Hasoloan Marpaung
[Merupakan rangkaian kotbah MBA Seri Teman Hidup Bagian 03, yang dibawakan pada ibadah MBA 26 April 2013]
Hari ini
kita akan bicara mengenai tema pria sejati. Pada dasarnya menjadi serupa dengan
Kristus adalah tujuan semua orang (bukan hanya lelaki). Ada dua sisi dalam hal
ini. Satu sisi kita ingin seperti Kristus dengan segala aspek yang kita miliki.
Tetapi kita harus menyadari bahwa kita belum sempurna dalam hal itu. Bahkan
Paulus sendiri mengakui bahwa dia belum
mencapai itu. Di sisi lain, kondisi ini tidak menjadi alasan bagi kita untuk
tidak berjuang mencapai kesempurnaan seperti Kristus. Selama hidup di dunia
kesempurnaan seperti Kristus mungkin tidak akan pernah kita capai tetapi tidak
berarti kita membuat alasan-alasan untuk tidak mengejar titik di mana hidup
kita bisa menyerupai Kristus.
Di dalam
kamus, kata ‘sejati’ artinya tulen, asli, murni, tidak lancung, tidak ada
campurannya. Manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa, pada awal penciptaan
(sebelum jatuh dalam dosa) dikatakan serupa dan segambar dengan Allah. Dalam
Kej 1:27 dikatakan, “Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka.” Kita sama-sama tahu
bahwa gambaran Allah ada dalam diri manusia. Pada saat itu manusia berkualitas
keallahan, punya persekutuan yang baik (Akrab) dengan Allah, dan bebas dari
ketakutan. Di samping itu juga bahwa relasi Allah Tritunggal merupakan relasi
yang ada dalam hidup dalam relasi antar gender (pria dan wanita). Dan ini juga
yang dirusak ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Dan saat ini kita akan lebih
banyak melihat bagaimana pria dalam hubungannya terhadap isteri (pasangan) dan
kita juga akan menyinggung tentang relasi dengan anak-anaknya.
Ketika
manusia melanggar perintah Tuhan mereka menjadi malu saling menyalahkan, tidak
menerima tanggung jawab dan terpisah dari Allah yang Maha Kudus. Manusia secara
rohani menjadi mati, tidak punya persekutuan yang baik sebaik sebelumnya, dan
konsekuensinya diusir dari taman Eden dan berada dalam kutukan dosa.
Allah
akhirnya berinisiatif menyelamatkan dan memberikan penebusan seperti yang ada
di dalam Ef 1:7, “Sebab di dalam Dia dan
oleh darahNya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa menurut kekayaan
kasih karuniaNya.” Allah melihat tidak ada lagi jalan untuk menyelamatkan
manusia, maka Dia sendiri turun dalam AnakNya, Yesus Kristus, untuk
menyelamatkan manusia. Dalam Ibrani 7:15 juga dikatakan, “Karena Ia adalah Pengantara dari suatu perjanjian yang baru, supaya
mereka yang telah terpanggil dapat
menerima bagian kekal yang dijanjikan, sebab Ia telah mati untuk menebus
pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan selama perjanjian yang pertama.”
Ketika kita
ditebus maka kita menjadi manusia baru yang juga adalah orang kudus (Efesus
1:1, Fil 1:1, Kolose 1:1), atau ciptaan baru (II Korintus 5 : 17), dan orang
yang telah berpindah dari kuasa kegelapan pada kerajaan anakNya yang kekasih
(Kol 1:13). Ketika kita menjadi manusia baru keberadaan kita yang sudah
diubahkan di mana yang menjadi otoritas dalam hidup kita adalah Allah. Dalam
Efesus 4:23-24 dikatakan, “Supaya kamu
dibaharui di dalam roh dan pikiranmu dan mengenakan manusia baru, yang telah
diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.” Dalam Galatia 2:19-20
juga dengan jelas dikatakan, “Aku telah
disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang
hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi
sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang
mengasihi aku dan menyerahkan diriNya untuk aku.”
Ketika ada
seseorang bertanya kepada kita apakah kita orang kudus atau tidak, apa jawaban
kita? Kita mungkin ragu untuk menjawab bahwa kita adalah orang kudus karena
melihat bahwa kita masih berbuat dosa. Tetapi itulah fakta sebenarnya. Kita adalah
orang-orang yang Tuhan kuduskan tetapi masih kadang-kadang/sering berdosa. Kita
sudah ditebus dengan darah Kristus dan sudah diselamatkan. Bukan lagi
keberadaan kita yang lama, tetapi kita sudah menjadi orang-orang kudus. Hal ini
janganlah kiranya membuat kita menjadi sombong dan merasa tidak akan pernah
jatuh ke dalam dosa.
Memang
ketika kita bertobat, dosa itu masih hidup dan menggoda tetapi kuasa dan
otoritasnya sudah dipatahkan (Roma 8:2). Lalu kenapa orang kudus dalam
kenyataannya masih jatuh ke dalam dosa (termasuk terhadap isteri atau anak)?
Itu adalah masalah keputusan pribadi, sebuah keputusan yang sering disebut
kehendak bebas. Sebenarnya Adam dan Hawa tidak perlu berdosa. Mereka memiliki
kuasa untuk tidak berdosa tetapi mereka mengijinkan telinganya mendengarkan
firman Tuhan yang dimiringkan. Tawaran Iblis tidak pernah berhenti. Semakin
kita dekat dengan Tuhan semakin tawaran itu tinggi kualitas dan intensitasnya.
Tipuan dan kebohongan iblis dapat berupa membelokkan Firman Tuhan, menuduh kita
tidak mampu, menuduh kita manusia biasa, atau membuat kita lupa status
penebusan kita.
Mari melihat
kepada pria sejati lebih dekat lagi. Ada beberapa pandangan dunia mengenai
seorang pria yang disebut sejati. Diantaranya adalah orang yang macho, six pack,
banyak penggemarnya, tidak gampang nangis, tampan, wanted by many girls, wealthy,
highly independent, defending his pride at all cost. Semua yang ada dalam
list ini tidak masalah sepanjang semuanya itu bukanlah kesombongan dan membuat
kita jauh dari Tuhan.
Ingat, dalam
Kej 1:27 dikatakan bahwa kita adalah gambaran Allah. Paulus juga menyatakan
bahwa kita harus menjadi serupa dengan Dia dalam kematianNya (Fil 3:10). Semua
dosa dan manifestasinya sudah mati dan tidak ada lagi kuasanya terhadap kita.
Jadi kita harus sudah mati untuk dosa. Pria
sejati adalah pria yang (menjalani ) hidupnya dalam kebergantungan dan ketaatan
pada Allah yang dalam setiap kesempatan pengambilan keputusan selalu memilih
dan mendahulukan kehendak Allah. Pria sejati sama dengan Christ-like.
Dalam
situasi ideal siapakah yang sangat kita kasihi ketika kita masih lajang? Pasti
kebanyakan akan menjawab ‘orang tua’. Alasannya adalah karena mereka yang
melahirkan, mengasuh, menafkahi, memberikan pendidikan, dst. Tetapi ketika
seorang laki-laki menikah maka dia harus meninggalkan orangtuanya dan bersatu
dengan isterinya karena keduanya satu daging ( Kej 2:24, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan
bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging.”). Jika
belum menikah yang disayangi adalah orangtua, maka setelah menikah yang menjadi
prioritas adalah isteri. Ada dua pemahaman dalam melihat Kej 2:24 tersebut.
Pertama adalah bahwa pengertian meninggalkan ayah ibu bisa harafiah di mana
pengantin baru sebaiknya tingal berdua saja dalam periode waktu tertentu.
Mereka tidak tinggal dengan orang tua ataupun mertua. Hal ini sangat
direkomendasikan. Pengertian kedua adalah di mana prioritas dan interest utama
berpindah dari orang tua ke isteri. Hal ini sangat prinsipil dan Alkitabiah.
Bagi pria sejati tentu saja yang menjadi nomor satu adalah Tuhan dan nomor dua
adalah isteri.
Pria sejati
juga harus bersedia untuk berubah. Walaupun kita sudah banyak pelayanan ketika
menikah tidak ada cerita harus bersedia berubah. Seringsekali kita berharap
pasangan kita berubah. Kita berharap ketika pulang kerja kita akan disambut dan
dilayani sedemikian rupa karena melihat dia pasangan kita juga adalah anak
Tuhan. Kita berharap ada kemesraan. Inilah asumsi kita. Hal ini belum tentu
terjadi walau kita menikah dengan wanita yang adalah anak tuhan. Jika kita
menginginkan hal seperti ini terjadi maka yang perlu kita lakukan adalah dengan
memulai dari diri sendiri.
Ada beberapa
catatan dari isteri-isteri menegnai pasangannya (suami). Dan bagi kita, seorang
pria yang sedang dalam proses menjadi pria sejati, hal ini baik untuk kita
ketahui. Menjadi pria yang dikehendaki Allah ternyata jenis suami yang
diinginkan oleh isteri. Bukan berarti hal-hal lain tidak perlu, tetapi yang ini
adalah intinya. Kemudian wanita merasa paling aman ketika mengetahui suami
mereka memiliki hubungan yang teguh dengan Tuhan. Ketika suamipun pergi dinas
keluar kota, si isteri tetap aman karena dia percaya suaminya tidak akan
berbuat dosa karena suami memiliki hubungan yang dekat dengan Allah. Sadarilah
bahwa pernikahan akan mengalami perubahan karena hubungan anda dengan Tuhan.
Jadi perubahan itu dari dalam ke luar. Seringkali kita berpikir bahwa aktifitas
dari luar akan membawa ke dalam. Ternyata tidak! Dalam persekutuan atau
pergumulan kita dengan Allah kita akan mendengar Roh Kudus berbicara, menolong
dan mengangkat kita dari satu tahap ketahap berikutnya. Di sinilah terjadi
perubahan termasuk perubahan dalam pernikahan. Jadi bukan faktor eksternal yang
membuat pernikahan kita semakin dewasa, tetapi dari dalam yaitu persekutuan
dengan Tuhan.
Catatan
berikutnya adalah bahwa para isteri sadar bahwa suami mereka tidaklah sempurna.
Bukan berarti juga hal ini menjadi alasan bagi laki-laki untuk bermalas-malas
berjuang untuk bertumbuh. Isteri juga mengehendaki suami bersedia berjalan
tertatih-tatih bersama dengan mereka. Dan pernikahan merupakan sarana utama
untuk mengembangkan karakter dan mendewasakan iman.
Pria sejati
juga memiliki bahasa cinta. Ada lima bahasa cinta, yaitu:
- Ucapan penegasan. Apakah karena budaya atau apa, kita tidak biasa mengucapkan ekspresi kita dengan berkata “Aku sayang kepadamu” pada pasangan kita. Hal ini perlu dilakukan dan termasuk nilai bagi seorang pria sejati.
- Waktu berkualitas. Hal ini juga penting. Kita menganggap nonton TV berrsama adalah sesuatu yang berkualitas padahal tidak. Ada masa di mana kita harus mendengarkan wanita bicara tanpa perlu memberi masukan. Wanita hanya ingin didengar. Jadi ketika melakukan ini si wanita merasakan ada kedekatan psikologis. Inilah yang utama, kedekatan, bukan bicaranya. Bahkan perlu sesekali untuk mengambil waktu untuk jalan atau makan berdua di luar.
- Menerima hadiah. Sangat sedikit seorang pria memberikan hadiah kepada isterinya, padahal pemberian hadiah merupakan salah satu bahasa kasih yang bisa ditunjukkan suami kepada isteri.
- Tindakan pelayanan. Hal ini sangat efektif. Dampaknya, disamping isteri merasa disayangi ketika kita membantu mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga (nyuci piring misalnya), juga berdampak kepada anak-anak. Yang pasti beberapa isteri sangat menyukai hal-hal seperti ini, yaitu suami ikut membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bahklan sesekali suami bisa membuatkan teh dan diberikan kepada isteri.
- Sentuhan fisik. Hal ini juga perlu dan memang perlu dilakukan. Mengapa kita canggung memeluk isteri kita? Apakah ada yang salah? Tentu tidak! Sentuhan fisik membuat pasangan merasa dikasihi.
Kita mungkin
tidak secara otomatis mengerjakan kelima bahasa kasih di atas. Kita pasti butuh
waktu untuk mengerjakan kelima bahasa kasih di atas. Kita juga mungkin butuh
latihan untuk mengerjakan hal ini. Butuh kesabaran dalam mencapai hal ini
menjadi sesuatu yang penting dalam keluarga. Tetapi semakin hari kita akan
semakin menikmati jika kita mau berjuang melakukannya dan akhirnya menjadi pola
hidup kita.
Bagaimana
hubungan pria sejati dan anak-anaknya? Seorang pria sejati bisa memberikan
kasih sayang kepada anaknya sama besarnya sehingga semua anak merasa dikasihi
sama besarnya. Jika kita melihat kepada keluarga Ishak, apa yang terjadi kepada
Esau dan Yakub? Bagaimana Esau dikasihi oleh Ishak lebih dan Ribka mengasihi
Yakub lebih. Hal ini menyebabkan masalah besar terjadi di dalam keluarga itu.
Kita tidak boleh lebih sayang kepada anak yang lebih baik dan kurnag sayang
kepada anak yang menurut kita bandal. Tetapi di dalam Tuhan kita bisa mengasihi
semua anak sama besarnya. Ini harus menjadi target kita sebagai anak Tuhan.
Pria sejati dengan anak-anaknya mengasihi anak-anaknya sama seperti kasih
Allah. Kita meminjam kekuatan Allah untuk melakukannya.
Sebagai
seorang pria sejati juga harus mengantisipasi kebencian dan kecemburuan. Ketika
anak kedua lahir dalam satu keluarga, tanpa sengaja telah memberi waktu lebih
banyak kepada dia daripada anak pertama. Bagi anak pertama hal ini
diterjemahkan bahwa orangtuanya lebih sayang kepada adiknya. Oleh sebab itu
kita harus belajar mengantisipasi hal ini. Pengalaman saya pribadi saya banyak
belajar dari Yesus di mana Dia dipenuhi persekutuan dengan Allah. Jadi dalam
keluarga saya, ketika si adik lahir, saya memperbanyak perhatian kepada anak
pertama, memeluk dia lebih banyak, bercanda lebih banyak kepada dia. Jangan
sampai mengurangi waktu dengan anak pertama. Dampaknya adalah si abang semakin
mengasihi adiknya. Ketika kita ingin si abang/kakak mengasihi adiknya dia juga
harus diisi dengan kasih dan dia mendapatkannya dari Allah melalui kita.
Tambahkan expresi sayang/cinta/perhatian anda kepada kakak/abang dari sikecil. Dengan demikian dia tidak akan
menganggap keberadaan adiknya sebagai saingan.
Seorang pria
sejati juga bisa melakukan aktifitas bersama dengan anaknya seperti futsal, footbal, basketball, badminton,
swimming, singing, dan travelling .
Kemudian
pria sejati itu haruslah mengenalkan Tuhan/Firman kepada anak-anaknya. Hal ini
yang terpenting dan terutama. Dalam Ulangan 6:6-7 dikatakan, “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari
ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang
kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila
engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau
bangun.” Kemudian dilanjut dalam ayat 8-9, “Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan
haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada
tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” Seluruh keberadaan kita
bersama dengan anak-anak dan keluarga harus terus mengajarkan firman Tuhan. Hal
ini bisa kita lakukan dengan berbagai cara, apakah dengan diskusi, cerita, atau
yang lain.
Jadi
kesejatian pria justru terwujud ketika ia kembali pada tangan dan jalan Tuhan.
Pria sejati bukanlah yang independen dari Tuhan tetapi justru yang bergantung
dan taat pada Tuhan dan FirmanNya. Pengubahan Tuhan dari dalam diri pria
sejati merubahkan pernikahan dan
keluarganya. Pria sejati berani berubah menjadi lebih baik sekalipun tidak
terlatih demikian dari latar belakang keluarga/adat istiadat. Tetapi kita
sebagai anak-anak Tuhan harus berani berubah khususnya dalam mempraktekkan
bahasa cinta. Ingat, menjadi pria sejati adalah ketika kita menjadi serupa
dengan Kristus.
Solideo
Gloria!
No comments:
Post a Comment