, tidak menghancurkannya juga jahat karena pabrik senjata ini mengeluarkan senjata yang telah membunuh banyak orang. Membiarkan si bayi meninggal jahat, membiarkan si ibu meninggal juga jahat. Inilah yang disebut dengan situasi dilematis.

Sewaktu kita berhadapan dengan hal ini, kita juga harus membedakannya dengan yang lain. Yang dimaksud dengan Lesser than Two Evils bukanlah White Lie—bohong demi kebenaran. Berbohong demi kebaikan adalah satu cara etika yang biasanya orang dunia pakai untuk menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan yang baik di mana kita kadang-kadang harus melakukan kejahatan. Hal ini mirip dengan metode Zorro. Zorro melakukan kejahatan untuk melakukan kebaikan. Dia merampok orang kaya dan membagi-bagikannya kepada orang miskin. Artinya, masalah dilematis adalah masalah yang berbeda dengan setiap masalah lain yang memiliki pilhan ketiga yang secara moral dan efek bisa dilakukan. Artinya pilihannya bukan hanya dua. Ada pilihan ketiga atau cara-cara lain yang bisa dilakukan dan dia bisa lepas dari dilema tersebut.

Pilihan ini tidak berlaku untuk sesuatu yang memang sebenarnya bukan karena kita mengantisipasi masa depan yang kita rasa bergantung sepenuhnya kepada kita. Contohnya, dalam kasus perang di Eropa Timur dan beberapa gereja berhadapan dengan komunis, ada sepuluh anak Tuhan yang diancam hukuman mati. Lalu seorang komunis berkata kepada salah seorang dari sepuluh ini, ”Jika kamu mau mengeksekusi sembilan orang ini, maka kamu akan dilepaskan.” Dia mengingat mamanya yang seorang diri dan tidak ada yang merawat. Mempertimbangkan hal tersebut akhirnya dia berlogika, ”Toh yang sembilan orang ini akan mati. Jika aku ikut mati maka akan ada 10 ibu yang mungkin tidak bisa punya anak lagi. Tetapi jika aku membunuh yang sembilan ini maka akan ada satu ibu yang diselamatkan, yaitu ibuku.” Lalu dia setuju dan membunuh sembilan orang temannya. Apakah kita setuju dengan tindakannya? Perlu kita ketahui bahwa kasus dalam hal ini berbeda karena dalam konteks ini ada pilihan ketiga dan dalam konteks ini tidak ada dilema. Sebenarnya yang ada adalah ketidak yakinan bagaimana ibunya kalau akhirnya dia mati.

Situasi yang ingin dipaparkan pada saat ini adalah situasi dimana tidak ada pilihan ketiga. Mari kita meliohat contoh dari Alkitab dan melihat bagaimana Alkitab menangani masalah seperti ini dan kita kana sama-sama belajar dari Firman Tuhan. Mari melihat Yosua 2:1-7. Dalam Yosua ini kita melihat situasi yang sama. Mari kita analitis dan melihat bagaimana kita menilainya dari segi etis. Rahab hanya memiliki dua pilihan. Pilihan Rahab adalah memberitahukan di mana para pengintai. Pilihan memberitahukan dimana para pengintai itu sembunyi bisa terjadi dengan skenario berikut. Pertama, Rahab dengan terus terang memberitahukan dimana para pengintai sembunyi. Pilihan ini akan menyebabkan kematian daripada pengintai dan Rahab ikut membunuh pengintai itu. Kedua, Rahab tidak mau berbohong dan hanya berdiam diri saja. Tetapi berdiam diri membuat orang yang mencari langsung tahu bahwa ada pengintai sembunyi di rumah tersebut. Berdiam diri juga menyebabkan kematian secara tidak langung. Rahab mungkin mengatakan bahwa dia tidak bohong atau dia tidak membunuh tetapi dia tidak bisa lepas dari tanggung jawab secara moral bahwa dengan berdiam diri dia secara tidak langsung sudah ikut memberitahukan bahwa ada pengintai di rumah tersebut. Ketiga, Rahab menjadi gugup dan akhirnya ketahuan dimana para pengintai. Dengan kata lain, Rahab tidak melakukan usaha terbaik untuk melindungi nyawa orang yang sembunyi itu dan dia pun terlibat dalam kematian orang yang sembunyi itu. Pilihan pertama Rahab adalah pilihan yang langsung maupun tidak langsung memberitahukan dimana para pengintai dan dengan demikian dia terlibat dalam kematian para pengintai.

Pilihan Rahab kedua adalah dia bisa menyembunyikan fakta lokasi pengintai. Dia bisa berbohong dengan mengatakan bahwa pengintai tidak datang. Jika dia berbohong para pengintai tidak datang, maka bisa saja para pengawal itu pasti tidak percaya kepada dia dan akan menggeledah rumah Rahab tersebut. Satu-satunya pilihan yang bisa menyelamatkan adalah pilihan yang diambil Rahab. Dia berbohong dengan mengatakan bahwa pengintai sudah datang dan dia tidak tahu mereka orang Israel dan mereka sudah pergi sebelum mereka datang ketempat itu. Dengan demikian dia bisa menyelamatkan para pengintai itu.

Apa yang dilakukan Rahab itu tidak disalahkan oleh Alkitab. Kita tahu bahwa apa yang Rahab lakukan adalah bohong tetapi Alkitab memuji tindakan Rahab yang menyembunyikan para pengintai itu dan mengatakan bahwa tindakan itu berasal dari imannya. Ibrani 11:31 mengatakan, ”Karena iman maka Rahab, perempuan sundal itu, tidak turut binasa bersama-sama dengan orang-orang durhaka, karena ia telah menyambut pengintai-pengintai itu dengan baik.” Rahab menyambut para pengintai dan tahu bahwa mereka adalah panglima-panglima Kerajaan Allah dan dia tahu bahwa mereka dilindungi oleh YAHWE, Allahnya Israel. Dia menyembunyikan mereka dan berbohong demi mereka agar mereka tidak dibunuh oleh para pengawal Yerikho. Terjemahan yang lain juga menyakan hal yang sama. RSV mengatakan, ”By faith Rahab the harlot did not perish with those who were disobedient, because she had given friendly welcome to the spies.”. Dan NIV mengatakan, "By faith the prostitute Rahab, because she welcomed the spies, was not killed with those who were disobedient.” Tindakan Rahab diapresiasi sebagai tindakan yang lahir dari iman. Bagaimana kita memahami hal ini? Bagaimana kita menilai Lesser Between Two Evils? Kita mengetahui ada dua hal yang jahat di sini dan bagaimana kita bisa memilih yang kurang jahat dari kedua jahat tersebut. Kriteria apa yang akan kita pakai untuk mengatakan lesser evil—dosa yang lebih kurang dari dosa yang lain.

Mari melihat empat pilihan etika yang mungkin dilakukan dalam konteks yang dialami Rahab, yaitu: Pendekatan Etika Situasi, Pendekatan Etika Pasif, Pendekatan Lesser Evil, dan Pendekatan Higher Duty.

Pendekatan Etika Situasi
Pendekatan ini berkata, ”Love and do anything you want!” Cinta adalah satu-satunya hokum yang penting di Alkitab dan perintah yang lain dapat diabaikan. Jadi perintah ‘jangan engkau bersaksi dusta’ dapat diabaikan demi cinta. Jadi Rahab tidak berdosa karena dia melakukan kebohongan karena kasih kepada Allah dan kasih kepada dua orang pengintai yang terancam nyawanya. Dengan kata lain situasi memaksa dan menyebabkan dia harus melakukan hal tersebut. Situasi mendikte bahwa ungkapan kasih terbaik dalam situasi tersebut adalah berbohong dan melindungi orang yang sedang melarikan diri tersebut. Dalam pengertian lain berbohong diperbolehkan dalam situasi tertentu di mana situasi yang ada memaksa bahwa yang namanya cinta berarti berbohong. Ada beberapa kritik terhadap etika situasi ini. Pertama adalah prinsip ini sangat tergantung kepada keadaan sehingga tidak memiliki prinsip. Semua bisa dibenarkan atas nama kasih. Kedua adalah situasi berdasarkan apa dan oleh siapa? Siapa yang bisa menentukan bahwa demi kasih bisa berbohong? Apa pertimbangannya demi kasih kita bisa berbohong dalam konteks seperti ini. Tidak heran dalam etika situasi seks pra nikah diijinkan karena landasan suka saling suka.

Etika ini juga memiliki poin positif, yaitu menekankan pentingnya kasih dalam bertindak yang benar antara yang salah. Kasih adalah motivasi yang luhur dan menjadi dasar bagi kita untuk bertindak. Tetapi motivasi saja tidak cukup. Ada refleksi-refleksi moral di balik apa yang menjadi pilihan-pilihan yang harus kita pilih.

Pendekatan Etika Pasif
Etika ini mengatakan bahwa berbohong itu salah, membunuh juga salah. Jadi lebih baik tidak berbuat apa-apa karena kita memang tidak mampu. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali berdoa dan berharap kiranya kita tidak mengalaminya. Tuhan tidak memaksa kita melakukan sesuatu yang kita tidak mampu lakukan. Berbohong tidak boleh, membunuh tidak boleh, lebih baik memegang prinsip ’diam itu Emas’.

Terhadap pendekatan ini juga ada kritik. Pertama, pendekatan ini mengabaikan situasi dan konteks dari dosa. Rahab bukan sekedar berbohong, tetapi berbohong kepada orang jahat. Juga bukan sekedar melindungi, tetapi melindungi orang baik. Dalam Etika Pasif konteks ini dibuang --- bahwa ada orang jahat dan ada orang baik. Kepada siapa kita berbohong? Apa kita memang harus berkata jujur kepada orang yang jahat? Ini adalah pertanyaan yang tidak gampang. Jika tidak ada konteks seperti yang dialami Rahab, kita memang harus jujur kepada siapapun. Bukan karena seseorang pencopet, maka kita bisa berbohong kepadanya. Tetapi dalam konteks seperti ini, di mana kita berkata jujur kepada orang yang ingin membunuh orang lain dan informasi yang dia terima oleh karena kejujuran kita dan bisa berfungsi untuk membunuh orang, maka etika pasif ini menjadi gugur. Kritik kedua adalah etika ini mengabaikan tanggung jawab melindungi. Yang penting dalam etika ini adalah tidak berbuat jahat. Etika ini mengabaikan bahwa hidup kita bukan hanya sekedar tidak berbuat jahat tetapi kita harus melakukan yang baik.

Etika ini juga memiliki poin positif yaitu menekankan kebenaran dalam hidup. Kita diajak untuk tidak mengotori tangan kita dengan dosa.

Etika Lesser Evil
Ini adalah etika Matin Luther. Dalam etika ini menyatakan bahwa meski esensi dosa sama, tetapi derajat jahat dan efek dari dosa berbeda. Misalnya mana lebih jahat antara membentak dengan menganiaya/membunuh ibu? Atau mana lebih jahat berbohong dengan memperkosa? Sehingga dengan demikian etika ini mengatakan berbohong pada orang jahat berdosa tetapi menyerahkan orang baik kepada orang jahat lebih berdosa. Setelah berbuat dosa yang kurang jahat, kita segera minta ampun pada Tuhan. Ada kritik untuk pendekatan ini yaitu mengabaikan ketidakmampuan melakukan keduanya. Kita tidak mampu sekaligus berkata benar dan sekaligus melindungi orang yang tidak bersalah. Apakah Tuhan menuntut sesuatu yang tidak bisa kita lakukan? Bukankah jika kita tidak mampu melakukannya seharusnya ada konsekuaensi etis secara teologis dimana Tuhan tidak membebani anak-anakNya dengan hal yang dia memang tidak mampu lakukan.

Etika ini memiliki dua poin penting. Pertama, Etika ini menekankan pentingnya kerendahan hati bahwa kita mungkin salah. Kita memang bermaksud melindungi orang yang tidak bersalah dan dalam melakukannya kita berbohong. Kita dengan rendah hati mengakui kita berdosa dan kita mohon ampun kepada Tuhan. Kedua, etika ini menekankan bahwa kita harus waspada terhadap dosa, sekecil apapun dosa itu.

Etika Higher or Highest Duty.
Ini adalah pilihan etika yang terbaik. Dalam konteks ini Rahab tidak melihat dalam konteks benar atau salah, jahat atau tidak jahat, tetapi dia melihat dari segi bahwa Rahab memiliki dua tanggung jawab. Pertama adalah mengatakan kejujuran. Ini adalah tugas orang Kristen untuk menyatakan kejujuran kepada siapa saja. Jadi Rahab mendekatinya bukan dari dosanya, tetapi mendekatinya berdasarkan tugasnya. Di sisi lain Rahab juga memiliki tugas yang lain yaitu melindungi nyawa orang yang mau dibunuh. Konteks dalam kisah Rahab ini jelas bahwa kejujuran bagi orang jahat/fasik, dan melindungi nyawa orang benar/hamba Tuhan/utusan Yosua. Kita melihat dalam kisah Rahab dan dalam konteks yang ada kejujuran menjadi tugas yang dikurangi besar tanggung jawabnya dan melindungi nyawa orang benar bertambah bebannya dan tanggungjawabnya.

Rahab tidak bisa melakukan kedua tugasnya dan dia hanya bisa melakukan satu tugas. Dengan kata lain Tuhan tidak menuntut Rahab melakukan sesuatu yang tidak mampu Rahab lakukan. Dia tidak sekaligus melakukan berkata jujur dan melindungi nyawa orang benar.

Etika lesser than two evils mengatakan dari pilihan yang dilematis dimana keduanya adalah pilihan yang jahat maka kita harus memilih pilihlah yang kurang jahat. Jikapun tidak esensinya setidaknya derajat dan efeknya. Tetapi etika Higher or Highest duty ini mengatakan untuk melakukan suatu tugas yang lebih mulia/penting/tinggi kita diberikan dispensasi untuk tidak melakukan tugas yang lebih rendah. Untuk melakukan tugas melindungi nyawa pengintai Rahab dibebaskan dari tanggung jawab untuk mengatakan kebenaran kepada orang Jeriko.

Apa yang bisa kita simpulkan sebagai refleksi? Keempat pendekatan etika ini memiliki kekurangan dan yang satu lebih baik dari yang lain, tetapi setidaknya kita bisa mengambil empat hal penting dalam etika yang bisa kita pelajari. Pertama, dalam melakukan tindakan yang benar kita menyadari bahwa kasih itu penting. Kita melakukan bukan karena hal tersebut benar dan yang lain salah, tetapi ada motivasi yang didasari oleh kasih. Kasih dapat merubah lebih banyak pilihan dan memberikan pandangan yang lebih benar. Kedua, tindakan kita harus didasari pada pentingnya hidup benar. Untuk hidup benar kita harus memilih bersikap pasif walau ada konteks-konteks di mana kita tidak bisa memilih untuk pasif. Ketiga, kita harus sensitif terhadap kejahatan. Meskipun kita menyadari ada konteks yang mungkin kita pertimbangkan tidak harus kejahatan. Tetapi, etika lesser between two evils menekankan bahwa kejahatan itu nyata dan kita harus membuka pintu hati kita agar kita tidak tergosok pada kejahatan. Keempat, berbicara soal etika kita tidak cukup berbicara soal benar atau salah tetapi bagaimana kita hidup secara lebih benar, bertanggung jawab, dan berperan untuk mengatasi kejahatan ditengah-tengah dunia ini. Kita dipanggil bukan saja untu tidak berbuat dosa tetapi kita dipanggil untuk berperan aktif untuk mengalahkan kejahatan dengan kebenaran. Seorang tokoh etika Jerman mengatakan, ”Kejahatan merajalela bukan karena orang jahat bertambah banyak, tetapi ketika orang benar memilih untuk tidak berbuat apa-apa.”

Soli Deo Gloria!

No comments: