Tuesday, April 24, 2012

Seri Love 4: Resolving Confict in God's Way

[Kotbah ini dibawakan oleh Lenny Sitorus, MK pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat 30 Maret 2012]

Ada sebuah fakta yang harus kita ketahui bersama bahwa tidak ada satu orang pun diantara kita yang terbebas dari konflik atau tidak seorang pun diantara kita yang tidak pernah mengalami konflik. Konflik bisa terjadi karena konsep yang kita miliki tidak sama dengan keadaan yang kita alami. Dengan kata lain konflik itu terjadi karena adanya perbedaan. Tetapi walaupun demikian hal ini tidak menjadi alasan untuk menyamakan setiap perbedaan yang ada. Kita bisa berbeda dengan orang lain tetapi sepakat untuk berbeda, maka tidak akan terjadi konflik. Konflik itu akan terjadi jika perbedaan itu belum disepakati.

Konflik terjadi pada setiap orang karena kita sebagai manusia selalu berelasi dan berhubungan dengan orang lain disekitar kita, apakah di jalan, di tempat kerja, di rumah, maupun di tempat-tempat lain. Semakin banyak orang yang kita temui semakin banyak kemungkinan konflik yang akan kita alami. Apakah hal ini berarti kita tidak perlu bertemu dengan orang-orang? Tentu tidak. Kita tidak bisa menyelesaikan satu konflik jika kita tidak pernah mengalami konflik. Itulah sebabnya mengalami konflik adalah sesuatu yang harus kita syukuri. Kita bisa belajar dari satu konflik yang kita alami. Ada banyak orang yang tidak pernah bertumbuh walaupun mengalami banyak konflik. Hal ini terjadi karena mereka tidak pernah belajar dari konflik itu. Penyelesaian konfliknya bukan dalam God’s way tapi my way. Kita harus memahami bahwa ujung dari konflik adalah pembentukan karakter. Jika kita tidak mau menyelesaikan konflik dengan cara Tuhan maka kita tidak akan bisa sampai pada pembentukan karakter tersebut.

Ada dua hal yang diperhatikan dalam setiap konflik. Pertama adalah agenda yang meliputi tujuan, harapan, citat-cita, dan kerinduan. Kedua adalah manusia atau relasi. Dalam setiap konflik kedua hal ini yang akan diutamakan. Misalnya, sepasang suami isteri ingin makan malam di luar. Si isteri ingin makan sate kambing sedangkan si suami ingin makan pizza. Ada perbedaan dan ada konflik di sana. Kalau si suami adalah orang yang mengutamakan agenda (tujuan), maka si suami tidak akan mempermasalahkan mau makan apa. Tujuannya adalah makan dan kenyang. Oleh akrena itu si suami akan mengalah dan mengikuti keinginan si isteri. Atau bisa saja dengan jalan lain yaitu mereka pisah dan pergi ketempat makan masing-masing. Tetapi jika suami mengutamakan relasi (manusia), maka suami akan mengalah dan pergi ikut makan sate kambing dengan isterinya dan berpikir makan pizza bisa dilakukan lain waktu. Jadi, inilah dua hal dalam konflik, agenda dan relasi. Mana yang akan kita utamakan? Dalam setiap konflik tidak ada keharusan memilih cara-cara tertentu. Tergantung dari situasi, kondisi, maupun harapan, apa yang mau didahulukan, keterbatasan waktu, keterbatasan uang, dll.

Mari belajar dari dua tokoh alkitab mengenai konflik, yaitu konflik antara Abraham dan Lot (Kej 13:1-11) dan kedua, antara Paulus dan Barnabas (Kis 15:35-41).

Abraham dan Lot (Kej 13:1-11)
Sebenarnya Abram dan Lot tidak berkonflik secara langsung. Konflik terjadi di antara gembala mereka. Tentu saja hal ini berhubungan dengan mereka. Konflik terjadi karena mereka memiliki banyak sekali harta sehingga tanah yang ada tidak cukup bagi seluruh harta mereka ini. Terjadilah konflik diantara para gembala. Konflik ini kemudian mendorong Abraham menjumpai Lot dan berdiskusi.

