Drs. Tiopan Manihuruk, M. Th
Minggu yang lalu kita telah membahas mengenai
alasan mengapa Paulus menempatkan relasi suami isteri yang pertama setelah praktika-praktika
etis. Pertama, karena keluarga lembaga pertama yang Allah bentuk (Kej 1:38;
2:8-25). Kedua, latar belakang jemaat Efesus yang biasa dengan poligami. Ketiga
adalah karena keluargalah yang merupakan pusat pembentukan sebuah cara hidup
dan relasi dalam pertumbuhan individu. Jika relasi antara suami isteri adalah
relasi yang sehat dan relasi yang dibangun dalam takut akan Tuhan biasanya
anak-anak mereka akan bertumbuh dengan lebih baik.
Kemudian pada pasal 6 ini Paulus memulai dengan
relasi anak dengan orangtuanya. “Hai
anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian.
Hormatilah ayahmu dan ibumu -- ini adalah suatu perintah yang penting, seperti
yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi”
(1-3). Dalam bagian ini kita melihat ada satu perintah yang dikondisikan, ‘taatilah orangtuamu di dalam Tuhan’. Artinya
adalah selama apa yang diperintahkan orangtua kepada anak-anaknya adalah
sesuatu yang sesuai dengan kehendak Tuhan, maka sang anak wajib menaatinya.
Sebaliknya jika tidak sesuai dengan kehendak Allah, si anak tidak wajib untuk
menaatinya. Ketaatan itu hanya dilakukan di dalam Tuhan.
Kemudian ada perintah selanjutnya untuk
menghormati orangtua. Perintah menghormati orangtua tanpa ada syarat-syarat
tertentu. Artinya adalah kita wajib menghormati orangtua tanpa syarat.
Menghormati adalah sesuatu yang harus kita lakukan apakah di dalam atau di luar
Tuhan. Ketikapun orangtua kita tidak seperti yang kita harapkan (dimana
orangtua kita pemabuk, pejudi, dll) kita wajib menghormati mereka. Tetapi untuk
menaati mereka kita tidak wajib selama apa yang mereka perintahkan bukan di
dalam Tuhan. Bisa dikatakan menaati itu adalah sesuatu yang wajib jika perintah
yang diberikan sesuai dengan kehendak Tuhan, tetapi tidak wajib untuk dipatuhi
jika perintah itu di luar Tuhan. Dan kita harus dan wajib menghormati orang tua
baik mereka di dalam atau di luar Tuhan.
Oleh sebab itu jangan pernah merendahkan, menghina, atau berbicara kasar kepada
orang tua kita. Taat dan hormat kepada orangtua adalah rahasia kebahagiaan
seorang anak dan disertai janji akan umur yang panjang (3 – band. Ul 5:16).
Tidak hanya perintah kepada anak, ada juga
perintah kepada kaum bapak. Dalam ay 4 dikatakan, “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati
anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.”
Menarik sekali melihat bahwa perintah hanya diberikan kepada kaum bapak, bukan
kepada kaum ibu. Mengapa demikian? Dalam kehidupan kita melihat bahwa kaum
bapaklah, bukan ibu, yang lebih sering melakukan kekerasan atau memukul anak.
Jadi sebenarnya, tanggung jawab mendidik anak itu harus diberikan kepada kaum
bapak, bukan ibu. Berbeda dengan kenyataan yang kita temukan dalam keseharian
(khususnya dalam konteks budaya timur)
dimana tugas mendidik anak banyak dibebankan kepada kaum ibu. Seharusnya
tidak demikian. Seharusnya peran ini diberikan kepada kaum bapak karena
merekalah figure imam dan pemimpin dalam keluarga. Kepala sang isteri adalah
suami dan kepala suami adalah Kristus (Ef 5:23). Jadi sangat masuk akal jika
peran untuk mendidik anak itu diberikan kepada kaum bapak.
Apa perintah kepada kaum bapak? Yang pertama
adalah “janganlah bangkitkan amarah di
dalam hati anak-anakmu’. Seorang ibu hampir tidak ada yang membangkitkan
amarah anak-anaknya dan bagian ini sering dilakukan serang bapak. Membangkitkan
amarah disini maksudnya adalah sikap si bapak yang (mungkin) terlalu kasar dan
diktator sehingga si anak menjadi resiten terhadap bapaknya dan juga
menimbulkan kebencian kepada orangtuanya. Bagaimana caranya agar hal ini bisa
diminimalisasi? Adakalanya bapa-bapa menundukkan/mengabaikan sebagian otoritas
demi menahan kemarahan anak.
Perintah kedua adalah “mendidik anak di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.“ Ini adalah sebuah
perintah yang sering ditanyakan pendeta ketika ada orang tua yang membaptis
anaknya. Mereka berjanji akan membesarkan si anak dalam takut akan Tuhan. Tetapi
sangat menyedihkan melihat kondisi gereja sekarang ini. Bagaimana mungkin
seorang bapak bisa melakukan perintah ini jika mereka sendiri jarang ke gereja?
Jika kita perhatikan siapa-siapa saja yang sering menghadiri ibadah minggu,
maka kita akan menemukan bahwa jawabannya adalah kaum ibu. Kaum bapak itu
sangat sedikit datang ke gereja padahal mereka adalah imam dalam keluarga.
Sebagai seorang imam dalam keluarga justru kondisi rohani merekalah yang tidak
terlalu baik jika dibandingkan dengan kaum ibu. Seharusnya seorang lelaki (kaum
bapak) lebih dewasa secara rohani.
Setelah relasi antara ayah dan orangtua, maka
Paulus melanjutkan dengan relasi antar tuan dan hambanya (5-8). Apa perintah
kepada hamba? Hai hamba-hamba, taatilah
tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti
kamu taat kepada Kristus (5). Dalam terjemahan lain kata yang dipakai untuk
‘takut’ adalah ‘respect –
hormat’. Jadi kita harus tatat dan
menghormati tuan kita sama seperti kita taat kepada Kristus.
Bagaimana jika pimpinan kita bukanlah seorang
yang takut akan Tuhan, seorang yang jahat dan tidak berlaku jujur? Prinsipnya
sama dengan relasi antar orangtua dan anak (1-3). Kita menaati pimpinan kita
selama di dalam Tuhan. Di luar Tuhan kita tidak wajib menaatinya tetapi wajib
menghormatinya. Bagaimana kita tulus hati kepada orang yang tidak benar? Dalam
1 Tim 6:1-2a dikatakan, “Semua orang yang
menanggung beban perbudakan hendaknya menganggap tuan mereka layak mendapat
segala penghormatan, agar nama Allah dan ajaran kita jangan dihujat orang. Jika
tuan mereka seorang percaya, janganlah ia kurang disegani karena bersaudara
dalam Kristus, melainkan hendaklah ia dilayani mereka dengan lebih baik lagi,
karena tuan yang menerima berkat pelayanan mereka ialah saudara yang percaya
dan yang kekasih.” Sikap kepada tuan atau pimpinan kita adalah gambaran
sikap hati kita kepada Kristus. Itulah sebabnya ketika bekerjapun kita tetap
taat tanpa pengawasan dan tidak memakai prinsip ABS (Asal Bapak Senang) tetapi
karena kita menyadari bahwa kita adalah hamba Kristus untuk melakukan kehendak
Allah dengan segenap hati (6). Apapun pekerjaan kita, ingat bahwa kita adalah
hamba Kristus yang bekerja di tempat kita sekarang. dalam Kol 3:23 dikatakan, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah
dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Perlu
kita ketahui bahwa bagian ini dituliskan dalam konteks perhambaan (perhatikan
mulai Kol3:20).
Seorang hamba haruslah rela menjalankan
pelayanannya seperti kepada Tuhan bukan kepada manusia (ay 7). Makanya
orientasi kita bekerja bukan kepada income
atau produksi tetapi bagaimana memberikan yang terbaik kepada Allah.
alasannya sangat jelas bahwa setiap orang (apap dan siapapun, budak atau
merdeka) yang telah berbuat sesuatu yang baik akan menerima balasannya dari
Tuhan (8). Mungkin boss kita adalah seorang yang kejam, kasar, atau tidak disiplin,
tetapi mari belajar untuk hormat dan menaati apa yang diperintahkan sesuai
dengan firman Tuhan.
Kemudian perintah kepada tuan juga ada di dalam
ay 9 dikatakan, “Dan kamu tuan-tuan,
perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah,
bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di sorga dan Ia tidak memandang muka”.
Jadi, perintah tuaan sama dengan perintah kepada hamba (6b-8) itu. Jadi jangan mentang-mentang bos atau majikan
menjadi seorang yang kasar dan main ancaman kepada bawahan. Tuan dan hamba
punya Tuhan yang sama dan Dia adalah Tuhan yang adil (no favoritism with HIM).
Setelah dihidupkan kembali secara rohani (2:
1-10) dengan tujuan untuk hidup suci (1: 4, 11) dan telah menjadi manusia baru
(4: 17-32) serta perubahan status dan hidup (5: 1-21) yang disertai dengan
relasi yang Alkitabiah (5: 22-6:9), menurut Paulus semua perintah praksis etis
ini hanya bisa diterapkan dan kita akan menang dari serangan kedagingan dan
iblis, apabila setiap orang mengenakan perlengkapan rohani (6: 10-20).
Dalam ay 10 Paulus mengatakan, “Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam
Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya.” Paulus mau menekankan bahwa kekuatan
kita untuk berdiri teguh dan mengerjakan perintah Allah sepenuhnya hanya di
dalam kekuatan Tuhan dan kuasa Allah yang bekerja dalam diri kita. Apapun cara,
hikmat, dan kekuatan kita tidak akan memungkinkan kita mengerjakan hal itu
dengan baik. Tidak seorangpun mampu bertahan hidup benar dengan tindakan etis
jika mengandalkan kekuatannya sendiri (band Am 3, Yer 17:5, 7, 8). Bagaimana
caranya kita mengandalkan kuasa Allah?
Pertama, ay 11, “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat
bertahan melawan tipu muslihat Iblis;”. Mengenakan seluruh senjata Allah
akan memampukan kita untuk bertahan melawan tipu muslihat iblis (11) dan dapat
mengadakan perlawanan dan tetap berdiri sesudah menyelesaikan peperangan (13).
Mengenakan seluruh senjata Allah adalah sesuatu yang penting (kemungkinan besar
metafora ini Paulus pakai ketika menulis surat ini dia mengamati pasa pengawal
pasukan Romawi dengan seragam yang lengkap [3:1; 4:1; 6:20]) karena perjuangan
kita bukan melawan darah dan daging tetapi melawan pemerintah-pemerintah,
melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini,
melawan roh-roh jahat di udara (12). Hal inilah yang sering kita tidak sadari.
Misalnya jika si A membenci kita sering sekali kita melihat bahwa yang membenci
kita hanya si A seorang. Tetapi mari menyadari bahwa yang bekerja dalam diri si
A b ukan dia sendiri tetapi iblis memperalat si A untuk membenci kita. hal
inilah harus kita pamahi dan ketika kita memahaminya dnegan baik maka akan
lebih mudah bagi kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita karean kita
menyadari bahwa apa yang membuatnya seperti itu adalah pekerjaan si Iblis. Si
iblis inilah lawan kita yang sebenarnya.
Kedua, ay 14-15, “Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan
berbajuzirahkan keadilan, kakimu berkasutkan kerelaan untuk
memberitakan Injil damai sejahtera.” Bagaimana secara rohani kita bisa
berdiri tegak adalah dengan hidup dalam keujuran dan kebenaran. Jika kita hidup
benar pasti kita bisa berdiri dengan tegap. Jika ada pemeriksaan keuangan kita
tidak takut karena kita tidak melakukan kecurangan apapun. Kita akan menjadi
orang yang berani dan mampu berdiri tegap jika kita hidup dalam kebenaran dan
integritas.
Kemudian berbaju zirahkan kebenaran. Bagi
pasukan baju zirah itu bisa tahan terhadap serangan panah. Hal ini
menggambarkan adanya keadilan. Jika kita hidup benar dalam keadilan pasti bisa
berdiri tegap. Ada lagi kasut kerelaan untuk memberitakan injil (15). Ada
sebuah cara hidup yang membuat tegap dengan bersumber dari Injil. Pemahaman di
sini adalah kaki itu adalah sikap untuk melangkah menyerang juga untuk
melangkah berkarya. Jadi jangan pasif.
Ketiga, ay 16, “dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai
itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat.” Perlengkapan
berikutnya adalah perisai iman (16). Orang romawi perisainya dilapisi dengan
kulit sehingga jika dibasahi bisa dipakai untuk emmadamkan api. Dengan imanlah
kita bisa melawan serangan si iblis. Seringkali kita lemah adalah karena tidak
ada lagi iman.
Keempat, ay 17, “dan terimalah ketopong
keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah,.” Perlengkapan berikutnya
adalah ketopong keselamatan dan pedang Roh. Pada masa itu ketika sebuah negara
ditaklukkan maka pihak pemenang akan memenggal kepala raja yang kalah lengkap
dengan ketopongnya dan membawanya sebagai bukti dan simbol kemenangan. Jadi ada
dua makna dari ketopong, pertahanan untuk keselamatan dan bukti kemenangan. Orang
yang beriman dan mampu berdiri teguh harus memliki ketopong dan pedang Roh yaitu
Firman Allah. Jadi sesibuk apapun
kita, mari tetap ambil waktu untuk saat teduh. Inilah semua senjata kita untuk
mampu bertahan.
Kelima, dalam ay 18 dikatakan, “dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah
setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan
permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus,” Bedoa dalam
Roh pada setiap kesempatan dengan segala jenis doa. Hal ini berbeda dengan jam
doa. Berdoa dalam Roh tidak harus tutup mata tetapi ada hati yang tetap
bergantung kepada Allah dimana kita selalu berseru dan memohon kepada Allah.
Berdoa dalam Roh. Roh yang memimpin dan mengajari dan setiap kesempatan dalam
semua jenis doa kita sampaikan baik
permohonan maupun ucapan syukur bahkan berdoa untuk orang-orang kudus (dalam
moment-moment tertentu). Orang-orang kududs maksudnya adalah orang yang telah
mengenal Kristus bukan santo dan santa. Dalam peperangan rohani harus berperang
dengan kekuatan Allah yaitu dengan bersandar dalam doa dan Firman Allah (band.
Mat 26:41).
Kemudian ada juga permohonan Paulus agar jemaat
mendoakannya (19-20). Doa Paulus bukan agar dia keluar dari penjara tetap
berani membuka mulut untuk memberitakan Injil. Sering sekali doa kita berpusat
kepada diri kita. Mari belajar berdoa dengan berpusat kepada Tuhan. Selama doa
kita berpusat kepada diri sendiri dan kepuasan kita maka kita tidak akan
menikmati sebuah dimensi hidup yang indah bersama Allah. Tetapi ketika doa kita
berpusat kepada Allah dan pelayananNya disana ada kenikmatan dan kepuasan hidup
bersama dengan Allah akan kita rasakan. Paulus tidak meminta agar keluar dari
penjara atau tidak menderita tetapi yang ia minta agar ia bisa membuka mulut
dan memberitakan Injil dengan berani. Jika kita berdoa dalam perjalanan rohani
kita dimanapun mari mulai berdoa dengan berpusat kepada Kristus, jangan untuk
diri sendiri.
Solideo Gloria!
No comments:
Post a Comment