Saturday, July 19, 2014

Seri Perumpamaan 2014: Orang Samaria Yang Baik Hati




[Siapakah Aku Bagi Sesama]

Lukas 10:25-27

Drs. Tiopan Manihuruk, M. Th



Dalam terjemahan LAI judul perumpamaan dalam Luk 10:25-37 ini adalah ‘Orang Samaria yang Baik Hati’. Tetapi hari ini saya memberi judul ‘Siapakah Aku Bagi Sesama’. Kisah ini diawali ketika seorang ahli Taurat mencobai Yesus dengan bertanya “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup kekal” (ay. 25). Ada pemahaman yang salah dalam dirinya di mana dia berpikir bahwa keselamatan adalah mengenai apa yang dia perbuat bagi Allah, padahal yang sebenarnya keselamatan adalah apa yang Allah perbuat bagi kita. Pertanyaan ini seakan menyiratkan bahwa untuk memperoleh hidup kekal adalah berdasarkan perbuatan (ay. 25). Tetapi Yesus meresponinya dengan menyuruh dia mengingat apa yang tertulis dalam hukum Taurat (ay. 26). Dengan pintarnya ahli Taurat itu menjawab, “mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan akal budi serta kasih akan sesama seperti diri sendiri” (ay. 27).

Tuhan Yesus membenarkan jawaban tersebut dan memerintahkan agar hal itu dikerjakan (ay. 28). Dia memberikan perintah untuk mengerjakan apa yang telah ahli Taurat katakan itu dengan pemahaman jika orang mengasihi Allah dengan segenap hati muncul karena ia beriman dan ketika ia mengasihi Alah dengan segenap hati maka ia juga akan mengasihi sesama seperti dirinya sendiri. Kasih kepada Allah adalah buah iman dan ketaatan (Yoh. 14: 21) dan kasih akan sesama sebagai bukti kasih kepada Allah (1 Yoh. 4: 20-21).

Kemudian untuk membenarkan diri ahli Taurat itu bertanya “Siapakah sesamaku manusia?” (ay. 29). Sebenarnya pertanyaan ini tidak usah dikeluarkan oleh seorang ahli taurat. Sebagai seorang Yahudi (apalagi ahli hukum-hukum Yahudi) dia sudah tahu bahwa sesamanya adalah orang Yahudi, bukan orang dari kelompok etnis atau agama lain. 

Terhadap pertanyaan itu, Yesus meresponinya dengan menuturkan sebuah kisah tentang seorang Yahudi yang sedang dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Dalam perjalanan ia tertimpa musibah dimana ia diserang penyamun. Hartanya dirampok dan ia dipukul sampai terluka. Dalam keadaan sekarat ia dibiarkan tergeletak di tepi jalan (ay. 30).

Sewaktu orang itu terkapar setengah mati lewatlah berturut-turut  seorang imam dan seorang Lewi. Keduanya orang Yahudi, tergolong rohaniwan dan pemimpin agama  pada zaman itu (ay. 31-32). Imam maupun Lewi yang melihat dari jauh, bukannya berhenti sebentar atau memberikan pertolongan sebisanya, mereka malah menghindar dengan menempuh jalan lain. Mereka menghindar dari tanggungjawab tindakan kasih. Mereka tidak mau direpotkan sehingga mereka menghindar.

Mungkin masing-masing dari mereka memiliki simpati pada korban, namun mereka punya alasan untuk tidak menolongnya. Ketika mereka melihat musibah menimpa sesamanya, sebangsa dan seagama, mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka tidak mau repot dan ingin menghindari persoalan. Mereka tidak mau terusik dari zona aman sehingga mengabaikan kebaikan orang lain yang sedanag tertimpa musibah.

Kemudian lewatlah seorang Samaria (ay. 33). Secara keturunan orang Samaria adalah Yahudi campuran, bukan murni Yahudi. Bila dirunut ke belakang kedua kelompok etnis itu mempunyai sejarah permusuhan yang panjang. Orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria (Yoh.4:9). Maka, sewajarnya orang Samaria itu membiarkan saja orang Yahudi. Namun, ia berhenti dan menolong korban yang terkapar itu karena hatinya tergerak oleh belas kasihan (ay. 33b).

Mungkin imam dan orang Lewi memiliki simpati pada korban namun tanpa sebuah tindakan. Mereka mungki hanya berkata; ‘ngeri kali bah’ atau ‘kasihan ya” lalu melewatkannya. Situasi yang sama mungkin pernah kita alami ketika melihat ada kecelakaan di jalan raya. Kita hanya simpati dan kasihan tanpa ada niat untuk menolong karena takut atau direpotkan jika kita dipanggil polisi menjadi saksi atau takut terlambat ke urusan kita. Itulah yang dilakukan iman dan orang Lewi itu.

Berbeda dengan orang Samaria itu, rasa simpati dan empati diaktualisasikan dengan menolong secara utuh. Simpati memang baik, nasihat juga baik, namun yang terbaik adalah pertolongan konkret (band Yak 2). Digerakkan oleh hati yang penuh belaskasihan, orang Samaria tersebut mulai membalut luka-luka, mencuci lukanya dengan minyak dan anggur kemudian dia membawa korban ke tempat yang layak (penginapan) dan merawatnya (ay. 34). Setibanya di penginapan, orang Samaria itu masih merawat korban dan menginap semalam. Karena ada urusan yang harus diselesaikannya, ia menitipkan uang secukupnya kepada pemilik penginapan sebagai biaya untuk merawat korban. Ia berjanji bahwa setelah urusannya selesai, ia akan kembali untuk membayar segala kekurangan yang ada (ay. 35).

Apa yang paling mendorong orang Samaria itu untuk repot-repot sedemikian rupa sehingga batas-batas penghalang secara etnis dan permusuhan menjadi begitu tipis? Jawabannya adalah belas kasihan (ay. 33).

Sampai di situ, Yesus tidak meneruskan ceritanya. Tetapi Yesus juga tidak menjawab pertanyaan ahli Taurat “Siapakah sesamaku manusia?” Yesus balik bertanya kepadanya, menurutmu “Siapakah di antara ketiga orang ini (imam, Lewi, orang Samaria) adalah sesama manusia bagi orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” (ay. 36). Masih terkesima dengan cerita Yesus tentang orang Samaria, ahli Taurat menjawab, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” (ay. 37). Yesus menutup dialognya sambil berkata, “Pergilah dan perbuatlah demikian!” (ay. 37b).

Mengapa sampai akhir dialog Yesus tidak menjawab pertanyaan ahli Taurat “Siapakah sesamaku?” adalah karena pertanyaan itu keliru. Pertanyaan itu mengandung asumsi ada orang termasuk kelompokku dan ada yang tidak; ada yang sederajat denganku sebagai sesama dan ada yang tidak; ada yang layak masuk kelompokku dan ada yang tidak; ada yang layak ditolong ada yang tidak. Cara bertanya “Siapakah sesamaku?” menempatkan diri kita – sebagai orang yang bertanya – sebagai pemberi kriteria siapakah yang layak menjadi sesama kita karena ukuran dan kriterianya adalah kita. Hal ini akan membuat sekat-sekat yang baru dalam hidup kita. Pertanyaan ini membuat si penanya merasa layak menentukan siapa sesamanya dan siapa bukan karena di matanya tidak semua orang adalah sesamanya. Itulah implikasi sosial di balik pertanyaan “Siapakah sesamaku?” Namun di mata Yesus cara pandang demikian keliru. Seharusnya setiap orang, siapa saja adalah sama-sama makhluk ciptaan Allah berasal dari Sumber yang sama. Sikap yang benar adalah bahwa kita menjadi sesama bagi siapa saja. Jadi bukan “Siapakah sesamaku?” tetapi “Siapakah aku bagi sesama?”. Pertanyaan  “Siapakah sesamaku?” membuat kita membangun tembok, tetapi dengan pertanyaan “Siapakah aku bagi sesama?” kita sedang menghancurkan tembok. Karena itu, mari belajar agar pertanyaan kita juga adalah “Siapakah aku bagi sesama?” agar tidak ada gap atau tembok yang menghalangi kita dengan orang lain.

Yesus mengoreksi pertanyaan yang keliru dengan sebuah pertanyaan yang tepat. “Siapakah yang menjadi sesama bagi orang yang malang itu?” (ay. 36).  Yesus mengoreksi pertanyaan keliru itu sebab pertanyaan itu mengasumsikan pengelompokan-pengelompokan primordial di antara manusia berdasarkan etnis atau agama atau status social dan perbedaan-perbedaan lainnya. Kita harus mengkikis semua tembok yang mengelilingi kita, apakah tembok fakultas atau tembok-tembok lainnya dengan pertanyaan “Siapakah aku bagi sesama?“ 

Dan sedikit banyak pengelompokan itu akan memengaruhi sikap kita terhadap mereka yang dianggap di luar kelompok. Yang termasuk kelompok ditolong dan di luar itu dibiarkan atau malah dizolimi. Inilah kecenderungan manusia. Dalam pertanyaan yang diajukan Yesus, kriteria sesama tidak lagi ditentukan dari sudut penanya, melainkan dari sudut orang lain, tepatnya orang yang sedang membutuhkan pertolongan. Untuk orang yang dirampok dan dianiaya, satu-satunya yang diharapkan adalah pertolongan konkret dari siapa saja. 

Orang Samaria dalam kisah ini telah menjadi sesama bagi korban penyamun itu. Imam dan orang Lewi belum menjadi sesama bagi orang yang malang itu kendati etnis dan agamanya sama. Secara tidak langsung Yesus mengatakan, “Perluaslah lingkaran sesamamu menjadi siapa saja, sama halnya seperti seorang yang dalam kesusahan akan mengharapkan pertolongan dari siapa saja yang dapat menolongnya!”  (bd. Gal 6: 10). Dalam menolong sesama itu mari merobohkan setiap tembok yang menghalangi.

Pertanyaan yang tepat bukan “Siapakah sesamaku?” melainkan “Apakah aku menjadi sesama bagi orang lain?”. Apakah aku menjadi sesama bagi yang terdiskriminasi, korban ketidakadilan, mereka yang termarginalkan, tertindas, kaum miskin dst? Apakah aku menjadi sesama bagi yang sedang ketakutan? Apakah aku menjadi sesama bagi yang dilecehkan martabatnya? Apakah aku menjadi sesama bagi yang menderita, korban bencana alam, korban penipuan, bagi warga yang dilarang beribadah dll? Pertanyaan “Siapkah aku bagi mereka” membuat kita tidak bisa diam, dan harus bertindak. Sering kita hanya sebatas berkata “kasihan… kasihan.. dan kasihan..”, tetapi tanpa tindakan nyata. Di negara ini kita berhadapan dengan penyakit 3K (Korupsi, Kemiskinan, dan Ketidakadilan) di negara ini. Jadi pertanyaannya adalah “Siapakah aku bagi mereka?” yang terkena dampak korupsi, atau bagi mereka yang sangat miskin, atau bagi mereka yang mengalami ketidakadilan. Siapakah kita bagi orang yang termarginalkan dan bagi mereka yang tidak mendapat akses pendidikan yang lebih baik? Siapakah kita bagi mereka?

Krisis hubungan interpersonal di sekitar kita adalah krisis menjadi sesama. Inilah yang ditegor ioleh Tuhan Yesus kepada ahli Taurat melalui gambaran iman dan orang Lewi. Berbagai konflik sosial, entah apa pemicunya atau siapa provokatornya, memperlihatkan bahwa kekerasan telah menjadi model karena kita bukan lagi menjadi sesama. Ada demonstrasi dan kerusuhan dimana-mana dengan anarkisme. Hukum rimba berlaku dimana-mana. Sentimen antargolongan dan antarkelompok, sikap curiga, sikap agresif, semua itu dimungkinkan karena orang lain tidak termasuk kelompokku. Jurang yang ada semakin dalam dan antipasti semakin mengkristal dalam kehidupan kita. Karena orang lain bukan sesamaku maka ia boleh dikejar-kejar, dikasari, dilukai, bahkan dibunuh. Inilah membuat anak bangsa tidak baradab tapi biadab. Sejarah bangsa kita sarat dengan konflik sosial bahkan horizontal yang berakhir dengan pembakaran, perusakan, dan pembunuhan.  Kita harus mengubah dan meninggalkan paradigma berfikir dengan kebiasaan mengajukan pertanyaan keliru “Siapakah sesamaku?” pertanyaan yang benar adalah “Siapakah aku bagi sesama?”. 

Kita harus berani keluar dari ketertutupan kelompok (exclusivism) untuk kemudian menjadi sesama bagi orang lain (inclusive). Semua manusia tanpa pandang agama suku dan apapaun masuk dalam bagian hidupku yang harus aku tolong dan layani. Kita harus berpikir bagaimana cara menjadi sesama bagi orang lain dan membiasakan diri  berfikir dengan cara demikian. Maka kita akan menemui orang lain sebagai sesama dalam perjumpaan yang konkret karena kita mampu menempatkan diri pada posisi mereka itulah dengan simpati dan empati yang dalam.

Dengan simpati dan empati kecurigaan dan jurang pemisah berdasarkan  etnis, suku dan agama, status sosial tidak akan tumbuh denagn subur tetapi akan terkikis habis. Ketika kita berjalan dengan siapapun tidak ada lagi kecurigaan dan tembok yang memisahkan karena aku menjadi sesama bagi mereka. Mari belajar dari ketaatan orang Samaria, yang bukan suku Yahudi tetapi menolong orang Yahudi. Membangun sikap menjadi sesama akan menghilangkan kecurigaan, sekat-sekat dalam masyarakat dan konflik horizontal karena kita telah menjadi sesama bagi semua orang tanpa batas apapun. Tidak ada batas agama, suku, dan status sosial. Kita adalah sesama. Itulah yang diajarkan Kristus dengan perumpamaan orang Samaria yang baik hati. Mari mulai hari ini berkata “Siapakah aku bagi sesama?”. Ketika kita melihat orang di sekitar kita, mari tetap bertanya “Siapakah aku bagi dia?”

Solideo Gloria!

No comments: