Dra. Kasihani Sinulingga
[Kotbah ini dibawakan dalam ibadah MBA, 12 April 2013 dalam
Seri Teman Hidup - 01]
Sering sekali dalam kehidupan alumni terjadi pernikahan yang
tidak seimbang, artinya yang satu ada di dalam Tuhan dan yang satunya lagi
tidak ada dalam Tuhan yang berpengaruh terhadap banyak aspek dalam pernikahan
mereka. Itulah sebabnya dalam mempersiapkan pernikahan kita harus banyak
bergumul dan berhati-hati. Yang sedang pacaran mari mengevaluasi apakah mereka
sedang menuju pernikahan yang seimbang atau tidak.
Tujuan Pernikahan
Dalam Alkitab, khusunya PL kita akan menemukan ada tiga
tujuan Allah bagi pernikahan. Pertama dalam Kej 2:18, “TUHAN Allah berfirman:
"Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan
penolong baginya, yang sepadan dengan dia."
Firman Allah mengatakan bahwa manusia tidak baik seorang
diri. Hal ini berarti bahwa pernikahan itu adalah inisiatif dari Allah sendiri.
Allah melihat bahwa tidak baik bagi Adam untuk seorang diri. Dia membutuhkan
teman penolong yang sepadan. Dalam Kej 2:20 dikatakan, “Manusia itu memberi
nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala
binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan
dengan dia.” Adam tidak menemukan penolong yang sepadan. Kemudian Tuhan
berinisiatif. Ketika Adam tidur nyenyak, Allah menjadikan bagi dia seorang penolong
yang diambil dari tulang rusuknya. Adam dibuat tidak berdaya dan bergantung
kepada Allah, dan saat itu Allah memberikan penolong bagi dia. Jadi, tujuan
pernikahan yang pertama adalah mengatasi kesepian. Dengan kata lain membangun
kebersamaan dan persekutuan seumur hidup. Jadi keturunan bukanlah masalah yang
terpenting, tetapi bagaimana mereka memiliki persekutuan seumur hidup karena
manusia tidak baik seorang diri.
Tujuan Allah yang kedua dalam pernikahan bisa kita lihat
dalam Kej 2:24, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Tujuan pernikahan yang kedua adalah menjadi satu daging. Dengan kata lain Allah
merindukan bahwa melalui penikahan suami dan isteri menjadi satu agar mereka
bisa menjadi patner Allah untuk mengerjakan misiNya di tengah-tengah dunia ini.
Manusia yang seorang diri tidak maksimal, tetapi membutuhkan seorang penolong
sehingga manusia dipakai Allah menjadi rekan sekerjanya. Penolong di sini bisa
dalam hal kerohanian, keuangan, mengambil keputusan, mendidik anak, dll. Inilah
rencana Allah bagi semua pernikahan untuk bisa menjadi berkat.
Dalam Kej 2:24 Alah sudah menentukan seperti itu tujuannya
dalam pernikahan. Peristiwa ini terjadi
sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Ayat yang isinya sama muncul dalam PB.
Dalam Mat 19:5, “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu
daging.” Kemudian Paulus mengatakan hal yang sama ketika dia membuat satu
hirarki pernikahan dalam Ef 5:31, “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi
satu daging.” Apa yang bisa kita lihat di sini adalah bahwa tujuan pernikahan
atau kehendak dan rencana Allah bagi penikahan Kristen tidak pernah berubah
sekalipun manusia sudah terdistorsi oleh
dosa. Itu sebabnya mulia sekali rancangan Allah bagi pernikahan. Menjadi satu
daging untuk terus menjadi berkat.
Tujuan Allah dalam pernikahan dapat kita lihat dalam Maleakhi
2:15, “Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah
yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan
janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya.” Dalam bagian
ini kita melihat bahwa tujuan Allah yang ketiga dalam pernikahan adalah
melahirkan dan mendidik anak-anak (keturunan) ilahi dan agar kelak mereka
menjadi berkat.
Jenis atau Golongan Penikahan
Ada beberapa jenis pernikahan. Pertama, pernikahan yang
dua-duanya di dalam Tuhan (baik suami dan Isteri. Kedua, pernikahan yang satu
dalam Tuhan dan satu lagi tidak dalam Tuhan. Ketiga, dua-duanya tidak dalam
Tuhan. Dan yang akan kita bahas hari ini adalah jenis pernikahan yang kedua,
pernikahan yang satu di dalam Tuhan, dan yang satu lagi tidak di dalam Tuhan.
Apa kata Tuhan tentang pernikahan yang tidak seimbang ini.
Dalam Ulangan 7:1-4 Allah memerintahkan agar bangsa Israel tidak mengambil
pasanagan dari Kanaan kepada anak-anak mereka karena membuat anak-anak mereka
menyimpang dari Allah, dan membuat mereka beribadah kepada Allah lain. Pesan yang sama juga kita dapat dalam Ezra
9:1-2. Dalam bagian ini ketika kembali dari pembuangan Ezra meminta ampun
kepada Tuhan karena umat itu telah mengambil isteri atau suami dari kaum yang
Tuhan telah larang (yaitu orang Kanaan, Het, dll). Oleh karena alasan inilah
Abraham jauh-jauh menyuruh bujangnya untuk pergi ke daerah kaumnya untuk
mencari isteri bagi anaknya, Ishak.
Mari melihat dalam PB. 2Kor 6:14-15 berkata, “14 Janganlah
kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak
percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau
bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? 15 Persamaan apakah yang
terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya
dengan orang-orang tak percaya?”. Dan
dari 1Kor 7:39, “Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah
meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang
itu adalah seorang yang percaya”. Pada siapa saja – jadi tidak dibatasi suku -
asal seorang yang percaya.
Dalam 2Kor 6:14-15 tadi kita menemukan adanya pengontrasan
yang jelas antara pasangan yang tidak seimbang yaitu kebenaran dan kedurhakaan
atau terang dengan gelap. Dalam Maz 1 juga Allah menunjukkan pengontrasan di
mana dikatakan orang yang berbahagia adalah orang yang tidak berjalan menurut
orang fasik, tidak berdiri di jalan orang berdosa, tidak duduk dalam kumpulan
pencemooh. Apa yang mau saya katakan adalah bahwa dalam pandangan Allah manusia
itu hanya ada dalam dua kelompok, yaitu: dalam Kristus dan di luar Kristus.
Berarti dari perintah agar tidak menjadi pasangan yang tidak seimbang maksudnya
adalah supaya orang percaya tidak boleh berhubungan intim dengan orang yang
tidak percaya. Sebab hubungan intim dengan orang yang tidak percaya bisa
merusak hubungan mereka dengan Kristus. Ketika bangsa Israel menikah dengan
orang-orang di Kanaan hal tersebut akan merusak hubungan mereka dengan Allah. Hubungan
intim dengan tidak percaya akan merusak (band 1Kor 15:33). Ketika tiap hari
kita berteman dengan orang yang gaya hidupnya gonta-ganti gadget, maka kita
bisa terpengaruh dan berpikir. Sekalipun tidak sanggup kita berjuang untuk
melakukan hal yang sama, dan semakin lama kita akan tergerus.
Hubungan orang yang percaya dan tidak percaya seharusnya
sejauh yang ditentukan oleh hubungan sosial. Kita bisa berteman tetapi dengan
motivasi bahwa kita mau menunjukkan jalan keselamatan bagi orang itu. Hal ini
akan sangat berbeda ketika ada orang mengatakan bahwa nanti (dalam pernikahan)
‘aku akan berjuang agar dia bisa menerima Kristus’. Hal ini tidak benar! Firman
Tuhan berkata tidak boleh berhubungan intim dengan yang tidak percaya. Jika
kita melanggarnya dalam ketidaktaatan maka akan ada akibatnya. Setiap
ketidaktaatan akan menghasilkan konsekuensi. Jika dilakukan dalam pernikahan
yang tidak seimbang akan terasa sangat berat karena bagi orang percaya tidak
ada kamus cerai.
Memilih pasangan haruslah taat kepada firman Tuhan. Jangan
coba-coba berpacaran dengan orang yang tidak mengenal Tuhan. Jangan terlalu
gampang pacaran padahal baru kenal via facebook. Ada dua hal yang paling
penting dalam memilih teman hidup. Pertama, yang paling prinsip, adalah seiman
di dalam Kristus. Kedua, bukan prinsip tetapi sedapat-dapatnya jangan terlalu
jauh perbedaannya, khususnya dalam hal karakter dan pendidikan karena perbedaan
yang terlalu jauh akan membutuhkan banyak waktu untuk penyesuaian. Misalnya
jika seseorang dalam pasangan tersebut hanya tamat SMA sedangkan yang saunya
lagi tamat S2 dan ada kemungkinan naik lagi. Dalam kondisi seperti ini akan
dibutuhkan penyesuaian yang lama agar mereka ‘saling nyambung’. Jika tidak
berjalan dengan baik maka bisa menimbulkan perselingkuhan di mana salah satu
dari mereka berusaha mencari yang cocok yang mungkin akan ditemukannya pada
yang bukan pasangannya. Ingat, hal no 2, bukan prinsipil, tetapi
sedapat-dapatnya kita usahakan. Tetapi jika ada komitmen untuk bisa bersabar
mengatasi perbedaan itu kita tidak dilarang. Tetapi hal tersebut bukan sesuatu
yang gampang dan membutuhkan usaha dan waktu yang banyak. Mari mempertimbangkan
perbedaan yang terlalu jauh dengan bijaksana.
Dalam keluarga yang pernikahannya tidak seimbang karena
ketidaktaatan kepada Firman, perbedaan yang sebenarnya tidak sesuatu yang
prinsipil menjadi sesuatu hal yang prinsipil. Dalam keluarga seperti ini
perbedaan-perbedaan yang ada akan menimbulkan banyak perdebatan-perdebatan dan
kesusahan-kesusahan. Bagi keluarga seperti ini rumah menjadi tempat yang asing
yang sedapatnya dihindari dan perjumpaan dengan pasangan dirasakan sebagai
siksaan karena jauh sekali perbedaannya.
Bayangkan jika seorang yang suka berdoa ketemu dengan pasangan yang
tidak suka berdoa? Ini akan menjadi sebuah siksaan. Hal ini bisa memunculkan
penyesalan dan ketidakpedulian satu dengan yang lain. Bahkan akan menimbulkan
pemikiran-pemikiran untuk bercerai. Bahkan perceraian tidak dilakukan hanya
kerena mengingat orangtuanya di kampong. Maka akhirnya dia menahankan
kehidupannya rumah tangganya yang sedemikian walau dengan siksaan dan
penderitaan. Itulah yang terjadi bagi pasangan yang tidak seimbang.
Dampak yang lebih buruk adalah, bahwa recana Allah yang kita
bahas di atas tadi yang menjadi satu persahabatan seumur hidup, menghasilkan
keturunan ilahi sangat susah terealisasi. Bagaimana mungkin rencana Allah
terwujud bagi orang yang tidak seimbang? Akan banyak kita temukan
ketidaksesuain-ketidaksesuaian bukan hanya masalah kerohanian saja tetapi bisa
keuangan, cara komunikasi, dll. Tidak mudah untuk bisa menjadi satu jika
pasangan kita tidak seimbang. Pakar pernikahan mengatakan bahwa pernikahan itu
segitiga diman dua sudut bawah adalah suami dan isteri dan mereka menyatunya di
sudut puncak yaitu Kristus.
Dampaknya pernikahan yang tidak seimbang itu mengerikan.
Bukan soal bagaimana kita menderita tetapi juga bagaimana Tuhan tidak
dipermuliakan melalui keluarga kita. Berbeda sekali dengan suami isteri ada di
dalam Tuhan. Walau jatuh bangun tetapi tetap berjuang untuk memuliakan Tuhan
(bandingkan dengan keluarga Akwila dan Priskila dalam Kis 18). Saya berharap
kita semua merindukan dan memimpikan keluarga di mana nama Tuhan dipermuliakan
karena Dia sudah memberikan Dirinya bagi kita untuk menebus kita. Ingat dua
keputusan penting dalam hidup kita. Pertama menerima Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamat; kedua, kita menikah atau tidak. Jika kita menikah dengan siapa?
Hal ini sangat penting karena menentukan perjalanan hidup kita. jika kita
menikah dengan orang yang tidak tepat maka di sisa hidup kita akan bersama
dengan dirinya dan selama itukah kita kompromi dan tidak memuliakan Tuhan.
walau dalam beberapa peristiwa ada yang tetap berjuang, tetapi hal ini tidak
mudah. Untuk orang-orang seperti ini Tuhan angerahkan kesabaran yang luar
biasa. Hal ini menjadi pertimbangan kita dalam menentukan siapa pasangan kita.
Mari banyak bergumul dihadapan Tuhan dan jangan sampai nekat melanggar firman
Tuhan.
Ada satu contoh di dalam Alkitab mengenai pernihakan yang
tidak seimbang. Kisah mengenai Nabal yang bebal dan isterinya yang bijaksana
(dalam 1Sam 25). Dalam kisah ini kita menemukan bagaimana sabarnya Abigail
tehadap suaminya yang kasar bahkan memohon pengampunan atas nyawa suaminya
terhadap Daud. Apakah kita sebagai seorang wanita memiliki kesabaran seperti si
Abigail? Dan bagi pria jika menikah dengan wanita yang belum dalam Tuhan,
sanggupkah terus bertahan? Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah.
Satu kali seorang staf Malaysia, Rafffi Sitti, datang ke
medan. Dalam sebuah percakapan, seorang wanita yang sedang berpacaran dengan
yang belum dalam Tuhan bertanya kepada beliau tentang bagimana pandangannya
terhadap pacarnya yang seorang yang baik tidak merokok, tetapi belum dalam
Tuhan. Dia bertanya apakah dia bisa meneruskan hubungan ini. Pak Raffi tidak
menjawab tetapi mengatakan satu ilustrasi. Dia berkata, ”Bayangkanlah dirimu
ada di atas meja dan pasanganmu ada di bawah meja. Mana yang lebih mudah,
engkau menarik pasangannmu ke atas meja atau pasanaganmu menarik engkau ke bawah?” Si wanita ini menjawab, Saya yang akan lebih
gampang ditarik ke bawah.” “Itulah Engkau sendiri sudah menjawabnya”, kata pak
Raffi. Tidak mudah bersama-sama jika kehidupan pernikahan tidak seimbang.
Di bawah ada empat kasus:
Kasus 1
Seorang wanita (dalam Tuhan) menikah dengan pria (belum
dalam Tuhan). Mereka berpacaran selama tiga tahun dan menikah. Dala pernikahan
ternyata suami mempunyai kepribadian ganda, isteri mengalami KDRT. Suatu ketika
dia mau melapor ke polisi, sebelum melapor kepada hamba Tuhan. Dari hasil
pembicaraan via telepon, si isteri sadar, dia belum melakukan peran sebagai
isteri dengan baik. Sejak itu dia berjuang mendoakan suaminya, melakukan
perannya sebagai isteri dengan sabar dan banyak mengalah. Puji Tuhan, suaminya
tidak lagi melakukan kekerasan.
Kasus 2
Isteri anak Tuhan
sedangkan suami belum. Pendidikan mereka jauh berbeda. Wanita maju terus dalam
karir sedangkan suami biasa saja. Si isteri tidak memelihara iman, jauh dari
persekutuan, akhirnya wanitapun jatuh dalam dosa, sementara suami punya
penyakit dan makin minder. Keadaan ini berdampak buruk kepada suami, isteri dan
anak-anaknya.
Kasus 3
Isteri anak Tuhan menikah dengan suami yang belum dalam
Tuhan. Lima tahun pernikahan pertama, banyak konflik, tekanan, air mata yang dialami oleh isteri.
Dia dituntut untuk mengerti mertua, keluarga pihak suami. Si isteri terus
berjuang dengan berdoa, sabar, melakukan perannya sebagai isteri, walaupun
kadang dia hamper menyerah, sampai akhirnya dia mencari teman untuk ber ktb
sehingga dia punya sahabat untuk berbagi dan mendoakannya. Akhirnya perjuangan
nya membuahkan hasil, Tuhan menjawab doanya, suaminya menerima Kristus, dan
akhirnya mereka melayani bersama. Walau dalam prosesnya tidak mudah bagi si
isteri ini.
Kasus 4
Isteri anak Tuhan, suami belum. Mereka sangat berbeda dari
segi latar belakang dan pendidikan. Dalam pernikahan si isteri mengalami KDRT,
ketika anak mereka masih berumur 6 bulan, si suami pergi meninggalkan isteri
dan anaknya. Tidak pernah memberikan kabar dan sampa detik ini (hampir 8 tahun)
suaminya belum kembali.
Penutup
Kasus-kasus di atas adalah kisah nyata. Walaupun ada kasus
seperti kasus 1, 2, dan 3, tetapi apakah kita sanggup seperti Abigail. Jangan
bermain-main dengan api jika tidak mau terbakar. Jangan nekat!
Mari lebih bijak berpikir dan menggumulkan dalam doa ketika
memilih pasangan dan pernikahan. Jangan sampai salah memilih karena anda sedang
mempertaruhkan hidup anda seumur hidup karena tidak ada kamus cerai. Dalam
kasus ke empat kita melihat bagaimana si suami yang meninggalkan. Tetapi sang
isteri tidak minta cerai dan terus bertahan. Hal ini tentu demi menjaga
kesaksian. Itulah resiko yang harus dia tanggung. Tidak ada kamus cerai.
Melanggar firman Tuhan berarti anda dengan sengaja untuk tidak taat apapun
alasannya. Jika kita tidak taat kita harus siap menderita karena konsekuensi
dari pilihan kita. Mari bijaksana mengambil keputusan karena ‘menarik ke atas
meja jauh lebih sulit daripada ditarik kebawah meja’.
Solideo Gloria!
No comments:
Post a Comment