Tuesday, July 22, 2014

Pernikahan Yang Tidak Seimbang

Dra. Kasihani Sinulingga

[Kotbah ini dibawakan dalam ibadah MBA, 12 April 2013 dalam Seri Teman Hidup - 01]


Sering sekali dalam kehidupan alumni terjadi pernikahan yang tidak seimbang, artinya yang satu ada di dalam Tuhan dan yang satunya lagi tidak ada dalam Tuhan yang berpengaruh terhadap banyak aspek dalam pernikahan mereka. Itulah sebabnya dalam mempersiapkan pernikahan kita harus banyak bergumul dan berhati-hati. Yang sedang pacaran mari mengevaluasi apakah mereka sedang menuju pernikahan yang seimbang atau tidak. 

Tujuan Pernikahan

Dalam Alkitab, khusunya PL kita akan menemukan ada tiga tujuan Allah bagi pernikahan. Pertama dalam Kej 2:18, “TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."

Firman Allah mengatakan bahwa manusia tidak baik seorang diri. Hal ini berarti bahwa pernikahan itu adalah inisiatif dari Allah sendiri. Allah melihat bahwa tidak baik bagi Adam untuk seorang diri. Dia membutuhkan teman penolong yang sepadan. Dalam Kej 2:20 dikatakan, “Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia.” Adam tidak menemukan penolong yang sepadan. Kemudian Tuhan berinisiatif. Ketika Adam tidur nyenyak, Allah menjadikan bagi dia seorang penolong yang diambil dari tulang rusuknya. Adam dibuat tidak berdaya dan bergantung kepada Allah, dan saat itu Allah memberikan penolong bagi dia. Jadi, tujuan pernikahan yang pertama adalah mengatasi kesepian. Dengan kata lain membangun kebersamaan dan persekutuan seumur hidup. Jadi keturunan bukanlah masalah yang terpenting, tetapi bagaimana mereka memiliki persekutuan seumur hidup karena manusia tidak baik seorang diri.

Tujuan Allah yang kedua dalam pernikahan bisa kita lihat dalam Kej 2:24, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Tujuan pernikahan yang kedua adalah menjadi satu daging. Dengan kata lain Allah merindukan bahwa melalui penikahan suami dan isteri menjadi satu agar mereka bisa menjadi patner Allah untuk mengerjakan misiNya di tengah-tengah dunia ini. Manusia yang seorang diri tidak maksimal, tetapi membutuhkan seorang penolong sehingga manusia dipakai Allah menjadi rekan sekerjanya. Penolong di sini bisa dalam hal kerohanian, keuangan, mengambil keputusan, mendidik anak, dll. Inilah rencana Allah bagi semua pernikahan untuk bisa menjadi berkat.

Dalam Kej 2:24 Alah sudah menentukan seperti itu tujuannya dalam  pernikahan. Peristiwa ini terjadi sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Ayat yang isinya sama muncul dalam PB. Dalam Mat 19:5, “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.” Kemudian Paulus mengatakan hal yang sama ketika dia membuat satu hirarki pernikahan dalam Ef 5:31, “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.” Apa yang bisa kita lihat di sini adalah bahwa tujuan pernikahan atau kehendak dan rencana Allah bagi penikahan Kristen tidak pernah berubah sekalipun manusia sudah terdistorsi oleh dosa. Itu sebabnya mulia sekali rancangan Allah bagi pernikahan. Menjadi satu daging untuk terus menjadi berkat.

Tujuan Allah dalam pernikahan dapat kita lihat dalam Maleakhi 2:15, “Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya.” Dalam bagian ini kita melihat bahwa tujuan Allah yang ketiga dalam pernikahan adalah melahirkan dan mendidik anak-anak (keturunan) ilahi dan agar kelak mereka menjadi berkat.

Jenis atau Golongan Penikahan

Ada beberapa jenis pernikahan. Pertama, pernikahan yang dua-duanya di dalam Tuhan (baik suami dan Isteri. Kedua, pernikahan yang satu dalam Tuhan dan satu lagi tidak dalam Tuhan. Ketiga, dua-duanya tidak dalam Tuhan. Dan yang akan kita bahas hari ini adalah jenis pernikahan yang kedua, pernikahan yang satu di dalam Tuhan, dan yang satu lagi tidak di dalam Tuhan.

Apa kata Tuhan tentang pernikahan yang tidak seimbang ini. Dalam Ulangan 7:1-4 Allah memerintahkan agar bangsa Israel tidak mengambil pasanagan dari Kanaan kepada anak-anak mereka karena membuat anak-anak mereka menyimpang dari Allah, dan membuat mereka beribadah kepada Allah lain.  Pesan yang sama juga kita dapat dalam Ezra 9:1-2. Dalam bagian ini ketika kembali dari pembuangan Ezra meminta ampun kepada Tuhan karena umat itu telah mengambil isteri atau suami dari kaum yang Tuhan telah larang (yaitu orang Kanaan, Het, dll). Oleh karena alasan inilah Abraham jauh-jauh menyuruh bujangnya untuk pergi ke daerah kaumnya untuk mencari isteri bagi anaknya, Ishak. 

Mari melihat dalam PB. 2Kor 6:14-15 berkata, “14 Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? 15 Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?”. Dan dari 1Kor 7:39, “Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya”. Pada siapa saja – jadi tidak dibatasi suku - asal seorang yang percaya. 

Dalam 2Kor 6:14-15 tadi kita menemukan adanya pengontrasan yang jelas antara pasangan yang tidak seimbang yaitu kebenaran dan kedurhakaan atau terang dengan gelap. Dalam Maz 1 juga Allah menunjukkan pengontrasan di mana dikatakan orang yang berbahagia adalah orang yang tidak berjalan menurut orang fasik, tidak berdiri di jalan orang berdosa, tidak duduk dalam kumpulan pencemooh. Apa yang mau saya katakan adalah bahwa dalam pandangan Allah manusia itu hanya ada dalam dua kelompok, yaitu: dalam Kristus dan di luar Kristus. Berarti dari perintah agar tidak menjadi pasangan yang tidak seimbang maksudnya adalah supaya orang percaya tidak boleh berhubungan intim dengan orang yang tidak percaya. Sebab hubungan intim dengan orang yang tidak percaya bisa merusak hubungan mereka dengan Kristus. Ketika bangsa Israel menikah dengan orang-orang di Kanaan hal tersebut akan merusak hubungan mereka dengan Allah. Hubungan intim dengan tidak percaya akan merusak (band 1Kor 15:33). Ketika tiap hari kita berteman dengan orang yang gaya hidupnya gonta-ganti gadget, maka kita bisa terpengaruh dan berpikir. Sekalipun tidak sanggup kita berjuang untuk melakukan hal yang sama, dan semakin lama kita akan tergerus. 

Hubungan orang yang percaya dan tidak percaya seharusnya sejauh yang ditentukan oleh hubungan sosial. Kita bisa berteman tetapi dengan motivasi bahwa kita mau menunjukkan jalan keselamatan bagi orang itu. Hal ini akan sangat berbeda ketika ada orang mengatakan bahwa nanti (dalam pernikahan) ‘aku akan berjuang agar dia bisa menerima Kristus’. Hal ini tidak benar! Firman Tuhan berkata tidak boleh berhubungan intim dengan yang tidak percaya. Jika kita melanggarnya dalam ketidaktaatan maka akan ada akibatnya. Setiap ketidaktaatan akan menghasilkan konsekuensi. Jika dilakukan dalam pernikahan yang tidak seimbang akan terasa sangat berat karena bagi orang percaya tidak ada kamus cerai.

Memilih pasangan haruslah taat kepada firman Tuhan. Jangan coba-coba berpacaran dengan orang yang tidak mengenal Tuhan. Jangan terlalu gampang pacaran padahal baru kenal via facebook. Ada dua hal yang paling penting dalam memilih teman hidup. Pertama, yang paling prinsip, adalah seiman di dalam Kristus. Kedua, bukan prinsip tetapi sedapat-dapatnya jangan terlalu jauh perbedaannya, khususnya dalam hal karakter dan pendidikan karena perbedaan yang terlalu jauh akan membutuhkan banyak waktu untuk penyesuaian. Misalnya jika seseorang dalam pasangan tersebut hanya tamat SMA sedangkan yang saunya lagi tamat S2 dan ada kemungkinan naik lagi. Dalam kondisi seperti ini akan dibutuhkan penyesuaian yang lama agar mereka ‘saling nyambung’. Jika tidak berjalan dengan baik maka bisa menimbulkan perselingkuhan di mana salah satu dari mereka berusaha mencari yang cocok yang mungkin akan ditemukannya pada yang bukan pasangannya. Ingat, hal no 2, bukan prinsipil, tetapi sedapat-dapatnya kita usahakan. Tetapi jika ada komitmen untuk bisa bersabar mengatasi perbedaan itu kita tidak dilarang. Tetapi hal tersebut bukan sesuatu yang gampang dan membutuhkan usaha dan waktu yang banyak. Mari mempertimbangkan perbedaan yang terlalu jauh dengan bijaksana.

Dalam keluarga yang pernikahannya tidak seimbang karena ketidaktaatan kepada Firman, perbedaan yang sebenarnya tidak sesuatu yang prinsipil menjadi sesuatu hal yang prinsipil. Dalam keluarga seperti ini perbedaan-perbedaan yang ada akan menimbulkan banyak perdebatan-perdebatan dan kesusahan-kesusahan. Bagi keluarga seperti ini rumah menjadi tempat yang asing yang sedapatnya dihindari dan perjumpaan dengan pasangan dirasakan sebagai siksaan karena jauh sekali perbedaannya.  Bayangkan jika seorang yang suka berdoa ketemu dengan pasangan yang tidak suka berdoa? Ini akan menjadi sebuah siksaan. Hal ini bisa memunculkan penyesalan dan ketidakpedulian satu dengan yang lain. Bahkan akan menimbulkan pemikiran-pemikiran untuk bercerai. Bahkan perceraian tidak dilakukan hanya kerena mengingat orangtuanya di kampong. Maka akhirnya dia menahankan kehidupannya rumah tangganya yang sedemikian walau dengan siksaan dan penderitaan. Itulah yang terjadi bagi pasangan yang tidak seimbang.

Dampak yang lebih buruk adalah, bahwa recana Allah yang kita bahas di atas tadi yang menjadi satu persahabatan seumur hidup, menghasilkan keturunan ilahi sangat susah terealisasi. Bagaimana mungkin rencana Allah terwujud bagi orang yang tidak seimbang? Akan banyak kita temukan ketidaksesuain-ketidaksesuaian bukan hanya masalah kerohanian saja tetapi bisa keuangan, cara komunikasi, dll. Tidak mudah untuk bisa menjadi satu jika pasangan kita tidak seimbang. Pakar pernikahan mengatakan bahwa pernikahan itu segitiga diman dua sudut bawah adalah suami dan isteri dan mereka menyatunya di sudut puncak yaitu Kristus.  

Dampaknya pernikahan yang tidak seimbang itu mengerikan. Bukan soal bagaimana kita menderita tetapi juga bagaimana Tuhan tidak dipermuliakan melalui keluarga kita. Berbeda sekali dengan suami isteri ada di dalam Tuhan. Walau jatuh bangun tetapi tetap berjuang untuk memuliakan Tuhan (bandingkan dengan keluarga Akwila dan Priskila dalam Kis 18). Saya berharap kita semua merindukan dan memimpikan keluarga di mana nama Tuhan dipermuliakan karena Dia sudah memberikan Dirinya bagi kita untuk menebus kita. Ingat dua keputusan penting dalam hidup kita. Pertama menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat; kedua, kita menikah atau tidak. Jika kita menikah dengan siapa? Hal ini sangat penting karena menentukan perjalanan hidup kita. jika kita menikah dengan orang yang tidak tepat maka di sisa hidup kita akan bersama dengan dirinya dan selama itukah kita kompromi dan tidak memuliakan Tuhan. walau dalam beberapa peristiwa ada yang tetap berjuang, tetapi hal ini tidak mudah. Untuk orang-orang seperti ini Tuhan angerahkan kesabaran yang luar biasa. Hal ini menjadi pertimbangan kita dalam menentukan siapa pasangan kita. Mari banyak bergumul dihadapan Tuhan dan jangan sampai nekat melanggar firman Tuhan.

Ada satu contoh di dalam Alkitab mengenai pernihakan yang tidak seimbang. Kisah mengenai Nabal yang bebal dan isterinya yang bijaksana (dalam 1Sam 25). Dalam kisah ini kita menemukan bagaimana sabarnya Abigail tehadap suaminya yang kasar bahkan memohon pengampunan atas nyawa suaminya terhadap Daud. Apakah kita sebagai seorang wanita memiliki kesabaran seperti si Abigail? Dan bagi pria jika menikah dengan wanita yang belum dalam Tuhan, sanggupkah terus bertahan? Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah.

Satu kali seorang staf Malaysia, Rafffi Sitti, datang ke medan. Dalam sebuah percakapan, seorang wanita yang sedang berpacaran dengan yang belum dalam Tuhan bertanya kepada beliau tentang bagimana pandangannya terhadap pacarnya yang seorang yang baik tidak merokok, tetapi belum dalam Tuhan. Dia bertanya apakah dia bisa meneruskan hubungan ini. Pak Raffi tidak menjawab tetapi mengatakan satu ilustrasi. Dia berkata, ”Bayangkanlah dirimu ada di atas meja dan pasanganmu ada di bawah meja. Mana yang lebih mudah, engkau menarik pasangannmu ke atas meja atau pasanaganmu menarik engkau ke bawah?”  Si wanita ini menjawab, Saya yang akan lebih gampang ditarik ke bawah.” “Itulah Engkau sendiri sudah menjawabnya”, kata pak Raffi. Tidak mudah bersama-sama jika kehidupan pernikahan tidak seimbang.

Di bawah ada empat kasus:

Kasus 1

Seorang wanita (dalam Tuhan) menikah dengan pria (belum dalam Tuhan). Mereka berpacaran selama tiga tahun dan menikah. Dala pernikahan ternyata suami mempunyai kepribadian ganda, isteri mengalami KDRT. Suatu ketika dia mau melapor ke polisi, sebelum melapor kepada hamba Tuhan. Dari hasil pembicaraan via telepon, si isteri sadar, dia belum melakukan peran sebagai isteri dengan baik. Sejak itu dia berjuang mendoakan suaminya, melakukan perannya sebagai isteri dengan sabar dan banyak mengalah. Puji Tuhan, suaminya tidak lagi melakukan kekerasan.

Kasus 2

Isteri  anak Tuhan sedangkan suami belum. Pendidikan mereka jauh berbeda. Wanita maju terus dalam karir sedangkan suami biasa saja. Si isteri tidak memelihara iman, jauh dari persekutuan, akhirnya wanitapun jatuh dalam dosa, sementara suami punya penyakit dan makin minder. Keadaan ini berdampak buruk kepada suami, isteri dan anak-anaknya.

Kasus 3

Isteri anak Tuhan menikah dengan suami yang belum dalam Tuhan. Lima tahun pernikahan pertama, banyak konflik,  tekanan, air mata yang dialami oleh isteri. Dia dituntut untuk mengerti mertua, keluarga pihak suami. Si isteri terus berjuang dengan berdoa, sabar, melakukan perannya sebagai isteri, walaupun kadang dia hamper menyerah, sampai akhirnya dia mencari teman untuk ber ktb sehingga dia punya sahabat untuk berbagi dan mendoakannya. Akhirnya perjuangan nya membuahkan hasil, Tuhan menjawab doanya, suaminya menerima Kristus, dan akhirnya mereka melayani bersama. Walau dalam prosesnya tidak mudah bagi si isteri ini.

Kasus 4

Isteri anak Tuhan, suami belum. Mereka sangat berbeda dari segi latar belakang dan pendidikan. Dalam pernikahan si isteri mengalami KDRT, ketika anak mereka masih berumur 6 bulan, si suami pergi meninggalkan isteri dan anaknya. Tidak pernah memberikan kabar dan sampa detik ini (hampir 8 tahun) suaminya belum kembali.

Penutup

Kasus-kasus di atas adalah kisah nyata. Walaupun ada kasus seperti kasus 1, 2, dan 3, tetapi apakah kita sanggup seperti Abigail. Jangan bermain-main dengan api jika tidak mau terbakar. Jangan nekat!
Mari lebih bijak berpikir dan menggumulkan dalam doa ketika memilih pasangan dan pernikahan. Jangan sampai salah memilih karena anda sedang mempertaruhkan hidup anda seumur hidup karena tidak ada kamus cerai. Dalam kasus ke empat kita melihat bagaimana si suami yang meninggalkan. Tetapi sang isteri tidak minta cerai dan terus bertahan. Hal ini tentu demi menjaga kesaksian. Itulah resiko yang harus dia tanggung. Tidak ada kamus cerai. Melanggar firman Tuhan berarti anda dengan sengaja untuk tidak taat apapun alasannya. Jika kita tidak taat kita harus siap menderita karena konsekuensi dari pilihan kita. Mari bijaksana mengambil keputusan karena ‘menarik ke atas meja jauh lebih sulit daripada ditarik kebawah meja’.

Solideo Gloria!

No comments: