Tuesday, March 1, 2011

Hagabeon

(Menurut Alkitab)
Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Berbicara mengenai keturunan merupakan pergumulan bagi banyak keluarga khususnya dalam budaya batak. Dalam kehidupan manusia sering mengalami pergumulan antara memiliki harta dan keturunan. Bagi orang batak dianggap sebagai kekurangsempurnaan jika tidak punya anak, walapun memiliki harta yang banyak. Kemudian, dalam orang batak juga diharapkan ada anak laki-laki dan perempuan.walaupun mereka memiliki empat orang anak, tetapi jika semua adalah perempuan, maka menurut mereka keluarga mereka tidak sempurna. Ada juga pergumulan akan anak kandung dan anak angkat. Dan banyhak orang memilih tidak memiliki anak daripada harus mengadopsi anak. Semua ini pergumulan ini bermuara kepada kebanggaan dan kemuliaan yang semu. Oleh karena itu mari berbicara soal hagabeon (bahasa batak: gabe = keturunan) dari segi nilai-nilai kekristenan.

Banyak anak-anak Tuhan yang sudah lama dibina, ikut pemuridan, tetapi nilai dan kebanggaan dunianya tetap tertahan. Mari belajar dari Paulus ketika ia mengalami pembaharuan yang radikal. Dalam Fil 3:4-5 dikatakan, “Sekalipun aku juga ada alasan untuk menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi”. Paulus memiliki kapasitas yang sangat hebat. Tetapi di dalam ayat 7-9 dia berkata, “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan”. Dan akhirnya dalam ay 10 dia berkata, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya”. Apa yang hendak dikatakan di sini adalah kebanggaan-kebanngaan duniawi yang tidak alkitabiah disingkirkan Paulus ketika dia bertobat, dan digantikan dengan satu ambisi yang benar. Tanpa ambisi yang benar ini, maka konsep nilai yang ada pada kita (khisusnya dalam lingkungan suku Btak) akan sulit terkikis dari diri kita. Jadi kita terlabih dahulu mengalami pembaharuan nilai dan ambisi yang baru secara alkitabiah.

Apa yang menjadi tujuan hidup dari pernikahan? Dalam pernikahan itu ada tujuan dan buah. Anak bukan tujuan pernikahan, tetapi buah dari pernikahan. Jika tujuan menikah untuk anak, maka ketika anak tidak hadir dalam keluarga itu, sangat memungkinkan pernikahan akan bermuara kepada perceraian. Menikah bisa memiliki anak atau bisa tidak. Jika konsep ini jelas, maka keluarga tidak akan terlalu stress dan gelisah jika masih belum memiliki anak. Tujuan pernikahan adalah untuk mandat Allah. Ada dua mandat yang Tuhan berikan untuk setiap orang percaya. Dalam Kej 1:28 adalah mandat budaya yaitu untuk mengeksplorasi dunia. Perlu kita ketahui bahwa beranak-cucu yang dimaksud di sini tidak berbicara sebatas keturunan biologis, tetapi juga keturunan ilmu pengetahuan, karya, berkat bagi banyak orang. Kemudian, yang kedua adalah mandat injil (amanat agung) dalam Mat 28. Karena itu mari kita pamahi agar ketika kita memasuki pernikahan, salah satu hal yang harus disiapkan adalah untuk tidak punya anak. Ini adalah pandangan yang alkitabiah. Jika keluarga ini lama memiliki anak berarti Tuhan memberikan kesempatan yang banyak bagi mereka untuk maksimal melayani.

Tidak semua orang menikah Tuhan karuniai keturunan biologis. Bagi orang batak, tidak memiliki anak berarti bala. Dalam pernikahan, ketiadaan anak bisa membawa pernikahan dalam arah yang tidak jelas. Dalam budaya Simalungun dulu (sebelum Injil masuk) ada istilah pinjam jago. Jika si isteri tidak melahirkan dia diijinkan untuk berhubungan dengan pria lain agar punya anak dan ini adalah perjinahan. Dalam batak Toba dan Karo langsung diceraikan. Dan seharusnyalah sikap kita sebagi orang yang sudah mengenal Tuhan jika belum diijinkan untuk memiliki anak berarti Tuhan ijinkan kita melayani dengan maksimal tanpa kehadiran anak biologis. Dalam Yes 54:1, dikatakan, “Bersorak-sorailah, hai si mandul yang tidak pernah melahirkan! Bergembiralah dengan sorak-sorai dan memekiklah, hai engkau yang tidak pernah menderita sakit bersalin! Sebab yang ditinggalkan suaminya akan mempunyai lebih banyak anak dari pada yang bersuami, firman TUHAN.”

Jangan selalu berpikir bahwa kehadiran anak akan selalu membawa sukacita, sebaliknya kehadiran anak juga dapat membawa dukacita. Dalam Ams 10:1 dikatakan, “Amsal-amsal Salomo. Anak yang bijak mendatangkan sukacita kepada ayahnya, tetapi anak yang bebal adalah kedukaan bagi ibunya.” Ams 15:20, “Anak yang bijak menggembirakan ayahnya, tetapi orang yang bebal menghina ibunya”. Ams 17:25, “Anak yang bebal menyakiti hati ayahnya, dan memedihkan hati ibunya”. Tidak ada jaminan bahwa anak kita adalah orang bijak semua bukan?

Disamping dari anak biologis, ada juga anak teologis. Sesuatu yang sangat diberkati jika bisa melahirkan anak biologis juga anak teologis. Tetapi jika anak biologis tidak terbina, kita akan dimurkai Allah. Orang Kristen haruslah lebih memprioritaskan keturunan teologis daripada keturunan biologis karena keturunan biologis belum tentu menjadi keturunan kekekakalan. Lihat Eli dan dua anaknya. Dua anak nabi Eli adalah perampok dalam bait Allah. Memiliki anak itu penting, tetapi yang menjadi perhatian kita adalah apakah anak yang telah Tuhan percayakan akan bermuara kepada anak teologis. Mari lebih berfokus kepada anak teologis daripada anak biologis supaya kita bisa berkata bahwa hagabeon di dalam Tuhan adalah keturunan kekekalan bukan sebatas biologis.

Jika kita melihat anak-anak allah sebagai keturunan ilahi, maka Israel itu adalah anak-anak Allah ketika mereka taat kepada Allah. Orang-orang beriman kepada YHWH disebut sebagai anak keturunan Abraham. Di dalam Kej 15 dikatakan ada janji Allah akan keturunan kekekalan melalui Ishak seperti pasir di tepi laut dan bintang di langit, keturunan yang bukan dari segi biologis tetapi keturunan ilahi, yaitu keturunan teologis dari segi iman kepada YHWH.
Apakah hagabeon bagi orang percaya? Mari melihat Mar 3:33-35. Dikatakan di sana, “Jawab Yesus kepada mereka: "Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?" Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata: "Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku." Kita memang dengan teman kelompok kita, beda kampong, dan bahkan beda ornag tua. Walaupun demikian mereka adalah saudara sejati kita. Artinya, kita adalah orang yang beriman kepada Kristus dan sama-sama manjadi ahli waris dari Allah. Jika saudara kandung kita tidak beriman kepada Allah, mereka hanya saudara semenntara di dunia dan tidak di dalam kekekalan. Tetapi mereka yang telah menerima Kristus adalah saudara kita dalam kekekalan. Mari berorientasi kepada keturunan kekekalan. Jadi mari prioritaskan kebanggan kita bukan pada anak biologis, tetapi kepada anak teologis, yaitu yang beriman kepada kristus dan dimuridkan menjadi murid kristus. Jadi jika Tuhan belum memberikan pasangan hidup atau anak, maka Tuhan memberikan kesempatan untuk melahirkan anak-anak teologis.

Dalam Mark 10:28-30 dikatakan, “Berkatalah Petrus kepada Yesus: "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!" Jawab Yesus: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang, sekalipun disertai berbagai penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.” Jangan berorientasi kepada fisik walaupun fisik penting, jangan berorientasi kepada apa yang kita punya zaman ini, tetapi berorientasi sesuatu hal yang bernilai kekal dan rohani.
Di dalam 1 Tim 1:2, Paulus memanggil Timotius dengan ‘Anakku yang sah dalam iman’, dan dalam 2 Tim 1: 2 dengan panggilan ‘anakku yang kekasih’.Inilah yang seharusnya menjadi ambisi kita, yaitu melahirkan anak yang sah dalam iman. Ini jauh lebih penting daripada anak biologis tetapi bukan anak yang sah dalam iman. Adalah sesuatu yang menyakitkan jika keturunan kita adalah anak yang bebal bahkan berpaling dari Kristus. Jangan hanya berpikir bangga punya anak, tetapi anak yang seperti apa yang dibanggakan itu? Orang yang kita banggakan adalah orang yang takut akan Tuhan.

Mari melihat dan belajar dari kisah Abraham dan Sarah. Allah telah memberikan panggilan dan janji berkat Allah kepada Abraham (Kej 12:1-3). Kemudian Allah kemudian berjanji bahwa Abraham akan memiliki keturunan seperti bintang di langit dan pasir di pantai (Kej 15:2-6). Tetapi dalam perjalannya, Abraham merasa terlalu lama. Allah tidak akan pernah ingkar janji tetapi Abraham tidak sabar. Ia mengambil jalan pintas ketika Sarah menawarkan pembantunya, Hagar, kepada Abraham agar mereka beroleh keturunan. Kemudian Abraham menghampiri hagar dan punya anak, yaitu Ismael. Dan kemudian akibat ketidak sabaran imannya, Sarah direndahkan Hagar. Kemudian Sarah marah dan meminta Abraham mengusir Hagar dan Ismael. Di sini kita belajar bagaimana Abraham meragukan janji dan kuasa Allah yang membuat dia mengambil jalan pintas. Bukankah kita sering melakukan hal yang sama? Karena sangat ingin memiliki keturunan, kita pergi ke dukun? Atau pergi ke tempat tulang untuk menerima berkat? Atau melakukan tindakan-tindakan yang merupakan jalan pintas lainnya? Kenapa kita harus memaksa Tuhan dengan berbagai cara ini? Ketika kita memaksa Tuhan dengan cara kita, maka yang terjadi adalah sebuah kesalahan. Abraham dan Sara melakukan kesalahan ketika mereka tidak sabar menunggu janji Tuhan. Mereka mengambil jalan pintas karena kekuatiran, ketidak sabaran dan kurang iman mereka.

Banyak orang yang terlalu sibuk kesana dan kemari agar memiliki anak sehingga tidak memiliki waktu untuk melayani. Jangan coba-coba untuk melakukan sesuatu yang salah hanya karena kebanggaan duniawi yang berkata punya anak adalah kebanggaan. Mari mengubah nilai hidup dan paradigma berpikir kita dengan teologia yang benar.

No comments: