Tuesday, March 1, 2011

Hanmoraon

(Menurut Alkitab)
Mat 6:19-24
Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Dalam filosofi orang batak ada tiga H, yaitu Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon. Dalam falsafah batak ketiga hal ini sangat susah dikikis dalam dalam orang batak (baik batyak Karo, Toba, atau Simalungun). Jadi, bagi orang suku Batak, meskipun kaya tetapi jika tidak memiliki anak kurang dihormati dan dianggap belum sesuatu yang memuaskan dirinya. Atau sebaliknya, dia memiliki banyak anak tetapi miskin, juga kurang dihargai. Di dalam orang batak itu, orang yang memiliki harta, jabatan, dan keturunan adalah orang yang dianggap sudah lengkap dan sempurna dan orang yang berbahagia.

Bagaimana Alkitab memandang ketiga falsafah batak ini? Hari ini kita akan belajar konsep yang benar dan untuk pertama kita akan melihat konsep hamoraon (kekayaan) menurut Alkitab.
Kita akan melihat konsep mengenai hamoraon berdasarkan kitab Matius 6:19-24. Dalam Matius pasal 6 in kita melihat ada kontras antara upah duniawi dengan Sorgawi dalam melakukan ibadah (ay 1-18) dan hal ini akan memimpin kepada kontras antara harta duniawi dan harta surgawi (19-24). Setelah bicara mengenai ibadah atau ritual yang palsu dan benar, antara kemunafikan dan ketulusan (memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa), maka dilanjutkan dengan cara menjalani hidup yang beriman dengan nilai yang benar sehingga tulus mengabdi kepada Tuhan dan hidup tanpa kekuatiran.

Ibadah memang penting, tetapi yang paling penting adalah esensi dari ibadah itu sendiri. Kita tidak mengharapkan sebuah upah dari ritual yanag mekanis dan palsu tetapi mendapatkan upah yang bernilai kekekalan yang kita dapat oleh karena ketulusan hati yang sungguh-sungguh mencintai Allah. Jika kita melihat kontras antara upah duniawi dengan sorgawi dalam melakukan sebuah ibadah, maka kita akan cenderung untuk mencintai harta surgawi dan bisa luput dari kecintaan dari harta duniawi dan hal inilah yang membuat kita luput dari rasa kuatir (25-33). Ada sebuah ketulusan mengabdi kepada Allah dan luput dari kekuatiran.
Ibadah dan kesalehan yang tulus harus disertai dengan nilai hidup dan iman yang sejati. Tidak akan ada ibadah menjadi benar jika tidak muncul ketulusan dan iman yang sejati,. Dalam pemahaman ini muncul kesejajaran antara dimensi ritual dengan cara hidup yang benar. Sering sekali hal ini terjadi dengan timpang. Secara ritualisme, orang sering sekali melakukan dengan benar tetapi tidak menghasilkan hidup yang benar. Harta dan kekuatiran dihubungkan sebagai sebuah pancaran daripada dimensi ritual yang benar. Artinya, jika orang memiliki dimensi ritual yang benar maka seharusnya dia beriman kepada Allah dan menghancurkan kecintaannya kepada materi dan menghancurkan kekuatiran di dalam dirinya. Dapat dikatakan jika orang tetap kuatir dan haus dan cinta akan uang, itu berarti bahwa dimenasi ritualnya tidak benar.
Yang kuatir tidak selamanya yang miskin. Orang kaya juga kuatir. Yang miskin kuatir akan apa yang akan dimakannya besok, sedangkan yang kaya kuatir akan hartanya. Cara hidup yang orientasinya uang dan kuatir adalah tanda kekafiran (ay 32) dan orang beriman justru mengambisikan kebenaran bukan kenyamanan duniawi. Jadi yang perlu kita hindari adalah bagaimana kita tidak mengambisikan sebuah kenyamanan duniawi tetapi sebuah ketenangan batin bersama dengan Allah.

Ay 19 dikatakan, “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya”. Secara sederhana, yang dimaksud dengan harta di Sorga adalah kasih kepada Allah, ketaatan dan kesetiaan untuk melayani Allah. Dimanakah tendanya Paulus? Di manakah perahu dan jalanya Petrus dan Yohanes? Dimanakah semua harta yang mereka raih selama ini? Semua sudah lenyap dan hanya tinggal kenangan. Tetapi apakah yang bisa mereka bawa ketika meninggal hanya satu yaitu jiwa dan orang yang mereka layani untuk dipersembahkan kepada Allah. Agar kita tidak terjebak dalam sesuatu yang berorientasi kepada uang, di mana dalam suku batak hal ini menjadi sesuatu yang dibanggakan, adalah mengorientasikan diri kita kepada nilai-nilai sorgawi.

Alasan menyimpan untuk tidak menympan harta di dunia ada dua, yaitu, pertama, demi alasan ekamanan, karena ngengat dan karat tidak akan memakannya. Juga aman dari pencuri. Jika kita menyelamatkan jiwa orang dan melayani dengan sungguh-sungguh, tidak aka nada suauatu yang perlu ditakutkan karean tidak aka nada yang mencurinya. Kedua, alasan keterikatan (ay 21). Jika kita perhatikan ay 22-23 kita melihat soal mata (penglihatan). Dikatakan di sana, “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu.” Apa artinya adalah bahwa mata rohani sebagai penentu orientasi hidup kita. Hal ini kita lakukan dengan mengarahkan mata kita benar-benar tertuju kepada Allah. Kemudian melihat apa yang paling menarik dari mata kita. Waktu kita mahasiswa, kita tidak terlalu peduli merk kameja atau merk handphone, tetapi ketika alumni hal ini menjadi perhatian kita dan menjadi orientasi kita Kemudian, penglihatan menunjukkan kepada kita jalan yang harus kita tempuh. Oleh sebab itu penulis Matius mengatakan betapa pentingnya mata rohani untuk menentukan orientasi hidup manusia. Paulus berkata dalam Ef 1:18, “Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus.” Bagaimana kita memfokuskan kita dan mata kita bukan pada hal-hal yang bersifat glamor dan hanya melihat indahnya dunia ini tetapi kepada Allah. Hal ini tidak gampang. Mari mengorientasikan hidup kita kepada kebutuhan bukan kepentingan atau keinginan agar kita tidak tejebak dalam hamoraon yang tidak alkitabiah. Dan kita juga tidak menghargai orang karena dia kaya atau miskin tetapi karena dia adalah pribadi yang mencintai dan takut akan Tuhan.

Nilai hidup menentukan cara kita memandang kehidupan (23b). Bayangkan sedang mengendarai mobil di tengah hutan di mana bola lampunya semua putus. Kita terjebak tanpa arah dan tidak bisa bergerak. Di dalam diri kita ada terang dan jika menjadi padam maka betapa gelaplah hidup kita. Oleh sebab itu jangan sampai mata kita lebih tajam melihat glamornya dunia dari pada melihat hal-hal yang Tuhan tunjukkan kepada kita.

Dalam ay 24 dikatakan, “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” Dalam ayat ini muncul sebuah pengajaran yaitu betapa pentingnya mono loyalitas. Kata hamba memiliki makna ada sebuah pengabdian yang tulus. Tidak ada seorang pun mau diduakan atau dinomor duakan. Itu sebabnya penulis Matius mengatakan tidak mungkin ada orang mengabdi dengan setia kepada dua tuan. Mengapa Matius membandingkan Allah dengan Mamon adalah karean dua-duanya punya daya tarik yang kuat. Dalam Mat 19:22 dikatakan, “Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya.” Alasan orang muda itu tidak mengikut Kristus adalah karena banyak hartanya padahal dia sangat moralis dan melakukan kejahatan apapun. Ini adalah sebuah realita sampai saat ini. Sering sekali orang tidak peduli keberanan jika berhubungan dengan uang.
Jadi bagaimana seharusnya sikap kita? Menjadi kaya tidak salah (band Abraham Kej 13:2; Pkh 5:18), karena merupakan anugerah. Tetapi ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita. Pertama, jangan sampai melekat kepada uang (Maz 62:11b). Kedua, jangan tamak (Luk 12:15). Ketiga, jangan berambisi untuk kaya (Ams 23:4; band 1 Tim 6:7-10; 1 Yoh 2:16).
Hidup tidak tergantung kepada kekayaan tetapi kepada Tuhan (Luk 12:15b, 20). Tipu daya kekayaan itu menghimpit Firman Tuhan (Mat 12:22). Jadi mari kita kaya dihadapan Tuhan (Luk 12:21). Mari kita kaya dalam kemurahan (2 Kor 8:2-3). Jemaat Korintus tidak kaya secara materi tetapi mereka kaya dalam kemurahan. Jika Tuhan memebrikan banyak berkat agar kita bisa menyalurkan kepada orang lain. Lebih berbahagioa orang yang memebri daripada menemerima. Mari kaya dalam kemurahan dan memuliakan Tuhan dengan harta kita (Ams 3:9). Jangan berharap kepada kekayaaan (1 Tim 6:17). Jika kita diberi kekayaan jangan tinggi hati karena Allah adalah sumber harta. Dan jangan berharap kepada kekayaan. Dalam Ams 15:16 dikatakan, “Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan TUHAN dari pada banyak harta dengan disertai kecemasan”. Perhatikan juga Ams 22:1 yang mengatakan bahwa nama baik lebih baik dari kekayaan. Yang kaya jangan bermegah dalam kekayaannya (Yer 9:23-24). Ams 30:7-9 dikatakan, “Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kautolak sebelum aku mati, yakni: Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.” Ini jugalah yang seharusnya menjadi doa kita sebagai orang yang percaya. Jika Tuhan izinkan kita kaya, mari menikmati dan memakainya untuk Tuhan. Jika Tuhan tidak izinkan untuk kaya, mari bersyukur. Satu hal yang paling penting adalah kita menikmati. Orang kaya dengan uangnya bisa membeli makanan yang enak tetapi tidak bisa beli selera makan, mereka bisa membeli kasur yang mahal tetapi tidak tidur yang nyenyak, membayara artis tetapi tidak sukacita. Mari belajar untuk doa seperti Amsal tadi dan denagn demikian kita akan didorong untuk tetap beriman kepada Allah.

No comments: