Friday, January 23, 2009

[Seri Holiness 01]: The Meaning of Holiness

[Kotbah ini merupakan bagian pertama dari seri Holiness yang dibawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div]

Topik pada seri kekudusan yang pertama pada hari ini adalah The Meaning of Holiness. Kekudusan yang akan kita pelajari tidak akan menyinggung mengenai the Holiness of God, tetapi lebih banyak berbicara mengenai kekudusan umat Allah.

Dalam bahasa Ibrani, kata kudus, kekudusan, dan kesucian bisa berarti dua hal. Pertama, dipisahkan, dikhususkan untuk Allah. Hal berbicara dari segi posisi, status, dan satu hal, bisa manusia, benda, dan acara. Jadi artinya, dalam bahasa Ibrani ini diterjemahkan dengan pemahaman ada satu tindakan Allah yang mengkhususkan atau memisahkan satu status seseorang bagi Dia untuk kehormatan dan kemuliaanNya. Kedua, adalah kesucian dan kecermelangan, yang berarti satu keadaan yang progresif atau proses dari hari ke hari semakin bertumbuh dan lebih baik. Ini menuju pada satu kesempurnaan.

Jadi mengacu pada pemahaman yang pertama dari arti kudus atau kesucian, bila kita mau lihat dalam konteks PL, itu bisa sesuatu atau seseorang yang dikuduskan (dikhususkan) oleh Allah. Misalnya, setelah Allah menciptakan, maka Allah berkata: “Kuduskanlah hari Sabat”. Jadi Sabat dikhususkan bagi Allah. Inilah dalam arti yang pertama. Jadi kekudusan, yang dikatakan pemisahan atau dikuduskan bagi Allah, salah satu contohnya adalah hari Sabat. Ini adalah pemahaman yang pertama. Mari perhatikan disini! Jangan dianggap ada perbedaan antara kekudusan dalam PL dan PB. Hanya saja di dalam PL lebih mengarah kepada seremonial dan ritual, oleh sebab itu sangat sarat dengan benda-benda, tempat, dan waktu. Oleh sebab itu di dalam Keluaran 3, ketika Musa berada di gunung dan bertemu dengan Allah, Allah berkata : “Jangan masuk, tanggalkan dulu kasutmu, karena tempat ini kudus.” Artinya ada satu pengudusan oleh Allah. Dalam Kel 12 juga ada konteks kekudusan dimana setelah Allah membebaskan Amat Israel, maka Allah mengatakan bahwa umat itu adalah satu yang sakral, suci, umat Allah, yaitu Israel yang dipisahkan dan dikhususkan oleh Allah (band Imamat 11:44). Mari kita perhatikan sifat yang kedua dari kekudusan, yang dikatakan satu pencerahan atau kecemerlangan atau kesucian atau penyucian. Kalau kita lihat walaupun di PL sangat sarat dengan hal-hal yang menyangkut acara, tempat atau sesuatu dalam konteks ritual atau ceremonial, tetapi hal itu tidak mengabaikan kekudusan batiniah yaitu hati dan hidup. Oleh karena Allah yang transenden dan immanen, maka kekudusan menuntut orang yang percaya kepadaNya harus hidup dengan tuntutan yaitu status hidup yang kudus. Jadi artinya, agar Allah yang immanen dan transenden, dan suci itu, bisa memiliki satu relasi yang baik kepada umatNya, atau umatNya untuk bisa datang kepadaNya, atau untuk dekat kepadaNya, maka manusia atau umat Allah harus hidup di dalam kekudusan. Itu sebabnya kalau kita perhatikan di dalam Mazmur 24 ; 3-4, pemazmur mengatakan bahwa orang yang bisa naik ke gunung Tuhan dan tempat kudus adalah orang yang murni hatinya. Jadi Allah yang kudus itu, walaupun ada sifat seremonial di dalamnya, tetapi juga sekaligus menuntut kesucian batiniah. Hal ini sangat penting. Maka di sepanjang PL, Allah sangat murka ketika Israel berdosa. Allah menyatakan hukumanNya ketika Israel melanggar kebenaran Firman Allah. Itu sebabnya seluruh aspek hidup umat Allah di dalam PL sama dengan konteks PB. Allah menuntut suatu hidup yang kudus. Jadi semua hal yang mereka lakukan bersifat kultus, artinya ada sesuatu yang dikhususkan bagi Allah. Ini adalah konteks PL.

Di dalam PB, walaupun dikatakan sama dengan yang di PL, ada beberapa penekanan. Pertama, kata kerja menguduskan dalam PB sama sifatnya dengan yang di PL, yaitu bersifat seremonial dan ritual pun dianggap sebagai cara untuk hidup di dalam kesucian. Artinya bukan berarti tindakan ritual di dalam PB tidak dianggap suci. Hanya ada beberapa perbedaan. Bila kita perhatikan apa yang dilakukan di PL itu banyak sebagai tuntutan hukum taurat, tetapi di dalam konteks PB, hal itu adalah sebagai ungkapan daripada anugerah yang telah dialami umat Allah. Hal-hal seremonial yang kultus di PLadalah sebagai cara manusia untuk menghampiri Allah, untuk kegenapan taurat. Tetapi di dalam PB hal itu adalah sebagai ungkapan atas anugerah Allah yang telah mebenarkan mereka. Kedua, kata kekudusan di dalam PB dimengerti atau dihubungkan dengan dua hal. Pertama adalah pembenaran dan kedua berbicara tentang kesucian atau penyucian.

Bila kita berbicara soal pembenaran, dalam konteks PB, kata dibenarkan dan dikuduskan itu sejalan. Benar dan suci juga sejalan, satu arti. Maka dalam telogia PB, Paulus sangat menekankan hal ini. Maka kekudusan yang dipandang oleh Paulus yang pertama itu adalah tindakan Allah yang membenarkan ataupun umat Allah yang dibenarkan oleh Allah di dalam Kristus. Bila kita perhatika dalam I Kor 1:2, ”...yaitu mereka yang dikuduskan dalam Yesus Kristus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus...” Perhatikan kalimat ’mereka yang dikuduskan’ dan ’ dipanggil menjadi orang-orang kudus’. Jadi secara teologia, orang yang ’lahir baru’, yang sungguh-sungguh percaya kepada Kristus adalah orang yang suci dihadapan Allah. Kita adalah orang yang kudus, dibenarkan dan dikuduskan oleh Allah. Jadi pengertian kata kekudusan atau the holiness of life adalah, yang pertama adalah dalam status, orang yang percaya di hadapan Allah, adalah orang yang kudus.

Mari kita lihat bagaimana kekudusan itu terjadi. Paulus menggambarkan pembenaran yang ada di dalam Kristus sekaligus seperti seperti yang ada pada I Kor 1:2 tadi. Disana dikatakan bagaimana kekudusan/pengudusan itu terjadi di dalam Kristus. Tetapi perhatikan hal selanjutnya ’dipanggil menjadi orang-orang kudus’, artinya kekudusan berdasarkan pda satu panggilan Allah. Itu sebabnya bila kita perhatikan, kita ini adalah orang-orang kudus, tetapi sekaligus belum kudus. Jadi secara status di hadapan Allah, kita ini adalah orang-orang kudus karena kita sudah dibenarkan dan disucikan oleh Allah, orang yang benar yang hidup di dalam kesucian oleh Allah. Mungkin kita pernah mendengar kalimat bahwa kekudusan umat Allah atau orang yang telah lahir baru adalah kekudusan yang already but not yet - sudah tetapi belum. Artinya secara status kita sudah benar dan suci. Oleh sebab itu Paulus berkali-kali mengatakan di dalam suratnya kepada orang suci, umat Allah,orang kudus yang berada di dunia. Hal ini menimbulkan pertanyaan. Bisakah mereka dikatakan kudus padahal masih di dunia? Bisa, secara status kita adalah orang yang kudus, tetapi belum. Di dalam pemahaman inilah kekudusan menjadi milik semua orang percaya. Setiap orang yang sudah lahir baru adalah orang yag sudah kudus di hadapan Allah melalui Yesus Kristus.mari kita lihat I Kor 1:30b, ”Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita.” Artinya kekudusan, yang pertama, hanya bisa terjadi di dalam Allah melalui pembenar atau penyucian. Inilah yang disebut dengan Positional Santification. Karena pembenaran dan pengudusan maka kita bisa diselamatkan dan bisa datang kepada Allah. Oleh pembenaran itu jugalah kita memiliki jaminan keselamatan. Kekudusan di dalam positional santification sifatnya monergis, artinya mutlak karya dan perbuatan Allah. Jadi apa yang Allah kerjakan bagi kita secara monergis, membuat kita jadi orang suci. Bila kita berdosa setiap hari, kita memiliki status bahwa kita ini adalah orang yang telah disucikan oleh Allah. Dan hal ini terjadi bukan terjadi karena usaha kita. Mari kita perhatikan Roma 3:24, dikatakan dibenarkan oleh kasih karunia secara Cuma-Cuma melalui iman di dalam kasih. Dalam ayat ini juga dikatakan bahwa kita dibenarkan karena kasih karunia dan itu sifatnya cuma-cuma dan terjadi di dalam Kristus. Inilah yang disebut dengan positional santification. Tetapi jangan salah, bila kita perhatikan di dalam hal yang berikutnya, PB juga menekankan pada kesucian atau perubahan moral dan spritual sebagai satu panggilan Allah. I Petrus 1;15 mengatakan ”hendaklah kamu kudus di dalam hidupmu sama seperti Dia yang kudus,...”

Yang kedua arti kekudusan dalam PB adalah ada satu perubahan spritual dan moralitas. Kepada jemaat di Tesalonika (I Tes 4:3), Paulus menekankan agar mereka menguduskan atau berusaha untuk hidup kudus dan menjauhkan segala pencemaran. Apa yang mau dikatakan Paulus artinya adalah satu hal. Kekeudusan atau hidup yang kudus secar status seharusnya disertai dengan gaya hidup yang suci secara etis. Yang mau ditekankan disini adalah ada satu penyucian hidup dari hari ke hari secara praktis yang didasarkan kepada penyucian secara posisi di hadapan Allah. Supaya ada kesejajaran antara status yang sudah suci dengan status yang masih dalam proses penyucian. Sering sekali orang menikmati kesucian secara status tetapi kurang menikmati kesucian di dalam progres dari hari ke hari. Oleh sebab itu, di dalam PB, dua hal ini ditekankan sekaligus. Bil agaka kita sudah dikuduskan oleh Allah, maka harus ada kekudusan yang progresif dari hari ke hari. Alkitab tidak menuntut kekudusan legalis, seremonial, dan fenomena. Alkitab justru menuntut kekudusan yang freewill, statusnya yang kudus dan hidupnya yang kudus.

Bila kita perhatikan, terkadang agak sulit membedakan mana yang Kristen dan yang tidak di dalam keseharian kita. Dimana yang salah? Kekudusan dalam arti penyucian. Artinya ketika kita mengaku sebagai seorang yang telah dibenarkan dan lahir baru, tetapi tidak masuk dalam satu proses penyucian atau kekudusan yang kedua dalam arti progresif. Di sinilah banyak anak Tuhan yang gagal, termasuk alumni. Itu sebabnya kekristenannya fenomena. Terkadang yang kita rubah adalah otang yang tidak berdoa jadi berdoa, tidak saat teduh jadi saat teduh, tidak ke gereja jadi kegereja tetapi esensi hidup bisa dikatakan hampir tidak berbeda. Bila ini terjadi, akan menjadi sesuatu yang sangat membahayakan. Di dalam teologi PB, Allah menekankan dua sisi ini, yaitu kekudusan yang berarti pembebasan dari kuasa dosa dan disinilah pentingnya dimensi etis. Jangan heran bila banyak orang dari segi teologianya bagus tetapi etika hidupnya tidak bagus, cara bicara, pacaran, kerja, dll. Ini bukti satu kegagalan kesucuian dalam arti yang progresif. Yang mau ditekankan adalah progressive santification.

Progresif Santification ini bersifat sinergis artinya ada keterlibatan/kerjasama antara Allah dengan kita. Walaupun untuk berkemenangan dari dosa, itu pun adalah anugerah Allah. bila kita perhatikan di dalam Fil 2:13 bahwa Allah yang mengerjakan di dalam kita. Jadi untuk menang dari dosa, itu adalah anugerah Allah, tetapi sinergis, artinya anda dan say tidak pernah menang dari dosa manapun jika kita tidak memiliki komitmen, ambisi, penyerahan, dan mau menyangkali diri. Kenapa orang selalu gagal dalam hal perubahan karakter, cara hidup, dsb, salah satu dan yang utama adalah tidak mau mati untuk keakuan. Selalu PA, pelayanan, tetapi hidupnya tidak berubah. Bukannya hidupnya makin indah di hadapan Allah. Kekudusan yang dimaksud oleh Allah adalah kekudusan yang pararel antara yang positional dengan yang progressive. Jadi pembenaran dan penyucian sejalan dan beriringan atau penyucian menyempurnakan pembenaran yang sdah dilakukan oleh Allah, agar sejalan dengan apa yang dialami oleh orang percaya. Bila kita perhatikan di negara ini, orang sering bila berbicara menggunakan nama Tuhan, tetapi apakah ketika dia berbicara dan menyebut nama Tuhan di dalamnya maka di memiliki hidup yang suci? Belum tentu. Makanya progressive sanctification sangat dibutuhkan dan ini khususnya bagi kita yang percaya kepada Kristus, agar kita bisa hidup di dalam kesucian yang sesungguhnya dan ini berbicara tentang hidup sehari-hari. Dalam progressive sanctification, kita berjuang melawan kedagingan, iblis, dan pencobaan. Kadang-kadang kita kalah. Karena itu, Paulus di dalam kitab Roma 7 mengatakan bahwa manusia batinlah yang ebrjuang untuk benar, tetapi manusia daging dapat ditaklukkan. Memang di dalam progressive sanctification ini, mau tidak manusia harus berjuang. Tidak ada satu orang pun yang menang tanpa perjuangan.

Itu sebabnya kehidupan Kristen itu seringkali fluktuatif. Kadang ada masa dimana kita menang, tetapi ada juga masa dimana kita lemah dan kalah. Tetapi ingat ada satu pengudusan progresif yang menjadikan kita suci. Ingat, jika dalam kesucian arti suci dalam konteks pembenaran, terjadi sekali utnuk selamanya. Tetapi kekudusan dalam artian penyucian yang progresif, tidak akan pernah sekalipun sempurna kecuali setelah kita bertemu dengan Tuhan Yesus (I Yoh 3:2-3). Itu sebabnya orang yang menaruh pengharapan kepadaNya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci. Pada ayat ketiga ada satu dorongan dan pengajaran agar kita hidup dalam kesucian dari hari ke hari. Tetapi semua akan sempourna bila kita telah bertemu dengan Yesus.

Sejauh manakah ruang lingkup dari dari kesucian?
Kekudusan bersifat total, bukan segmental atau parsial. Tetapi kekudusan secara menyeluruh dan totalitas diri, artinya semua aspek kehidupan kita telibat dan harus ikut di dalamnya.
Jadi yang pertama adalah soal renewal of mind. Bila kita perhatikan Roma 12;2 mengatakan bahwa akal budi yang tujukan kepada Kristus adalah cara hidup yang suci dari pikiran-pikiran. Bila kita perhatikan, kenapa Paulus menekankan soal renewal of mind ini adalah karena sangat besar pengaruhnya. Apa yang dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga akan menghasilkan apa yang akan kita pikirkan. Jadi kita harus menundukkan pikiran kepada Kristus (Fil 4:8). Seorang filsuf berkata bahwa bila seseorang dapat menguasai pikirannya, maka dia akan menguasai hidupnya. Yang kedua, Yesus berbicara tentang renewal of hearts. Di dalam Mar 7:21-23, dikatakan bahwa dari dalam hati timbul segala perbuatan. Makanya dua hal ini sangat penting dalam progressive santification di dalam hidup suci. Kita harus menjaga kesucia hati. Beriman itu adalah hati, jadi perlu da penting sekali menundukkan hati kepada Kristus. Bagaimana kita menun dukkanhati kita kepada Kristus? Ini bukan teori, tetapi latihan yang sungguh-sungguh. Yang ketiga adalah the whole body. Dalam I Kor 6:13b, dikatakan bahwa tubuh ini untuk Allah bukan untuk kenajisan atau percabulan. Karena itu pada ayat 19-20 ditekankan bahwa tuguh adalah bait Allah. Kerena itu juga kita harus memuliakan Allah dengan tubuh kita. Sejauh mana kita memahami kesucian dalam arti seluruh tubuh?

Kita tidak memiliki standar ganda. Bila hari minggu atau MBA, kita hidup benar tetapi pada hari lain kita kembali ke ‘habitat’ kita masing-masing. Oleh sebab itu ada satu totalitas being gradually transformed di hadapan Allah. secara gradual kita di transformasi, dirubah, diperbaiki setiap hari. Mengetahui banyak khotbah, atau memimpin banyak kelompok PA tidak identik dengan kekudusan. Tetapi kekudusan mengubah hidup dan dimensi etis. Kita akan menjadi umat Allah yang suci yang tidak bercela dan bernoda di hadapan Allah (Ef 5:27). Bila kita menguduskan diri kita dari hal-hal yang jahat, Allah sekaligus menguduskan kita dan disinilah Allah memakai kita sebagai alat atau perabot untuk tujuan yang mulia. Karena itu, mari kita berusaha dan berambisi untuk hidup suci. Bagaimana cara menikmati kesucian? Mengacu kepada pada Mark 8:36, ada dua hal, yaitu: (1) Self Denial, mati untuk keakuan dan hidup bagi Kristus, (2) Rela hidup menderita karena kebenaran. Tetapi semuanya dirangkumkan dalam Gal 5:24-25, ”Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh.” Hidup oleh Roh itu lahir baru dan berbuah kepada kebenaran. Hidup oleh Roh itu belum tentu hidup dipimpin oleh Roh. Tidak mungkin orang yang dipimpin oleh Roh sakit hati, pikiran kotor, dll. Kekudusan hanya bisa terjadi bila kita menundukkan, menyerahkan diri pada pimpinan Roh. Karena itu the holiness of life akan terjadi bila kita yang sudah hidup oleh Roh mau hidup dipimpin oleh Roh.

Soli Deo Gloria!

No comments: