Saturday, June 12, 2010

Seri Problem of Pain I (2009)

[Kotbah ini dibawakan oleh Denni Boy Saragih, M. Div pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat, 2 Oktober 2009)

[Kej 3:14-19]

MBA kali akan membahas mengenai satu tema yaitu 'The Problem of Pain'. Jika kita menyusun semua penderitaan, maka penderitaan bisa ada karena beberapa penyebab. Ada penderitaan bisa timbul karena ada physical pain, rasa sakit karena luka fisik. Ada juga penderitaan yang disebabkan oleh mental suffering, misalnya karena patah hati atau dipermalukan. Ada juga the suffering of innocents, penderitaan oleh orang-orang yang tidak bersalah dimana tanahnya diambil orang lain atau orang yang tidak bersalah tapi dihukum. Ada juga physical deformities, di mana penderitaan yang dialami mereka yang tidak memiliki anggota tubuh yang lengkap atau mengalami cacat fisik. Ada juga penderitaan karena psychological abnormalities, di mana ia mengalami gangguan psikologis seperti berkepribadian ganda atau memiliki kecenderungan-kecenderungan yang aneh seperti paranoia, dll. Ada juga penderitaan karena disease (penyakit). Ada juga penderitaan karena character defects, di mana seseorang suka mencuri padahal ia kaya. Ada juga ketidakadilan karena injustice (ketidakadilan), penderitaan karena oppression and persecution (penindasan dan penyiksaan), dan penderitaan karena natural catastrophes (bencana alam) seperti gempa bumi, tsunami. Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa manusia harus mengalami penderitaan dan rasa sakit?

Penderitaan adalah sebuah fakta. Jika kita mengamati sekeliling, maka di mana dan kapan saja penderitaan selalu ada di dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, Selama manusia ada di dalam dunia ini maka ia tidak pernah tidak menderita – apapun bentuknya. Bahkan Sidarta Gautama berkata bahwa ketika lahir kita menangis dan ketika matipun kita dihantar oleh tangisan. Penderitaan itu pada dasarnya adalah sesuatu yang bersifat existensial personal. Misalnya kita mengatakan orang Padang sedang menderita karena gempa. Memang di Padang terjadi gempa, tetapi tidak semua orang Padang menderita. Di Padang sendiri ada yang tidak mengalami kerusakan apa-apa dan tidak kehilangan siapapun. Tetapi ada juga orang yang menderita. Penderitaan hanya kita alami secara pribadi. Kita memang bisa berempati, tetapi kita tidak bisa mentransfer apa yang kita alami kepada orang lain dan menyerap apa yang dirasakan oleh orang lain. Ini adalah fakta. Penderitaan itu terdistribusi secara merata bagi orang miskin-kaya, tua-muda, asia-eropah, dll.

Semua orang menderita dalam kacamata yang berbeda-beda. Jadi pertanyaannya adalah apa sebenarnya masalahnya? Apa itu Problem of Pain? The Problem of Pain adalah sesuatu yang terjadi bukan karena kita menderita tetapi karena di tengah –tengah penderitaan yang kita alami kita percaya bahwa ada eksistensi Allah. Jadi jika Allah ada dan penderitaan juga ada maka muncul masalah teologis. Maksudnya, bila tidak ada Tuhan maka masalah penderitaan tidak ada. Penderitaan hanya sebuah sensasi psikologis yang tidak menyenangkan atau rasa yang tidak enak. Tetapi bila Tuhan memang ada, kenapa Tuhan membiarkan penderitaan? Kenapa Ia tidak berbuat apa-apa di tengah penderitaan? Dimana Allah ketika Nazi memusnahkan ratusan ribu orang Yahudi di dalam ruangan dengan gas beracun? Kenapa Tuhan membiarkan semua kejahatan terjadi? Apakah Allah memang ada? Sekali lagi jika Allah tidak ada, maka penderitaan bukanlah masalah. Tetapi akan muncul masalah teologis dalam memandang penderitaan jika kita percaya kepada Allah.

Hal ini menjadi masalah psikologis karena kita percaya bahwa Allah adalah Allah yang baik dan Maha Kuasa. Problem of Pain tidak akan muncul jika Allah itu baik tetapi tidak maha kuasa. Karena Allah tidak berkuasa mencegah semua penderitaan yang ada. Jadi tidak ada masalah dengan penderitaan. Penderitaan juga tidak akan menjadi masalah jika kita melihat Allah itu Maha Kuasa tetapi tidak Allah yang baik. Allah berkuasa mencegah semua penderitaan tetapi Ia tidak baik. Wajar jika ia membiarkan penderitaan dan Ia ’tidak peduli’ dengan penderitaan manusia. Tetapi muncul Problem of Pain yang telah dirumuskan oleh Epicuros (341-270 BC) dengan mengatakan ”Apakah Ia ingin mencegah penderitaan tetapi tidak mampu? Berarti Ia tidak maha kuasa. Apakah Ia mampu, tetapi tidak ingin? Berarti Ia jahat. Apakah Ia mampu dan ingin? Bearti IA Maha Kuasa dan Maha Baik. Jadi darimana datangnya penderitaan dan kejahatan?” Perlu kita ketahui bahwa fakta penderitaan adalah salah satu argumentasi yang paling kuat supaya orang bisa menjadi Atheis.

Jadi, bagaimana kita seharusnya bersikap dalam merenungkan The Problem of Pain? Pertama, kita harus memahami makna ’kemahakuasaan Tuhan’. ’Maha Kuasa’ – dalam konteks Alkitab – sering diartikan sebagai apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah. Artinya Allah berkuasa melakukan hal-hal yang luar biasa. Tetapi kita harus bedakan antara tiga hal, yaitu: 1) Hal-hal yang masuk akal, kita bisa melakukannya dan Tuhan juga bisa melakukannya. Contohnya adalah membuat mobil berjalan, membuat orang jatuh cinta, dll. 2) Hal-hal yang melampau akal, dimana manusia juga bisa melakukan hal-hal yang seolah-olah melampaui akal, misalnya sulap. Tuhan juga mampu melakukan hal-hal yang melampaui akal melalui mujizat. 3) Hal-hal yang tidak masuk akal, artinya Tuhan tidak menjadi berhenti kemahakuasaanNya jika Ia tidak mampu melakukannya. Misalnya, tidak masuk akal membuat sebuah lingkaran yang berbentuk segitiga. Sangat tidak masuk akal! Tidak ada yang bisa melakukannya bahkan Tuhan pun tidak bisa melakukannya karena segitiga bukan lingkaran dan lingkaran bukan segitiga. Sewaktu Tuhan tidak bisa melakukan hal ini bukan berarti Ia tidak Maha Kuasa, tetapi permintaannya yang tidak masuk akal, permintaan yang tidak mungkin terjadi.

Karena itu, jika kita ingin membandingkan dengan konsep penderitaan dalam dunia ini, Tuhan itu Maha Kuasa dan di dalam kemahakuasaanNya, Dia memberikan kebebasan kehendak kepada manusia, sehingga sewaktu Ia memberikan kebebasan kehendak bagi manusia untuk memilih, Ia tidak bisa pada saat yang sama membatasi kebebasan kehendak itu supaya manusia hanya memilih yang baik saja. Di sinilah akar dari penderitaan yang dialami manusia. Manusia memilih dan pemilihan itu terkadang membuat manusia memilih yang jahat. Jika kita melihat Kejadian 3 tadi muncul pertanyaan kenapa Adam dan Hawa memilih untuk memakan buah itu dan melanggar perintah Allah dimana hal itu beakibat kepada munculnya banyak kutukan Tuhan. Bukankah sebenarnya Tuhan bisa muncul dan melarang Hawa pada saat ia akan mengambil buah yang dilarang Tuhan untuk dimakan? Jawabannya adalah bisa! Tetapi apa gunanya Ia memberikan kebebasan? Apa gunanya Ia memberikan perintah? Apa gunanya Ia memberikan larangan jika larangan itu tidak boleh dilanggar? Bukan berarti larangan atau hukuman dibuat untuk dilanggar. Tidak! Ketika Allah memberikan larangan, berarti ada kemungkinan larangan itu dilanggar. Jika tidak ada kemungkinan larangan tersebut dilanggar maka tidak perlu ada larangan. Misalnya, tidak perlu ada larangan “Dilarang Terbang di udara!”, karena tidak ada manusia yang mampu terbang di udara. Tetapi larangan seperti “Dilarang buang sampah sembarangan!” atau “Dilarang menginjak rumput!” pasti ada kemungkinan dilanggar. Justru karena ada kemungkinan yang melanggar maka dibuat larangan. Jadi bukan ‘hukum dibuat untuk dilanggar’ tetapi ‘hukum dibuat karena ada kemungkinan orang melanggar hukum itu’.

Jadi, Allah tidak bisa memberikan manusia kehendak bebas sekaligus selalu mencegah manusia berbuat jahat jika manusia ingin melakukannya. Hal ini akan menimbulkan pertanyataan, “Kalau begitu sebaiknya jangan ada kehendak bebas!” Tetapi, apakah kita lebih suka keadaan dimana manusia tidak diberikan kehendak bebas? Jawabannya sangat sederhana. Jika kita ingin pacaran dengan seseorang, maka yang mana lebih kita sukai, ia pasti dan tidak bisa tidak harus mencintai kita atau ia memilih dengan sukarela mencintai kita? Kita pasti memilih yang kedua. Dan jangan salah, pilihan yang kedua ini memiliki resiko. Kalau memang yang kita inginkan ia memilih dengan sukarela mencintai kita maka ada kemungkinan ia tidak memilih untuk mencintai kita. Inilah yang Tuhan lakukan. Ia ingin Adam dan Hawa mencintai Dia dengan segenap hati dan jiwa mereka sebagai manusia dan hal itu berarti bahwa Allah tidak berhak melarang jika manusia memilih untuk memberontak kepada Dia. Disinilah akar daripada penderitaan muncul. Jadi, kita tidak bisa sertamerta menyalahkan Allah ketika mengalami penderitaan karena dalam pilihan nenek moyang kita ada akar dari penderitaan. Manusia tidak hanya bebas memilih yang baik, tetapi manusia juga bebas memilih yang buruk atau jahat. Jadi, Allah tidak berhenti menjadi Maha Kuasa ketika manusia tidak dicegahNya melakukan yang jahat kepada orang lain.

Setelah memahami kemahakuasaan Tuhan, kita juga harus memahami hal yang kedua, yaitu memahami ’Kebaikan Tuhan’. Kebaikan dalam Alkitab bukanlah berarti sesuatu yang manis dan menyenangkan. Dalam Alkitab juga kadang-kadang dibedakan antara yang baik sekarang dan baik yang akan datang. Ada sesuatu yag memang tidak baik tetapi kelak dia menjadi sesuatu yang baik. Misalnya, orang yang senantiasa membanting tulang dan selalu ke ladang mencangkul dan malam baru bisa belajar. Ia memang menderita, tetapi dalam jangka panjang ia adalah seorang yang sehat dan bebas dari penyakit dan menjadi pribadi yang tangguh. Dalam Alkitab juga harus dibedakan antara baik bagi saya, baik bagi orang lain, atau baik bagi semua manusia. Misalnya, kematian seorang ayah yang akhirnya merukunkan semua anak-anaknya yang bertengkar. Jadi, kebaikan harus dipahami dalam konteks dunia yang berdosa.

Sewaktu kita bicara tentang Tuhan yang baik dan memberikan kebaikan kepada kita di tengah-tengah dunia yang penuh dosa, akan memunculkan dua jenis kebaikan. Pertama ada yang disebut Simple Good, yaitu hal-hal yang baik di dalam dirinya sendiri. Misalnya, cinta, sukacita, kebahagiaan, persahabatan dan hal-hal lain yang pada dasarnya adalah baik. Tetapi ada hal-hal yang menghasilkan sesuatu yang baik bagi manusia meskipun menghasilkan penderitaan. Dan hal inilah yang disebut Complex Good. Kita bisa melihat bahwa Allah itu tetap Maha Kuasa dan Maha Baik di tengah-tengah penderitaan yang ada dengan memahami apa sebenarnya kemahakuasaan Allah di tengah-tengah dunia yang memberontak kepada Tuhan dan dunia yang Allah berikan kebebasan untuk mencintai Dia atau untuk memberontak kepadaNya. Sebuah dunia yag dengan kompleksitasnya penuh dengan kebaikan Allah dimana, mungkin, ada kebaikan yang sederhana dan kebaikan yang kompleks.

Jadi, bagaimana kita memahami peran penderitaan bagi manusia? Kita harus belajar bahwa kita tidak bisa memberikan jawaban yang tuntas dalam menjawab penderitaan. Jangan memberikan jawaban yang menyederhanakan masalah seperti ”O, ini ada hikmatnya.” Tetapi kita juga tidak akan bisa menjelaskan semua peristiwa penderitaan itu. Kita harus merenungkan dan memahami apa kira-kira yang berguna dari penderitaan itu kepada manusia. Kita harus mengakui ada titik-titik di mana bahasa dan pengertian manusia harus berdiam dan mengheningkan diri tak berdaya terhadap bencana Alam Yang Tidak Pandang Bulu, Kekejaman Perang dan Terorisme, dan Kebiadaban Para Tiran dan Penindas. Tidak ada jawaban yang tuntas. Tetapi ada tiga hal yang menjadi pegangan kita ketika melihat penderitaan terjadi di dalam manusia. Pertama, penderitaan mengguncang ilusi manusia yang melihat semuanya baik dan tidak ada masalah. Hidup ini tidak baik dan penuh dengan masalah. Kedua, penderitaan menggoyahkan kesombongan manusia yang percaya pada kecukupan diri sendiri. Penderitaan mampu menggoncangkan orang kaya. Ia tidak pernah berpikir akan kekurangan, tidak pernah berpikir akan orang miskin, tetapi dia akan mulai memikirkannya ketika kanker masuk ke dalam tubuhnya. Penderitaan juga menggoncangkan kita bahwa kita tidak ada apa-apanya. Kita membutuhkan Tuhan dan orang lain. Jika kita tahu minggu depan kita akan meninggal dunia, maka satu minggu ini akan menjadi minggu yang luar biasa karena minggu ini akan penuh dengan kebaikan dan sempat meminta maaf kepada orang-orang yang kita sakiti. Dan Ketiga, penderitaan membuat jiwa pemberontak manusia menundukkan diri kepada kekuasaan Tuhan.

Kalau memang itulah inti kebaikan dari penderitaan, bukan berarti ini adalah jawaban dari semua penderitaaan. Kenyataan bahwa penderitaan di tengah-tengah dunia ini adalah sesuatu yang bisa membawa hal yang baik di tengah hal yang buruk dimana orang akhirnya menyerahkan diri kepada Allah. Manusia akhirnya menyerahkan diri karena tenderita, bukan karena kerelaan. Tetapi pertanyaannya adalah ‘Apakah sebuah penyerahan diri yang ‘dikondisikan’ oleh penderitaan adalah sebuah penyerahan diri yang sejati?’ CS Lewis mengatakan inlah yang disebut dengan Divine Humility, kerendah-hatian Tuhan. Tuhan rela menerima penyerahan diri manusia meskipun penyerahan diri itu bukan karena manusia betul ingin takluk kepada Tuhan tetapi karena dikondisikan oleh penderitaan. Hal ini terjadi karena Allah melihat manusia seperti seorang anak yang dalam proses belajar untuk berserah lepada Allahnya secara total di tengah-tengah dunia yang telah jatuh kepada dosa. The Problem of Pain pada akhirnya adalah pertanyaan mengenai penyerahan total kita, apakah dengan melihat segala penderitaan ini bisa dibawa kita kepada penyerahan diri kepada Allah dan menyadari bahwa kita tidak ada apa-apanya dan kita harus belajar takluk kepada Allah, pemilik dan yang empunya segalanya, yang menjaga diri kita dan segala yang kita miliki.
SoliDeo Gloria!

No comments: