Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div
Hari ini kita akan membahas panggilan Gereja yang ke tiga, yaitu Diakonia. Mari membuka Kis 6:1-7. Lima pasal pertama dari kitab Kisah Para Rasul ini banyak menceritakan mengenai perkembangan jemaat Yerusalem dan permulaan munculnya oposisi sebagai reaksi dari semakin menyebarnya Injil. Kemudian, pasal berikutnya berisi mengenai pekerjaan misi, bagaimana Roh Kudus memimpin Umat Allah dan para rasul di dalam pemberitaan Injil sehingga muncul Jemaat yang sangat besar. Jika kita perhatikan bagian Kisah 6 tadi, kita melihat bahwa narasi ini di awali dengan sebuah kritik atas perhatian yang kurang bagi orang yang miskin, khususnya untuk orang kristen yang berlatar belakang non Yahudi asli.
Mari kita lihat ayat 1: ”Pada masa itu, ketika jumlah murid makin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani, karena pembagian kepada janda-janda mereka diabaikan dalam pelayanan sehari-hari.” Jadi, ada satu sungut-sungut karena ada pihak yang terabaikan di dalam jemaat tersebut. Logikanya, jika jemaat semakin bertambah, maka yang ada adalah sukacita yang semakin besar. Tetapi di sini yang terjadi adalah ketimpangan, di mana ada kecemburuan yang menimbulkan sungut-sungut diantara mereka. Seolah-olah kelompok-kelompok tertentu di dalam jemaat itu hanya memperhatikan orang-orang yang Ibrani dan mengabaikan orang miskin yang berlatar belakang Helenis, khususnya para janda. Hal ini terjadi karena beratnya tugas dan fokus para rasul yang memberikan perhatian lebih banyak dalam pengajaran Firman Tuhan. Artinya, para rasul tidak mau ditarik dari tugas utamanya. Mereka tidak mau bergeser dari tugas utama mereka dan ingin tetap fokus dalam pengajaran Firman Allah. Bukan berarti para rasul mengabaikan pelayanan ini. Mereka tetap memperhatikan, hanya ada satu skala prioritas yang membuat mereka tidak ingin ditarik dari tugas utama mereka. Terjadilah persoalan ini.
Lukas, di ayat yang pertama, melihat bahwa salah satu permasalah dalam jemaat itu adalah karena pertambahan orang percaya. Tetapi Lukas juga melihat permasalahan yang lain, yaitu karena perbauran orang Ibrani dan Helenis. Ketika jemaat semakin bertambah, muncul juga sungut-sungut. Hal sangat bisa mungkin terjadi di dalam jemaat sekarang ini. Ketika jemaat semakin bertambah, maka akan dimungkinkan akan ada kelompok yang merasa terabaikan. Apalagi pada saat ini masih ada satu pendeta memimpin 11 jemaat.
Jika kita perhatikan bagian Kis 6 tadi, pelayanan kepada para janda dikatakan terabaikan dan ternyata janda yang terabaikan itu adalah janda Helenis. Siapakah janda yang harus diperhatikan dalam bagian ini? Mari melihatnya dalam 1 Tim 5:3-16. Di dalam ayat 3 dikatakan: ”Hormatilah janda-janda yang benar-benar janda.” Siapakah yang benar-benar janda? Dari 1 Tim 5 ini kita melihat bahwa janda yang memiliki anggota keluarga yang menanggungnya, tidak menjadi tanggungan jemaat. Dalam ayat 5 dikatakan: ”Sedangkan seorang janda yang benar-benar janda, yang ditinggalkan seorang diri, menaruh harapannya kepada Allah dan bertekun dalam permohonan dan doa siang malam.” Berarti janda tersebut adalah janda yang rohani yang tekun berdoa. Dalam ayat 6 dikatakan: ”Tetapi seorang janda yang hidup mewah dan berlebih-lebihan, ia sudah mati selagi hidup.”. Dalam ayat 8 dikatakan: ”Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman.” Artinya adalah jika kita memiliki saudara janda tetapi tidak melayaninya, maka kita termasuk orang jahat. Ayat 9 dikatakan: ”Yang didaftarkan sebagai janda, hanyalah mereka yang tidak kurang dari enam puluh tahun, yang hanya satu kali bersuami.” Dan ditambahkan pada ayat 10 bahwa janda tersebut terbukti melakukan pekerjaan baik, yang menggunakan kesempatan untuk berbuat baik (ayat 10: ”...dan yang terbukti telah melakukan pekerjaan yang baik, seperti mengasuh anak, memberi tumpangan, membasuh kaki saudara-saudara seiman, menolong orang yang hidup dalam kesesakan -- pendeknya mereka yang telah menggunakan segala kesempatan untuk berbuat baik.” ) Jadi janda orang Helenis yang benar-benar janda terabaikan di jemaat mula-mula.
Di dalam kondisi seperti ini, dilihatlah betapa pentingnya sebuah pelayanan Diakonia. Dalam Kis 6:2 dikatakan: ”Berhubung dengan itu kedua belas rasul itu memanggil semua murid berkumpul dan berkata: "Kami tidak merasa puas, karena kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja.” Terjadi satu kontradiksi. Di satu sisi para Rasul tidak banyak dan waktu mereka banyak untuk pelayanan Firman. Di satu sisi, terjadi pengabaian kepada janda-janda karena para rasul yang sedikit tidak mampu melakukannya. Oleh sebab itulah mereka berkata demikian dalam ayat 1 tersebut. Dalam pelayanan seharusnya harus memiliki dua hal, yaitu Proclamation (pengajaran dan pemberitaan Firman) dan sekaligus dengan the Presence of God di dalam pelayanan kasih. Inilah Diakonia. Hal ini sering sekali terabaikan. Tetapi hal ini tidak berlarut di dalam jemaat mula-mula. Muncullah satu solusi. Dalam ayat 3 dikatakan: ”Karena itu, saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu.” Panggilan umat Allah memang tidak sebatas vertikalistik. Inilah yang sering sekali menjadi kesalahan kita, baik Perkantas, Gereja, ataupun persekutuan-persekutuan Kristen lainnya. Sering sekali plan kita terpusat hanya pada hal-hal yang vertikal, dan mengabaikan pelayanan yang horizontal, yaitu pelayanan kasih. Salah satu kesalahan persekutuan atau Gereja adalah jika ada jemaatnya yang mengalami kemalangan, yang aktif terlibat untuk membantu adalah Serikat Tolong Menolong (STM) atau punguan Marga, bukan Gereja. Ini adalah kesalahan yang fatal dari Gereja. Gereja hanya datang sebagai ’penonton’. Gereja kehilangan esensi dan tanggung jawabnya. Ini adalah sesuatu yang sangat timpang. Kapan warga akan menikmati pelayanan Gereja dan hamba Tuhan jika Gereja masih seperti ini? Jangan ikatan marga lebih kuat daripada ikatan persekutuan. Ikatan iman harus jauh lebih mengikat dari pada ikatan suku atau marga. Oleh karena itulah, di dalam Kis 6 tadi, para rasul mengusulkan agar dipilih orang untuk memperbaiki ketimpangan yang ada di dalam jemaat mula-mula.
Belajar dari Tuhan Yesus, setelah Dia mengajar, Dia juga tidak lupa kepada mereka yang lapar. Yesus juga menyembuhkan dan menghiburkan ketika orang sedih. Ini adalah bentuk pelayanan Diakonia. Kenapa Gereja kita mengalami kegagalan adalah karena kurang memperhatikan pelayanan Diakonia [band 2 Kor 8:1-5 tentang jemaat di Makedonia ”Saudara-saudara, kami hendak memberitahukan kepada kamu tentang kasih karunia yang dianugerahkan kepada jemaat-jemaat di Makedonia. Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan. Aku bersaksi, bahwa mereka telah memberikan menurut kemampuan mereka, bahkan melampaui kemampuan mereka. Dengan kerelaan sendiri mereka meminta dan mendesak kepada kami, supaya mereka juga beroleh kasih karunia untuk mengambil bagian dalam pelayanan kepada orang-orang kudus.Mereka memberikan lebih banyak dari pada yang kami harapkan. Mereka memberikan diri mereka, pertama-tama kepada Allah, kemudian oleh karena kehendak Allah juga kepada kami.”]. Yang menarik dalam jemaat di Makedonia adalah, di dalam kekurangannya mereka masih menawarkan diri untuk ikut terlibat ambil bagian di dalam pelayanan Diakonia. Dengan prinsip pelayanan Diakonia, maka dalam Jemaat mula-mula itu dipilihlah orang yang punya kemampuan untuk hal itu. Syaratnya adalah terkenal baik (jujur), murah hati, yang penuh Roh dan hikmat. Dan ayat 5 dikatakan: ”Usul itu diterima baik oleh seluruh jemaat, lalu mereka memilih Stefanus, seorang yang penuh iman dan Roh Kudus, dan Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus, seorang penganut agama Yahudi dari Antiokhia.” Kemudian dalam ayat 6 dikatakan: ”Mereka itu dihadapkan kepada rasul-rasul, lalu rasul-rasul itu pun berdoa dan meletakkan tangan di atas mereka.” Pelayann Diakonia sebagai salah satu dari tiga panggilan Gereja harus dilakukan dan akan memberi dampak yang positif. Di dalam ayat 7 dikatakan: ”Firman Allah makin tersebar, dan jumlah murid di Yerusalem makin bertambah banyak; juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan percaya.” Mari kita perhatikan beberapa hal. Pertama, Firman Allah makin tersebar. Hal ini dikarenakan dua hal yaitu rasul fokus pada pemberitaan Firman dan karena orang menikmati perhatian kasih (Diakonia) dan mereka tertarik kepada pengajaran. Kenapa Gereja kehilangan jemaat adalah karena jemaat tidak menikmati pelayanan kasih. Kedua, jumlah murid di Yerusalem makin bertambah banyak. Hal ini terjadi karena mereka menikmati pelayanan kasih dari jemaat. Ketiga, sejumlah besar imam menyerahkan diri untuk percaya. Hal ini tidak gampang. Apa yang ingin dikatakan adalah bahwa imam-iman yang berasal dari ahli Farisi dan hukum Taurat, yang biasa tahu kebenaran dan berkutat terus di bait Allah, yang merasa bahwa diri mereka hebat, dikalahkan oleh satu hal ketika mereka melihat kehidupan umat Allah dan menikmati pelayanan Diakonia. Akhirnya mereka bertanya-tanya, tertarik, dan menyerahkan diri untuk percaya.
Harapan kita, biarlah kitanya orang tertarik, tertantang, dan datang kepada Kristus, apakah dia tokoh agama atau apapun, karena melihat kasih Kristus yang nyata di dalam Gereja kita. Kasih Kristus di dalam pelayanan Diakonia sungguh-sungguh hidup di dalam persekutuan kita. Itulah sebabnya tritugas Gereja harus dikerjakan secara berkesinambungan dan secara simultan dengan kasih Allah.
Solideo Gloria!
