[Kotbah ini dabawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M. Th pada ibadah Mimbar Bina Alumni Perkantas Medan pada hari Jumat, 13 April 2012]
John Stott pernah menyatakan bahwa biasanya kerja dihubungkan dengan pribadi seseorang. Hal ini bisa kita lihat dalam percakapan ketika kita bertemu dengan seseorang, maka pertanyaan yang keluar pasti “Anda kerja dimana?’. Dan pekerjaan juga sering dihubungkan dengan satus seseorang. Pandangan dunia melihat bahwa semakin tinggi pekerjaan seseorang maka makin tinggi pula penghormatan yang ia terima. Kerja menjadi segala-galanya dalam kehidupan seseorang. Segala sesuatu disubordinasi atau ditundukkan pada pekerjaan sehingga berlaku prinsip ‘your are what your job is’ (George W. Forell). Ini adalah pandangan yang salah. Hal ini menyebabkan pekerjaan menjadi sesuatu yang utama, dimana pekerjaan tersebut bisa kita minder atau sombong. Orang yang seperti ini menganggap kehilangan pekerjaan/jabatan adalah sebuah malapetaka.
Ada beberapa pandangan kontemporer yang lain akan kerja. Ada pandangan yang melihat kerja itu sebagai beban atau kutuk. Pandangan ini membuat seseorang tidak pernah serius kerja, bila seandainya mungkin memilih menjadi pengangguran tetapi dapat hidup lebih baik dan nyaman. Mereka adalah orang yang menikmati akhir minggu tetapi membenci awal minggu. Pandangan berikutnya adalah pandangan yang hanya melihat kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kita harus menyadari bahwa dapat memenuhi kebutuhan hidup bukanlah tujuan kerja, tetapi efek samping dari kerja. Semua orang yang kerja pasti makan. Jika kita bepikir kerja hanya sebatas hidup maka nilai akan kerja yang kita miliki sudah bergeser. Pandangan ini juga membuat kerja itu diarahkan untuk memuaskan hasrat memiliki sampai pada sebuah ketamakan. Kerja berorientasi pada diri sendiri dan pemuasan hasrat. Itulah sebabnya pandangan ini menghasilkan orang-orang yang terjebak dengan kartu kredit sehingga bekerja dengan serius.
Pandangan berikutnya adalah pandangan yang melihat kerja sebagai sebuah keharusan yang tidak terhindarkan. Pandnagan ini menjadikan kerja menjadi sebuah rutinitas yang mekanis dan melahirkan ketertekanan dan tidak dapat menikmati kesenangan atas kerja. Pandangan ini menganggap kerja adalah kodrat manusia sama seperti kodrat ayam yang harus bertelur (H. L Mencken, orang arif dari Baltimore).
Ada juga pandangan yang melihat kerja itu demi kepuasan diri sendiri. Perjuangan untuk memberi kepuasan kepada diri sendiri dalam dunia masa kini merupakan ujung tombak dari suatu revolusi kebudayaan sejati (Daniel Yankelovich). Kerja mengarah pada keasyikan sendiri untuk memuaskan keinginan sebagai pengaruh dari materialisme dan hedonisme. Kerja menjadi memabukkan untuk meraih karir tertinggi dan meraup sebanyak mungkin uang. Orang dengan pandangan seperti ini akan terjebak menjadi seorang yang workaholic.
Ada juga pandangan yang menyatakan bahwa sukses dalam hidup berarti sukses dalam kerja atau sebaliknya gagal dalam kerja berarti gagal dalam hidup. Kesuksesan hidupnya diukur dari kerja dan karir yang ditempuh. Kesuksesan itu ada di kantor atau perusahaan. Mereka akan kehilangan harga diri jika karir tidak naik atau kehilangan jabatan karena aktualisasi dirinya menyatu dengan pekerjaannya. Demi kerja dia merasa sukses meskipun istri dan anak-anaknya terabaikan (kerja adalah perpaduan prestise dan prestasi). Kelompok ini disebut yuppie atau dinks (double income, no kids) yang biasanya workaholic. Ini bukan pandangan yang benar. Kalau dulu kita memiliki posisi yang bagus dan karena ketaatan kita kepada Allah kita kehilangan jabatan, dan turun jabatan, apakah kita orang gagal? Tentu tidak. Dalam pandangan Kristen, kita adalah orang yang berhasil.
Kerja atau pekerjaan dipersiapkan sebagai cultural mandat (Kej 1:28, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."). Allah memerintahkan manusia untuk berkarya. Jadi jika ada manusia yang tidak bekerja itu adalah sebuah hal yang salah. Kerja adalah mandat Allah. Orang yang mengenal Tuhan dengan benar harus memahami bahwa dia bekerja dalam memenuhi mandat ilahi. Manusia bertanggungjawab untuk dunia dan membentuk peradaban dan sejarah (Kej. 4: 17, 20-21; 9: 20). ‘Be cultivated and kept’ mencakup seluruh aspek hidup manusia termasuk ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, seni, literatur, pendidikan, dll, dan semuanya bermuara kepada untuk pemeliharan kesinambungan ciptaan Allah.
Tetapi peristiwa kejatuhan merubah semua itu. Di dalam Kej 2:8-14 adalah kisah taman Eden dengan segala situasinya. Dan pada ay 15 ada mandat yang Allah berikan kepada manusia untuk memelihara taman Eden (kesinambungan dari Kej 1:28). Mandat itu akan digenapi dengan sebuah pernikahan (Kej 2:18) di mana tidak baik jika manusia itu seorang diri dalam rangka menggenapi misi Allah. Dalam konteks inilahpekerjaan harus dilihat sebagai mandat Allah. Tetapi kejatuhan dan manusia kedalam dosa membuat kerja ternodai/terkutuk. Kerja menjadi sesuatu yang penuh dengan masalah dan persoalan. Kemudian lingkungan pekerjaan kita bermusuhan dengan Allah dan sesama. Itulah sebabnya secara etika pekerjaan kita menjadi sulit. Kita mengalami bagaimana susahnya untuk jujur dan memiliki nilai yang benar dalam pekerjaan kita. dunia kerja menimbulkan berbagai pertanyaan akan makna, tujuan, konflik, dan kuasa kerja.
Dosa melahirkan sesuatu yang menyakitkan. Kefanaan masuk ke dalam dunia kerja sehingga pekerjaan kehilangan tujuan semula. Ada yang merendahkan dan memuliakan kerja. Alienasi antara manusia dengan Allah dan dengan sesamanya membuat pekerjaan atau usaha sebagai sumber kesulitan dan penderitaan. Hal ini sering sekali membuat orang tidak menikmati pekerjaannya. Kerja didegradasi menjadi sebuah peluh dan jerih payah (toil ). Dalam Kej. 3: 17-19 Tuhan berkata , ”Lalu firman-Nya kepada manusia itu: "Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” Betul, kita harus bekerja dengan maksimal, tetapi kita juga harus menikmatinya. Ingat, tidak ada kerja yang rendah jika kita mengerjakan dan menaatinya sebagai panggilan. Mari kita menikmati semua jenis pekerjaan yang Tuhan percayakan kepada kita. Tidak ada yang sombong ataupun minder ketika mendapatkan pekerjaan tertentu. Orientasi kerja kita bukan uang. Uang itu akibat, bukan tujuan.
Dosa membuat kerja juga dikondisikan oleh keterbatasan manusia untuk mencapai yang terbaik, sehingga kerja tidak pernah maksimal hasilnya menurut pandangan Allah. Dosa juga membuat kerja menjadi sebuah sumber bahaya dan dehumanisasi (Kej. 4: 23-24). Banyak sekali orang bekerja mengalami dehumanisasi. Salah satu dehumanisasi yang sering dialami pekerja adalah eksploitasi, dimana hak-hak sebagai pekerja tidak dipedulikan. Seringkali juga pekerja itu mengalami overtime tanda diberikan upah dan jenis eksploitasi lainnya.
Kerja dapat menjadi sebuah kompetisi dengan Allah? Ingat kisah menara Babel (dalam Kej. 11: 1-9)? Jangan sampai pekerjaan kita membuat kita tidak bergantung lagi kepada Allah tetapi justru ‘menyaingi’ Allah.
Tetapi, dalam karya Kristus, kerja juga mengalami penebusan. Kerja ditebus dan dipulihkan oleh Allah (bukan hanya dosa yang ditebus oleh Allah), sehingga kerja terintegrasi kepada Allah. Jadi semua profesi kita terintegrasi kepada Allah. Semua kerja dipandang dari kacamata Kristus (bd. Ef. 2: 10; Kol. 3: 17, 23). Kerja bukanlah sebuah beban dan sekedar untuk pemenuhan kebutuhan.
Vocation merupakan keyakinan seseorang akan panggilan dirinya untuk memuliakan Allah melalui profesi yang kita miliki. Apa panggilan kita untuk memuliakan Allah? Apakah kita meyakini bahwa kita jadi PNS, guru, marketing, atau sebagai apapun, apakah sebagai sebuah vocation di mana itu merupakan panggilan Allah bagi kita untuk memuliakan Dia. Inilah yang seharusnya menjadi dasar kita dalam memilih pekerjaan, bukan karena ‘terdampar’.
Calling adalah panggilan Allah bagi manusia untuk mengerjakan mandat ilahi. Memuliakan Allah dari segi vocation, dan untuk mengerjakan misi Allah dari calling. Konsep teologia Lutheran mengatakan bahwa calling dan vocation bagi orang Kristen menuju kepada sebuah kehidupan yang baru di dalam Kristus sehingga maksimal berkarya. Saya berharap tidak ada menganggap kerja sebagai pelarian, dan tidak ada menganggap pekerjaan sebagai sampingan. Pekerjaan adalah karena calling dan vocation. Dengan dasar pemikiran inilah tidak tepat anak-anak Tuhan bekerja dalam semua level kantor tertentu (dalam semua lapangan pekerjaan). Misalnya pabrik minuman keras, pabrik rokok dan marketing rokok. Tidak mungkin bidang ini menjadi calling dan vocation karena dampak produknya itu merusak. Apakah ada diantara kita yang bekerja dalam level seperti ini penting sekali untuk mengevaluasi kembali dasar mengapa dia bekerja di sana. Mari melihat apakah dalam pekerjaan itu kita sebagai sebuah panggilan untuk memuliakan Allah dan apakah itu juga cara kita dalam rangka mengerjakan mandat Allah. Jika iya, lanjutkan, jika tidak, mari segera resign segera mungkin.
Semua kegiatan sehari-hari adalah beruf atau calling (Marthin Luther). Tidak ada yang sekuler dalam hidup orang Kristen (Kol. 3: 17). Tidak lebih rohani orang yang bekerja sebagai pendeta atau penghotbah dibandingkan dengan seorang guru atau marketing. Kita akan lebih rohani jika mengerjakan pekerjaan kita sebagai panggilan atau vocation. Ketika kita mengerjakan pekerjaan kita yang adalah vocation dan calling dengan ketaatan kepada Allah, maka kita lebih mulia dibandingkan dengan pendeta yang tidak mengerjakan tugasnya dengan benar.
Panggilan khusus dalam kerja adalah panggilan ke suatu pekerjaan spesifik, ke suatu pekerjaan yang tidak semua orang dipanggil melakukannya. Karena itu sadari potensi, kemampuan dan talenta agar bisa melihat dengan jelas panggilan Allah akan kerja yang harus kita lakukan.
Marthin Luther menyatakan bahwa panggilan kita datang kepada kita melalui posisi kita (waktu, talenta dari tugas yang terkait dengan posisi kita dalam kehidupan dengan kesempatan-kesempatan yang terbuka di hadapan kita). Dalam creatio continua Allah memanggil manusia dengan upaya (kerja) dalam aneka ragam posisi yang harus manusia emban di dunia ini denagn satu pemahaman yang lapar diberi makan, yang telanjang diberi pakaian, yang sakit disembuhkan, yang tidak berpengetahuan dididik dan yang lemah dilindungi. Dalam rangka inilah ada sebuah vocation dan calling untuk penciptaan yang berkesenambungan.
Melalui kerja yang Allah tugaskan untuk kita lakukan, Allah sendiri sedang melanjutkan kegiatan kreatif-Nya dalam dunia ini melalui profesi yang kita miliki. Melalui pekerja kita (sesederhana apapun itu) Allah memelihara orang lain melalui kita. Inilah misi melalui kerja atau profesi. Mari menyadari hal ini agar orientasi kita bukan uang atau karir tetapi misi Allah yang kita kerjakan melalui profesi kita. Dengan kerja kita mengokohkan posisi unik manusia sebagai wakil Allah di bumi ini sebagai pengelola dan penatalayanan karunia dalam ciptaan Allah yang ditujukan untuk kesejahteraan semua orang. Itulah sebabnya kita tidak sembarangan memilih pekerjaan tetapi di dasari oleh vocation dan calling kita masing-masing.
Kerja dengan prinsip ini maka pekerjaan itu memiliki nilai intrinsik (semua pekerjaan ada kaitan dan sumbangsihnya dengan rencana dan kerja Allah). Apapun profesi kita, jika itu ada di dalam vocation dan calling, maka profesi itu memiliki kaitan dengan rencana dan kerja Allah. Orientasi kerja bukan kepada produksi (hasil), kompensasi (income), prestis dan prestasi tetapi kepada Allah dengan memberi yang terbaik (Kol. 3: 23; Ef. 6: 5-9). Vocation and calling dalam kerja kerja untuk menghadirkan Kerajaan Allah (service), supaya manusia lebih sejahtera dan bermartabat yang kemudian memuja Allah.
Mari memiliki pemahaman ini agar kita bisa bekerja dengan baik. Mari mengevaluasi dan mendoakan pekerjaan kita sekarang agar bisa menjadi vocation dan calling yang Allah berikan kepada kita. mari kita memberi yang terbaik dalam pekerjaan. Jika konsep ini (Vocation dan Calling) jelas, kita tidak akan perlu terlalu berjuang dalam menghadapi etika dalam kerja, karena dengan dasar yang jelas kita berani menerima konsekuensi apapun karena kita sedang mengerjakan misi Allah.
No comments:
Post a Comment