Denni B. Saragih, M. Div
Minggu-minggu ini kita merenungkan apakah artinya menjadi Gereja. Apa artinya menjadi umat Allah. Satu harapan kita adalah kita semakin menghargai keberadaan Gereja, dan bagaimana kita mencintai dan ambil bagian dalam pelayanan Gereja. Tentu saja kita mendekati Gereja tidak semata-mata sebagai sebuah institusi tetapi juga di dalam pengertian theologis yang dipahami di dalam Alkitab. Hari ini kita akan menyegarkan pemahaman kita tentang apa artinya Koinonia melalui Kis 2:42-47.
Dalam kehidupan sekarang ini, ada dua ekstrim yang kita temukan sewaktu kita melihat persekutuan Gereja. Satu sisi kita melihat persekutuan Gereja yang mirip-mirip dengan kelompok adat. Suasanya sangat formal, sehingga etika dan nilai-nilai yang ada di sana lebih mengarah kepada nilai-nilai budaya dari pada nilai-nilai Kristiani. Di sisi lain juga kita melihat Gereja yang terlalu causual, dimana siapa saja boleh masuk ke dalam. Orangnya mungkin berganti-ganti dan tidak saling mengenal. Gereja ini memiliki kesan seperti sebuah show, bukan ibadah.
Kita memperhatikan bahwa dalam bagian Kis 2 ini, kita diingatkan kembali apa yang menjadi mungkin bagi sebuah umat Allah. Ditengah-tengah kekecewaan kita dengan Gereja, kekeringan dunia ini akan persekutuan yang sejati, kegagalan, dan ditengah-tengah harapan yang kita miliki tentang bagaimana seharusnya sebuah Gereja, Kis 2 ini memberikan gambaran tentang apa yang mungkin terjadi dalam jemaat/Gereja. Bagian Firman ini mengajarkan kepada kita bahwa Kis 2 ini bukanlah kisah yang unik, yang hanya terjadi sekali dalam sejarah dan tidak mungkin terulang lagi. Tidak! Kekerdilan iman kita yang dibentuk situasi di sekeliling kita membuat kita dipaksa untuk percaya bahwa persekutuan yang ada di Kis 2 tidak akan mungkin terjadi. Firman Tuhan ini menantang kita, sewaktu kita melihat Gereja dan persekutuan kita kembali melihatnya dengan kacamata Kis 2. Kita ditantang untuk mengharapkan hal yang besar bagi Gereja dan persekutuan, bahwa Gereja tidak harus tinggal dalam kondisi sekarang. Gereja dan persekutuan bisa berubah seperti yang Tuhan kehendaki. Wiliam Carey berkata: ”Expect great thing from God, and attemp great thing for God- Harapkanlah hal-hal besar dari Tuhan, dan kerjakanlah pekerjaan-pekerjaan besar bagi Tuhan.”
Jika kita memperhatikan Kis 2:42-47, kita akan bertanya: ”Apakah rahasianya sehingga mereka bisa seperti ini?” Mungkin kita tergoda untuk menjawab bahwa hal itu tejadi karena penyerahan diri mereka pada saat itu lebih dalam. Banyak jawaban-jawaban yang lain yang bisa kita berikan. Tetapi jika kita memperhatikan bagaimana Firman Tuhan mempersentasekan Kis 2:42-47, yang ingin dikatakan ialah, bahwa ini bukanlah sebuah norma di mana kita harus demikian. Bukan! Ini adalah sebuah ekspresi sebagai sebuah akibat dari apa yang terjadi ketika satu umat Tuhan mengalami pencurahan dari Roh Kudus. Kis 2 ini adalah gambaran satu komunitas, ketika Roh Allah menguasai mereka. Segala kelemahan-kelemahan manusia, keegoisan, kerapuhan, individualis, segala apa yang kita miliki yang sama dengan mereka, diangkat ke level yang paling tinggi dan mengalami satu pembaharuan, kasih yang melampau segala sesuatunya.
Ketika satu kominitas penuh dengan Roh Kudus, maka ada empat ciri khas yang digambarkan, yaitu:
1. A Learning Community (42)
2. A Loving Community (42,44-46)
3. A Worshiping Community (42, 46)
4. An Evangelistic Community (47)
Komunitas yang oleh karena persekutuan yang demikian kuat, ada evek marturianya, membawa orang lain masuk ke dalamnya. Jika Marturia ibarat ‘Go and tell them!’, maka Koinonia adalah ‘Come and see!’
Mari kita melihat lebih jelas keempat ciri ini.
A Learning Community
Ayat 42 mengatakan: ”Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul ...”.
Apa artinya bertekun? Dalam NIV, kata ‘bertekun’ yang dipakai adalah ‘devoted’-they devoted themselves to the apostles’ teaching. Perhatikan bahwa mereka bertekun dalam pengajaran. Sering sekali, pada saat ini, alumni malas membaca buku rohani yang berat. Alumni hanya ingin baca yang ringan, segar, dan jika bisa sedikit lucu. Tidak seperti kontekstual modern, pengalaman spiritual yang para rasul alami melalu bahasa Roh ataupun kuasa-kuasa tidak membuat mereka mengabaikan teologia dan pikiran mereka. Justru ketika mereka dikuasai Roh Kudus, mereka devoted pada ajaran dan pikiran para rasul. Dengan kata lain, jemaat mula-mula itu lapar akan Firman Tuhan, akan pengajaran yang berbobot, dan bertekun dalam pengajaran yang berbobot itu. Pengajaran yang berbobot tidak hanya milik sekelompok orang. Semua orang harus belajar akan pemikiran-pemikiran yang dalam karena ketika kita membaca buku-buku yang berat akan mempengaruhi bagaimana kita mengambil keputusan dan bersikap, brtindak. Ibarat sebuah pohon yang akarnya dalam, ketika dihembus angin, maka pohon itu akan tetap tertancap. Ketika pohon hanya kelihatannya tinggi tetapi akarnya tidak ada. Kelihatan begitu kokoh dan perkasa, tetapi ketika angin datang maka pohon itu akan tumbang. Kita perhatikan di sini, Gereja yang penuh Roh adalah Gereja yang belajar Firman, bertekun dan tunduk pada Firman. Jika Firman dalam konteks ini adalah pengajaran para rasul, maka kita perlu terus merenungkan dan membaca kembali Perjanjian Baru. Kita tidak boleh puas berkutat hanya bertahan untuk saat teduh. Mungkin kita harus menantang diri kita untuk lebih keras lagi. Jangan merasa ketika alumni semuanya sudah siap, tidak perlu membaca buku rohani lagi.
A Loving Community
Ayat 42 mengatakan: ”Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” [kata ‘persekutuan’ di sini adalah ‘Koinonia’]. Hal ini sangat indah. Ada semacam magnet dari hidup yang rajin belajar, lahir kerinduan untuk bersama-sama. Jhon Stott mengatakan ada dua arti dari persekutuan. Persekutuan berarti kita bersekutu karena kita mengalami hal yang sama yaitu jamahan Persekutuan Trinitarian (IYoh 1:3; 2Kor 13:13). Tetapi yang ingin kita renungkan adalah mengenai Koinonia. Koinonia artinya berbagi. Karena kita bersama-sama mmebagi hidup satu dengan yang lain. Perhatikan ayat 44-45, dikatakan di sana: “Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.” Ini adalah satu praktek yang radikal karena adanya kepemilikan bersama dalam hal harta. Seandainya syarat menjadi anggota persekutuan adalah kepunyaan milik bersama, maukah kita masuk menjadi anggota? Gereja mula-mula bukan hanya memberi uang, tetapi tanah dan rumah. Pertanyaannya adalah apakah ini hanya literal normative? Jika kita memperhatikan beberapa contoh di dalam sejarah, ternyata bukan hanya orang Kristen yang punya seperti ini. Misalnya:
1. Persamaan dengan Qumran Community, baik umum maupun biarawan. Qumran Community yang umum selalu diminta untuk membantu orang miskin dan memberi makan orang yang lapar dan memberi tumpangan kepada orang yang berkelanan. Inilah kode etik mereka. Jika tidak bersedia melakukan ketiga hal ini, tidak diperbolehkan menjadi anggota. Tetapi kalau biarawan, lebih dalam lagi, mereka harus menjual seluruh hartanya baru boleh masuk anggota.
2. Radical Reformation: fellowship and brotherly love (word and sacrament).
Mereka seperti ini seperti aliran baptis. Aliran ini mengatakan sewaktu Calvin mengatakan ciri khas Gereja adalah adanya Firman dan Sakramen, maka orang-orang radikal reformatiaon, diantaranya adalah Menosimon, mengatakan harus ditambahkan fellowship and brotherly love mark.
3. The Hutterite Brethren in Moravia
Setiap anggota yang ingin masuk ke dalam kelompok ini, harus bersedia untuk menerima bahwa segala hartanya adalah harta bersama di dalam komunitas tersebut.
Kenapa Gereja atau Perkantas tidak mempraktekkannya? Hal ini disebabkan karena sebenarnya Alkitab tidak pernah bermaksud bahwa hal ini harus menjadi satu hukum yang ke-11. Ini adalah sebuah visi. Jika kita melihat PB, dalam bagian ini sendiri ayat 46 mengatakan: “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir…”. Apa yang ingin dikatakan adalah bahwa mereka masih memiliki rumah karena mereka memecahkan di rumah masing-masing. Kemudian ayat 45 mengatakan alasan sebenarnya. Mereka menjual harta miliknya, membagi-bagikan kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Ternyata mereka menjual rumah dan hartanya didorong oleh kebutuhan. Ketika ada kebutuhan, yang namanya anak Tuhan akan rela menjual rumah atau tanahnya untuk menjawab kebutuhan tersebut. Iniah prinsip dan kode etik dari Koinonia, bahwa jika Gereja, persekutuan, atau saudara kita membutuhkan, dan untuk itu kita harus menjual rumah dan harta, itu bukanlah sesuatu yang aneh. Hal ini sangat indah karena inilah artinya menjadi manusia. Dan inilah perjuangan kita terus menerus, dimana ada peperangan melawan kejahatan yang hidup, tumbuh,dan berkembang di dalam diri kita. Loving Community adalah tempat kita belajar memberi kepada yang lain. Godaan menjadi alumni demikian berat karena begitu banyak kebutuhan yang harus dimiliki. Biarlah Firman Tuhan ini menantang kita kembali apa sebenarnya arti menjadi bagian dari Koinonia, menjadi bagian dari umat Allah. Ingat, memberi secara Kristiani bukan memberi karena berlebihan. Ini adalah sumbangan. Dan ini bukan Christian gift. Memberi secara Kristen adalah memberi dalam kekurangan sekalipun, karena memberi adalah kasih karunia. Kita mendapatkan kasih karunia jika kita boleh berbagi dengan sesama kita.
A Worshiping Community
Menarik sekali dalam ayat 42. dalam NIV terjemahannya adalah demikian: ” They devoted themselves to the apostles' teaching and to the fellowship, to the breaking of bread and to prayer.” [dalam terjeahan Indonesia, setelah persekutuan (fellowship) di akhiri dengan titik, tetapi dalam NIV, hanya memakai tannda koma.]. Artinya, mereka juga tekun dalam komunitas mereka. Jika kita memperhatikan dalam komunitas mereka, bagaimana jemaat mula-mula beribadah, Koinonia yang mereka miliki itu adalah satu ibadah yang luar biasa karena ditandai dengamn ibadah yang formal dan sekaligus informal. Ayat 46 mengatakan: “Every day they continued to meet together in the temple courts. They broke bread in their homes.” Ini adalah sebuah kombinasi sehat dan membantu menghargai ibadah formal di institusi Gereja. Kita juga belajar menghargai bahwa liturgy Gereja itu luar biasa dalam. Jika kita bisa menghayatinya, sangat dalam, baik pengakuan dosa, doa-doanya, susunannya, semuanya luar biasa. Kita harus mengikuti dan menghargainya, sama seperti jemaat mula-mula yang tetap mengikuti ritual ibadah mereka. A worshiping community ditandai keseimbangan antara sukacita dan hikmat. Dalam ayat 46 dikatakan: “...with glad and sincere hearts...”[gembira dan tulus]. Ini adalah kombinasi yang baik. Terkadang orang gembira tetapi tidak tulus. Kita bersukacita bukan karena nyanyi, tetapi kita bersukacita dan dari sukacita tersebut lahirlah nyanyian dan puji-pujian kepada Tuhan. Banyak juga orang tulus, tetapi tidak gembira. Ibadahnya kadang begitu liturgical tetapi kehilangan kegembiraan. Seharusnya liturgy tidak mematikan hati kita. Ibadah Kristiani seharusnya dipenuhi dengan sukacita. Ibadah Kristiani seharusnya teratur dan terhormat tetapi tidak tumpul dan kering. Ibadah yang tumpul dan kering adalah dosa. Ibadah yang Kristiani harus menjadi ibadah yang hidup meski dalam sebuah liturgy yang agung dan mulia. Liturgy merupakan sebuah ekspresi dari PL ketika orang beribadah dalam zaman Musa. Tetapi ada juga seperti Daud, menari-nari untuk menunjukkan sukacitanya. A worshiping community adalah satu komunitas yang beribadah dengan hikmat.
An Evangelistic Community
Dari persekutuan yang hidup ini, lahirlah daya tarik yang mengundang orang dating tanpa mereka harus mengabarkan Injil. Pastilah mereka memberitakan Injil. Tetapi yang ditekankan dalam bagian ini adalah karena demikian hidup persekutuannya, maka orang datang. Dikatakan dalam ayat 47: “And the Lord added to their number daily those who were being saved.” Pertama-tama sekali, pertumbuhan dalam persekutuan ini adalah bukan pertumbuhan karena hebatnya melakukan promosi atau pengkotbahnya hebat. Tetapi karena Tuhan menambahkan. Koinonia itu bertumbuh bukan karena teknik-teknik manusia, tetapi karena Allah bekerja demikian rupa. Yang menarik adalah bahwa yang ditambahkan merupakan orang yang sudah percaya. Jadi Allah menambah dengan orang yang menyelamatkan tetapi juga menyelamatkan dan menambah jumlah. Pertambahan di sini bukan pertambahan perbulan, tetapi tiap-tiap hari secara kontiniu. Tidak sporadis atau bulanan, tetapi terus-menerus.
Kis 2:42-47 menjelaskan kepada kita apa artinya satu komunitas yang di penuhi dengan Roh Kudus. Persekutuan yang seperti itu adalah a learning community, dimana orang-orang mau belejar dan bertekun dalam pengajaran. Dan dari sini lahirlah community, persektuan tanpa kasih adalah persekutuan yang kaku, seperti orang yang hanya bertekun dalam pemikiran, tetapi tanpa hati. Dari learning and loving lahirlah a worshiping community. Komunitas seperti ini, mau tidak mau, dirinya menjadi evangelistic community yang mangatakan kepada orang: “Come and see, God is here!”
Solideo Gloria!
No comments:
Post a Comment