Mimbar Bina Alumni (MBA) merupakan sebuah ibadah yang disediakan untuk para Alumni, khususnya yang tinggal di Medan. Ibadah ini diadakan sekali seminggu yaitu pada hari Jumat, pkl 18.00-20.00. MBA ini diadakan di GSJA Iskandar Muda. Kami senantiasa mengundang rekan-rekan sekalian untuk menghadirinya. Semoga MBA ini menjadi berkat bagi kita dan menguatkan kita di tengah-tengah pekerjaan kita. Amin.
Monday, November 2, 2009
Seri The People of God III: The Calling (KOINONIA)
Denni B. Saragih, M. Div
Minggu-minggu ini kita merenungkan apakah artinya menjadi Gereja. Apa artinya menjadi umat Allah. Satu harapan kita adalah kita semakin menghargai keberadaan Gereja, dan bagaimana kita mencintai dan ambil bagian dalam pelayanan Gereja. Tentu saja kita mendekati Gereja tidak semata-mata sebagai sebuah institusi tetapi juga di dalam pengertian theologis yang dipahami di dalam Alkitab. Hari ini kita akan menyegarkan pemahaman kita tentang apa artinya Koinonia melalui Kis 2:42-47.
Dalam kehidupan sekarang ini, ada dua ekstrim yang kita temukan sewaktu kita melihat persekutuan Gereja. Satu sisi kita melihat persekutuan Gereja yang mirip-mirip dengan kelompok adat. Suasanya sangat formal, sehingga etika dan nilai-nilai yang ada di sana lebih mengarah kepada nilai-nilai budaya dari pada nilai-nilai Kristiani. Di sisi lain juga kita melihat Gereja yang terlalu causual, dimana siapa saja boleh masuk ke dalam. Orangnya mungkin berganti-ganti dan tidak saling mengenal. Gereja ini memiliki kesan seperti sebuah show, bukan ibadah.
Kita memperhatikan bahwa dalam bagian Kis 2 ini, kita diingatkan kembali apa yang menjadi mungkin bagi sebuah umat Allah. Ditengah-tengah kekecewaan kita dengan Gereja, kekeringan dunia ini akan persekutuan yang sejati, kegagalan, dan ditengah-tengah harapan yang kita miliki tentang bagaimana seharusnya sebuah Gereja, Kis 2 ini memberikan gambaran tentang apa yang mungkin terjadi dalam jemaat/Gereja. Bagian Firman ini mengajarkan kepada kita bahwa Kis 2 ini bukanlah kisah yang unik, yang hanya terjadi sekali dalam sejarah dan tidak mungkin terulang lagi. Tidak! Kekerdilan iman kita yang dibentuk situasi di sekeliling kita membuat kita dipaksa untuk percaya bahwa persekutuan yang ada di Kis 2 tidak akan mungkin terjadi. Firman Tuhan ini menantang kita, sewaktu kita melihat Gereja dan persekutuan kita kembali melihatnya dengan kacamata Kis 2. Kita ditantang untuk mengharapkan hal yang besar bagi Gereja dan persekutuan, bahwa Gereja tidak harus tinggal dalam kondisi sekarang. Gereja dan persekutuan bisa berubah seperti yang Tuhan kehendaki. Wiliam Carey berkata: ”Expect great thing from God, and attemp great thing for God- Harapkanlah hal-hal besar dari Tuhan, dan kerjakanlah pekerjaan-pekerjaan besar bagi Tuhan.”
Jika kita memperhatikan Kis 2:42-47, kita akan bertanya: ”Apakah rahasianya sehingga mereka bisa seperti ini?” Mungkin kita tergoda untuk menjawab bahwa hal itu tejadi karena penyerahan diri mereka pada saat itu lebih dalam. Banyak jawaban-jawaban yang lain yang bisa kita berikan. Tetapi jika kita memperhatikan bagaimana Firman Tuhan mempersentasekan Kis 2:42-47, yang ingin dikatakan ialah, bahwa ini bukanlah sebuah norma di mana kita harus demikian. Bukan! Ini adalah sebuah ekspresi sebagai sebuah akibat dari apa yang terjadi ketika satu umat Tuhan mengalami pencurahan dari Roh Kudus. Kis 2 ini adalah gambaran satu komunitas, ketika Roh Allah menguasai mereka. Segala kelemahan-kelemahan manusia, keegoisan, kerapuhan, individualis, segala apa yang kita miliki yang sama dengan mereka, diangkat ke level yang paling tinggi dan mengalami satu pembaharuan, kasih yang melampau segala sesuatunya.
Ketika satu kominitas penuh dengan Roh Kudus, maka ada empat ciri khas yang digambarkan, yaitu:
1. A Learning Community (42)
2. A Loving Community (42,44-46)
3. A Worshiping Community (42, 46)
4. An Evangelistic Community (47)
Komunitas yang oleh karena persekutuan yang demikian kuat, ada evek marturianya, membawa orang lain masuk ke dalamnya. Jika Marturia ibarat ‘Go and tell them!’, maka Koinonia adalah ‘Come and see!’
Mari kita melihat lebih jelas keempat ciri ini.
A Learning Community
Ayat 42 mengatakan: ”Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul ...”.
Apa artinya bertekun? Dalam NIV, kata ‘bertekun’ yang dipakai adalah ‘devoted’-they devoted themselves to the apostles’ teaching. Perhatikan bahwa mereka bertekun dalam pengajaran. Sering sekali, pada saat ini, alumni malas membaca buku rohani yang berat. Alumni hanya ingin baca yang ringan, segar, dan jika bisa sedikit lucu. Tidak seperti kontekstual modern, pengalaman spiritual yang para rasul alami melalu bahasa Roh ataupun kuasa-kuasa tidak membuat mereka mengabaikan teologia dan pikiran mereka. Justru ketika mereka dikuasai Roh Kudus, mereka devoted pada ajaran dan pikiran para rasul. Dengan kata lain, jemaat mula-mula itu lapar akan Firman Tuhan, akan pengajaran yang berbobot, dan bertekun dalam pengajaran yang berbobot itu. Pengajaran yang berbobot tidak hanya milik sekelompok orang. Semua orang harus belajar akan pemikiran-pemikiran yang dalam karena ketika kita membaca buku-buku yang berat akan mempengaruhi bagaimana kita mengambil keputusan dan bersikap, brtindak. Ibarat sebuah pohon yang akarnya dalam, ketika dihembus angin, maka pohon itu akan tetap tertancap. Ketika pohon hanya kelihatannya tinggi tetapi akarnya tidak ada. Kelihatan begitu kokoh dan perkasa, tetapi ketika angin datang maka pohon itu akan tumbang. Kita perhatikan di sini, Gereja yang penuh Roh adalah Gereja yang belajar Firman, bertekun dan tunduk pada Firman. Jika Firman dalam konteks ini adalah pengajaran para rasul, maka kita perlu terus merenungkan dan membaca kembali Perjanjian Baru. Kita tidak boleh puas berkutat hanya bertahan untuk saat teduh. Mungkin kita harus menantang diri kita untuk lebih keras lagi. Jangan merasa ketika alumni semuanya sudah siap, tidak perlu membaca buku rohani lagi.
A Loving Community
Ayat 42 mengatakan: ”Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” [kata ‘persekutuan’ di sini adalah ‘Koinonia’]. Hal ini sangat indah. Ada semacam magnet dari hidup yang rajin belajar, lahir kerinduan untuk bersama-sama. Jhon Stott mengatakan ada dua arti dari persekutuan. Persekutuan berarti kita bersekutu karena kita mengalami hal yang sama yaitu jamahan Persekutuan Trinitarian (IYoh 1:3; 2Kor 13:13). Tetapi yang ingin kita renungkan adalah mengenai Koinonia. Koinonia artinya berbagi. Karena kita bersama-sama mmebagi hidup satu dengan yang lain. Perhatikan ayat 44-45, dikatakan di sana: “Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.” Ini adalah satu praktek yang radikal karena adanya kepemilikan bersama dalam hal harta. Seandainya syarat menjadi anggota persekutuan adalah kepunyaan milik bersama, maukah kita masuk menjadi anggota? Gereja mula-mula bukan hanya memberi uang, tetapi tanah dan rumah. Pertanyaannya adalah apakah ini hanya literal normative? Jika kita memperhatikan beberapa contoh di dalam sejarah, ternyata bukan hanya orang Kristen yang punya seperti ini. Misalnya:
1. Persamaan dengan Qumran Community, baik umum maupun biarawan. Qumran Community yang umum selalu diminta untuk membantu orang miskin dan memberi makan orang yang lapar dan memberi tumpangan kepada orang yang berkelanan. Inilah kode etik mereka. Jika tidak bersedia melakukan ketiga hal ini, tidak diperbolehkan menjadi anggota. Tetapi kalau biarawan, lebih dalam lagi, mereka harus menjual seluruh hartanya baru boleh masuk anggota.
2. Radical Reformation: fellowship and brotherly love (word and sacrament).
Mereka seperti ini seperti aliran baptis. Aliran ini mengatakan sewaktu Calvin mengatakan ciri khas Gereja adalah adanya Firman dan Sakramen, maka orang-orang radikal reformatiaon, diantaranya adalah Menosimon, mengatakan harus ditambahkan fellowship and brotherly love mark.
3. The Hutterite Brethren in Moravia
Setiap anggota yang ingin masuk ke dalam kelompok ini, harus bersedia untuk menerima bahwa segala hartanya adalah harta bersama di dalam komunitas tersebut.
Kenapa Gereja atau Perkantas tidak mempraktekkannya? Hal ini disebabkan karena sebenarnya Alkitab tidak pernah bermaksud bahwa hal ini harus menjadi satu hukum yang ke-11. Ini adalah sebuah visi. Jika kita melihat PB, dalam bagian ini sendiri ayat 46 mengatakan: “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir…”. Apa yang ingin dikatakan adalah bahwa mereka masih memiliki rumah karena mereka memecahkan di rumah masing-masing. Kemudian ayat 45 mengatakan alasan sebenarnya. Mereka menjual harta miliknya, membagi-bagikan kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Ternyata mereka menjual rumah dan hartanya didorong oleh kebutuhan. Ketika ada kebutuhan, yang namanya anak Tuhan akan rela menjual rumah atau tanahnya untuk menjawab kebutuhan tersebut. Iniah prinsip dan kode etik dari Koinonia, bahwa jika Gereja, persekutuan, atau saudara kita membutuhkan, dan untuk itu kita harus menjual rumah dan harta, itu bukanlah sesuatu yang aneh. Hal ini sangat indah karena inilah artinya menjadi manusia. Dan inilah perjuangan kita terus menerus, dimana ada peperangan melawan kejahatan yang hidup, tumbuh,dan berkembang di dalam diri kita. Loving Community adalah tempat kita belajar memberi kepada yang lain. Godaan menjadi alumni demikian berat karena begitu banyak kebutuhan yang harus dimiliki. Biarlah Firman Tuhan ini menantang kita kembali apa sebenarnya arti menjadi bagian dari Koinonia, menjadi bagian dari umat Allah. Ingat, memberi secara Kristiani bukan memberi karena berlebihan. Ini adalah sumbangan. Dan ini bukan Christian gift. Memberi secara Kristen adalah memberi dalam kekurangan sekalipun, karena memberi adalah kasih karunia. Kita mendapatkan kasih karunia jika kita boleh berbagi dengan sesama kita.
A Worshiping Community
Menarik sekali dalam ayat 42. dalam NIV terjemahannya adalah demikian: ” They devoted themselves to the apostles' teaching and to the fellowship, to the breaking of bread and to prayer.” [dalam terjeahan Indonesia, setelah persekutuan (fellowship) di akhiri dengan titik, tetapi dalam NIV, hanya memakai tannda koma.]. Artinya, mereka juga tekun dalam komunitas mereka. Jika kita memperhatikan dalam komunitas mereka, bagaimana jemaat mula-mula beribadah, Koinonia yang mereka miliki itu adalah satu ibadah yang luar biasa karena ditandai dengamn ibadah yang formal dan sekaligus informal. Ayat 46 mengatakan: “Every day they continued to meet together in the temple courts. They broke bread in their homes.” Ini adalah sebuah kombinasi sehat dan membantu menghargai ibadah formal di institusi Gereja. Kita juga belajar menghargai bahwa liturgy Gereja itu luar biasa dalam. Jika kita bisa menghayatinya, sangat dalam, baik pengakuan dosa, doa-doanya, susunannya, semuanya luar biasa. Kita harus mengikuti dan menghargainya, sama seperti jemaat mula-mula yang tetap mengikuti ritual ibadah mereka. A worshiping community ditandai keseimbangan antara sukacita dan hikmat. Dalam ayat 46 dikatakan: “...with glad and sincere hearts...”[gembira dan tulus]. Ini adalah kombinasi yang baik. Terkadang orang gembira tetapi tidak tulus. Kita bersukacita bukan karena nyanyi, tetapi kita bersukacita dan dari sukacita tersebut lahirlah nyanyian dan puji-pujian kepada Tuhan. Banyak juga orang tulus, tetapi tidak gembira. Ibadahnya kadang begitu liturgical tetapi kehilangan kegembiraan. Seharusnya liturgy tidak mematikan hati kita. Ibadah Kristiani seharusnya dipenuhi dengan sukacita. Ibadah Kristiani seharusnya teratur dan terhormat tetapi tidak tumpul dan kering. Ibadah yang tumpul dan kering adalah dosa. Ibadah yang Kristiani harus menjadi ibadah yang hidup meski dalam sebuah liturgy yang agung dan mulia. Liturgy merupakan sebuah ekspresi dari PL ketika orang beribadah dalam zaman Musa. Tetapi ada juga seperti Daud, menari-nari untuk menunjukkan sukacitanya. A worshiping community adalah satu komunitas yang beribadah dengan hikmat.
An Evangelistic Community
Dari persekutuan yang hidup ini, lahirlah daya tarik yang mengundang orang dating tanpa mereka harus mengabarkan Injil. Pastilah mereka memberitakan Injil. Tetapi yang ditekankan dalam bagian ini adalah karena demikian hidup persekutuannya, maka orang datang. Dikatakan dalam ayat 47: “And the Lord added to their number daily those who were being saved.” Pertama-tama sekali, pertumbuhan dalam persekutuan ini adalah bukan pertumbuhan karena hebatnya melakukan promosi atau pengkotbahnya hebat. Tetapi karena Tuhan menambahkan. Koinonia itu bertumbuh bukan karena teknik-teknik manusia, tetapi karena Allah bekerja demikian rupa. Yang menarik adalah bahwa yang ditambahkan merupakan orang yang sudah percaya. Jadi Allah menambah dengan orang yang menyelamatkan tetapi juga menyelamatkan dan menambah jumlah. Pertambahan di sini bukan pertambahan perbulan, tetapi tiap-tiap hari secara kontiniu. Tidak sporadis atau bulanan, tetapi terus-menerus.
Kis 2:42-47 menjelaskan kepada kita apa artinya satu komunitas yang di penuhi dengan Roh Kudus. Persekutuan yang seperti itu adalah a learning community, dimana orang-orang mau belejar dan bertekun dalam pengajaran. Dan dari sini lahirlah community, persektuan tanpa kasih adalah persekutuan yang kaku, seperti orang yang hanya bertekun dalam pemikiran, tetapi tanpa hati. Dari learning and loving lahirlah a worshiping community. Komunitas seperti ini, mau tidak mau, dirinya menjadi evangelistic community yang mangatakan kepada orang: “Come and see, God is here!”
Solideo Gloria!
Minggu-minggu ini kita merenungkan apakah artinya menjadi Gereja. Apa artinya menjadi umat Allah. Satu harapan kita adalah kita semakin menghargai keberadaan Gereja, dan bagaimana kita mencintai dan ambil bagian dalam pelayanan Gereja. Tentu saja kita mendekati Gereja tidak semata-mata sebagai sebuah institusi tetapi juga di dalam pengertian theologis yang dipahami di dalam Alkitab. Hari ini kita akan menyegarkan pemahaman kita tentang apa artinya Koinonia melalui Kis 2:42-47.
Dalam kehidupan sekarang ini, ada dua ekstrim yang kita temukan sewaktu kita melihat persekutuan Gereja. Satu sisi kita melihat persekutuan Gereja yang mirip-mirip dengan kelompok adat. Suasanya sangat formal, sehingga etika dan nilai-nilai yang ada di sana lebih mengarah kepada nilai-nilai budaya dari pada nilai-nilai Kristiani. Di sisi lain juga kita melihat Gereja yang terlalu causual, dimana siapa saja boleh masuk ke dalam. Orangnya mungkin berganti-ganti dan tidak saling mengenal. Gereja ini memiliki kesan seperti sebuah show, bukan ibadah.
Kita memperhatikan bahwa dalam bagian Kis 2 ini, kita diingatkan kembali apa yang menjadi mungkin bagi sebuah umat Allah. Ditengah-tengah kekecewaan kita dengan Gereja, kekeringan dunia ini akan persekutuan yang sejati, kegagalan, dan ditengah-tengah harapan yang kita miliki tentang bagaimana seharusnya sebuah Gereja, Kis 2 ini memberikan gambaran tentang apa yang mungkin terjadi dalam jemaat/Gereja. Bagian Firman ini mengajarkan kepada kita bahwa Kis 2 ini bukanlah kisah yang unik, yang hanya terjadi sekali dalam sejarah dan tidak mungkin terulang lagi. Tidak! Kekerdilan iman kita yang dibentuk situasi di sekeliling kita membuat kita dipaksa untuk percaya bahwa persekutuan yang ada di Kis 2 tidak akan mungkin terjadi. Firman Tuhan ini menantang kita, sewaktu kita melihat Gereja dan persekutuan kita kembali melihatnya dengan kacamata Kis 2. Kita ditantang untuk mengharapkan hal yang besar bagi Gereja dan persekutuan, bahwa Gereja tidak harus tinggal dalam kondisi sekarang. Gereja dan persekutuan bisa berubah seperti yang Tuhan kehendaki. Wiliam Carey berkata: ”Expect great thing from God, and attemp great thing for God- Harapkanlah hal-hal besar dari Tuhan, dan kerjakanlah pekerjaan-pekerjaan besar bagi Tuhan.”
Jika kita memperhatikan Kis 2:42-47, kita akan bertanya: ”Apakah rahasianya sehingga mereka bisa seperti ini?” Mungkin kita tergoda untuk menjawab bahwa hal itu tejadi karena penyerahan diri mereka pada saat itu lebih dalam. Banyak jawaban-jawaban yang lain yang bisa kita berikan. Tetapi jika kita memperhatikan bagaimana Firman Tuhan mempersentasekan Kis 2:42-47, yang ingin dikatakan ialah, bahwa ini bukanlah sebuah norma di mana kita harus demikian. Bukan! Ini adalah sebuah ekspresi sebagai sebuah akibat dari apa yang terjadi ketika satu umat Tuhan mengalami pencurahan dari Roh Kudus. Kis 2 ini adalah gambaran satu komunitas, ketika Roh Allah menguasai mereka. Segala kelemahan-kelemahan manusia, keegoisan, kerapuhan, individualis, segala apa yang kita miliki yang sama dengan mereka, diangkat ke level yang paling tinggi dan mengalami satu pembaharuan, kasih yang melampau segala sesuatunya.
Ketika satu kominitas penuh dengan Roh Kudus, maka ada empat ciri khas yang digambarkan, yaitu:
1. A Learning Community (42)
2. A Loving Community (42,44-46)
3. A Worshiping Community (42, 46)
4. An Evangelistic Community (47)
Komunitas yang oleh karena persekutuan yang demikian kuat, ada evek marturianya, membawa orang lain masuk ke dalamnya. Jika Marturia ibarat ‘Go and tell them!’, maka Koinonia adalah ‘Come and see!’
Mari kita melihat lebih jelas keempat ciri ini.
A Learning Community
Ayat 42 mengatakan: ”Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul ...”.
Apa artinya bertekun? Dalam NIV, kata ‘bertekun’ yang dipakai adalah ‘devoted’-they devoted themselves to the apostles’ teaching. Perhatikan bahwa mereka bertekun dalam pengajaran. Sering sekali, pada saat ini, alumni malas membaca buku rohani yang berat. Alumni hanya ingin baca yang ringan, segar, dan jika bisa sedikit lucu. Tidak seperti kontekstual modern, pengalaman spiritual yang para rasul alami melalu bahasa Roh ataupun kuasa-kuasa tidak membuat mereka mengabaikan teologia dan pikiran mereka. Justru ketika mereka dikuasai Roh Kudus, mereka devoted pada ajaran dan pikiran para rasul. Dengan kata lain, jemaat mula-mula itu lapar akan Firman Tuhan, akan pengajaran yang berbobot, dan bertekun dalam pengajaran yang berbobot itu. Pengajaran yang berbobot tidak hanya milik sekelompok orang. Semua orang harus belajar akan pemikiran-pemikiran yang dalam karena ketika kita membaca buku-buku yang berat akan mempengaruhi bagaimana kita mengambil keputusan dan bersikap, brtindak. Ibarat sebuah pohon yang akarnya dalam, ketika dihembus angin, maka pohon itu akan tetap tertancap. Ketika pohon hanya kelihatannya tinggi tetapi akarnya tidak ada. Kelihatan begitu kokoh dan perkasa, tetapi ketika angin datang maka pohon itu akan tumbang. Kita perhatikan di sini, Gereja yang penuh Roh adalah Gereja yang belajar Firman, bertekun dan tunduk pada Firman. Jika Firman dalam konteks ini adalah pengajaran para rasul, maka kita perlu terus merenungkan dan membaca kembali Perjanjian Baru. Kita tidak boleh puas berkutat hanya bertahan untuk saat teduh. Mungkin kita harus menantang diri kita untuk lebih keras lagi. Jangan merasa ketika alumni semuanya sudah siap, tidak perlu membaca buku rohani lagi.
A Loving Community
Ayat 42 mengatakan: ”Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” [kata ‘persekutuan’ di sini adalah ‘Koinonia’]. Hal ini sangat indah. Ada semacam magnet dari hidup yang rajin belajar, lahir kerinduan untuk bersama-sama. Jhon Stott mengatakan ada dua arti dari persekutuan. Persekutuan berarti kita bersekutu karena kita mengalami hal yang sama yaitu jamahan Persekutuan Trinitarian (IYoh 1:3; 2Kor 13:13). Tetapi yang ingin kita renungkan adalah mengenai Koinonia. Koinonia artinya berbagi. Karena kita bersama-sama mmebagi hidup satu dengan yang lain. Perhatikan ayat 44-45, dikatakan di sana: “Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.” Ini adalah satu praktek yang radikal karena adanya kepemilikan bersama dalam hal harta. Seandainya syarat menjadi anggota persekutuan adalah kepunyaan milik bersama, maukah kita masuk menjadi anggota? Gereja mula-mula bukan hanya memberi uang, tetapi tanah dan rumah. Pertanyaannya adalah apakah ini hanya literal normative? Jika kita memperhatikan beberapa contoh di dalam sejarah, ternyata bukan hanya orang Kristen yang punya seperti ini. Misalnya:
1. Persamaan dengan Qumran Community, baik umum maupun biarawan. Qumran Community yang umum selalu diminta untuk membantu orang miskin dan memberi makan orang yang lapar dan memberi tumpangan kepada orang yang berkelanan. Inilah kode etik mereka. Jika tidak bersedia melakukan ketiga hal ini, tidak diperbolehkan menjadi anggota. Tetapi kalau biarawan, lebih dalam lagi, mereka harus menjual seluruh hartanya baru boleh masuk anggota.
2. Radical Reformation: fellowship and brotherly love (word and sacrament).
Mereka seperti ini seperti aliran baptis. Aliran ini mengatakan sewaktu Calvin mengatakan ciri khas Gereja adalah adanya Firman dan Sakramen, maka orang-orang radikal reformatiaon, diantaranya adalah Menosimon, mengatakan harus ditambahkan fellowship and brotherly love mark.
3. The Hutterite Brethren in Moravia
Setiap anggota yang ingin masuk ke dalam kelompok ini, harus bersedia untuk menerima bahwa segala hartanya adalah harta bersama di dalam komunitas tersebut.
Kenapa Gereja atau Perkantas tidak mempraktekkannya? Hal ini disebabkan karena sebenarnya Alkitab tidak pernah bermaksud bahwa hal ini harus menjadi satu hukum yang ke-11. Ini adalah sebuah visi. Jika kita melihat PB, dalam bagian ini sendiri ayat 46 mengatakan: “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir…”. Apa yang ingin dikatakan adalah bahwa mereka masih memiliki rumah karena mereka memecahkan di rumah masing-masing. Kemudian ayat 45 mengatakan alasan sebenarnya. Mereka menjual harta miliknya, membagi-bagikan kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Ternyata mereka menjual rumah dan hartanya didorong oleh kebutuhan. Ketika ada kebutuhan, yang namanya anak Tuhan akan rela menjual rumah atau tanahnya untuk menjawab kebutuhan tersebut. Iniah prinsip dan kode etik dari Koinonia, bahwa jika Gereja, persekutuan, atau saudara kita membutuhkan, dan untuk itu kita harus menjual rumah dan harta, itu bukanlah sesuatu yang aneh. Hal ini sangat indah karena inilah artinya menjadi manusia. Dan inilah perjuangan kita terus menerus, dimana ada peperangan melawan kejahatan yang hidup, tumbuh,dan berkembang di dalam diri kita. Loving Community adalah tempat kita belajar memberi kepada yang lain. Godaan menjadi alumni demikian berat karena begitu banyak kebutuhan yang harus dimiliki. Biarlah Firman Tuhan ini menantang kita kembali apa sebenarnya arti menjadi bagian dari Koinonia, menjadi bagian dari umat Allah. Ingat, memberi secara Kristiani bukan memberi karena berlebihan. Ini adalah sumbangan. Dan ini bukan Christian gift. Memberi secara Kristen adalah memberi dalam kekurangan sekalipun, karena memberi adalah kasih karunia. Kita mendapatkan kasih karunia jika kita boleh berbagi dengan sesama kita.
A Worshiping Community
Menarik sekali dalam ayat 42. dalam NIV terjemahannya adalah demikian: ” They devoted themselves to the apostles' teaching and to the fellowship, to the breaking of bread and to prayer.” [dalam terjeahan Indonesia, setelah persekutuan (fellowship) di akhiri dengan titik, tetapi dalam NIV, hanya memakai tannda koma.]. Artinya, mereka juga tekun dalam komunitas mereka. Jika kita memperhatikan dalam komunitas mereka, bagaimana jemaat mula-mula beribadah, Koinonia yang mereka miliki itu adalah satu ibadah yang luar biasa karena ditandai dengamn ibadah yang formal dan sekaligus informal. Ayat 46 mengatakan: “Every day they continued to meet together in the temple courts. They broke bread in their homes.” Ini adalah sebuah kombinasi sehat dan membantu menghargai ibadah formal di institusi Gereja. Kita juga belajar menghargai bahwa liturgy Gereja itu luar biasa dalam. Jika kita bisa menghayatinya, sangat dalam, baik pengakuan dosa, doa-doanya, susunannya, semuanya luar biasa. Kita harus mengikuti dan menghargainya, sama seperti jemaat mula-mula yang tetap mengikuti ritual ibadah mereka. A worshiping community ditandai keseimbangan antara sukacita dan hikmat. Dalam ayat 46 dikatakan: “...with glad and sincere hearts...”[gembira dan tulus]. Ini adalah kombinasi yang baik. Terkadang orang gembira tetapi tidak tulus. Kita bersukacita bukan karena nyanyi, tetapi kita bersukacita dan dari sukacita tersebut lahirlah nyanyian dan puji-pujian kepada Tuhan. Banyak juga orang tulus, tetapi tidak gembira. Ibadahnya kadang begitu liturgical tetapi kehilangan kegembiraan. Seharusnya liturgy tidak mematikan hati kita. Ibadah Kristiani seharusnya dipenuhi dengan sukacita. Ibadah Kristiani seharusnya teratur dan terhormat tetapi tidak tumpul dan kering. Ibadah yang tumpul dan kering adalah dosa. Ibadah yang Kristiani harus menjadi ibadah yang hidup meski dalam sebuah liturgy yang agung dan mulia. Liturgy merupakan sebuah ekspresi dari PL ketika orang beribadah dalam zaman Musa. Tetapi ada juga seperti Daud, menari-nari untuk menunjukkan sukacitanya. A worshiping community adalah satu komunitas yang beribadah dengan hikmat.
An Evangelistic Community
Dari persekutuan yang hidup ini, lahirlah daya tarik yang mengundang orang dating tanpa mereka harus mengabarkan Injil. Pastilah mereka memberitakan Injil. Tetapi yang ditekankan dalam bagian ini adalah karena demikian hidup persekutuannya, maka orang datang. Dikatakan dalam ayat 47: “And the Lord added to their number daily those who were being saved.” Pertama-tama sekali, pertumbuhan dalam persekutuan ini adalah bukan pertumbuhan karena hebatnya melakukan promosi atau pengkotbahnya hebat. Tetapi karena Tuhan menambahkan. Koinonia itu bertumbuh bukan karena teknik-teknik manusia, tetapi karena Allah bekerja demikian rupa. Yang menarik adalah bahwa yang ditambahkan merupakan orang yang sudah percaya. Jadi Allah menambah dengan orang yang menyelamatkan tetapi juga menyelamatkan dan menambah jumlah. Pertambahan di sini bukan pertambahan perbulan, tetapi tiap-tiap hari secara kontiniu. Tidak sporadis atau bulanan, tetapi terus-menerus.
Kis 2:42-47 menjelaskan kepada kita apa artinya satu komunitas yang di penuhi dengan Roh Kudus. Persekutuan yang seperti itu adalah a learning community, dimana orang-orang mau belejar dan bertekun dalam pengajaran. Dan dari sini lahirlah community, persektuan tanpa kasih adalah persekutuan yang kaku, seperti orang yang hanya bertekun dalam pemikiran, tetapi tanpa hati. Dari learning and loving lahirlah a worshiping community. Komunitas seperti ini, mau tidak mau, dirinya menjadi evangelistic community yang mangatakan kepada orang: “Come and see, God is here!”
Solideo Gloria!
Seri The People of God II: The Calling (MARTURIA)
Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div
Hari ini, kita akan membahas mengenai The People of God dengan tema The Calling, dalam hal ini adalah Marturia. Mari melihat Efesus 3:1-13. Di dalam Efesus pasal 1-6, kita melihat ada rangkaian yang berurutan. Di dalam pasal dua dikatakan bahwa keselamatan adalah karena anugerah Allah di dalam diri Yesus Kristus, dan orang-orang percaya itu sudah diperdamaikan antara satu dengan yang lain. Di pasal ketiga dikatakan bahwa orang percaya disatukan Tuhan ke dalam satu tubuh, yaitu Gereja. Pasal 4:1-6 berbicara soal Gereja dan ciri khasnya, yaitu satu tubuh, satu Tuhan, dan satu baptisan, dst.
Jika kita mempelajari panggilan Gereja, yaitu Marturia, maka di dalam Efesus 3 tadi, kita melihat bahwa Paulus mengawalinya dengan siapa dirinya sebagai pemberita Injil kepada non Yahudi. Di dalam ayat 1 dikatakan: ”Itulah sebabnya aku ini, Paulus, orang yang dipenjarakan karena Kristus Yesus untuk kamu orang-orang yang tidak mengenal Allah”. Yang dimaksudkan Paulus dengan ’Itulah sebabnya...’ adalah bagaimana Kristus yang sudah menebus dan menyelamatkan orang percaya dan orang percaya tersebut dipersatukan di dalam satu tubuh yaitu tubuh Kristus sebagai Gereja Allah. Paulus rela mengalami penderitaan oleh karena Yesus Kristus, demi mereka yang belum mengenal Allah (Gentile). Hal ini disebabkan karena dia tahu betapa pentingnya orang diubah di dalam Kristus agar dapat dibawa kepada Allah.
Di dalam ayat 2 Paulus mengatakan: ” -- memang kamu telah mendengar tentang tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah, yang dipercayakan kepadaku karena kamu,...” Di dalam ayat ini kita melihat bahwa tugas yang dipercayakan kepada Paulus adalah tugas ’penyelenggaraan kasih karunia Allah’. Yang dimaksudkan disini adalah Pemberitaan Injil (PI). Paulus menyadari tugas PI atau Marturia secara pribadi. Jika kita perhatikan, ayat 1-9 dari Efesus 3 ini berbicara mengenai Marturia secara pribadi, yaitu tugas menyatakan Firman dan bersaksi secara pribadi. Baru pada ayat 10-13, tugas Marturia oleh umat Allah (Gereja Tuhan). Di dalam ayat 2 ini kita melihat Paulus menyatakan dirinya sebagai pembawa tugas ’penyelenggaraan kasih karunia Allah’.
Apa yang dimaksud dengan ’kasih karunia Allah’? Di dalam ayat 3-5 dijelaskan mengenai hal ini, yaitu mengenai sebuah misteri kebenaran yang disingkapkan kepada Paulus melalui wahyu. Misteri ini adalah bahwa orang-orang non Yahudi turut menjadi ahli waris, menjadi anggota di dalam keluarga Allah, yaitu Gereja, dan juga turut sebagai peserta di dalam janji yang diberikan Allah oleh karena Injil. Paulus ingin mengatakan bahwa sebuah misteri jika non Yahudi bisa beroleh keselamatan. Hal ini sama misterinya dengan seorang pembakar gereja menjadi pengikut Kristus yang taat. Hal ini menjadi misteri karena di luar kemampuan kita untuk memahaminya. Bahkan kita tidak pernah menduga bahwa orang-orang seperti ini bisa menyerahkan diri menjadi pengikut Kristus. Ingat Paulus? Dia adalah seorang penganiaya jemaat tetapi akhirnya menjadi teraniaya oleh karena jemaat.
Di dalam ayat 7-9 kita bisa melihat perubahan Paulus. Di dalam ayat 7 dikatakan: ”Dari Injil itu aku telah menjadi pelayannya menurut pemberian kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku sesuai dengan pengerjaan kuasa-Nya.” Yang ingin dikatakan Paulus adalah jika kepada kita dipercayakan tugas untuk Marturia secara pribadi, semuanya adalah karena kasih karunia. Hal ini dikatakan Paulus karena dia menyadari bagaimana hidupnya yang jahat, sebagai penganiaya Jemaat. Di dalam ayat 8, Paulus berkata: ” Kepadaku, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu,” [band 1 Kor 15:10]. Di sini kita tidak hanya melihat perubahan hidup Paulus yang sangat radikal, tetapi juga bagaimana dia memahami bahwa semuanya adalah karena kasih karunia Allah. PI adalah sebuah rahasia Allah yang tersembunyi selama berabad-abad. Bukankah Farisi dan Ahli Taurat mempelajari Kitab Suci, tetapi mereka tetap tidak bisa mengenal Allah? Ketika mereka mencari kebenaran dan ingin menemukan siapa Allah, selama berabad-abad, mereka tidak dapat menemukannya. Tetapi di dalam Kristus, mereka menemukannya. Inilah rahasia Allah yang sangat besar.
Setelah Paulus berbicara secara pribadi, barulah ia berbicara mengenai panggilan Umat Allah. Di dalam ayat 10 dikatakan: ”... supaya sekarang oleh jemaat diberitahukan pelbagai ragam hikmat Allah kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di sorga,...”. Marturia bukan hanya tugas secara individu, tetapi menjadi tugas umat Allah secara umum. Bukan tugas para rasul atau para nabi, tetapi menjadi tugas seluruh umat Allah. Marturua adalah sebuah panggilan yang ilahi bagi umat Allah. Inilah panggilan umat Allah secara kolektif, panggilan alumni sebagai umat Allah secara kolektif di seluruh dunia. Kita harus menyadari bahwa kita adalah umat Allah, bukan hanya di dalam pengertian yang ada di PAK, atau persekutuan alumni kampus, tetapi bagian dari umat Allah di seluruh dunia tanpa dibatasi denominasi, Gereja, geografis, ataupun latar belakang. Inilah yang dimaksudkan dengan Gereja yang kudus dan Am. Sebagai umat yag sudah dilayani, kita juga harus melakukan pelayanan Marturia. 1 Pet 2:9 mengatakan: ”Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:”. Kata ’imamat’ adalah umat atau jemaat Allah, yaitu Gereja Allah yang harus bermisi karena sudah diangkat dari kegelapan ke dalam terang. Dari Efesus 3:1-9 dan dari 1 Pet 2:9 kita melihat bahwa seharusnya kita harus melakukan pelayanan. Jika ada orang yang mengaku lahir baru tetapi tidak punya kerinduan untuk melayani, maka lahir barunya dipertanyakan. Tidak mungkin hal seperti ini terjadi. Oleh karena itu, umat Allah yang telah diselamatkan harus melakukan mandat Allah untuk Marturia bagi orang lain. Inilah dasar dari Marturia.
Ayat 10 mengatakan ’pelbagai ragam hikmat Allah’. Ini adalah isi dari Marturia. Isinya adalah Hikmat Allah [band ayat 3-5; Kol 2:2b-3]. Inti dari berita Marturia adalah Kristus yang membawa orang kepada Allah. Kita harus memberitakan Kristus yang disalibkan bukan lembaga, gereja, atau diri sendiri. Perhatikan ayat ini, ‘dengan pelbagai ragam hikmat Allah’. Artinya, hikmat Allah di dalam Kristus diberitakan dengan berbagai ragam atau metode atau cara. Ada pelbagai cara yang bisa dipakai, tetapi yang paling penting adalah hikmat Allah sampai dan mereka bisa bertemu dengan Tuhan. Kristus adalah hikmat Allah yang sempurna.
Di dalam ayat 12 Paulus kembali menyatakan: “Di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya.” Tidak ada yang lain, inti berita Marturia adalah Kristus [band Rom 1:16-17]. Jika ada kesempatan untuk membawa renungan, tolong hati-hati. Terkadang kita terjebak dengan kesaksian pribadi, Gereja, atau lembaga tempat kita berada.
Di dalam ayat 10 akhir kita melihat objek PI kita dalam panggilan Marturia, yaitu ’ kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di sorga,’. Jika kita memakai terjemahan ini, kita bisa salah mengerti. Di dalam NIV dikatakan ‘the rulers and authorities in the heavenly realms,’- pemerintah dan penguasa angkasa. Yang dimaksudkan Paulus di sini bukanlah roh jahat yang menjadi penguasa angkasa, tetapi mereka yang masih percaya dan tunduk kepada penguasa-penguasa angkasa atau kegelapan. Kepada merekalah kita harus Marturia, orang-orang yang masih di bawah penguasa-penguasa angkasa, yang masih jauh dari kebenaran dan jauh hidupnya dari Allah [band Efesus 6:12].
Di dalam ayat 11 dikatakan: “…sesuai dengan maksud abadi, yang telah dilaksanakan-Nya dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Paulus menyatakan bahwa mandat Ilahi atau panggilan Marturia bagi umat Allah yaitu tugas pemberitaan Injil, isi berita yang diberitakan, dan objek kemana kita melakukan tugas Marturia, dikatakan oleh Paulus bahwa itulah maksud Allah yang kekal yang direalisasikan di dalam Kristus. Artinya, pertama, jemaat yang Marturia adalah salah satu bagian dari maksud Allah yang kekal. Jika ada umat Allah tidak melakukan tugas Marturia, berarti maksud Allah belum digenapi di dalam dirinya. Kedua, maksud Allah yang abadi adalah umat Allah atau The People of God melakukan Marturia. Belajar dari hal ini, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak terlibat sebagai umat Allah. Allah tidak menghendaki kebinasaan, melainkan keselamatan umat manusia. Oleh karena itu, Marturia sebagai mandat Ilahi harus dikerjakan oleh umat Allah atau Gereja. Ingat Amanat Agung? Pertanyaanya adalah sejauh mana kita melakukan amanat tersebut? Kita harus introspeksi diri. Hal inilah yang menggerakkan kita untuk pergi, berkarya dan bersaksi bagi Tuhan.
Ayat 13 mengatakan: ”Sebab itu aku minta kepadamu, supaya kamu jangan tawar hati melihat kesesakanku karena kamu, karena kesesakanku itu adalah kemuliaanmu.” Kata ’martir’ memiliki akar kata dari kata ’Marturia’. Jadi, wajar jika bersaksi, memberitakan Injil, seseorang bisa teraniaya bahkan kehilangan nyawannya. Umat Allah yang dipanggil untuk tugas Marturia harus rela menderita. Bukan hanya rela, di dalam Kol 1:24, Paulus berkata: ”Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.” Luar biasa! Yang dimaksudkan Paulus adalah bukan karya Kristus kurang sempurna, tetapi jika karena kasihNya, Dia rela menderita untuk keselamatan manusia, maka kita pun harus rela menderita agar kabar mengenai Injil sampai kepada orang lain.
Inilah satu perubahan yang radikal di dalam diri Paulus, dan hal ini menjadi bagian dari umat Allah. Kita tidak menjadi generasi yang cengeng, tetapi menjadi generasi yang rela menderita, bahkan bersukacita oleh karena penderitaan, karena tugas Marturia sebagai umat Allah. Di dalam 2 Kor 4:11-12 dikatakan: “Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. Maka demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu.”
Panggilan Allah untuk umatNya adalah Marturia. Dalam rangka tugas ini, kita sebagai umat Allah sering sekali diperhadapkan dengan penderitaan, bahkan maut. Maut giat di dalam diri kita. Tetapi, oleh karena hidup yang beriman kepada Yesus Kristus, maka kita semakin giat terhadapa orang lain agar mereka percaya kepada Kristus. Inilah sukacita kita sebagai umat Allah. Inilah sukacita Gereja, ketika gereja dianiaya karena melakukan tugas penggilan untuk Marturia. Dengan kesesakan melakukan Marturia, orang akan diselamatkan. Dengan demikian kemuliaan Allah akan ada bagi dirinya dan dia pun mulia di hadapan Allah.
Mari kita sebagai umat Tuhan menjadi orang yang bermisi mulai hari ini. Mari secra pribadi kembali melakukan PI pribadi. Mari menjadi umat Allah yang rela menderita walaupun sampai martir. Ingat, Paulus berkata: “Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. Maka demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu.” Hal ini dilakukan demi tugas panggilan Marturia agar orang-orang percaya kepada Kristus.
Solideo Gloria!
Hari ini, kita akan membahas mengenai The People of God dengan tema The Calling, dalam hal ini adalah Marturia. Mari melihat Efesus 3:1-13. Di dalam Efesus pasal 1-6, kita melihat ada rangkaian yang berurutan. Di dalam pasal dua dikatakan bahwa keselamatan adalah karena anugerah Allah di dalam diri Yesus Kristus, dan orang-orang percaya itu sudah diperdamaikan antara satu dengan yang lain. Di pasal ketiga dikatakan bahwa orang percaya disatukan Tuhan ke dalam satu tubuh, yaitu Gereja. Pasal 4:1-6 berbicara soal Gereja dan ciri khasnya, yaitu satu tubuh, satu Tuhan, dan satu baptisan, dst.
Jika kita mempelajari panggilan Gereja, yaitu Marturia, maka di dalam Efesus 3 tadi, kita melihat bahwa Paulus mengawalinya dengan siapa dirinya sebagai pemberita Injil kepada non Yahudi. Di dalam ayat 1 dikatakan: ”Itulah sebabnya aku ini, Paulus, orang yang dipenjarakan karena Kristus Yesus untuk kamu orang-orang yang tidak mengenal Allah”. Yang dimaksudkan Paulus dengan ’Itulah sebabnya...’ adalah bagaimana Kristus yang sudah menebus dan menyelamatkan orang percaya dan orang percaya tersebut dipersatukan di dalam satu tubuh yaitu tubuh Kristus sebagai Gereja Allah. Paulus rela mengalami penderitaan oleh karena Yesus Kristus, demi mereka yang belum mengenal Allah (Gentile). Hal ini disebabkan karena dia tahu betapa pentingnya orang diubah di dalam Kristus agar dapat dibawa kepada Allah.
Di dalam ayat 2 Paulus mengatakan: ” -- memang kamu telah mendengar tentang tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah, yang dipercayakan kepadaku karena kamu,...” Di dalam ayat ini kita melihat bahwa tugas yang dipercayakan kepada Paulus adalah tugas ’penyelenggaraan kasih karunia Allah’. Yang dimaksudkan disini adalah Pemberitaan Injil (PI). Paulus menyadari tugas PI atau Marturia secara pribadi. Jika kita perhatikan, ayat 1-9 dari Efesus 3 ini berbicara mengenai Marturia secara pribadi, yaitu tugas menyatakan Firman dan bersaksi secara pribadi. Baru pada ayat 10-13, tugas Marturia oleh umat Allah (Gereja Tuhan). Di dalam ayat 2 ini kita melihat Paulus menyatakan dirinya sebagai pembawa tugas ’penyelenggaraan kasih karunia Allah’.
Apa yang dimaksud dengan ’kasih karunia Allah’? Di dalam ayat 3-5 dijelaskan mengenai hal ini, yaitu mengenai sebuah misteri kebenaran yang disingkapkan kepada Paulus melalui wahyu. Misteri ini adalah bahwa orang-orang non Yahudi turut menjadi ahli waris, menjadi anggota di dalam keluarga Allah, yaitu Gereja, dan juga turut sebagai peserta di dalam janji yang diberikan Allah oleh karena Injil. Paulus ingin mengatakan bahwa sebuah misteri jika non Yahudi bisa beroleh keselamatan. Hal ini sama misterinya dengan seorang pembakar gereja menjadi pengikut Kristus yang taat. Hal ini menjadi misteri karena di luar kemampuan kita untuk memahaminya. Bahkan kita tidak pernah menduga bahwa orang-orang seperti ini bisa menyerahkan diri menjadi pengikut Kristus. Ingat Paulus? Dia adalah seorang penganiaya jemaat tetapi akhirnya menjadi teraniaya oleh karena jemaat.
Di dalam ayat 7-9 kita bisa melihat perubahan Paulus. Di dalam ayat 7 dikatakan: ”Dari Injil itu aku telah menjadi pelayannya menurut pemberian kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku sesuai dengan pengerjaan kuasa-Nya.” Yang ingin dikatakan Paulus adalah jika kepada kita dipercayakan tugas untuk Marturia secara pribadi, semuanya adalah karena kasih karunia. Hal ini dikatakan Paulus karena dia menyadari bagaimana hidupnya yang jahat, sebagai penganiaya Jemaat. Di dalam ayat 8, Paulus berkata: ” Kepadaku, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu,” [band 1 Kor 15:10]. Di sini kita tidak hanya melihat perubahan hidup Paulus yang sangat radikal, tetapi juga bagaimana dia memahami bahwa semuanya adalah karena kasih karunia Allah. PI adalah sebuah rahasia Allah yang tersembunyi selama berabad-abad. Bukankah Farisi dan Ahli Taurat mempelajari Kitab Suci, tetapi mereka tetap tidak bisa mengenal Allah? Ketika mereka mencari kebenaran dan ingin menemukan siapa Allah, selama berabad-abad, mereka tidak dapat menemukannya. Tetapi di dalam Kristus, mereka menemukannya. Inilah rahasia Allah yang sangat besar.
Setelah Paulus berbicara secara pribadi, barulah ia berbicara mengenai panggilan Umat Allah. Di dalam ayat 10 dikatakan: ”... supaya sekarang oleh jemaat diberitahukan pelbagai ragam hikmat Allah kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di sorga,...”. Marturia bukan hanya tugas secara individu, tetapi menjadi tugas umat Allah secara umum. Bukan tugas para rasul atau para nabi, tetapi menjadi tugas seluruh umat Allah. Marturua adalah sebuah panggilan yang ilahi bagi umat Allah. Inilah panggilan umat Allah secara kolektif, panggilan alumni sebagai umat Allah secara kolektif di seluruh dunia. Kita harus menyadari bahwa kita adalah umat Allah, bukan hanya di dalam pengertian yang ada di PAK, atau persekutuan alumni kampus, tetapi bagian dari umat Allah di seluruh dunia tanpa dibatasi denominasi, Gereja, geografis, ataupun latar belakang. Inilah yang dimaksudkan dengan Gereja yang kudus dan Am. Sebagai umat yag sudah dilayani, kita juga harus melakukan pelayanan Marturia. 1 Pet 2:9 mengatakan: ”Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:”. Kata ’imamat’ adalah umat atau jemaat Allah, yaitu Gereja Allah yang harus bermisi karena sudah diangkat dari kegelapan ke dalam terang. Dari Efesus 3:1-9 dan dari 1 Pet 2:9 kita melihat bahwa seharusnya kita harus melakukan pelayanan. Jika ada orang yang mengaku lahir baru tetapi tidak punya kerinduan untuk melayani, maka lahir barunya dipertanyakan. Tidak mungkin hal seperti ini terjadi. Oleh karena itu, umat Allah yang telah diselamatkan harus melakukan mandat Allah untuk Marturia bagi orang lain. Inilah dasar dari Marturia.
Ayat 10 mengatakan ’pelbagai ragam hikmat Allah’. Ini adalah isi dari Marturia. Isinya adalah Hikmat Allah [band ayat 3-5; Kol 2:2b-3]. Inti dari berita Marturia adalah Kristus yang membawa orang kepada Allah. Kita harus memberitakan Kristus yang disalibkan bukan lembaga, gereja, atau diri sendiri. Perhatikan ayat ini, ‘dengan pelbagai ragam hikmat Allah’. Artinya, hikmat Allah di dalam Kristus diberitakan dengan berbagai ragam atau metode atau cara. Ada pelbagai cara yang bisa dipakai, tetapi yang paling penting adalah hikmat Allah sampai dan mereka bisa bertemu dengan Tuhan. Kristus adalah hikmat Allah yang sempurna.
Di dalam ayat 12 Paulus kembali menyatakan: “Di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya.” Tidak ada yang lain, inti berita Marturia adalah Kristus [band Rom 1:16-17]. Jika ada kesempatan untuk membawa renungan, tolong hati-hati. Terkadang kita terjebak dengan kesaksian pribadi, Gereja, atau lembaga tempat kita berada.
Di dalam ayat 10 akhir kita melihat objek PI kita dalam panggilan Marturia, yaitu ’ kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di sorga,’. Jika kita memakai terjemahan ini, kita bisa salah mengerti. Di dalam NIV dikatakan ‘the rulers and authorities in the heavenly realms,’- pemerintah dan penguasa angkasa. Yang dimaksudkan Paulus di sini bukanlah roh jahat yang menjadi penguasa angkasa, tetapi mereka yang masih percaya dan tunduk kepada penguasa-penguasa angkasa atau kegelapan. Kepada merekalah kita harus Marturia, orang-orang yang masih di bawah penguasa-penguasa angkasa, yang masih jauh dari kebenaran dan jauh hidupnya dari Allah [band Efesus 6:12].
Di dalam ayat 11 dikatakan: “…sesuai dengan maksud abadi, yang telah dilaksanakan-Nya dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” Paulus menyatakan bahwa mandat Ilahi atau panggilan Marturia bagi umat Allah yaitu tugas pemberitaan Injil, isi berita yang diberitakan, dan objek kemana kita melakukan tugas Marturia, dikatakan oleh Paulus bahwa itulah maksud Allah yang kekal yang direalisasikan di dalam Kristus. Artinya, pertama, jemaat yang Marturia adalah salah satu bagian dari maksud Allah yang kekal. Jika ada umat Allah tidak melakukan tugas Marturia, berarti maksud Allah belum digenapi di dalam dirinya. Kedua, maksud Allah yang abadi adalah umat Allah atau The People of God melakukan Marturia. Belajar dari hal ini, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak terlibat sebagai umat Allah. Allah tidak menghendaki kebinasaan, melainkan keselamatan umat manusia. Oleh karena itu, Marturia sebagai mandat Ilahi harus dikerjakan oleh umat Allah atau Gereja. Ingat Amanat Agung? Pertanyaanya adalah sejauh mana kita melakukan amanat tersebut? Kita harus introspeksi diri. Hal inilah yang menggerakkan kita untuk pergi, berkarya dan bersaksi bagi Tuhan.
Ayat 13 mengatakan: ”Sebab itu aku minta kepadamu, supaya kamu jangan tawar hati melihat kesesakanku karena kamu, karena kesesakanku itu adalah kemuliaanmu.” Kata ’martir’ memiliki akar kata dari kata ’Marturia’. Jadi, wajar jika bersaksi, memberitakan Injil, seseorang bisa teraniaya bahkan kehilangan nyawannya. Umat Allah yang dipanggil untuk tugas Marturia harus rela menderita. Bukan hanya rela, di dalam Kol 1:24, Paulus berkata: ”Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.” Luar biasa! Yang dimaksudkan Paulus adalah bukan karya Kristus kurang sempurna, tetapi jika karena kasihNya, Dia rela menderita untuk keselamatan manusia, maka kita pun harus rela menderita agar kabar mengenai Injil sampai kepada orang lain.
Inilah satu perubahan yang radikal di dalam diri Paulus, dan hal ini menjadi bagian dari umat Allah. Kita tidak menjadi generasi yang cengeng, tetapi menjadi generasi yang rela menderita, bahkan bersukacita oleh karena penderitaan, karena tugas Marturia sebagai umat Allah. Di dalam 2 Kor 4:11-12 dikatakan: “Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. Maka demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu.”
Panggilan Allah untuk umatNya adalah Marturia. Dalam rangka tugas ini, kita sebagai umat Allah sering sekali diperhadapkan dengan penderitaan, bahkan maut. Maut giat di dalam diri kita. Tetapi, oleh karena hidup yang beriman kepada Yesus Kristus, maka kita semakin giat terhadapa orang lain agar mereka percaya kepada Kristus. Inilah sukacita kita sebagai umat Allah. Inilah sukacita Gereja, ketika gereja dianiaya karena melakukan tugas penggilan untuk Marturia. Dengan kesesakan melakukan Marturia, orang akan diselamatkan. Dengan demikian kemuliaan Allah akan ada bagi dirinya dan dia pun mulia di hadapan Allah.
Mari kita sebagai umat Tuhan menjadi orang yang bermisi mulai hari ini. Mari secra pribadi kembali melakukan PI pribadi. Mari menjadi umat Allah yang rela menderita walaupun sampai martir. Ingat, Paulus berkata: “Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. Maka demikianlah maut giat di dalam diri kami dan hidup giat di dalam kamu.” Hal ini dilakukan demi tugas panggilan Marturia agar orang-orang percaya kepada Kristus.
Solideo Gloria!
Seri The People of God I: The Identity God's People
Indrawaty Sitepu, MA
Tema hari ini adalah topik pertama dari empat seri The People of God, yaitu The Identity God’ People. Mari melihat realitas Gereja pada saat ini. Jika ditanya mengenai apakah Gereja, apa yang terlintas di dalam pikiran kita? Yang dimaksudkan bukanlah defenisi ideal, tetapi apa yang saat itu terlintas di dalam pikiran kita. Ada dua pernyataan yang dapat kita lihat dan pikirkan mengenai Gereja, yaitu:
1. Mengecewakan Allah dan merusak citra jemaat yang ideal.
2. Allah menginginkan identitas kita nyata sehingga menjadi model dan saksi di tengah-tengah dunia ini.
Kita akan mengawali pemberitaan Firman Allah dengan mengingat siapakah kita sesungguhnya. Mari melihat Efesus 2:11-22. Pada bagian Firman ini kita melihat bagaimana Paulus menceritakan riwayat hidup rohani dari pembacanya yang non Yahudi di dalam tiga tahapan.
1. Mereka dahulu jauh dari Allah dan dari umatNya yaitu Israel.
2. Melalui kematianNya di kayu salib, Kristus mendamaikan keduanya dengan Allah, dan menciptakan satu manusia baru.
3. Mereka tidak lagi jauh dari Allah, melainkan telah menjadi warga, umat, dan Keluarga Allah
Ketiga tahapan ini ditandai dengan ungkapan ’dahulu’ (11), ’tetapi sekarang’ (13), dan ’demikianlah’ (19). Mari melihat ke dalam tiga tahapan tersebut. Pertama, ayat 11-12 adalah gambaran tentang manusia yang teralienasi dan jauh dari Tuhan. Kita harus mengingat hal ini agar kita melihat betapa tragis dan mengerikannya keadaan kita dahulu. Dengan demikian, kita bisa melihat betapa besarnya karya Tuhan di dalam hidup kita. Kedua, ayat 13-18 adalah gambaran tentang Kristus yang membawa damai. Ketiga, ayat 19-22 adalah gambaran tentang masyarakat baru Allah. Ini adalah gambaran kita sekarang.
Mari melihat ketiga tahapan ini.
1. Keadaan Kita Dahulu (Ay 11-12)
Dalam ayat 11 dikatakan demikian: ”Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu -- sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya "sunat", yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, --”. Ayat ini mengingatkan Jemaat di Efesus bahwa mereka adalah non Yahudi, yaitu orang tidak bersunat secara lahiriah. Sunat lahiriah merupakan sunat yang dikerjakan oleh tangan manusia. Sunat inilah yang merupakan perbedaan antara orang Yahudi dan non Yahudi. Padahal, justru ada hal yang lebih penting daripada sunat lahiriah, yaitu sunat hati. Hal yang ingin ditekankan Paulus adalah bahwa dahulu mereka (jemaat di Efesus) bukan hanya tidak bersunat secara laharian, tetapi juga belum di sunat secara batin atau hati. Hati mereka penuh dengan pemberontakan terhadap Allah. Hati mereka penuh dengan kebencian, dendam, iri hati, dosa dan kegelapan (Rom 2:28-29; Fil 3:3; Kol 2:11-13). Sunat adalah tanda sebagai umat Allah, dan dahulu jemaat di Efesus, termasuk kita sekarang ini, tidak memiliki tanda itu.
Ayat 12 mengatakan: ”...bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia.” Ayat ini merupakan daftar keberadaan yang tidak berkemampuan tanpa Kristus yang ada bagi setiap kita pada masa lalu. Mungkin kita tahu tentang Tuhan, tetapi kita tidak hidup di dalam pengenalan itu (band Kis 14:15-28; Rom 1:18-32).
2. Karya Kristus (13-18).
Ayat 13 mengatakan: ”Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu "jauh", sudah menjadi "dekat" oleh darah Kristus.” Ada dua kata yang penting, yaitu ’di dalam Kristus’ dan ’oleh darah Kristus’.
Ayat 14 mengatakan: ”Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan,...”. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Yesus adalah pembawa damai.
Ayat 15 dan 16 mengatakan: ”...sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.”
Di dalam kedua ayat ini ada tiga kata yang penting, yaitu: membatalkan... menciptakan...mengadakan. Ketika ayat ini berbicara mengenai ’membatalkan Hukum Taurat’, tentu saja hal ini tidak bertentangan dan sama sekali berbeda dengan apa yang Yesus katakan ketika ia berkata bahwa kedatanganNya bukan meniadakan hukum Taurat, tetapi menggenapinya. ’Membatalkan Hukum Taurat’ dalam kedua ayat ini adalah berbicara mengenai hukumnya, ketentuannya, seremonialnya, seperti sunat, dan lainnya. Inilah yang dimaksud dengan membatalkan Hukum Taurat itu. Ketika Yesus berbicara mengenai bahwa kedatangannya bukan meniadakan Hukum Taurat tetapi menggenapinya, Ia berbicara soal hukum moral, bagaimana Hukum Taurat bukan hanya sekedar hukum atau ketentuan-ketentuan, tetapi harus dinafasi dengan moral dan batin yang benar. Jadi Hukum Taurat dibatalkan lalu tercipta manusia baru sehingga menimbulkan damai sejahtera.
Ayat 17 mengatakan: ”Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang "jauh" dan damai sejahtera kepada mereka yang "dekat",...” Ayat ini ingin mengatakan bahwa damai sejahtera itu bukan hanya milik sekelompok aorang saja, tetapi merupakan milik semua orang baik Yahudi maupun non Yahudi.
Ayat 18 mengatakan: ”... karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. Ayat ini menjelaskan bahwa oleh karena Dialah kita bisa beroleh damai sejahtera dan dapat bersama dengan Bapa kita.
3. Kita Sekarang Sebagai UmatNya (19-22)
Ayat 19-22 mengatakan: ”Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.”
Di sinilah kita berada seharusnya, identitas kita sebagai umat Allah. Kedua tahapan di sebelumnya diberitahukan agar kita melihat betapa mengerikannya kita dahulu. Sekarang, apakah kita masih sama dengan kita yang dahulu? Kata ’demikianlah’ merupakan sebuah kesimpulan yang diberikan Paulus kepada jemaat di Efesus. Ada tiga keberadaan atau gambaran diri kita yang memiliki identitas sebagai Umat Allah.
Pertama adalah kita sebagai warga dan komunitas baru Kerajaan Allah (19a). Kerajaan Allah di sini bukan berbicara mengenai soal Kerajaan seperti di dunia ini, tetapi berbicara mengenai satu organisme di mana Allah sendiri yang memerintah umatNya. Warganya mencakup semua bangsa dan diperintah oleh Allah sendiri, menggantikan teokrasi bangsa Israel pada zaman Perjanian Lama. Tidak ada lagi perbedaan antara orang Yahudi dan non Yahudi. Di dalam Kerajaan itu, kita tidak lagi perantau asing di negeri orang, melainkan warga kandung di negeri sendiri dengan hak kewargaan yang terjamin dan pasti yang tidak ada seorangpun yang dapat mengganggunya. Kedua adalah kita merupakan kawan sewarga dari Keluarga Allah (19b). Kita lebih dari sekedar warga Kerajaan. Kita adalah anak dalam sebuah keluarga yang dikasihi oleh Allah dimana Allah adalah Bapa kita (4:6). Dia akan menjadi Bapa kita dan selama-lamanya akan bersama-sama dengan kita. Sebagai bagian dari keluarga Allah, kita juga harus mengingat bahwa bukan hanya Allah sebagai Bapa kita saja, tetapi, ingat, kita semua adalah saudara. Kita adalah sama-sama anak dari Bapa yang kekal itu. Jika kita adalah saudara, yang merupakan Anak Allah, tentu saja Allah menginginkan kita saling mengasihi dan memiliki cinta kasih yang dalam dan perhatian yang tulus, dst. Bukan berarti tidak ada konflik. Konflik mungkin ada, tetapi tidak akan menimbulkan sakit yang berakar sangat dalam di dalam hati saudara kita. Apakah hal ini ada di sekitar kita? Atau, jangan-jangan orang lebih mendapatkan perhatian yang tulus dan cinta kasih yang dalam dari luar sesama? Ketiga adalah kita merupakan Bait Allah (20-22). Dari ayat 20-22 kita dapat melihat beberapa hal, yaitu:
a. Dasar. Ini adalah bagian yang sangat penting dari sebuah bangunan. Jadi yang menajdi dasar sebuah jemaat bukanlah orang atau jabatan, tetapi ajaran yang diilhamkan oleh Roh Kudus melalui para nabi dan rasul. Dasar ini tidak boleh diubah atau dimodifikasi.
b. Batu Penjuru. Batu Penjuru adalah bagian bangunan yang mutlak harus ada. Bagian ini sangat penting karena merupakan bagian dari fondasi yang menjamin stabilitas seluruh bangunan dan kerapian susunannya. Jika ada dasar tetapi tidak ada batu penjurunya, amka bangunan itu akan tidak stabil dan menjadi kacau. Hal inilah yang digambarkan Paulus dengan indah dimana ajaran itu adalah dasar dan Kristus adalah Batu Penjuru. Kesatuan dan pertumbuhan jemaat terkait satu sama lain dan perekat dari keduanya adalah Yesus Kristus. Jemaat dapat berkembang dan tersusun rapi selama jemaat itu terekat kepada Yesus Kristus. Jika tidak, maka kesatuan jemaat akan hilang dan pertumbuhannya terhenti dan tidak terkuasai.
Tujuan Bait Allah tidak berubah, yaitu menjadi tempat kediaman Allah. Dia mendiami mereka secara masing-masing dan sebagai komunitas di dalam roh. Orang-orang yang telah ditebus dan tersebar keseluruh dunia adalah bangunan yang menjadi tempat kediaman Allah di bumi.
Mari kita melihat diri kita. Diri kita adalah Bait Allah. Kita adalah tempat Allah berdiam. Pantas dan layakkah diri kita, dengan cara hidup kita, menjadi tempat bagi Allah untuk berdiam? Berbicara soal Kerajaan, maka Allah adalah penguasa. Berbicara soal keluarga, Dialah Bapa kita. Dan berbicara soal diri kita sendiri yang adalah Bait Allah, adalah tempat Allah berdiam. Tentu saja hal ini berhubungan dengan seluruh aspek hidup kita.
Mari mengingat kembali tiga bagian tadi. Kita dahulu terkucil, asing, terancam, dan tragis dari Allah dan dari umatNya. Tetapi, karya Kristus mengubahkannya. Kita tidak lagi orang asing, melainkan warga Kerajaan di mana Allah adalah penguasa yang berdaulat. Kita adalah anggota dari keluarga yang dikasihiNya dan kita adalah bait yang didiamiNya. Mari kembali melihat kondidi gereja, baik secara personal ataupun komunitas, apakah menyenangkan hati Tuhan atau sebaliknya, kita mengecewakan Allah dan merusak citra jemaat yang ideal? Jika kita melihat pesekutuan dan komunitas kita, apakah orang melihat Tuhan yang memimpin komunitas itu? Apakah Allah menjadi seorang Bapa di sana dan apakah Allah menjadikan masing-masing orang di dalak komunitas itu menjadi tempat kediamanNya? Allah menginginkan identitas kita, sebagai umat Allah, nyata sehingga menjadi model dan saksi di tengah-tengah dunia ini. Ingatlah, siapa anda.
Solideo Gloria!
Tema hari ini adalah topik pertama dari empat seri The People of God, yaitu The Identity God’ People. Mari melihat realitas Gereja pada saat ini. Jika ditanya mengenai apakah Gereja, apa yang terlintas di dalam pikiran kita? Yang dimaksudkan bukanlah defenisi ideal, tetapi apa yang saat itu terlintas di dalam pikiran kita. Ada dua pernyataan yang dapat kita lihat dan pikirkan mengenai Gereja, yaitu:
1. Mengecewakan Allah dan merusak citra jemaat yang ideal.
2. Allah menginginkan identitas kita nyata sehingga menjadi model dan saksi di tengah-tengah dunia ini.
Kita akan mengawali pemberitaan Firman Allah dengan mengingat siapakah kita sesungguhnya. Mari melihat Efesus 2:11-22. Pada bagian Firman ini kita melihat bagaimana Paulus menceritakan riwayat hidup rohani dari pembacanya yang non Yahudi di dalam tiga tahapan.
1. Mereka dahulu jauh dari Allah dan dari umatNya yaitu Israel.
2. Melalui kematianNya di kayu salib, Kristus mendamaikan keduanya dengan Allah, dan menciptakan satu manusia baru.
3. Mereka tidak lagi jauh dari Allah, melainkan telah menjadi warga, umat, dan Keluarga Allah
Ketiga tahapan ini ditandai dengan ungkapan ’dahulu’ (11), ’tetapi sekarang’ (13), dan ’demikianlah’ (19). Mari melihat ke dalam tiga tahapan tersebut. Pertama, ayat 11-12 adalah gambaran tentang manusia yang teralienasi dan jauh dari Tuhan. Kita harus mengingat hal ini agar kita melihat betapa tragis dan mengerikannya keadaan kita dahulu. Dengan demikian, kita bisa melihat betapa besarnya karya Tuhan di dalam hidup kita. Kedua, ayat 13-18 adalah gambaran tentang Kristus yang membawa damai. Ketiga, ayat 19-22 adalah gambaran tentang masyarakat baru Allah. Ini adalah gambaran kita sekarang.
Mari melihat ketiga tahapan ini.
1. Keadaan Kita Dahulu (Ay 11-12)
Dalam ayat 11 dikatakan demikian: ”Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu -- sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya "sunat", yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, --”. Ayat ini mengingatkan Jemaat di Efesus bahwa mereka adalah non Yahudi, yaitu orang tidak bersunat secara lahiriah. Sunat lahiriah merupakan sunat yang dikerjakan oleh tangan manusia. Sunat inilah yang merupakan perbedaan antara orang Yahudi dan non Yahudi. Padahal, justru ada hal yang lebih penting daripada sunat lahiriah, yaitu sunat hati. Hal yang ingin ditekankan Paulus adalah bahwa dahulu mereka (jemaat di Efesus) bukan hanya tidak bersunat secara laharian, tetapi juga belum di sunat secara batin atau hati. Hati mereka penuh dengan pemberontakan terhadap Allah. Hati mereka penuh dengan kebencian, dendam, iri hati, dosa dan kegelapan (Rom 2:28-29; Fil 3:3; Kol 2:11-13). Sunat adalah tanda sebagai umat Allah, dan dahulu jemaat di Efesus, termasuk kita sekarang ini, tidak memiliki tanda itu.
Ayat 12 mengatakan: ”...bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia.” Ayat ini merupakan daftar keberadaan yang tidak berkemampuan tanpa Kristus yang ada bagi setiap kita pada masa lalu. Mungkin kita tahu tentang Tuhan, tetapi kita tidak hidup di dalam pengenalan itu (band Kis 14:15-28; Rom 1:18-32).
2. Karya Kristus (13-18).
Ayat 13 mengatakan: ”Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu "jauh", sudah menjadi "dekat" oleh darah Kristus.” Ada dua kata yang penting, yaitu ’di dalam Kristus’ dan ’oleh darah Kristus’.
Ayat 14 mengatakan: ”Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan,...”. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Yesus adalah pembawa damai.
Ayat 15 dan 16 mengatakan: ”...sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.”
Di dalam kedua ayat ini ada tiga kata yang penting, yaitu: membatalkan... menciptakan...mengadakan. Ketika ayat ini berbicara mengenai ’membatalkan Hukum Taurat’, tentu saja hal ini tidak bertentangan dan sama sekali berbeda dengan apa yang Yesus katakan ketika ia berkata bahwa kedatanganNya bukan meniadakan hukum Taurat, tetapi menggenapinya. ’Membatalkan Hukum Taurat’ dalam kedua ayat ini adalah berbicara mengenai hukumnya, ketentuannya, seremonialnya, seperti sunat, dan lainnya. Inilah yang dimaksud dengan membatalkan Hukum Taurat itu. Ketika Yesus berbicara mengenai bahwa kedatangannya bukan meniadakan Hukum Taurat tetapi menggenapinya, Ia berbicara soal hukum moral, bagaimana Hukum Taurat bukan hanya sekedar hukum atau ketentuan-ketentuan, tetapi harus dinafasi dengan moral dan batin yang benar. Jadi Hukum Taurat dibatalkan lalu tercipta manusia baru sehingga menimbulkan damai sejahtera.
Ayat 17 mengatakan: ”Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang "jauh" dan damai sejahtera kepada mereka yang "dekat",...” Ayat ini ingin mengatakan bahwa damai sejahtera itu bukan hanya milik sekelompok aorang saja, tetapi merupakan milik semua orang baik Yahudi maupun non Yahudi.
Ayat 18 mengatakan: ”... karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa. Ayat ini menjelaskan bahwa oleh karena Dialah kita bisa beroleh damai sejahtera dan dapat bersama dengan Bapa kita.
3. Kita Sekarang Sebagai UmatNya (19-22)
Ayat 19-22 mengatakan: ”Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.”
Di sinilah kita berada seharusnya, identitas kita sebagai umat Allah. Kedua tahapan di sebelumnya diberitahukan agar kita melihat betapa mengerikannya kita dahulu. Sekarang, apakah kita masih sama dengan kita yang dahulu? Kata ’demikianlah’ merupakan sebuah kesimpulan yang diberikan Paulus kepada jemaat di Efesus. Ada tiga keberadaan atau gambaran diri kita yang memiliki identitas sebagai Umat Allah.
Pertama adalah kita sebagai warga dan komunitas baru Kerajaan Allah (19a). Kerajaan Allah di sini bukan berbicara mengenai soal Kerajaan seperti di dunia ini, tetapi berbicara mengenai satu organisme di mana Allah sendiri yang memerintah umatNya. Warganya mencakup semua bangsa dan diperintah oleh Allah sendiri, menggantikan teokrasi bangsa Israel pada zaman Perjanian Lama. Tidak ada lagi perbedaan antara orang Yahudi dan non Yahudi. Di dalam Kerajaan itu, kita tidak lagi perantau asing di negeri orang, melainkan warga kandung di negeri sendiri dengan hak kewargaan yang terjamin dan pasti yang tidak ada seorangpun yang dapat mengganggunya. Kedua adalah kita merupakan kawan sewarga dari Keluarga Allah (19b). Kita lebih dari sekedar warga Kerajaan. Kita adalah anak dalam sebuah keluarga yang dikasihi oleh Allah dimana Allah adalah Bapa kita (4:6). Dia akan menjadi Bapa kita dan selama-lamanya akan bersama-sama dengan kita. Sebagai bagian dari keluarga Allah, kita juga harus mengingat bahwa bukan hanya Allah sebagai Bapa kita saja, tetapi, ingat, kita semua adalah saudara. Kita adalah sama-sama anak dari Bapa yang kekal itu. Jika kita adalah saudara, yang merupakan Anak Allah, tentu saja Allah menginginkan kita saling mengasihi dan memiliki cinta kasih yang dalam dan perhatian yang tulus, dst. Bukan berarti tidak ada konflik. Konflik mungkin ada, tetapi tidak akan menimbulkan sakit yang berakar sangat dalam di dalam hati saudara kita. Apakah hal ini ada di sekitar kita? Atau, jangan-jangan orang lebih mendapatkan perhatian yang tulus dan cinta kasih yang dalam dari luar sesama? Ketiga adalah kita merupakan Bait Allah (20-22). Dari ayat 20-22 kita dapat melihat beberapa hal, yaitu:
a. Dasar. Ini adalah bagian yang sangat penting dari sebuah bangunan. Jadi yang menajdi dasar sebuah jemaat bukanlah orang atau jabatan, tetapi ajaran yang diilhamkan oleh Roh Kudus melalui para nabi dan rasul. Dasar ini tidak boleh diubah atau dimodifikasi.
b. Batu Penjuru. Batu Penjuru adalah bagian bangunan yang mutlak harus ada. Bagian ini sangat penting karena merupakan bagian dari fondasi yang menjamin stabilitas seluruh bangunan dan kerapian susunannya. Jika ada dasar tetapi tidak ada batu penjurunya, amka bangunan itu akan tidak stabil dan menjadi kacau. Hal inilah yang digambarkan Paulus dengan indah dimana ajaran itu adalah dasar dan Kristus adalah Batu Penjuru. Kesatuan dan pertumbuhan jemaat terkait satu sama lain dan perekat dari keduanya adalah Yesus Kristus. Jemaat dapat berkembang dan tersusun rapi selama jemaat itu terekat kepada Yesus Kristus. Jika tidak, maka kesatuan jemaat akan hilang dan pertumbuhannya terhenti dan tidak terkuasai.
Tujuan Bait Allah tidak berubah, yaitu menjadi tempat kediaman Allah. Dia mendiami mereka secara masing-masing dan sebagai komunitas di dalam roh. Orang-orang yang telah ditebus dan tersebar keseluruh dunia adalah bangunan yang menjadi tempat kediaman Allah di bumi.
Mari kita melihat diri kita. Diri kita adalah Bait Allah. Kita adalah tempat Allah berdiam. Pantas dan layakkah diri kita, dengan cara hidup kita, menjadi tempat bagi Allah untuk berdiam? Berbicara soal Kerajaan, maka Allah adalah penguasa. Berbicara soal keluarga, Dialah Bapa kita. Dan berbicara soal diri kita sendiri yang adalah Bait Allah, adalah tempat Allah berdiam. Tentu saja hal ini berhubungan dengan seluruh aspek hidup kita.
Mari mengingat kembali tiga bagian tadi. Kita dahulu terkucil, asing, terancam, dan tragis dari Allah dan dari umatNya. Tetapi, karya Kristus mengubahkannya. Kita tidak lagi orang asing, melainkan warga Kerajaan di mana Allah adalah penguasa yang berdaulat. Kita adalah anggota dari keluarga yang dikasihiNya dan kita adalah bait yang didiamiNya. Mari kembali melihat kondidi gereja, baik secara personal ataupun komunitas, apakah menyenangkan hati Tuhan atau sebaliknya, kita mengecewakan Allah dan merusak citra jemaat yang ideal? Jika kita melihat pesekutuan dan komunitas kita, apakah orang melihat Tuhan yang memimpin komunitas itu? Apakah Allah menjadi seorang Bapa di sana dan apakah Allah menjadikan masing-masing orang di dalak komunitas itu menjadi tempat kediamanNya? Allah menginginkan identitas kita, sebagai umat Allah, nyata sehingga menjadi model dan saksi di tengah-tengah dunia ini. Ingatlah, siapa anda.
Solideo Gloria!
Subscribe to:
Posts (Atom)