Jalan keluar yang ditawarkan Abraham kepada Lot adalah berpisah. Tentu saja keputusan berpisah ini memiliki konsekuensi yaitu perpecahan dalam keluarga. Bisa saja keluar yang diambil adalah mereka mencari daerah yang lebih luas yang bisa menampung semua harta mereka. Tetapi dalam kasus mereka Abram memutuskan berpisah. Segala resiko yang akan terjadi sudah dipertimbangkan Abraham dan itulah sebabnya Abraham memberikan kesempatan bagi Lot untuk memilih duluan tanah yang diinginkannya. Kemudian kita ketahui bahwa Lot memilih daerah yang paling subur, di daerah Sodom dan Gomora.

Apa yang diutamakan Abram adalah mengutamakan agenda. Abraham tidak ingin pertengkaran itu menghalangi tujuannya yang utama yaitu menaati perintah Tuhan untuk pergi ke negeri yang Tuhan janjikan kepadanya.

Walaupun Abram dan Lot berpisah, mereka tidak kehilangan kekerabatan. Pada waktu itu, apa yang Abraham putuskan adalah yang terbaik. Karena kita tidak mengetahui dengan jelas sebenarnya bagaimana keadaan daerah dimana mereka tinggal. Sering sekali, atau banyak sekali konflik itu dapat diselesaikan dengan mengurangi kadar persahabatan. Ada hati yang sudah terluka. Namun kelanjutannya apakah semakin renggang dan semakin dekat tergantung kepada apakah kedua-duanya masih ada di dalam jalan Tuhan. Jika kita menyelesaikan sebuah konflik dan kita merasa kurang nyaman dengan dirinya, itu adalah hal yang biasa. Tetapi apakah untuk ke depannya akan tetap demikian, itu tergantung dari dalam diri kita sendiri dan orang itu.

Paulus dan Barnabas (Kis 15:35-41)
Barnabas dan Paulus adalah tim yang sangat kompak dan banyak melakukan perintisan ke banyak daerah. Konflik disini terjadi karena Barnabas ingin mengajak kembali Yohanes Markus agar bersama-sama dengan mereka mengunjungi daerah-daerah yang pernah mereka rintis. Tetapi Paulus menolak karena Yohanes Markus pernah meninggalkan mereka (Kis 13:13). Ada tafsiran yang mengatakan bahwa Yohanes Markus pulang karena rindu kampung halaman. Tafsiran yang lain mengatakan bahwa Yohanes Markus pergi karena dia melihat Paulus sudah berlagak menjadi pemimpin, padahal pemimpinnya seharusnya Barnabas. Dalam perjalanan ini Yohanes melihat Paulus sudah mulai vokal dan menjadi pengambil beberapa keputusan. Yohanes mulai tidak nyaman dengan Paulus yang berapi-api dan blak-blakan dalam bicara walaupun yang Paulus bicarakan benar adanya. Banyak orang yang tidak menerima karakter demikian, termasuk Yohanes Markus ini yang akhirnya membuat dia pulang.

Ketidak setujuan Paulus mengajak Yohanes Markus bergabung dengan mereka menyebabkan pertentangan dan konflik antara dia dan Barnabas dan akhirnya mereka sepakat untuk berpisah. Barnabas dengan Yohanes Markus dan Paulus dengan Silas.

Dari kedua konflik yang terjadi di atas, baik antara Abram dan Lot maupun Paulus dan Barnabas, kita melihat bahwa keputusan mereka adalah berpisah. Memang demikian bahwa tidak selamanya konflik itu harus diselesaikan dengan cara kita tetap bersama-sama. Jika terjadi perpisahan, itu adalah hal yang wajar. Persahabatan yang tadinya sangat dekat, kerjasama yang begitu erat dalam sebuah pelayanan akhirnya berakhir. Tetapi, jika kita cermati, misalnya dalam kasus Paulus dan Barnabas, apakah persahabatan antara dua belah pihak dalam kasus di atas berakhir? Saya kira tidak demikian. Karena setelah itu, pada bagian surat-suratnya, Paulus menyebutkan Barnabas sebagai rekan sekerja, sebagai rasul yang perlu dipertimbangkan,dan sebagai orang yang mendukung hidupnya. Bahkan yang lebih istimewa adalah rekonsiliasi antara Paulus dan Yohanes Markus terjadi. Paulus menyebutkan Yohanes Markus dalam akhir-akhir hidupnya. Dalam 2 Tim 4:11b dikatakan, “Jemputlah Markus dan bawalah ia ke mari, karena pelayanannya penting bagiku”. Diakhir hidupnya Paulus banyak menyebutkan orang-orang yang dirindukan dan benda-benda yang istemewa baginya, dan Markus adalah termasuk orang yang dirindukan.
Hal yang kedua dari perpisahan dalam kasus Paulus dan Barnabas adalah jika seadainya Yohanes Markus jadi ikut bersama dengan mereka, bisa jadi Yohanes Markus tidak akan berkembang sebaik dia bersama-sama dengan Barnabas saja, karena rasa kurang nyaman terhadap Paulus akan karakternya. Perpisahan mereka akhirnya menghasilkan dua tim yang menghasilkan lebih banyak orang yang bisa mereka layani. Apakah keputusan mereka berpisah beresiko? Sangat beresiko karena mereka berdua diutus untuk bersama oleh jemaat (Kis 12-13). Kalau perpisahan mereka di dengan oleh jemaat yang mereka utus, kita bisa menebak apa yang akan menjadi respon jemaat itu.

Kita belajar dalam dua kasus di atas bahwa ada kesepakatan. Mereka duduk bersama dan berbicara. Ada banyak sekali konflik yang tidak pernah duduk bersama untuk dibicarakan. Ego selalu menang untuk mendiamkan masalah atau konflik yang ada. Ego ini menempati banyak tempat, sehingga kasih hanya menempati sebagian kecil dari tempat yang ada. Ego itu manusiawi, tetapi jangan berlama-lama disitu. Mari duduk sama dan membicarakannya. Mari berdamai dulu dengan diri kita, siapkan hati untuk berbicara. Dengan duduk dan membicarakannya maka kita bisa mengetahui duduk persoalannya dengan lebih baik. Sering sekali konflik itu melebar karena tidak pernah dibicarakan. Mari melihat konflik jangan hanya dari kita. Mari melihat dari dua sisi. Jika kita hanya melihat dari sisi kita, maka keputusan yang kita ambil akan menjadi berat sebelah karena hanya akan menguntungkan pihak kita saja atau menyenangkan hati kita saja, yang lainnya sakit hati.

Ada lima gaya manajeman konflik, yaitu:

  1. Integrating atau gaya Kancil. Kita mengumpulkan ide dari beberapa orang kemudian kita integrasikan dan mencari mana yang paling tepat untuk dilakukan. Jika kita ingin mengambil penyelesaian masalah dengan gaya kancil ini, maka kita membutuhkan waktu lebih banyak. Ada konflik-konflik yang harus diselesaikan dengan cepat. Saat ini juga harus selesai, dan tidak mungkin mencari ide dari benyak orang dalam waktu yang singkat.
  2. Obliging atau gaya Burung Hantu. Ini adalah gaya dimana kita bersikap mengalah dan membiarkan pihak lain yang menang. “Udalah… biar aja!” adalah ungkapan yang sering dikatakan. Atau bisa juga dengan menyelesaikan konflik dengan gayanya dia. Biasanya gaya orang ini adalah mengutamakan agenda (tujuan).
  3. Dominating atau gaya Ikan Hiu. Jadi gaya yang berifat menguasai dan mengatur. Mirip seperti bos di kantor. Paulus adalah salah satu yang memiliki gaya yang seperti ini.
  4. Avoiding atau gaya kura-kura. Jadi, jika ada masalah maka seseorang akan bersembunyi dan berusaha menghindari konflik tersebut. Menganggap tidak ada masalah dan berpikir dengan berlalunya waktu akan selesai sendiri. Ada konflik yang bisa diselesaikan dengan cara seperti ini.
  5. Compromising atau gaya rubah. Prinsip ini menerapkan mutualisme atau win-win solution. Tidak semua konflik bisa memakai gaya ini. Tidak semua orang bisa diuntungkan dengan pemecahan konflik ini.

Ada beberapa hal yang baik yang bisa kita lakukan dalam menyelesaikan konflik.

  1. Be specific. Setiap kali kita bicara mari membicarakannya dengan spesifik. Jangan men-generalisasikan semua permasalahan. Hindari berkata “Kau selalu meninggalkan barang-barang berantakan!”. Kalimat yang paling tepat adalah “Tolonglah kembalikan gunting yang kamu pakai ke tempatnya.” Ini adalah spesifik. Kita sering berkata “Kasarkali kamu kalau bicara!” Tetapi kalimat yang lebih baik adalah “Saya kurang suka tadi dengan cara mu berbicara. Agak kasar saya dengar.” Ini adalah contoh yang pembicaraan yang spesifik. Kalau ada masalah, spesifiklah untuk masalah itu.
  2. I statement. Selalu ungkapkan sesuatu dengan ‘saya’, misal ‘saya tidak suka’ atau ‘saya kurang suka’. Kalimat yang baik adalah ‘Menurutku, kamu jarang mendengarkan aku bicara.’ , daripada kita mengatakan kepada dia tidak pernah mendengarkan orang lain berbicara.
  3. Tell what you feel. Jangan katakan kesalahan orang, tetapi katakanlah apa yang anda rasakan. Kalimat yang biasa kita pakai adalah ‘Janganlah begitu caramu memperlakukan orang’. Coba memakai kalimat yang lebih baik, ‘Aku marah kalau kau perlakukan seperti itu.’
  4. Self Control. Sampaikan emosi secara terkendali. Ketika Yesus marah karena tempat suci dijadikan ajang menjual barang. Yesus membalikkan semua dagangan. Para pedagang bisa tersinggung dengan perilaku Yesus. Tetapi, coba perhatikan kalimat yang keluar dari Tuhan Yesus. Mark 11:17, “Lalu Ia mengajar mereka, kata-Nya: "Bukankah ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun!” Ada pengajaran yang Yesus tempatkan dalam kalimat-Nya. Yesus tidak lepas kendali ketika marah pada situasi tersebut. Oleh sebab itu, mari belajar menyampaikan emosi dengan terkendali dan dengan alasan yang jelas.
  5. State of Affirmation. Mengemukakan alasan yang spesifik dan tepat. Misal, ‘Aku marah kepadamu karena aku sayang kepadamu lho.’ Sebutkan kalimat-kalimat atau alasan-alasan yang positif sehingga orang lain memahami mengapa kita marah.
  6. Apakah kita meminta maaf ketika kita salah dan apakah kita memafkan orang yang salah kepada kita. kita bisa belajar dari apa yang Tuhan Yesus ajarkan dalam Mat 5:23-25. Dikatakan di sana, “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara”. Berdamailah! Mari kita meminta maaf kepada orang lain dan kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Apakah ada kesalahan orang lain yang tidak bisa kita ampuni? Ingatlah, begitu besar kesalahan kita, tetapi Tuhan mengampuni semua kesalahan dan pelanggaran kita. Berikanlah maaf. Dalam Kol 3:13 dikatakan, “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian”.
  7. Banyaklah berdoa. Berdoa menolong kita peka terhadap kehendak Tuhan. Sering sekali kita tidak bisa menyelesaikan konflik karena kita tidak tahuapa yang menjadi kehendak Tuhan. Ingat, dalam setiap konflik yang kita alami selalu berujung kepada pembentukan karakter. Ada saat kita mengalah, tetapi ada juga saatnya kita yang menang. Ada saatnya kita dirugikan, tetapi ada juga saatnya kita diuntungkan. Apapun yang kita alami, jika kita menyelesaikan konflik dengan cara Tuhan maka akan selalu berujung kepada pembentukan karakter kita, apakah dalam hal kasih, belajar mengampuni orang, dll.


Mari kita menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang Tuhan kehendaki. Kasih adalah yang terutama. Kita juga harus menyediakan pengampunan sebanyak-banyaknya. Kalau hal ini ini tidak ada maka menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang benar dan baik adalah sesuatu yang sulit. Ingat, selalu selesaikan konflik dalam cara Tuhan – resolving conflict in God’s way.
Solideo Gloria.

No comments: