Saturday, July 20, 2013

Efesus Pasal 6

Drs. Tiopan Manihuruk, M. Th


Minggu yang lalu kita telah membahas mengenai alasan mengapa Paulus menempatkan relasi suami isteri yang pertama setelah praktika-praktika etis. Pertama, karena keluarga lembaga pertama yang Allah bentuk (Kej 1:38; 2:8-25). Kedua, latar belakang jemaat Efesus yang biasa dengan poligami. Ketiga adalah karena keluargalah yang merupakan pusat pembentukan sebuah cara hidup dan relasi dalam pertumbuhan individu. Jika relasi antara suami isteri adalah relasi yang sehat dan relasi yang dibangun dalam takut akan Tuhan biasanya anak-anak mereka akan bertumbuh dengan lebih baik.

Kemudian pada pasal 6 ini Paulus memulai dengan relasi anak dengan orangtuanya. “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu -- ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi” (1-3). Dalam bagian ini kita melihat ada satu perintah yang dikondisikan, ‘taatilah orangtuamu di dalam Tuhan. Artinya adalah selama apa yang diperintahkan orangtua kepada anak-anaknya adalah sesuatu yang sesuai dengan kehendak Tuhan, maka sang anak wajib menaatinya. Sebaliknya jika tidak sesuai dengan kehendak Allah, si anak tidak wajib untuk menaatinya. Ketaatan itu hanya dilakukan di dalam Tuhan.

Kemudian ada perintah selanjutnya untuk menghormati orangtua. Perintah menghormati orangtua tanpa ada syarat-syarat tertentu. Artinya adalah kita wajib menghormati orangtua tanpa syarat. Menghormati adalah sesuatu yang harus kita lakukan apakah di dalam atau di luar Tuhan. Ketikapun orangtua kita tidak seperti yang kita harapkan (dimana orangtua kita pemabuk, pejudi, dll) kita wajib menghormati mereka. Tetapi untuk menaati mereka kita tidak wajib selama apa yang mereka perintahkan bukan di dalam Tuhan. Bisa dikatakan menaati itu adalah sesuatu yang wajib jika perintah yang diberikan sesuai dengan kehendak Tuhan, tetapi tidak wajib untuk dipatuhi jika perintah itu di luar Tuhan. Dan kita harus dan wajib menghormati orang tua baik mereka  di dalam atau di luar Tuhan. Oleh sebab itu jangan pernah merendahkan, menghina, atau berbicara kasar kepada orang tua kita. Taat dan hormat kepada orangtua adalah rahasia kebahagiaan seorang anak dan disertai janji akan umur yang panjang (3 – band. Ul 5:16).

Tidak hanya perintah kepada anak, ada juga perintah kepada kaum bapak. Dalam ay 4 dikatakan, “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Menarik sekali melihat bahwa perintah hanya diberikan kepada kaum bapak, bukan kepada kaum ibu. Mengapa demikian? Dalam kehidupan kita melihat bahwa kaum bapaklah, bukan ibu, yang lebih sering melakukan kekerasan atau memukul anak. Jadi sebenarnya, tanggung jawab mendidik anak itu harus diberikan kepada kaum bapak, bukan ibu. Berbeda dengan kenyataan yang kita temukan dalam keseharian (khususnya dalam konteks budaya timur)  dimana tugas mendidik anak banyak dibebankan kepada kaum ibu. Seharusnya tidak demikian. Seharusnya peran ini diberikan kepada kaum bapak karena merekalah figure imam dan pemimpin dalam keluarga. Kepala sang isteri adalah suami dan kepala suami adalah Kristus (Ef 5:23). Jadi sangat masuk akal jika peran untuk mendidik anak itu diberikan kepada kaum bapak. 

Apa perintah kepada kaum bapak? Yang pertama adalah “janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu’. Seorang ibu hampir tidak ada yang membangkitkan amarah anak-anaknya dan bagian ini sering dilakukan serang bapak. Membangkitkan amarah disini maksudnya adalah sikap si bapak yang (mungkin) terlalu kasar dan diktator sehingga si anak menjadi resiten terhadap bapaknya dan juga menimbulkan kebencian kepada orangtuanya. Bagaimana caranya agar hal ini bisa diminimalisasi? Adakalanya bapa-bapa menundukkan/mengabaikan sebagian otoritas demi menahan kemarahan anak.

Perintah kedua adalah “mendidik anak di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.“ Ini adalah sebuah perintah yang sering ditanyakan pendeta ketika ada orang tua yang membaptis anaknya. Mereka berjanji akan membesarkan si anak dalam takut akan Tuhan. Tetapi sangat menyedihkan melihat kondisi gereja sekarang ini. Bagaimana mungkin seorang bapak bisa melakukan perintah ini jika mereka sendiri jarang ke gereja? Jika kita perhatikan siapa-siapa saja yang sering menghadiri ibadah minggu, maka kita akan menemukan bahwa jawabannya adalah kaum ibu. Kaum bapak itu sangat sedikit datang ke gereja padahal mereka adalah imam dalam keluarga. Sebagai seorang imam dalam keluarga justru kondisi rohani merekalah yang tidak terlalu baik jika dibandingkan dengan kaum ibu. Seharusnya seorang lelaki (kaum bapak) lebih dewasa secara rohani.

Setelah relasi antara ayah dan orangtua, maka Paulus melanjutkan dengan relasi antar tuan dan hambanya (5-8). Apa perintah kepada hamba? Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus (5). Dalam terjemahan lain kata yang dipakai untuk ‘takut’ adalah ‘respect – hormat’.  Jadi kita harus tatat dan menghormati tuan kita sama seperti kita taat kepada Kristus.

Bagaimana jika pimpinan kita bukanlah seorang yang takut akan Tuhan, seorang yang jahat dan tidak berlaku jujur? Prinsipnya sama dengan relasi antar orangtua dan anak (1-3). Kita menaati pimpinan kita selama di dalam Tuhan. Di luar Tuhan kita tidak wajib menaatinya tetapi wajib menghormatinya. Bagaimana kita tulus hati kepada orang yang tidak benar? Dalam 1 Tim 6:1-2a dikatakan, “Semua orang yang menanggung beban perbudakan hendaknya menganggap tuan mereka layak mendapat segala penghormatan, agar nama Allah dan ajaran kita jangan dihujat orang. Jika tuan mereka seorang percaya, janganlah ia kurang disegani karena bersaudara dalam Kristus, melainkan hendaklah ia dilayani mereka dengan lebih baik lagi, karena tuan yang menerima berkat pelayanan mereka ialah saudara yang percaya dan yang kekasih.” Sikap kepada tuan atau pimpinan kita adalah gambaran sikap hati kita kepada Kristus. Itulah sebabnya ketika bekerjapun kita tetap taat tanpa pengawasan dan tidak memakai prinsip ABS (Asal Bapak Senang) tetapi karena kita menyadari bahwa kita adalah hamba Kristus untuk melakukan kehendak Allah dengan segenap hati (6). Apapun pekerjaan kita, ingat bahwa kita adalah hamba Kristus yang bekerja di tempat kita sekarang. dalam Kol 3:23 dikatakan, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Perlu kita ketahui bahwa bagian ini dituliskan dalam konteks perhambaan (perhatikan mulai Kol3:20).

Seorang hamba haruslah rela menjalankan pelayanannya seperti kepada Tuhan bukan kepada manusia (ay 7). Makanya orientasi kita bekerja bukan kepada income atau produksi tetapi bagaimana memberikan yang terbaik kepada Allah. alasannya sangat jelas bahwa setiap orang (apap dan siapapun, budak atau merdeka) yang telah berbuat sesuatu yang baik akan menerima balasannya dari Tuhan (8). Mungkin boss kita adalah seorang yang kejam, kasar, atau tidak disiplin, tetapi mari belajar untuk hormat dan menaati apa yang diperintahkan sesuai dengan firman Tuhan.

Kemudian perintah kepada tuan juga ada di dalam ay 9 dikatakan, “Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah, bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di sorga dan Ia tidak memandang muka”. Jadi, perintah tuaan sama dengan perintah kepada hamba (6b-8) itu.  Jadi jangan mentang-mentang bos atau majikan menjadi seorang yang kasar dan main ancaman kepada bawahan. Tuan dan hamba punya Tuhan yang sama dan Dia adalah Tuhan yang adil (no favoritism with HIM).

Setelah dihidupkan kembali secara rohani (2: 1-10) dengan tujuan untuk hidup suci (1: 4, 11) dan telah menjadi manusia baru (4: 17-32) serta perubahan status dan hidup (5: 1-21) yang disertai dengan relasi yang Alkitabiah (5: 22-6:9), menurut Paulus semua perintah praksis etis ini hanya bisa diterapkan dan kita akan menang dari serangan kedagingan dan iblis, apabila setiap orang mengenakan perlengkapan rohani (6: 10-20).

Dalam ay 10 Paulus mengatakan, “Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya.” Paulus mau menekankan bahwa kekuatan kita untuk berdiri teguh dan mengerjakan perintah Allah sepenuhnya hanya di dalam kekuatan Tuhan dan kuasa Allah yang bekerja dalam diri kita. Apapun cara, hikmat, dan kekuatan kita tidak akan memungkinkan kita mengerjakan hal itu dengan baik. Tidak seorangpun mampu bertahan hidup benar dengan tindakan etis jika mengandalkan kekuatannya sendiri (band Am 3, Yer 17:5, 7, 8). Bagaimana caranya kita mengandalkan kuasa Allah?

Pertama, ay 11, “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis;”. Mengenakan seluruh senjata Allah akan memampukan kita untuk bertahan melawan tipu muslihat iblis (11) dan dapat mengadakan perlawanan dan tetap berdiri sesudah menyelesaikan peperangan (13). Mengenakan seluruh senjata Allah adalah sesuatu yang penting (kemungkinan besar metafora ini Paulus pakai ketika menulis surat ini dia mengamati pasa pengawal pasukan Romawi dengan seragam yang lengkap [3:1; 4:1; 6:20]) karena perjuangan kita bukan melawan darah dan daging tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara (12). Hal inilah yang sering kita tidak sadari. Misalnya jika si A membenci kita sering sekali kita melihat bahwa yang membenci kita hanya si A seorang. Tetapi mari menyadari bahwa yang bekerja dalam diri si A b ukan dia sendiri tetapi iblis memperalat si A untuk membenci kita. hal inilah harus kita pamahi dan ketika kita memahaminya dnegan baik maka akan lebih mudah bagi kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita karean kita menyadari bahwa apa yang membuatnya seperti itu adalah pekerjaan si Iblis. Si iblis inilah lawan kita yang sebenarnya.

Kedua, ay 14-15, “Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilankakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera.” Bagaimana secara rohani kita bisa berdiri tegak adalah dengan hidup dalam keujuran dan kebenaran. Jika kita hidup benar pasti kita bisa berdiri dengan tegap. Jika ada pemeriksaan keuangan kita tidak takut karena kita tidak melakukan kecurangan apapun. Kita akan menjadi orang yang berani dan mampu berdiri tegap jika kita hidup dalam kebenaran dan integritas.

Kemudian berbaju zirahkan kebenaran. Bagi pasukan baju zirah itu bisa tahan terhadap serangan panah. Hal ini menggambarkan adanya keadilan. Jika kita hidup benar dalam keadilan pasti bisa berdiri tegap. Ada lagi kasut kerelaan untuk memberitakan injil (15). Ada sebuah cara hidup yang membuat tegap dengan bersumber dari Injil. Pemahaman di sini adalah kaki itu adalah sikap untuk melangkah menyerang juga untuk melangkah berkarya. Jadi jangan pasif.

Ketiga, ay 16, “dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat.” Perlengkapan berikutnya adalah perisai iman (16). Orang romawi perisainya dilapisi dengan kulit sehingga jika dibasahi bisa dipakai untuk emmadamkan api. Dengan imanlah kita bisa melawan serangan si iblis. Seringkali kita lemah adalah karena tidak ada lagi iman.

Keempat, ay 17, “dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah,.” Perlengkapan berikutnya adalah ketopong keselamatan dan pedang Roh. Pada masa itu ketika sebuah negara ditaklukkan maka pihak pemenang akan memenggal kepala raja yang kalah lengkap dengan ketopongnya dan membawanya sebagai bukti dan simbol kemenangan. Jadi ada dua makna dari ketopong, pertahanan untuk keselamatan dan bukti kemenangan. Orang yang beriman dan mampu berdiri teguh harus memliki ketopong dan pedang Roh yaitu Firman Allah. Jadi sesibuk apapun kita, mari tetap ambil waktu untuk saat teduh. Inilah semua senjata kita untuk mampu bertahan.

Kelima, dalam ay 18 dikatakan, “dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus,” Bedoa dalam Roh pada setiap kesempatan dengan segala jenis doa. Hal ini berbeda dengan jam doa. Berdoa dalam Roh tidak harus tutup mata tetapi ada hati yang tetap bergantung kepada Allah dimana kita selalu berseru dan memohon kepada Allah. Berdoa dalam Roh. Roh yang memimpin dan mengajari dan setiap kesempatan dalam semua jenis doa kita sampaikan  baik permohonan maupun ucapan syukur bahkan berdoa untuk orang-orang kudus (dalam moment-moment tertentu). Orang-orang kududs maksudnya adalah orang yang telah mengenal Kristus bukan santo dan santa. Dalam peperangan rohani harus berperang dengan kekuatan Allah yaitu dengan bersandar dalam doa dan Firman Allah (band. Mat 26:41).

Kemudian ada juga permohonan Paulus agar jemaat mendoakannya (19-20). Doa Paulus bukan agar dia keluar dari penjara tetap berani membuka mulut untuk memberitakan Injil. Sering sekali doa kita berpusat kepada diri kita. Mari belajar berdoa dengan berpusat kepada Tuhan. Selama doa kita berpusat kepada diri sendiri dan kepuasan kita maka kita tidak akan menikmati sebuah dimensi hidup yang indah bersama Allah. Tetapi ketika doa kita berpusat kepada Allah dan pelayananNya disana ada kenikmatan dan kepuasan hidup bersama dengan Allah akan kita rasakan. Paulus tidak meminta agar keluar dari penjara atau tidak menderita tetapi yang ia minta agar ia bisa membuka mulut dan memberitakan Injil dengan berani. Jika kita berdoa dalam perjalanan rohani kita dimanapun mari mulai berdoa dengan berpusat kepada Kristus, jangan untuk diri sendiri.


Solideo Gloria!

No comments: