Thursday, July 24, 2014

Pria Sejati

Hasoloan Marpaung
[Merupakan rangkaian kotbah MBA Seri Teman Hidup Bagian 03, yang dibawakan pada ibadah MBA 26 April 2013]

Hari ini kita akan bicara mengenai tema pria sejati. Pada dasarnya menjadi serupa dengan Kristus adalah tujuan semua orang (bukan hanya lelaki). Ada dua sisi dalam hal ini. Satu sisi kita ingin seperti Kristus dengan segala aspek yang kita miliki. Tetapi kita harus menyadari bahwa kita belum sempurna dalam hal itu. Bahkan Paulus sendiri mengakui  bahwa dia belum mencapai itu. Di sisi lain, kondisi ini tidak menjadi alasan bagi kita untuk tidak berjuang mencapai kesempurnaan seperti Kristus. Selama hidup di dunia kesempurnaan seperti Kristus mungkin tidak akan pernah kita capai tetapi tidak berarti kita membuat alasan-alasan untuk tidak mengejar titik di mana hidup kita bisa menyerupai Kristus.
Di dalam kamus, kata ‘sejati’ artinya tulen, asli, murni, tidak lancung, tidak ada campurannya. Manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa, pada awal penciptaan (sebelum jatuh dalam dosa) dikatakan serupa dan segambar dengan Allah. Dalam Kej 1:27 dikatakan, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka.” Kita sama-sama tahu bahwa gambaran Allah ada dalam diri manusia. Pada saat itu manusia berkualitas keallahan, punya persekutuan yang baik (Akrab) dengan Allah, dan bebas dari ketakutan. Di samping itu juga bahwa relasi Allah Tritunggal merupakan relasi yang ada dalam hidup dalam relasi antar gender (pria dan wanita). Dan ini juga yang dirusak ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Dan saat ini kita akan lebih banyak melihat bagaimana pria dalam hubungannya terhadap isteri (pasangan) dan kita juga akan menyinggung tentang relasi dengan anak-anaknya.
Ketika manusia melanggar perintah Tuhan mereka menjadi malu saling menyalahkan, tidak menerima tanggung jawab dan terpisah dari Allah yang Maha Kudus. Manusia secara rohani menjadi mati, tidak punya persekutuan yang baik sebaik sebelumnya, dan konsekuensinya diusir dari taman Eden dan berada dalam kutukan dosa.
Allah akhirnya berinisiatif menyelamatkan dan memberikan penebusan seperti yang ada di dalam Ef 1:7, “Sebab di dalam Dia dan oleh darahNya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa menurut kekayaan kasih karuniaNya.” Allah melihat tidak ada lagi jalan untuk menyelamatkan manusia, maka Dia sendiri turun dalam AnakNya, Yesus Kristus, untuk menyelamatkan manusia. Dalam Ibrani 7:15 juga dikatakan, “Karena Ia adalah Pengantara dari suatu perjanjian yang baru, supaya mereka yang telah  terpanggil dapat menerima bagian kekal yang dijanjikan, sebab Ia telah mati untuk menebus pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan selama perjanjian yang pertama.”
Ketika kita ditebus maka kita menjadi manusia baru yang juga adalah orang kudus (Efesus 1:1, Fil 1:1, Kolose 1:1), atau ciptaan baru (II Korintus 5 : 17), dan orang yang telah berpindah dari kuasa kegelapan pada kerajaan anakNya yang kekasih (Kol 1:13). Ketika kita menjadi manusia baru keberadaan kita yang sudah diubahkan di mana yang menjadi otoritas dalam hidup kita adalah Allah. Dalam Efesus 4:23-24 dikatakan, “Supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan  yang sesungguhnya.” Dalam Galatia 2:19-20 juga dengan jelas dikatakan, “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang mengasihi aku dan menyerahkan diriNya untuk aku.”
Ketika ada seseorang bertanya kepada kita apakah kita orang kudus atau tidak, apa jawaban kita? Kita mungkin ragu untuk menjawab bahwa kita adalah orang kudus karena melihat bahwa kita masih berbuat dosa. Tetapi itulah fakta sebenarnya. Kita adalah orang-orang yang Tuhan kuduskan tetapi masih kadang-kadang/sering berdosa. Kita sudah ditebus dengan darah Kristus dan sudah diselamatkan. Bukan lagi keberadaan kita yang lama, tetapi kita sudah menjadi orang-orang kudus. Hal ini janganlah kiranya membuat kita menjadi sombong dan merasa tidak akan pernah jatuh ke dalam dosa.
Memang ketika kita bertobat, dosa itu masih hidup dan menggoda tetapi kuasa dan otoritasnya sudah dipatahkan (Roma 8:2). Lalu kenapa orang kudus dalam kenyataannya masih jatuh ke dalam dosa (termasuk terhadap isteri atau anak)? Itu adalah masalah keputusan pribadi, sebuah keputusan yang sering disebut kehendak bebas. Sebenarnya Adam dan Hawa tidak perlu berdosa. Mereka memiliki kuasa untuk tidak berdosa tetapi mereka mengijinkan telinganya mendengarkan firman Tuhan yang dimiringkan. Tawaran Iblis tidak pernah berhenti. Semakin kita dekat dengan Tuhan semakin tawaran itu tinggi kualitas dan intensitasnya. Tipuan dan kebohongan iblis dapat berupa membelokkan Firman Tuhan, menuduh kita tidak mampu, menuduh kita manusia biasa, atau membuat kita lupa status penebusan kita.
Mari melihat kepada pria sejati lebih dekat lagi. Ada beberapa pandangan dunia mengenai seorang pria yang disebut sejati. Diantaranya adalah orang yang macho, six pack, banyak penggemarnya, tidak gampang nangis, tampan, wanted by many  girls, wealthy, highly independent, defending his pride at all cost. Semua yang ada dalam list ini tidak masalah sepanjang semuanya itu bukanlah kesombongan dan membuat kita jauh dari Tuhan.
Ingat, dalam Kej 1:27 dikatakan bahwa kita adalah gambaran Allah. Paulus juga menyatakan bahwa kita harus menjadi serupa dengan Dia dalam kematianNya (Fil 3:10). Semua dosa dan manifestasinya sudah mati dan tidak ada lagi kuasanya terhadap kita. Jadi kita harus sudah mati untuk dosa. Pria sejati adalah pria yang (menjalani ) hidupnya dalam kebergantungan dan ketaatan pada Allah yang dalam setiap kesempatan pengambilan keputusan selalu memilih dan mendahulukan kehendak Allah.  Pria sejati sama dengan Christ-like.
Dalam situasi ideal siapakah yang sangat kita kasihi ketika kita masih lajang? Pasti kebanyakan akan menjawab ‘orang tua’. Alasannya adalah karena mereka yang melahirkan, mengasuh, menafkahi, memberikan pendidikan, dst. Tetapi ketika seorang laki-laki menikah maka dia harus meninggalkan orangtuanya dan bersatu dengan isterinya karena keduanya satu daging ( Kej 2:24, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging.”). Jika belum menikah yang disayangi adalah orangtua, maka setelah menikah yang menjadi prioritas adalah isteri. Ada dua pemahaman dalam melihat Kej 2:24 tersebut. Pertama adalah bahwa pengertian meninggalkan ayah ibu bisa harafiah di mana pengantin baru sebaiknya tingal berdua saja dalam periode waktu tertentu. Mereka tidak tinggal dengan orang tua ataupun mertua. Hal ini sangat direkomendasikan. Pengertian kedua adalah di mana prioritas dan interest utama berpindah dari orang tua ke isteri. Hal ini sangat prinsipil dan Alkitabiah. Bagi pria sejati tentu saja yang menjadi nomor satu adalah Tuhan dan nomor dua adalah isteri.
Pria sejati juga harus bersedia untuk berubah. Walaupun kita sudah banyak pelayanan ketika menikah tidak ada cerita harus bersedia berubah. Seringsekali kita berharap pasangan kita berubah. Kita berharap ketika pulang kerja kita akan disambut dan dilayani sedemikian rupa karena melihat dia pasangan kita juga adalah anak Tuhan. Kita berharap ada kemesraan. Inilah asumsi kita. Hal ini belum tentu terjadi walau kita menikah dengan wanita yang adalah anak tuhan. Jika kita menginginkan hal seperti ini terjadi maka yang perlu kita lakukan adalah dengan memulai dari diri sendiri.
Ada beberapa catatan dari isteri-isteri menegnai pasangannya (suami). Dan bagi kita, seorang pria yang sedang dalam proses menjadi pria sejati, hal ini baik untuk kita ketahui. Menjadi pria yang dikehendaki Allah ternyata jenis suami yang diinginkan oleh isteri. Bukan berarti hal-hal lain tidak perlu, tetapi yang ini adalah intinya. Kemudian wanita merasa paling aman ketika mengetahui suami mereka memiliki hubungan yang teguh dengan Tuhan. Ketika suamipun pergi dinas keluar kota, si isteri tetap aman karena dia percaya suaminya tidak akan berbuat dosa karena suami memiliki hubungan yang dekat dengan Allah. Sadarilah bahwa pernikahan akan mengalami perubahan karena hubungan anda dengan Tuhan. Jadi perubahan itu dari dalam ke luar. Seringkali kita berpikir bahwa aktifitas dari luar akan membawa ke dalam. Ternyata tidak! Dalam persekutuan atau pergumulan kita dengan Allah kita akan mendengar Roh Kudus berbicara, menolong dan mengangkat kita dari satu tahap ketahap berikutnya. Di sinilah terjadi perubahan termasuk perubahan dalam pernikahan. Jadi bukan faktor eksternal yang membuat pernikahan kita semakin dewasa, tetapi dari dalam yaitu persekutuan dengan Tuhan.
Catatan berikutnya adalah bahwa para isteri sadar bahwa suami mereka tidaklah sempurna. Bukan berarti juga hal ini menjadi alasan bagi laki-laki untuk bermalas-malas berjuang untuk bertumbuh. Isteri juga mengehendaki suami bersedia berjalan tertatih-tatih bersama dengan mereka. Dan pernikahan merupakan sarana utama untuk mengembangkan karakter dan mendewasakan iman.
Pria sejati juga memiliki bahasa cinta. Ada lima bahasa cinta, yaitu:
  1. Ucapan penegasan. Apakah karena budaya atau apa, kita tidak biasa mengucapkan ekspresi kita dengan berkata “Aku sayang kepadamu” pada pasangan kita. Hal ini perlu dilakukan dan termasuk nilai bagi seorang pria sejati.
  2. Waktu berkualitas. Hal ini juga penting. Kita menganggap nonton TV berrsama adalah sesuatu yang berkualitas padahal tidak. Ada masa di mana kita harus mendengarkan wanita bicara tanpa perlu memberi masukan. Wanita hanya ingin didengar. Jadi ketika melakukan ini si wanita merasakan ada kedekatan psikologis. Inilah yang utama, kedekatan, bukan bicaranya. Bahkan perlu sesekali untuk mengambil waktu untuk jalan atau makan berdua di luar.
  3. Menerima hadiah. Sangat sedikit seorang pria memberikan hadiah kepada isterinya, padahal pemberian hadiah merupakan salah satu bahasa kasih yang bisa ditunjukkan suami kepada isteri.
  4. Tindakan pelayanan. Hal ini sangat efektif. Dampaknya, disamping isteri merasa disayangi ketika kita membantu mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga (nyuci piring misalnya), juga berdampak kepada anak-anak. Yang pasti beberapa isteri sangat menyukai hal-hal seperti ini, yaitu suami ikut membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bahklan sesekali suami bisa membuatkan teh dan diberikan kepada isteri.
  5. Sentuhan fisik. Hal ini juga perlu dan memang perlu dilakukan. Mengapa kita canggung memeluk isteri kita? Apakah ada yang salah? Tentu tidak! Sentuhan fisik membuat pasangan merasa dikasihi.
Kita mungkin tidak secara otomatis mengerjakan kelima bahasa kasih di atas. Kita pasti butuh waktu untuk mengerjakan kelima bahasa kasih di atas. Kita juga mungkin butuh latihan untuk mengerjakan hal ini. Butuh kesabaran dalam mencapai hal ini menjadi sesuatu yang penting dalam keluarga. Tetapi semakin hari kita akan semakin menikmati jika kita mau berjuang melakukannya dan akhirnya menjadi pola hidup kita.
Bagaimana hubungan pria sejati dan anak-anaknya? Seorang pria sejati bisa memberikan kasih sayang kepada anaknya sama besarnya sehingga semua anak merasa dikasihi sama besarnya. Jika kita melihat kepada keluarga Ishak, apa yang terjadi kepada Esau dan Yakub? Bagaimana Esau dikasihi oleh Ishak lebih dan Ribka mengasihi Yakub lebih. Hal ini menyebabkan masalah besar terjadi di dalam keluarga itu. Kita tidak boleh lebih sayang kepada anak yang lebih baik dan kurnag sayang kepada anak yang menurut kita bandal. Tetapi di dalam Tuhan kita bisa mengasihi semua anak sama besarnya. Ini harus menjadi target kita sebagai anak Tuhan. Pria sejati dengan anak-anaknya mengasihi anak-anaknya sama seperti kasih Allah. Kita meminjam kekuatan Allah untuk melakukannya.
Sebagai seorang pria sejati juga harus mengantisipasi kebencian dan kecemburuan. Ketika anak kedua lahir dalam satu keluarga, tanpa sengaja telah memberi waktu lebih banyak kepada dia daripada anak pertama. Bagi anak pertama hal ini diterjemahkan bahwa orangtuanya lebih sayang kepada adiknya. Oleh sebab itu kita harus belajar mengantisipasi hal ini. Pengalaman saya pribadi saya banyak belajar dari Yesus di mana Dia dipenuhi persekutuan dengan Allah. Jadi dalam keluarga saya, ketika si adik lahir, saya memperbanyak perhatian kepada anak pertama, memeluk dia lebih banyak, bercanda lebih banyak kepada dia. Jangan sampai mengurangi waktu dengan anak pertama. Dampaknya adalah si abang semakin mengasihi adiknya. Ketika kita ingin si abang/kakak mengasihi adiknya dia juga harus diisi dengan kasih dan dia mendapatkannya dari Allah melalui kita. Tambahkan expresi sayang/cinta/perhatian anda kepada kakak/abang dari  sikecil. Dengan demikian dia tidak akan menganggap keberadaan adiknya sebagai saingan.
Seorang pria sejati juga bisa melakukan aktifitas bersama dengan anaknya seperti futsal, footbal, basketball, badminton, swimming, singing, dan travelling .
Kemudian pria sejati itu haruslah mengenalkan Tuhan/Firman kepada anak-anaknya. Hal ini yang terpenting dan terutama. Dalam Ulangan 6:6-7 dikatakan, “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” Kemudian dilanjut dalam ayat 8-9, “Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” Seluruh keberadaan kita bersama dengan anak-anak dan keluarga harus terus mengajarkan firman Tuhan. Hal ini bisa kita lakukan dengan berbagai cara, apakah dengan diskusi, cerita, atau yang lain.
Jadi kesejatian pria justru terwujud ketika ia kembali pada tangan dan jalan Tuhan. Pria sejati bukanlah yang independen dari Tuhan tetapi justru yang bergantung dan taat pada Tuhan dan FirmanNya. Pengubahan Tuhan dari dalam diri pria sejati  merubahkan pernikahan dan keluarganya. Pria sejati berani berubah menjadi lebih baik sekalipun tidak terlatih demikian dari latar belakang keluarga/adat istiadat. Tetapi kita sebagai anak-anak Tuhan harus berani berubah khususnya dalam mempraktekkan bahasa cinta. Ingat, menjadi pria sejati adalah ketika kita menjadi serupa dengan Kristus.
Solideo Gloria!

No comments: