Alex Nanlohy
Jika kepada kita
ditanyakan, apa kisah dari hidup Yusuf yang kita ingat? Salah satunya adalah
kisah Yusuf dengan isteri Potifar. Dan pada malam hari ini kita akan belajar
dari kisah Yusuf khususnya melalui Kej pasal 39.
Sebelum melihat
hidup Yusuf, mari membuka Rom 15:4, “Sebab
segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi
kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan
penghiburan dari Kitab Suci”. Kisah PL dituliskan sebagai pembelajaran bagi
kita pembacanya. Agar kita berpegang teguh kepada pengharapan oleh ketekunan
dan penghiburan dari kitab suci. Ini adalah tujuan kisah-kisah dalam PL
diceritakan bagi kita dan kita pelajari bersama-sama. Dan ini jugalah kerinduan
kita ketika belajar dari kisah hidup Yusuf.
Siapakah Yusuf? Ia
adalah anak dari Yakub, anak ke 12 dari 13 (karena nanti ada Benyamin). Nama
Yusuf memiliki arti ‘menambahkan kepadaku’ atau ‘mudah-mudahan Allah menambah’
(Kej 30:22-24). Kisah tentang Yusuf termasuk kisah yang panjang dalam Kitab
Kejadian (mulai pasal 37-50) dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain. Sosok
Yusuf disorot sedemikian detail, khususnya realita dalam Kej 39. Semua peristiwa
dalam hidup Yusuf di ‘zoom’
sedemikian rupa sehingga kita bisa melihat lebih dekat, termasuk kisah dalam
Kej 39 – Yusuf dengan isteri Potifar. Mari malam ini melihat lebih jauh lagi
tentang Yusuf.
Saya secara
khusus memberikan judul malam ini “Mendaki
Puncak”. Bicara soal hidup alumni sering sekali berbicara mengenai mendaki
puncak. Hidup yang semakin naik dalam kehidupan - karir, atau keluarga. Bukan
sesuatu yang salah jika kita ingin yang semakin baik dalam hidup kita, tetapi bagaimana
kita mencapai itu? Inilah yang akan kita pelajari dari Yusuf.
Yusuf adalah
anak kesayangan dari Yakub (Kej 37:1-11). Jika kita perhatikan dengan baik,
kita akan menemukan bahwa keluarga Yusuf bukanlah keluarga yang harmonis. Yakub
sudah memiliki dua isteri. Ketika dia tidak memiliki anak dari satu isterinya,
maka isterinya memberikan pembantu mereka menjadi isteri Yakub. Dan akhirnya
Yakub memiliki empat isteri dan akhirnya juga memiliki banyak anak dari mereka.
Kemudian ditambah lagi dengan Yakub sendiri yang sangat favorit kepada Yusuf.
Saking sayangnya, Yakub memberikan jubah yang maha indah kepada Yusuf. Bahkan
ketika saudara-saudaranya sedang menggembalakan ternak, Yusuf di rumah, bebas
tugas. Bahkan disuruh bapaknya untuk memeriksa apa yang sedang dikerjakan dilakukan
abang-abangnya.
Hal ini
menyebabkan ada dinamika emosi yang terjadi pada abang-abangnya terhadap Yusuf.
Mari perhatikan emosinya. Dalam Kej 37:1-4 dikatakan, “1 Adapun Yakub, ia diam di negeri penumpangan ayahnya, yakni di tanah
Kanaan.2 Inilah riwayat keturunan Yakub. Yusuf, tatkala berumur tujuh belas
tahun -- jadi masih muda -- biasa menggembalakan kambing domba, bersama-sama
dengan saudara-saudaranya, anak-anak Bilha dan Zilpa, kedua isteri ayahnya. Dan
Yusuf menyampaikan kepada ayahnya kabar tentang kejahatan saudara-saudaranya. 3
Israel lebih mengasihi Yusuf dari
semua anaknya yang lain, sebab Yusuf itulah anaknya yang lahir pada masa
tuanya; dan ia menyuruh membuat jubah yang maha indah bagi dia. 4 Setelah
dilihat oleh saudara-saudaranya, bahwa ayahnya lebih mengasihi Yusuf dari semua
saudaranya, maka bencilah mereka itu
kepadanya dan tidak mau menyapanya dengan ramah.“ Abang-abangnya benci
kepada Yusuf dan tidak mau menyapanya dengan ramah.
Kemudian dalam
ay 5 dikatakan, “Pada suatu kali
bermimpilah Yusuf, lalu mimpinya itu diceritakannya kepada saudara-saudaranya;
sebab itulah mereka lebih benci lagi
kepadanya.” Mengapa? Karena
dalam mimpinya berkas padi abang-abangnya menyembah berkas padi Yusuf (Kej
37:6-8). Lihat, kadar kebencian mereka bertambah dari benci menjadi lebih benci.
Bahkan kemudian dia kembali menceritakan mimpinya di mana matahari, bulan, dan
sebelas bintang menyembah kepada dia (37:9). Kali ini Yakub menegur Yusuf,
walau sudah terlambat. Akibat mimpinya ini sangat jelas. Dalam ay 11 dikatakan,
“Maka iri hatilah saudara-saudaranya
kepadanya, tetapi ayahnya menyimpan hal itu dalam hatinya dan menyimpan perkara
itu dalam hatinya.” Perhatikan dinamikanya, dari benci menjadi lebih benci
dan akhirnya iri hati.
Pada bagian
selanjutnya kita melihat kisah di mana saudara-saudaranya menggembalakan domba
di Sikhem. Kemudian Yakub memanggil Yusuf dan menyuruh dia kepada mereka untuk
melihat apakah baik keadaan saudara-saudaranya dan keadaan kambing domba dan
membawa kabar itu kepada Yakub. Ketika Yusuf pergi ke padang dan mencari
saudara-saudarnya dan mendapat informasi bahwa saudara-saudaranya ada di Dotan.
Dalam ay 18 dikatakan, “Dari jauh ia
telah kelihatan kepada mereka. Tetapi sebelum ia dekat pada mereka, mereka telah
bermufakat mencari daya upaya untuk membunuhnya”. Yusuf kelihatan dari jauh
karena jubah maha indah. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa harus memakai
jubah yang maha indah jika hanya ke tempat penggembalaan?
Apa yang terjadi
kemudian adalah saudaraya tidak jadi membunuh Yusuf tetapi membuangnya ke sumur
dan akhirnya menjual kepada pedagang Ismail yang sedang menuju Mesir. Di Mesir,
Yusuf akhirnya dibeli Potifar. Yusuf anak kesayangan dan kemudian menjadi budak
belian. Yusuf yang adalah anak kesayangan tiba-tiba dibenci saudara-saudaranya
dan akhirnya menjadi budak. Bisakah kita merasakan psikologis Yusuf? Pastilah
tidak mudah bagi Yusuf menghadapi situasi ini, dimana ia menjadi budak di tanah
yang jauh dari orang tua dan abang-abangnya tinggal.
Tetapi di
situasi seperti inilah kita melihat Tuhan memakai dia. Apa yang terjadi? Di
rumah Potifar dia menjadi kepercayaan, menjadi kepala rumah tangga Potifar.
Lebih maju lagi, ketika di penjara dia juga menjad kepercayaan kepadala
penjara. Dan lebih maju lagi dia menjadi orang nomor dua yang paling berkuasa
di Mesir. Ini adalah kisah from zero to
hero. Semua pengalaman hidup yang sulit Tuhan ijinkan dialami Yusuf dalam
hidupnya mendaki puncak. Apa yang bisa kita pelajari dari hidup Yusuf yang
mendaki puncak?
Dalam
kehidupannya, Yusuf pasti mengalami kepahitan. Kita cenderung mengabaikan hal
ini karena kita sudah tahun akhir dari ceritanya. Tetapi Yusuf belum tahu
sama sekali. Dia pasti sangat bergumul ketika dimasukkan dalam sumur kering atau
menjadi budak, bahkan ketika di penjara. Memang tidak diceritakan dengan detail
kepada kita tetapi kita meyakini bahwa Yusuf mengalami pergumulan karena dia
sama sekali tidak tahu rencana Allah dalam hidupnya sampai di akhirnya. Jangan
mengecilkan pergumulan Yusuf. Dan dari kondisi inilah kita belajar bagaimana
Paulus belajar mencapai puncak.
Ada tiga hal
yang bisa kita pelajari dari Yusuf dalam belajar mencapai puncak. Pertama, ketika menjadi budak di rumah
Potifar, Allah menyertai Yusuf. Kej
39:2 mengatakan, “Tetapi TUHAN menyertai
Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya;
maka tinggallah ia di rumah tuannya, orang Mesir itu.” Yusuf disertai oleh
Tuhan dan membuat berhasil segala sesuatu yang dikerjakannya (baca ay 3, 5,
23). Apa yang ditekankan ayat-ayat ini adalah Tuhan menyertai Yusuf. Tidak ada keberhailan apapun dalam hidup
terlepas dari tangan Tuhan yang berkuasa. Inilah yang harus kita pelajari
dari hidup Yusuf. Bukan karena Yusuf cukup mampu atau bertahan melawan godaan,
tetapi yang terutama adalah karena tangan Tuhan yang kuat menyertai Yusuf. Inilah
yang disebut dengan iman. Kesuksesan Yusuf tidak terlepas dari Tuhan yang
menyertai dia.
Kata ‘menyertai’
sebenarnya memiliki makna yang sangat dalam. Disertai Tuhan menyatakan perbedaan dengan lingkungan sekitarnya. Ada
satu respon ketaatan dimana Yusuf harus hidup seturut yang Tuhan mau. Dalam Kel
33 ada kisah di mana bangsa Israel menyembah anak patung lembu emas ketika Musa
sedang berada di atas gunung Sinai. Tuhan berkata, “Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Pergilah, berjalanlah dari sini,
engkau dan bangsa itu yang telah kaupimpin keluar dari tanah Mesir, ke negeri
yang telah Kujanjikan dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub, demikian:
Kepada keturunanmulah akan Kuberikan negeri itu -- Aku akan mengutus seorang
malaikat berjalan di depanmu dan akan menghalau orang Kanaan, orang Amori,
orang Het, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus – (Kel 33:1-2). Allah
mengijinkan bangsa Israel memasuki Kanaan, tetapi Allah tidak akan bersama
dengan mereka tetapi akan mengutus malaikatNya karena jika Allah berjalan
dengan mereka, oleh karena bangsa Israel adalah bangsa yang tegar tengkuk,
Allah bisa membinasakan mereka. Sekilas tidak ada yang salah dengan penawaran
ini. Tetapi Musa tidak menerima penawaran ini. Musa memiliki satu prinsip hidup
yang luar biasa. Dalam K3l 33:15-17 dikatakan, "Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami
berangkat dari sini. Dari manakah
gerangan akan diketahui, bahwa aku telah mendapat kasih karunia di hadapan-Mu,
yakni aku dengan umat-Mu ini? Bukankah karena Engkau berjalan bersama-sama
dengan kami, sehingga kami, aku dengan umat-Mu ini, dibedakan dari segala
bangsa yang ada di muka bumi ini?”
Kesuksesan bagi
Musa bukanlah ketika mereka masuk ke tanah Kanaan, ketika mereka bersama dengan
Tuhan. Ketika Musa meminta kepada Tuhan untuk berjalan bersama dengan mereka,
itu adalah permintaan yang luar biasa karena permintaan ini disertai sebuah
komitmen bahwa bangsa Israel mau hidup kudus di hadapan Tuhan. Musa meminta dan
dia tahu konsekuensinya. Tetapi bagi Musa lebih
baik berjalan bersama Tuhan di dalam gelap dari pada berjalan sendirian di
dalam terang. Ini adalah prinsip hidup yang luar biasa.
Memiliki ambisi
bukanlah sesuatu yang salah. Tetapi penyertaan Tuhan jauh lebih penting dari
sekedar ambisi kita. Dipimpin Tuhan adalah yang terutama dalam hidup. Jika kita
melihat Yesus lebih penting maka mungkin ketika Tuhan mengijinkan sebuah
peristiwa terjadi, kita rela kehilangan nyawa supaya Yesus ditinggikan dari
hidup. Mudah? Tidak saja tidak! Disertai Tuhan memiliki konsekuensi Tuhanlah
segala-galanya dalam hidup dan kesetiaan serta ketaatan untuk dipimpin oleh
Tuhan. Mari mengalami perjalanan hidup
dengan Tuhan, mendaki puncak, baik dalam karir atau dalam segala hal.
Penyertaan Tuhan
itu tidak bisa diprediksi. Dalam Mazmur dikatakan bahwa Firman itu pelita bagi
kakiku terang bagi jalanku. Gambaran yang dipakai adalah pelita, bukan lampu
sorot. Kita selalu mengharapkan Firman Tuhan itu seperti lampu sorot yang bisa
memperlihatkan ujung dari hidup kita. tidak demikian. Allah menuntun kita
seperti pelita. Jika kita memegang pelita, apa yang Nampak hanyalah sekitar dua
meter ke depan. Jika kita ingin tahu dua meter lagi, maka kiha harus maju dua
meter. Ini adalah cara Tuhan memimpin kita. Ada cara-cara Tuhan yang (mungkin)
melampaui apa yang kita mau. Yang menarik dari Yusuf bukanlah ketika dia ada di
dalam sumur, di penjara, atau jadi orang yang berkuasa, tetapi bagaimana Tuhan
menyertai dia, sebuah penyertaan yang bahkan nyata bagi orang lain (Potifar,
Kepala Penjara, bahkan bagi Firaun sendiri). Ingat, penyertaan Tuhan harus
menjadi yang nomor satu dalam hidup kita.
Hal kedua yang
kita pelajari dari hidup Yusuf selain dari penyertaan Tuhan adalah kompetensi yang dimilikinya. Tuhan juga
pasti memberikan kompetensi kepada Yusuf. Tuhan menyertai adalah bagian Tuhan
yang Tuhan memang kerjakan dalam hidup anak-anakNya. Tetapi mari melihat
kompetensi dasar yang Yusuf miliki. Hasil dari pekerjaannya membuat ia dikasihi
baik ketika di rumah Potifar maupun di dalam penjara. Dari sini kita melihat
bagaimana Yusuf memiliki kemampuan managerial yang baik.
Jangan lupa bahwa
Tuhan juga memberi kemampuan bagi kita untuk mengembangkan potensi dalam hidup
kita. Tuhan memberi kesempatan bagi kita untuk berkarya secara luar biasa. Di satu sisi Tuhan memberkati, disisi lain
kita memaksimalkan segala talenta yang Tuhan berikan. Jika kita melihat
lebih jauh lagi hidup Yusuf ketika ia dipanggil menghadap Firaun, ternyata ia
mampu memberikan solusi atas permasalahan yang akan di hadapi bangsa Mesir.
Dari mana ia belajar? Tentu saja dalam perjalanan hidupnya. Penyertaan Tuhan
bukan membuat segala sesuatu terjadi secara instan tetapi ada kompetensi yang
kita persembahkan dan maksimalkan.
Saya tidak tahu
apa yang Tuhan mau dalam hidup kita masing-masing dan kemampuan apa yang harus
kita kembangkan? Tetapi, dalam ijin Tuhan, mari mengembangkan kompetensi kita
dengan maksimal yang mungkin melampaui ilmu kita. Di sinilah kita akan melihat
apa yang Tuhan tanamkan, yaitu ada sisi-sisi yang tidak kita temukan ketika
kita belum mengembangkan ilmu kita. Banyak dari kita yang Tuhan siapkan untuk
menjadi lebih besar. Oleh sebab itu setialah. Mari peka dan melihat Tuhan
sedang melakukan apa dalam hidup kita.
Hal ketiga yang
kita pelajari dari hidup Yusuf untuk mendaki ke puncak adalah memiliki integritas. Secara sederhana bisa
dikatakan bahwa integritas adalah who you are when no ones looking – siapa anda ketika tidak ada orang yang melihat.
Integritas adalah keutuhan seluruh aspek hidup. Keutuhan hidup (completeness, wholeness) itu penting
untuk kita kembangkan. Yusuf memiliki hal ini.
Perlu kita
ketahui bahwa konsep Allah pada zaman itu beda dengan konsep zaman pada zaman
ini. Pada masa itu konsep allah adalah allah local. Di Kanaan allah itu adalah
allah Kanaan. Ketika pindah ke Mesir allahnya adalah allah Mesir. Jadi tiap
pindah lokasi allahnya pasti berbeda. Tetapi Allah Israel memperkenalkan diri bahwa
Dia adalah Allah seluruh bumi. Dan hal inilah yang ditangkap dan dipahami oleh
Yusuf. Ketika dia digoda oleh isteri Potifar dia berkata “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat
dosa terhadap Allah?” (Kej 39:9b). Dia tahu bahwa dia sedang berada di
Mesir bukan di Kanaan, tetapi dia memahami dnegan benar bahwa Allah Israel itu
adalah Allah atas seluruh bumi. Hal ini membuat yusuf menyadari bahwa dia
sedang berdiri dihadapan Allah. Inilah integritas Yusuf.
Banyak sekali
alumni yang tidak melakukan dosa bukan karena integritas atau menyadari bahwa
dia berdiri dihadapan Allah, tetapi karena takut ketahuan. Banyak alumni yang
kelihatan berintegritas, tetapi ketika kita gali alasan mereka sebanrnya adalah
karena takut ketahuan. Ketika masih mahasiswa, seseorang itu kita lihat tidak
mau korupsi, rajin saat teduh. Tetapi dia melakukannya hanya karena takut
ketahuan sama teman-temannya yang yang lain. Ketika menjadi alumni dan tidak
ada yang mengawasi dia menjadi lebih ganas. Saat teduh ditinggalkan bahkan menjadi
seorang koruptor.
Itulah sebabnya
melihat kehidupan Yusuf menyadarkan saya bahwa dia adalah pemuda yang luar
biasa. Kita bisa melihat bagaimana isteri Potifar dengan gigih menggoda Yusuf
untuk tidur dengan dia. Bahkan sampai-sampai pada satu hari tidak ada orang di
rumah. Bagaimana mungkin tidak ada orang di rumah, karena mereka memiliki
banyak pembantu? Kemungkinan besar kerena isteri Potifar mengatur sedemikian
rupa.
Dalam kondisi
tidak ada orang, isteri Potifar kembali menggoda Yusuf dengan gigihnya. Ingat,
Yusuf masih muda, masih 17 tahun yang bergumul dengan hal-hal seksual dan ada
yang menjadi pelampiasa, siteri Potifar yang menggoda dia. Suasana mendukung,
kebutuhan ada, dan kemudian Isteri Potifar itu memegang baju Yusuf. Jangan
pikir Yusuf tidak bergumul. Apa kemudian yang dilakukan Yusuf? Lari. Jika kita tidak sanggup, jalan satu-satunya
kita harus lari. Pengenalan Yusuf akan Allah membuat dia memiliki kehidupan
yang takut akan Tuhan. Walaupun tidak ada orang yang melihat, Yusuf menyadari
bahwa dihadapan Allah rayuan dari isteri Potifar adalah dosa.
Yusuf tahan
godaan bukan karena ia mampu. Jika ia mampu ia tidak akan lari. Lari menjadi
satu indikasi sebenarnya Yusuf punya nafsu. Yusuf sadar dia tidak tahan itulah
sebabnya dia lari. Integritas adalah taruhannya ketika kita mau mendaki ke
puncak bersama Tuhan. Mari memiliki integritas dan relasi dengan Allah yang
bisa menolong kita setia. Yusuf tidak melakukannya bukan karena takut ketahuan.
Bukankah suasana sangat mendukung dimana tidak ada orang dirumah? Tetapi Yusuf
menolaknya karena ia mengenal siapa Allah. Memiliki hidup yang takut akan Allah
akan menolong kita untuk tetap berintegritas bahkan di tempat paling sepi
sekalipun.
Dalam mendaki
mencapai puncak dengan integritas kita akan menghadapi tantangan. Tantangan
bagi masing-masing kita pasti berbeda. Yang pasti Iblis akan menyerang kita
pada hal-hal yang kita lemah. Martin Luther pernah berkata ”Saudara tidak mungkin melarang
burung terbang di atas kepala saudara, tetapi engkau bisa mencegahnya bikin
sarang di kepalamu.” Tidak mudah menghadapi tantangan atau rayuan si
jahat, tetapi Tuhan akan memberikan kekuatan.
Mendaki ke
puncak ada bagian yang Tuhan sediakan dan ada bagian kita. Yusuf ditolong untuk
melewati itu. Saya tidak tahu apa pergumulan dari masing-masing kita dan dimana
sekarang posisi kita dalam karir kita. Pertanyaannya adalah apakah kita
disertai Tuhan? Apakah kita sebagai alumni senantiasa mengembangkan kompetensi
kita sampai maksimal? Termasuk ketika Tuhan meminta atau mengizinkan kita
mempelajari hal-hal yang baru? Apakah integritas kita terus diuji dan kita
selalu tampil sebagai pemenang?
Kiranya tokoh Yusuf
pada malam hari ini menginspirasi kita dan juga mengingatkan kita bahwa
kepahitan hidup tidak membuat Yusuf memiliki hubungan yang pahit kepada Tuhan.
Tetapi Yusuf menemukan Tuhan dalam segala keadaan dan Yusuf tetap setia kepada
Tuhan dalam segala keadaan. Mendaki puncak, apakah yang akan saudara lakukan?
Solideo Gloria!
No comments:
Post a Comment