[Siapakah Aku Bagi Sesama]
Lukas 10:25-27
Drs. Tiopan Manihuruk, M. Th
Dalam terjemahan LAI judul perumpamaan dalam
Luk 10:25-37 ini adalah ‘Orang Samaria yang Baik Hati’. Tetapi hari ini saya memberi
judul ‘Siapakah Aku Bagi Sesama’. Kisah ini diawali ketika seorang ahli Taurat
mencobai Yesus dengan bertanya “Apa yang
harus kuperbuat untuk memperoleh hidup kekal” (ay. 25). Ada pemahaman yang
salah dalam dirinya di mana dia berpikir bahwa keselamatan adalah mengenai apa
yang dia perbuat bagi Allah, padahal yang sebenarnya keselamatan adalah apa
yang Allah perbuat bagi kita. Pertanyaan ini seakan menyiratkan bahwa untuk
memperoleh hidup kekal adalah berdasarkan perbuatan (ay. 25). Tetapi Yesus meresponinya
dengan menyuruh dia mengingat apa yang tertulis dalam hukum Taurat (ay. 26). Dengan
pintarnya ahli Taurat itu menjawab, “mengasihi
Allah dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan akal budi serta kasih akan sesama
seperti diri sendiri” (ay. 27).
Tuhan Yesus membenarkan jawaban tersebut dan
memerintahkan agar hal itu dikerjakan (ay. 28). Dia memberikan perintah untuk
mengerjakan apa yang telah ahli Taurat katakan itu dengan pemahaman jika orang
mengasihi Allah dengan segenap hati muncul karena ia beriman dan ketika ia
mengasihi Alah dengan segenap hati maka ia juga akan mengasihi sesama seperti
dirinya sendiri. Kasih kepada Allah adalah buah iman dan ketaatan (Yoh. 14: 21)
dan kasih akan sesama sebagai bukti kasih kepada Allah (1 Yoh. 4: 20-21).
Kemudian untuk membenarkan diri ahli Taurat itu
bertanya “Siapakah sesamaku manusia?”
(ay. 29). Sebenarnya pertanyaan ini tidak usah dikeluarkan oleh seorang ahli
taurat. Sebagai seorang Yahudi (apalagi ahli hukum-hukum Yahudi) dia sudah tahu
bahwa sesamanya adalah orang Yahudi, bukan orang dari kelompok etnis atau agama
lain.
Terhadap pertanyaan itu, Yesus meresponinya
dengan menuturkan sebuah kisah tentang seorang Yahudi yang sedang dalam
perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Dalam perjalanan ia tertimpa musibah dimana
ia diserang penyamun. Hartanya dirampok dan ia dipukul sampai terluka. Dalam
keadaan sekarat ia dibiarkan tergeletak di tepi jalan (ay. 30).
Sewaktu orang itu terkapar setengah mati
lewatlah berturut-turut seorang imam dan
seorang Lewi. Keduanya orang Yahudi, tergolong rohaniwan dan pemimpin agama pada zaman itu (ay. 31-32). Imam maupun Lewi
yang melihat dari jauh, bukannya berhenti sebentar atau memberikan pertolongan
sebisanya, mereka malah menghindar dengan menempuh jalan lain. Mereka menghindar
dari tanggungjawab tindakan kasih. Mereka tidak mau direpotkan sehingga mereka
menghindar.
Mungkin masing-masing dari mereka memiliki
simpati pada korban, namun mereka punya alasan untuk tidak menolongnya. Ketika
mereka melihat musibah menimpa sesamanya, sebangsa dan seagama, mereka tidak
melakukan apa-apa. Mereka tidak mau repot dan ingin menghindari persoalan.
Mereka tidak mau terusik dari zona aman sehingga mengabaikan kebaikan orang
lain yang sedanag tertimpa musibah.
Kemudian lewatlah seorang Samaria (ay. 33).
Secara keturunan orang Samaria adalah Yahudi campuran, bukan murni Yahudi. Bila
dirunut ke belakang kedua kelompok etnis itu mempunyai sejarah permusuhan yang
panjang. Orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria (Yoh.4:9). Maka, sewajarnya
orang Samaria itu membiarkan saja orang Yahudi. Namun, ia berhenti dan menolong korban yang terkapar itu karena hatinya tergerak oleh belas kasihan
(ay. 33b).
Mungkin imam dan orang Lewi memiliki simpati
pada korban namun tanpa sebuah tindakan. Mereka mungki hanya berkata; ‘ngeri kali bah’ atau ‘kasihan ya” lalu melewatkannya. Situasi
yang sama mungkin pernah kita alami ketika melihat ada kecelakaan di jalan
raya. Kita hanya simpati dan kasihan tanpa ada niat untuk menolong karena takut
atau direpotkan jika kita dipanggil polisi menjadi saksi atau takut terlambat
ke urusan kita. Itulah yang dilakukan iman dan orang Lewi itu.
Berbeda dengan orang Samaria itu, rasa simpati
dan empati diaktualisasikan dengan menolong secara utuh. Simpati memang baik, nasihat
juga baik, namun yang terbaik adalah pertolongan konkret (band Yak 2). Digerakkan
oleh hati yang penuh belaskasihan, orang Samaria tersebut mulai membalut
luka-luka, mencuci lukanya dengan minyak dan anggur kemudian dia membawa korban
ke tempat yang layak (penginapan) dan merawatnya (ay. 34). Setibanya di
penginapan, orang Samaria itu masih merawat korban dan menginap semalam. Karena
ada urusan yang harus diselesaikannya, ia menitipkan uang secukupnya kepada
pemilik penginapan sebagai biaya untuk merawat korban. Ia berjanji bahwa
setelah urusannya selesai, ia akan kembali untuk membayar segala kekurangan
yang ada (ay. 35).
Apa yang paling mendorong orang Samaria itu
untuk repot-repot sedemikian rupa sehingga batas-batas penghalang secara etnis
dan permusuhan menjadi begitu tipis? Jawabannya adalah belas kasihan (ay. 33).
Sampai di situ, Yesus tidak meneruskan
ceritanya. Tetapi Yesus juga tidak menjawab pertanyaan ahli Taurat “Siapakah sesamaku manusia?” Yesus balik
bertanya kepadanya, menurutmu “Siapakah
di antara ketiga orang ini (imam, Lewi, orang Samaria) adalah sesama manusia bagi orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”
(ay. 36). Masih terkesima dengan cerita Yesus tentang orang Samaria, ahli
Taurat menjawab, “Orang yang telah
menunjukkan belas kasihan kepadanya.” (ay. 37). Yesus menutup dialognya
sambil berkata, “Pergilah dan perbuatlah demikian!” (ay. 37b).
Mengapa sampai akhir dialog Yesus tidak
menjawab pertanyaan ahli Taurat “Siapakah
sesamaku?” adalah karena pertanyaan itu keliru. Pertanyaan itu mengandung
asumsi ada orang termasuk kelompokku dan ada yang tidak; ada yang sederajat
denganku sebagai sesama dan ada yang tidak; ada yang layak masuk kelompokku dan
ada yang tidak; ada yang layak ditolong ada yang tidak. Cara bertanya “Siapakah sesamaku?” menempatkan diri
kita – sebagai orang yang bertanya – sebagai pemberi kriteria siapakah yang
layak menjadi sesama kita karena ukuran dan kriterianya adalah kita. Hal ini
akan membuat sekat-sekat yang baru dalam hidup kita. Pertanyaan ini membuat si
penanya merasa layak menentukan siapa sesamanya dan siapa bukan karena di
matanya tidak semua orang adalah sesamanya. Itulah implikasi sosial di balik
pertanyaan “Siapakah sesamaku?” Namun
di mata Yesus cara pandang demikian keliru. Seharusnya setiap orang, siapa saja
adalah sama-sama makhluk ciptaan Allah berasal dari Sumber yang sama. Sikap yang benar adalah bahwa kita menjadi
sesama bagi siapa saja. Jadi bukan “Siapakah
sesamaku?” tetapi “Siapakah aku bagi
sesama?”. Pertanyaan “Siapakah
sesamaku?” membuat kita membangun tembok, tetapi dengan pertanyaan “Siapakah aku bagi sesama?” kita sedang
menghancurkan tembok. Karena itu, mari belajar agar pertanyaan kita juga adalah
“Siapakah aku bagi sesama?” agar
tidak ada gap atau tembok yang
menghalangi kita dengan orang lain.
Yesus mengoreksi pertanyaan yang keliru dengan
sebuah pertanyaan yang tepat. “Siapakah
yang menjadi sesama bagi orang yang malang itu?” (ay. 36). Yesus mengoreksi pertanyaan keliru itu sebab
pertanyaan itu mengasumsikan pengelompokan-pengelompokan primordial di antara
manusia berdasarkan etnis atau agama atau status social dan perbedaan-perbedaan
lainnya. Kita harus mengkikis semua tembok yang mengelilingi kita, apakah
tembok fakultas atau tembok-tembok lainnya dengan pertanyaan “Siapakah aku bagi sesama?“
Dan sedikit banyak pengelompokan itu akan
memengaruhi sikap kita terhadap mereka yang dianggap di luar kelompok. Yang
termasuk kelompok ditolong dan di luar itu dibiarkan atau malah dizolimi. Inilah
kecenderungan manusia. Dalam pertanyaan yang diajukan Yesus, kriteria sesama
tidak lagi ditentukan dari sudut penanya, melainkan dari sudut orang lain,
tepatnya orang yang sedang membutuhkan pertolongan. Untuk orang yang dirampok
dan dianiaya, satu-satunya yang diharapkan adalah pertolongan konkret dari
siapa saja.
Orang Samaria dalam kisah ini telah menjadi
sesama bagi korban penyamun itu. Imam dan orang Lewi belum menjadi sesama bagi
orang yang malang itu kendati etnis dan agamanya sama. Secara tidak langsung
Yesus mengatakan, “Perluaslah lingkaran
sesamamu menjadi siapa saja, sama halnya seperti seorang yang dalam kesusahan
akan mengharapkan pertolongan dari siapa saja yang dapat menolongnya!” (bd. Gal 6: 10). Dalam menolong sesama itu
mari merobohkan setiap tembok yang menghalangi.
Pertanyaan yang tepat bukan “Siapakah sesamaku?” melainkan “Apakah
aku menjadi sesama bagi orang lain?”. Apakah aku menjadi sesama bagi
yang terdiskriminasi, korban ketidakadilan, mereka yang termarginalkan,
tertindas, kaum miskin dst? Apakah aku menjadi sesama bagi yang sedang
ketakutan? Apakah aku menjadi sesama bagi yang dilecehkan martabatnya? Apakah
aku menjadi sesama bagi yang menderita, korban bencana alam, korban penipuan,
bagi warga yang dilarang beribadah dll? Pertanyaan “Siapkah aku bagi mereka” membuat kita tidak bisa diam, dan harus
bertindak. Sering kita hanya sebatas berkata “kasihan… kasihan.. dan kasihan..”, tetapi tanpa tindakan nyata. Di
negara ini kita berhadapan dengan penyakit 3K (Korupsi, Kemiskinan, dan Ketidakadilan)
di negara ini. Jadi pertanyaannya adalah “Siapakah
aku bagi mereka?” yang terkena dampak korupsi, atau bagi mereka yang sangat
miskin, atau bagi mereka yang mengalami ketidakadilan. Siapakah kita bagi orang
yang termarginalkan dan bagi mereka yang tidak mendapat akses pendidikan yang
lebih baik? Siapakah kita bagi mereka?
Krisis hubungan
interpersonal di sekitar kita adalah krisis menjadi sesama. Inilah yang ditegor ioleh Tuhan
Yesus kepada ahli Taurat melalui gambaran iman dan orang Lewi. Berbagai konflik
sosial, entah apa pemicunya atau siapa provokatornya, memperlihatkan bahwa
kekerasan telah menjadi model karena kita bukan lagi menjadi sesama. Ada demonstrasi
dan kerusuhan dimana-mana dengan anarkisme. Hukum rimba berlaku dimana-mana. Sentimen
antargolongan dan antarkelompok, sikap curiga, sikap agresif, semua itu
dimungkinkan karena orang lain tidak termasuk kelompokku. Jurang yang ada
semakin dalam dan antipasti semakin mengkristal dalam kehidupan kita. Karena
orang lain bukan sesamaku maka ia boleh dikejar-kejar, dikasari, dilukai,
bahkan dibunuh. Inilah membuat anak bangsa tidak baradab tapi biadab. Sejarah
bangsa kita sarat dengan konflik sosial bahkan horizontal yang berakhir dengan
pembakaran, perusakan, dan pembunuhan. Kita
harus mengubah dan meninggalkan paradigma berfikir dengan kebiasaan mengajukan
pertanyaan keliru “Siapakah sesamaku?”
pertanyaan yang benar adalah “Siapakah
aku bagi sesama?”.
Kita harus berani keluar dari ketertutupan
kelompok (exclusivism) untuk kemudian
menjadi sesama bagi orang lain (inclusive).
Semua manusia tanpa pandang agama suku dan apapaun masuk dalam bagian hidupku
yang harus aku tolong dan layani. Kita harus berpikir bagaimana cara menjadi
sesama bagi orang lain dan membiasakan diri
berfikir dengan cara demikian. Maka kita akan menemui orang lain sebagai
sesama dalam perjumpaan yang konkret karena kita mampu menempatkan diri pada
posisi mereka itulah dengan simpati dan empati yang dalam.
Dengan simpati dan empati kecurigaan dan jurang
pemisah berdasarkan etnis, suku dan
agama, status sosial tidak akan tumbuh denagn subur tetapi akan terkikis habis.
Ketika kita berjalan dengan siapapun tidak ada lagi kecurigaan dan tembok yang
memisahkan karena aku menjadi sesama bagi mereka. Mari belajar dari ketaatan orang
Samaria, yang bukan suku Yahudi tetapi menolong orang Yahudi. Membangun sikap
menjadi sesama akan menghilangkan kecurigaan, sekat-sekat dalam masyarakat dan
konflik horizontal karena kita telah menjadi sesama bagi semua orang tanpa
batas apapun. Tidak ada batas agama, suku, dan status sosial. Kita adalah
sesama. Itulah yang diajarkan Kristus dengan perumpamaan orang Samaria yang
baik hati. Mari mulai hari ini berkata “Siapakah
aku bagi sesama?”. Ketika kita melihat orang di sekitar kita, mari tetap bertanya
“Siapakah aku bagi dia?”.
Solideo Gloria!
No comments:
Post a Comment