Laksana
Umanda Sitanggang
[Kotbah ini merupakan bagian ke 03 dari Seri KEPEMIMPINAN yang disampaikan pada ibadah Mimbar Bina Alumni 31 Mei 2013]
Sebagai manusia kita bisa membayangkan diri
kita berada di tempat lain – misalkan di pantai. Kita bisa membayangkan
bagaimana kita berjalan di sana dengan seseorang yang kita kasihi. Semua adegan
bisa kita lihat dengan jelas dan bisa merasakan setiap moment yang ada dalam
imajinasi kita dan menjadi bagian dari pengalaman kita. Kita sebagai penonton
terhadap diri kita sendiri. Ternyata kita memiliki kemampuan untuk memisahkan
diri kita dari kenyataan. Kenyataannya kita sedang berada di sini, tetapi kita bisa menempatkan
diri kita di suatu tempat lain.
Dengan kata lain kita bisa menjadi sutradara
terhadap diri kita sendiri, di mana kita mengatur bagaimana kita berperilaku,
berbicara, dan bersikap. Bahkan sesungguhnya memahami hal ini kita bisa
memenangkan pertarungan bahkan sebelum perang dimulai. Misalnya, pada suatu
malam minggu dan kita hendak pergi ke rumah seseorang yang kita sukai. Kita
sudah melakukan persiapan bagaimana nanti jika ditolak dnegan memikirkan alternatif
sikap kita. Bisa saja nanti akan berkata “Terimakasih untuk jawabanmu. Akhirnya
saya tahu bahwa selama ini saya berdoa dengan orang yang salah”. Jadi, sebelum
kita menghadapi kenyataan ini kita sudah bisa menang. Inilah keajaiban dan
kelebihan manusia.
Kristopher dan temannya Charles mengatakan bahwa
ada sebenarnya seseorang di mana bersamanya kita menghabiskan banyak waktu
dibandingkan dengan siapa pun. Seseorang yang sangat berpengaruh dan mampu
mendukung kita lebih dari siapapun. Seseorang itu adalah diri kita sendiri.
Selfleadership atau kepemimpinan pribadi adalah
berbicara mengenai hubungan ‘saya’ dengan ‘saya’; tentang bagaimana kita
memperlakukan ‘diri saya’ sendiri, tentang bagaimana ‘saya ‘ memimpin,
mengarahkan, atau mengatur ‘diri saya’. Ada banyak aspek dalam kepemimpinan
pribadi dan saat ini kita hanya akan fokus kepada dasar-dasarnya.
Mari melihat kepada tiga bagian firman Tuhan.
Pertama adalah Kej 3:1-6, yaitu kisah mengenai kejatuhan Adam dan Hawa. Kedua
dari Hakim-Hakim 16:15-16, kisah mengenai Samson yang memberitahukan rahasi
kekuatannya. Ketiga adalah dari Kej 39:7-12, yaitu kisah Yusuf yang digoda oleh
isteri Potifar. Apa yang kita pelajari dari ketiga bagian ini?
Dalam kisah Adam dan Hawa kita menemukan bahwa
ketika manusia pertama itu memakan buah yang dilarang itu – yang terjadi oleh
karena ketidaktaatan mereka – maka jatuhlah mereka dan seluruh keturunannya
dalam dosa. Dalam kisah itu kita melihat
bagaimana ketidaktaatan mereka menghasilkan konsekuensi yang tidak ringan
bahkan tragis dan terjadi sampai sekarang dan sampai pada masa yang akan
datang. Pertanyaannya adalah mengapa mereka jatuh? Dalam kisah itu kita melihat
bahwa si ular sama sekali tidak ada mengajak Hawa untuk memakan buah itu. Si
ular hanya memutar balikkan fakta atau kebenaran. Tidak saja bujukan atau rayuan
untuk memakan buah itu. Bahkan tidak ada ancaman terhadap Hawa jika dia tidak
memakan buah itu yang bisa membuat kita menyimpulan bahwa dia melakukannya dengan
terpaksa. Tidak ada sama sekali. Nah, mengapa mereka memakannya? Dalam kisah
itu kita melihat bagaimaman Hawa melihat buah pohon itu baik untuk dimakan dan
sedap kelihatannya. Kemudian dia mengambilnya dan memakannya. Dia tidak dipaksa
tetapi itu terjadi karena pilihannya sendiri. Tidak ada upaya untuk bertahan
dan berpegang kepada perintah Tuhan. Dia memakannya kerena pilihan sadarnya
untuk memakannya.
Dalam kisah Simson berbeda lagi. Ketika
perempuan itu menanyakan letak kelemahannya, Simson menolak untuk menjawab.
Dia bertahan. Tetapi perempuan itu berhari-hari merengek-rengek kepadanya dan
terus mendesak-desak dia, dan akhirnya Simson tidak dapat lagi menahan hati,
sehingga ia mau mati rasanya. Bahkan sampai perempuan itu mempertanyakan kadar
cintanya. Simson akhirnya jatuh dan
menceritakan kelemahannya. Kelihatannya, apa yang dilakukan Simson jauh lebih
masuk akal dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Adam dan Hawa.
Kemudian mari melihat Yusuf. Rayuan kepada
Yususf adalah untuk tidur denagn isteri Potifar. Pastilah isteri Potifar ini
merayu bukan hanya sekali atau dua kali dan pastilah juga perempuan ini tidak
tampil apa adanya tetapi akan menunjukkan penampilannya yang paling menarik
ketika mengajak Yusuf tidur. Kemudian pada suatu hari yang sangat memungkinkan,
di mana hanya dia dan Yusuf yang ada di rumah pada saat ini. Dia kemudian
kembali mengajak Yusuf. Tetapi Yusuf tidak mau. Walaupun ia menyadari yang
ditolak adalah nyonyanya dan ia budak, ia tetap memilih untuk menolak.
Apa yang membedakan dari ketiga tokoh dalam
tiga kisah di atas? Dimananya ketiga pihak ini berbeda? Ada yang digoda seperti
mau mati rasanya akhirnya jatuh. Ada yang digoda oleh nyonyanya tetapi menolak.
Tetapi yang lain, tanpa digoda bahkan terjun bebas. Dimanakah letak
perbedaannya? Mereka berbeda dalam hal responsibility,
tapi yang dimaksud disini bukan tanggungjawab. Akar kata responsibility adalah response
dan ability. Jadi bisa dikatakan
bahwa responsibility adalah kemampuan
untuk mengambil respon atau kemampuan untuk memberi tanggapan. Dalam hal inilah
mereka berbeda.
Kalau kita berbicara kepemimpinan intrapribadi
maka kita sedang masuk dalam kesadaran bahwa kita mampu untuk memilih tanggapan
kita terhadap segala sesuatu. Kalau kita berbicara selfleadership kita sedang berbicara tentang kesadaran bahwa ‘saya mampu memisahkan diri saya dari
realitas’ di mana ‘saya mampu menjadi
penonton, sutradara bagi diri saya dan saya mampu memenangkan penrtempuran
bahkan sebelum pertempuran itu dimulai. Saya mampu memilih apa yang harus
kulakukan’. Itulah dasar dari kepemimpinan pribadi.
Baik Adam dan Hawa, Simson, atau Yusuf
sama-sama menghadapi godaan. Dalam kejatuhannya, Adam dan Hawa mencari kambing
hitam. Padahal Hawa sendiri yang memilih untuk memakannya. Kelihatannya Adam
dan Hawa tidak menyadari kalau merekalah yang memilih sendiri untuk memakan
buah. Berbeda dengan Simson, di mana dia awalnya bertahan dan kemudian dirayu
berulang-ulang. Karena didesak sedemikian rupa dia akhirnya memberitahukan
kelemahannya. Lihat, pada awalnya dia tidak mau memberitahukan rahasianya. Pada
akhirnya dia memilih untuk memberitahu bukan terpaksa. Memberitahukan
rahasianya adalah pilihan dasar dari Simson. Itulah sebabnya dia tidak pernah
mengomel akan pilihannya dan tidak pernah melemparkan tanggungjawab terhadap
pilihannya itu karena itu adalah pilihan sadar dan dia menerima konsekuensi
dari perbuatannya itu.
Demikian juga dengan Yusuf yang dirayu
berulang-ulang. Sebagai seorang anak muda tentu saja Yusuf memiliki gairah
seksual yang tinggi. Pasti juga ada pergumulan dalam hati Yusuf ketika isteri
Potifar mengajak dia tidur. Pergumulan antara ya atau tidak. Dia pasti
memikirkan konsekuensi dari jawaban ya
atau tidak. Bermacam-macam mungkin
pergulatan dalam dirinya untuk memilih sikapnya. Dan pada akhirnya dia memilih untuk
menjawab ‘tidak’. Dia memilih dari
berbagai altenatif itu apa yang menjadi pilihannya. Ketika dia memilih untuk
menjawab tidak, dia akhirnya dimasukkan
kepenjara. Tetapi dia juga tidak mengomel dan mencari kambing hitam dan siap
menerima konsekuensinya.
Inilah perbedaan antara mereka. Inti
kepemimpinan pribadi itu adalah kesadaran
dalam diri kita bahwa apapun yang kita lakukan, kita lakukan karena kita pilih untuk kita lakukan, tidak ada kata
terpaksa untuk kita lakukan.
Ada banyak bagian dari Alkitab mulai dari PL
sampai PB tentang ‘memilih untuk
melakukan sesuatu’ mis dalam dalam Maz 119:173; Amsal 1:29-31; Amsal 3:31;
dan masih banyak lagi. Apapun yang kita lakukan kita lakukan karena kita pilih
untuk kita lakukan. Tidak ada orang yang pernah bisa memaksa kita untuk
melakukan sesuatu. Yusuf sebenarnya dibawah paksaan untuk menuruti keinginan
nyonyanya tapi dia memilih untuk tidak melakukannya. Simson memang dipaksa
untuk melakukan pilihan itu, tetapi bukan karena paksaan karena ia memilih
untuk mengikuti paksaan itu karena sebelumnya dia memilih untuk tidak
mengikutinya.
Perasaan ditinggalkan seseorang yang kita
sayangi karena dia akhirnya menikah dengan teman baik kita adalah perasaan yang
bisa menimbulkan sakit hati. Tetapi ingat, ketika kita sakit hati itu karena
kita memilih untuk sakit hati. Kepemimpinan pribadi adalah ‘aku memilih untuk
besikap’. Ketika kita merasa remuk dan hancur itu karena kita pilih untuk
merasa demikian. Memang pasti ada masa-masa suram dalam kondisi seperti ini.
Tetapi jika kita semakin larut dalam sakit hati itu terjadi karena kita memilih
untuk sakit hati. Bukan hanya sakit hati yang menjadi pilihan. Kita bisa
memilih sikap yang lain karena ada banyak alternatif pilihan yang bisa kita
pilih. Inilah dasar dari selfleadership.
Mari menyadari dan mengamini bahwa kita bisa seperti itu karena kita memilih
untuk menjadi seperti itu dan hal tersebut kita lakukan bukan karena terpaksa.
Dikecewakan atau dikhianati adalah stimulus
yang bisa kita rasakan. Ketika stimulus seperti ini datang kepada kita maka
respon spontan kita adlah marah, sakit hati, atau kecewa. Tetapi sebenarnya ketika stimulus datang kepada kita ada
sebuah ruang dimana kita bisa memilih. Ketika stimulus yang datang ekpada
kita adalah sesuatu yang menyakitkan sebenarnya kita memiliki waktu untuk
memikirkan respon apa yang harus kita tunjukkan. Ingat, Simson berulang-ulang
terus didorong untuk memberitahukan apa rahasianya dan dia tidak langsung
menyerah. Ada masa di mana ia mempertahankan sikapnya sampai pada akhirnya dia
memilih untuk tidak mempertahankannya. Ada ruang di mana kita bebas untuk
memilih. Demikian dengan Yusuf yang diajak terus-menerus. Tentu saja ada
pergumulan dan range waktu di mana dia bergumul dalam ruang untuk memilih
antara ya atau tidak. Baru kemudian ia memilih untuk menjawab tidak.
Inti kepemimpinan pribadi terletak di ruang
itu. Kualitas hidup kita terletak di
ruang itu, ruang antara stimulus dan respon. Seseorang berkata ketrampilan
dasar dari kepemimpinan pribadi itu adalah berhenti dan mundur dari setiap hal
yang mendorong kita untuk bertindak. Jika kita langsung bertindak maka yang
menjadi pengendali akan tindakan kita adalah stimulus itu, bukan diri kita. Tetapi
jika kita berhenti dan berpikir apa yang harus kita lakukan dalam hal seperti
ini maka bukan stimulus yang menjadi pengendali kita tetapi diri kita sendiri.
Di sinilah kualitas kepemimpinan pribadi – ruang
untuk memilih – yang menentukan
kualitas hidup seseorang.
Yesus juga dalam akhir masa hidupnya mengalami
hal ini. Yesus menyadari bahwa anak manusia datang untuk menanggung banyak
penderitaan bahkan dibunuh dan bangkit pada hari yang ketiga. Ketika semakin
mendekati akhirnya hidupNya, Dia yang awalnya dengan mantap menegur Petrus
karena menghalangi penderitaannya, menjadi sangat bergumul. Dia berdoa jika
kiranya memungkinkan cawan itu lalu dari padaNya. Di Getsemane adalah masa
pergumulan bagi Yesus untuk memilih respon. Alternatif pertama adalah ‘jikalau mungkin cawan ini berlalu
daripadaKu’. Dan alternatif kedua adalah ‘tetapi jangan kehendakKu tetapi kehendakMulah yang terjadi’.
Yesus berdoa sebanyak tiga kali. Dan akhirnya
Dia menetapkan hati untuk memilih cawan itu. Dengan hati yang mantap dan tidak
takut lagi Dia kemudian membangunkan ketiga murid-muridNya dan memerintahkan
mereka bersiap-siap karena Dia akan ditangkap. Yesus sudah memenangkan
pertempuran dengan keyakinan yang teguh sebelum Dia ditangkap dan dibawa.
Perbedaan itu benar-benar ada jika kita
memikirkan dengan matang apa yang akan menjadi respon kita. Kita bisa
memenangkan pertempuran dan bagimana kita menjalani proses selanjutnya bahkan
siap dengan kosekuensi dari respon kita tersebut.
Paulus juga dalam pergumulan untuk memilih
respon mana yang harus dia pilih. Dia mengatakan, “Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya,” (1Kor
9:27). Ini adalah proses di ruangan kebebasan untuk memilih. Itulah sebabnya
dia bisa berkata, “Kalau kami dimaki,
kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami
tetap menjawab dengan ramah; kami telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama
dengan kotoran dari segala sesuatu, sampai pada saat ini” (1Kor 4:12-13).
Hal ini tidak bisa terjadi secara otomatis. Pastilah Paulus memiliki masa untuk
bergumul dalam memilih responnya. Dia melatih dirnya dan menguasainya supaya
tahu memilih apa yang baik dan yang jahat.
Ketika besok di kantor ada hal yang membuat kita
marah dan akhirnya kita menjadi marah. Hal ini terjadi bukan karena seharusnya
kita marah tetapi karena kita memilih untuk marah. Bukankah sebenarnya ada
banyak alternatif pilihan lain selain dari marah? Bahkan jika kemampuan kerja
kita tetap di bawah standar itupun karena kita memilih tetap seperti itu. Kita
tahu bahwa kebutuhan akan bahasa Inggris dan Komputer begitu dituntut untuk
bagus dan jika kemampuan kita masih seperti-seperti itu sadar atau tidak sadar
itu terjadi karena kita memilih untuk seperti itu, bukan karena terpaksa
seperti itu. Konsekuensinya sangat besar jika kita memahami konsep ini. Jika kita
bermasalah dengan karakter yang kasar atau ketus, itu pun terjadi karena kita
memilih untuk tetap seperti itu bukan karena harus seperti itu. Jika saya
kecewa itupun terjadi karena saya memilih untuk kecewa. Jika saya marah itupun
terjadi karena saya memilih untuk marah. Jika saya tidak melakukan sesuatu
dengan tidak benar itu terjadi karena saya memilih untuk tidak melakukannya
dengan benar. Itulah kepemimpinan pribadi, di mana ada ruang untuk memilih
respon.
Dalam ruang itu ada banyak pilihan respon dan
satupun diantaranya tidak mengandung nilai kebenaran. Kenapa kita sering gagal
untuk memilih respon yang tepat atau benar adalah akrena kita kekurangan
perbendaharaan terhadap hal-hal yang baik dan yang benar. Dalam banyak kasus
kita sudah mencoba untuk memilih tetapi tidak menemukannya karena kekosongan
perbendaharaan. Di sinilah kebenaran firman Tuhan tergenapi, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang
bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki
kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2Tim 3:16). Inilah
solusi untuk mengatasi minimnya perbendaharaan pilihan dalam ruang kosong tadi.
Kita harus selalu bersahabat dengan kebenaran firman Tuhan agar ada
alternatif-alternatif pilihan yang benar. Kita sering memilih untuk tidak
mengisi diri kita sehingga pilihan yang muncul hanya itu-itu saja. Sebagai
orang percaya maka seharusnyalah sumber pilihan kita adalah kebenaran firman
Tuhan.
Kita sudah tahu banyak, tetapi kenapa kita
belum melakukan? Apa masalahnya? Ingatlah, dalam Yoh 15:5b dikatakan, “sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat
apa-apa.” Selalu berada dalam pokok anggur yang benar adalah situasi yang
selalu memampukan kita untuk memimpin diri kita dengan benar, untuk memiliki
kemampuan kepemimpinan pribadi.
Ada banyak situasi yang bisa kita lihat untuk
mengukur kepemimpinan pribadi kita.
- Ada sebuah situasi di mana hari itu hujan turun dan menyebabkan kita terlambat ke kantor. Lalu kita menjadikan hujan itu alasan keterlambatan kita padahal kita mengetahui bahwa kita sebenarnya bisa tidak terlambat walau hujan datang. Fakktor-faktor fisik kita jadikan alasan untuk tidak mengerjakan tanggungjawab. Bermacam-macam alasan yang kita keluarkan yang kedengarannya logis sekali. Tetapi kita tahu itu bukan permasalahan sebenarnya. Kita tidak sedang mengatakan bahwa hujan itu tidak berpengaruh. Pasti berpengaruh. Tetapi kita menjadikan hal itu sebagai temeng untuk pembelaan diri, padahal kita sebenarnya bisa mengatasi hal itu dan tidak terlambat. Pilihan seperti ini menunjukkan bahwa tingkat kepemimpinan pribadi kita masuh rendah.
- Kita sangat dipengaruhi lingkungan sosial. Kita sangat dipengaruhi oleh apa yang dikatakan orang lain atau bagaimana orang memperlakukan kita. Jika kita disanjung, dihargai, dipuji, atau diharapkan maka semangat kita begitu melonjak. Tetapi ketika kita disalah mengerti, diremehkan, pekerjaan kita tidak dianggap, maka kita berkecil hati dan merasa kecewa bahkan semangat kita bisa mundur bahkan kita akhirnya memilih untuk mundur. Ketika kita memilih hal ini, ingatlah bahwa yang menjadi pengendali kita adalah sikap atau perilaku orang lain, bukan diri kita sendiri. Kita tidak bisa mengatur bagaimana orang bersikap terhadap kita. ketika kita memilih hal ini berarti tingkat kepemimpinan pribadi kita juga masih rendah
- Kita selalu berfokus pada kelemahan orang lain. Artinya kelemahan orang lain itu kita jadikan alasan untuk tidak melakukan tanggungjawab kita. Jika kita melihat kisah mengenai talenta yang diberikan kepada tiga hamba (Mat 25:15-28) kita bisa menemukan kasus seperti ini. Alasan hamba yang diberi satu talenta tidak mengusahakan talenta yang diberikan kepadanya adlah karena dia mengetahui siapa tuannya, yang dikatakan adalah kejam. Jika hambat ini mengetahui, tentu saja kedua hamba yang lain juga mengetahui hal ini. Tetapi pengetahuan mereka akan kelemahan tuannya tidak membuat mereka mengabaikan tanggungjawab mereka. Seberapa sering dan banyak kita menggunakan kelemahan orang lain sebagai lasan kita tidak mengerjakan tanggung jawab kita (misalnya boss yang otoriter atau rekan sekerja yang tidak koperatif, dll)? Ketika kita bergantung kepada kelemahan orang lain maka kita sedang memberi kekuatan kepada kelemahan orang lain itu untuk mengendalikan diri kita.
- Ketika dihadapkan pada kelemahan orang lain atau hal-hal sosial yang tidak mendukung maka yang kita harapkan bahwa yang berubah adalah hal-hal yang lain itu, bukan kita. Ketika kita selalu berharap agar kita optimal maka semua yang di luar sana itu harus berubah itu artinya kita melepaskan tanggungjawab. Hal ini juga menunjukkan kepemimpinan pribadi kita masih rendah.
- Sering sekali bahasa yang kita gunakan selalu membebaskan kita dari tanggungjawab. ‘Memang saya seperti itu’ atau ‘Memang itulah saya’ atau ‘Itulah karakterku, kan aku orang Batak’ atau ‘Aku tidak bertanggung jawab karena sudah kukatakan aku seperti itu’ adalah contoh-contoh bahasa yang sering kita gunakan untuk melepaskan tanggungjawab kita. Ketika kita biasa menggunakan bahasa-bahasa yang suka mengalihkan tanggungjawab dari diri kita, maka kita harus lebih lagi berjuang untuk memimpin diri kita sendiri. Simson atau Yusuf untuk memilih respon mereka dan tidak ada sama sekali omelan dari diri mereka walaupun konsekuensi dari pilihan mereka adalah sesuatu yang tragis. Mereka tidak melepaskan tanggung jawab mereka.
- Suka berbohong atau mengaburkan. Kalau berbohong kita mungkin tidak lagi. Definisi berbohong itu tidak sebatas mengatakan ya pada yang tidak atau mengatakan tidak pada yang ya. Mengaburkan juga adalah kategori berbohong. Benarnya ada hujan tetapi sebentar, tetapi hal itu kita jadikan alasan karena keterlambatan kita, padahal alasan sebenarnya adalah karena telat bangun. Ketika kita suka mengaburkan agar kelihatan logis dan mudah diterima maka kita terjebak dalam kebohongan. Hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat kepemimpinan pribadi yang rendah.
Banyak aspek dari kepemimpinan pribadi, tetapi
kita hanya fokus kepada dasarnya agar kita sungguh-sungguh menyadari bahwa
apapun yang kita lakukan hal tersebut kita pilih untuk kita lakukan, tidak ada paksaan
untuk melakukannya. Karena kita
menyadari bahwa hal itu kupilih untuk melakukan maka tanggungjawabnya juga ada
padaku. Jika di antara pilihan tidak ada satupun yang menjadi pilihan yang
benar maka kita perlu mengubah perbendaharaan pilihan dengan firman Tuhan. Jika
pilihan yang benar ada tetapi kita tidak mampu melakukannya, ingatlah ‘di luar Aku kamu tidak bisa berbuat
apa-apa’. Mari fokus dan harus terus-menerus bergantung kepada Dia yang
memberi kekuatan kepada kita. Ingat, jika kita sakit hati itu terjadi karena
kita memilih untuk sakit hati dan kita melakukannya tanpa paksaan. Tidak ada
satu orangpun yang bisa memaksa kita untuk melakukan sesuatu karena kita bebas
untuk memilih respon kita. Inilah kepemimpinan pribadi – ketika aku melakukan
sesuatu itu terjadi karena aku memilih untuk melakukan sesuatu itu.
Solideo Gloria!