(Berdasarkan Kisah Ayub)
[Kotbah ini dibawakan oleh Esni Naibaho, M. Div, CE pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat 23 Oktober 2009]
Dalam seri Problem of Pain yang ke - 4 ini kita akan belajar memaknai arti penderitaan dan jawaban Allah atas penderitaan berdasarkan kisah Ayub, seorang yang mengalami penderitaan yang besar tetapi bisa menyelesaikannya sampai akhir.
Mari melihat latar belakang kitab Ayub. Dalam Ayub 1:1-12 diceritakan beberapa latar belakang dari kisah Ayub. Ada beberapa ahli yang mengatakan tema utama dari Kisah Ayub adalah ”wisdom teaching about God and human suffering”, dan ada yang mengatakan bahwa tema utamanya adalah ”iman seseorang yang menderita”. Penulis dari kitab ini diyakini sebagai seorang Israel karena menyebut nama ”Jahweh”. Ayub juga hidup lama (lebih dari 100 tahun) dan ini sama dengan zaman para bapa leluhur (era patriach, seperti Abraham). Kekayaan pada waktu itu diukur berdasarkan ternak yang dimiliki (1:3). Ayub merupakan salah satu orang terkaya di Timur pada waktu itu. Dia juga bertindak sebagai imam dalam keluarganya (1:5-6). Pada masa Ayub ini penyerangn terhadap suku adalah hal yang sering terjadi (1:15, 17) dan ini cocok dengan periode tahun 2000-1000 sM.
Struktur kitab Ayub terdiri dari tiga bagian. Bagian yang pertama adalah Prolog (pasal 1-2). Prolog ini merupakan sebuah cerita atau prosa yang berbicara tentang kesejahteraan hidup dan penderitaan Ayub. Bagian yang kedua adalah Isi (3-42:6). Bagian ini berbentuk puisi dan merupakan dialog atau diskusi tentang penderitaan Ayub serta pendapat para sahabatnya. Bagian yang ketiga adalah Epilog (42:7-17). Bentuk bagian ini kembali berbentuk prosa dan berisikan pembelaan Ayub dan kesejahteraan hidup Ayub.
Dalam pasal 1:13-19 kita melihat ada berbagai sumber musibah yang menimpa Ayub, yaitu: serangan dari orang Sheba (15), Api dari langit (16), Serbuan dari orang Kasdim (17), dan angin robut-taufan yang menyerang dari empat penjuru yang menewaskan anaknya (18-19). Kita melihat musibah yang ada terjadi tanpa ada tanda-tanda yang luar biasa. Musibah tejadi pada saat Ayub dan keluarga besarnya melakukan kegiatan seperti biasa. Kehidupan berjalan sebagaimana adanya dalam rutinitas yang berjalan seperti biasanya. Musibah ini membuat Ayub kehilangan harta benda, budak, dan anak-anaknya. Sebuah musibah yang mengakibatkan kemiskinan bagi Ayub (dari penderitaan yang satu ke penderitaan yang lain). Tetapi jika kita melihat dialog di awal kitab ini, antara Tuhan dan Iblis, kita bisa melihat bahwa semua musibah yang terjadi kepada Ayub merupakan cara yang dilakukan oleh iblis.
Ayub berkabung dengan amat sangat. Ayat 20 mengatakan: ”Maka berdirilah Ayub, lalu mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian sujudlah ia dan menyembah.” Menurut Walter Brueggemann, respon Ayub ini adalah ”the formfulness of grief” (bentuk kledukaan yang sangat komplet). Tetapi, dalam berkabungnya yang amat sangat ini, Ayub masih memuji dan menyembah Tuhan. Ayat 21 mengatakan: ”katanya: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” Sebuah respon yang sangat sulit ditemukan dari seseorang yang mengalami penderitaan.
Tidak hanya sampai di situ penderitaan Ayub. Dalam pasal 2:7-8 kita melihat bagaimana Allah menijinkan iblis menjamah tubuh Ayub melalui penyakit barah yang busuk. Bukan hanya kena barah, Ayub juga dimurkai isterinya (2:9: ”Maka berkatalah isterinya kepadanya: "Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!”). Kalimat isterinya sama dengan pernyataan Iblis dalam pasal 1:11,”Tetapi ulurkanlah tangan-Mu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau di hadapan-Mu.” Respon isterinya akan penderitaan yang menimpa keluarganya adalah sebuah repon manusiawi, yang mungkin merupakan respon kebanyakan orang. Iblis memang berhasil membuat mereka yang mengalami penderitaan mengutuk Allah, tetapi bukan Ayub melainkan isterinya. Sasaran utama dari iblis tidak berespon seperti yang diharapkan iblis tersebut.
Setelah kehilangan harta dan anak dan menderita fisik, ia juga mengalami penderitaan secara psikis. Kita pasti sangat sedih jika ada yang mencobai iman kita. Ketika kita menderita orang berkat: ”Mananya Tuhanmu? Mengapa engkau menderita?” Sebuah kesedihan yang juga di alami Ayub dimana imannya dicobai oleh isterinya sendiri. Penderitaan yang sangat sulit untuk dikalimatkan dan dipahami. Tetapi Ayub tidak ikut menyalahkan Tuhan melainkan menegur isterinya. Dalam pasal 2:10 dikatakan: ”Tetapi jawab Ayub kepadanya: "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.”. Respon Ayub selanjutnya adalah duduk diam selam tujuh hari [bersama dengan sahabat-sahabatnya (13)]. Baru kemudian Ayub buka suara. Ada sikap marah kepada Allah karena telah menyiksanya (13:21, 25), telah menghukum dia atas dosa yang tidak dilakukannya (9:21-24). Ayub juga meminta Allah meninggalkan dia (7:17-21; 10:20; 19:22), meminta Allah berbicara keapdanya (14:15 agar dia dibela (13:15). Ayub juga merasa bahwa Allah menjadi musuhnya (7:20; 10:16-17; 16:9).
Dalam dialog antara Ayub dan sahabat-sahabatnya kita melihat apa pengertian mereka akan penderitaan. Ada dua pendekatan yang dipakai oleh para sahabatnya ini. Pendekatan yang pertama, yang dilakukan tiga sahabat pertama adalah pendekatan observasi dan pengalaman. Elipaz, seorang mistis yang saleh, mengatakan bahwa kalaupun orang benar menderita tapi tidak sampai kepada penderitaan yang tidak ada akhirnya (4:7, 15:16-19; 15:20-26). Dia merasa ada sesuatu yang salah kepada Ayub karena mengalami penderitaan yang bertubi-tubi. Dia juga melihat bahwa penderitaan sebagai akibat langsung dari dosa. Bildad, seorang tradisionalist, meyakini bahwa kematian yang menjemput anak-anak Ayub adalah akibat dari dosa mereka sehingga dia pun memperingatkan Ayub bahwa dia akan menerima nasib yang sama kecuali dia membenahi diri (8:4-6). Konsepnya adalah keadilan Allah menuntut yang bersalah dihukum. Dia percaya percaya bahwa Allah senantiasa bekerja untuk menghukum orang-orang yang jahat, demikianlah yang Tuhan lakukan kepada Ayub. Allah sedang menghukum. Zophar, seorang dogmatis, menyerang Ayub secara langsung. Ia menyatakan Ayub sebagai pencemoh Allah dan menyuruh Ayub untuk bertobat karena pertobatan adalah harapan satu-satunya (11:13-15).
Sebenarnya secara teologi, apa yang dinyatakan para sahabat Ayub adalah benar tetapi menjadi tidak benar karena tidak relevan dengan kasus yang dialami Ayub. Sepertinya mereka menganut paham tradisi Ibrani yang menyatakan bahwa “suffering comes from God. God is just. Therefore, you, Job, are guilty.” Dengan kata lain konsep mereka adalah: “righteous person always prosper, sinners always suffer” (Lih. Mazmur 1:3; 37:21-26). Hal ini sama dengan prinsip “siapa yang menabur, dia yang menuai”. Mereka bertiga menyimpulkan bahwa penderitaan yang menimpa Ayub adalah karena dosa, keras kepala, dan tidak mau berubah. Itulah sebabnya mereka mendesak supaya Ayub merendahkan diri dan bertobat.
Pendekatan yang kedua adalah pendekatan divine inspiration. Pendekatan yang dilakukan oleh sahabat Ayub yang keempat dan yang masih muda, bernama Elihu. Dia adalah seorang yang merasa diri benar dan percaya diri bahwa dia memiliki pengetahuan yang lebih dari penasehat-penasehat pertama. Dia lebih kepada mengoreksi pertanyaan dan kalimat Ayub misalnya pertanyaan Ayub tentang keadilan Allah. Elihu menjawabnya dengan mengatakan bahwa penderitaan juga bagian dari pendisiplinan (33:19-22) bukan hanya hukuman. Dia mengingatkan Ayub bahwa Allah menunjukkan ke Mahakuasaan-Nya atas dunia melalui keadilan dan kasihNya (37:13, 23). Elihu melihat penderitaan sebagai cara bagi Allah untuk mengajar. Pandangan inilah yang sering kita miliki dalam memberikan nasihat bagi orang yang menderita.
Kedua pendekatan di atas merupakan pendekatan yang dangkal (bahwa penderitaan Ayub serta merta karena dosa) dan tidak ada yang memuaskan bahkan Allah sendiri menghukum tiga sahabat pertama tapi tidak Elihu. Ini menjadi sebuah refleksi bagi kita dalam memberikan nasihat kepada orang yang berduka. Bisa saja dalam nasihat yang kita berikan Allah malah menghukum kita karena telah memberikan nasihat yang tidak kontekstual.
Ada empat penyebab penderitaan, yaitu: 1) dosa pribadi, 2) Konsekuensi dari dosa orang lain, 3) karena aktifitas iblis, dan 4) Sesuatu yang misteri. Dan kelihatannya untuk kisah Ayub, penderitaan yang dialaminya adalah karena aktifitas dari iblis. Menurut John Stott penderitaan Ayub merupakan bukti – not of God’s judgment on him for his sins, but of God’s confidence in him for his integrity. Dan terbukti Allah tidak salah terhadap Ayub.
Mari melihat paham tradisi Ibrani tentang penderitaan. Dalam tradisi Ibrani Allah adalah yang ke MahaKuasaan-NYA tidak dapat dipertanyakan. Allah adalah yang keadilanNya sempurna. Jadi tidak boleh mempertanyakan keadilan Allah. Tidak ada manusia yang sepenuhnya tidak bersalah. Jadi, setiap penderitaan manusia dikaitkan dengan kebersalahan mereka dihadapan Allah. Prinsip umum yang diterima luas adalah “a man reaps what he sows”. If you sin, then you will suffer, or If you are suffering, then you have sinned. Berdasarkan paham tradisi dan apa yang dinasihatkan oleh sahabat-sahabat Ayub, maka kesalahan dasar dari sahabat-sahabat Ayub adalah terlalu berlebihan menilai kebenaran yang mereka miliki, mengaplikasikan dengan salah kebenaran yang mereka miliki, dan menutup pikiran mereka dengan semau fakta yang berlawanan dengan apa yang mereka miliki. Kita harus terbuka terhadap hal-hal lain yang mungkin tidak bisa kita mengerti secara logika.
Bagaimana dengan pemahaman Ayub sendiri? Ia memang marah, tetapi apa pandangannya terhadap penderitaan sendiri. Ayub melihat penderitaannya sebagai “What has God done?” Sahabat-sahabatnya melihat penderitaan Ayub sebagai “What has Ayub done?”.
Alla tidak diam tetapi Ia menjawab Ayub. Allah menunjukkan karyanya melalui ciptaan (38:2-5). Sewaktu kita mempertanyakan Tuhan atas penderitaan yang kita alami, tanpa sadar kita menempatkan diri kita sebagai seseorang yang pantas dan pantas mempertanyakan Allah dan lebih tahu dari pada Allah itu sendiri. Melalui theophani, Allah menyadarkan Ayub bahwa apa yang Ayub tahu mengenai ciptaan Tuhan adalah sangat kecil. Hal ini diakui oleh Ayub . Ayub juga mengaku bahwa Allah adalah pencipta dan penyokong ciptaanNya Ayub (42:1-6). Allah juga menjawad dengan menyatakan bahwa Dia berkuasa menghancurkan orang fasik. Hal ini mengajarkan Ayub bahwa Allah bukan hanya Allah atas ciptaan melainkan juga Allah atas moral (40:8-14). Respon Ayub atas pelajaran ini adalah bertobat (42:1-6). Allah menjawab pertanyaan Ayub dengan memberikan pertanyaan. Allah juga menjawab Ayub melalui angin yang bergemuruh, dimana Allah menunjukkan diriNya sebagai Pencipta dan Pemelihara. Allah memakai penderitaan untuk maksud mulia (lih. Joh 9:3).
Allah memang menegur Ayub tetapi bukan karena dia telah berdosa melainkan karena ketidakpahamannya akan Allah (38:2; 42:2) karena sebelumnya Allah membela Ayub (42:7-9). Dalam pasal 38-41, Allah menyatakan kepada Ayub bahwa manusia tidak sepenuhnya mengenal jalan Allah tetapi manusia mecoba menghakimi Allah. Kesalahan Ayub adalah mengutuki kelahirannya dan mempertanyakan tujuan kekuasaannya atas manusia dan dunia. Allah tidak memberi jawaban yang rasional dan berhubungan dengan penderitaan Ayub. Elmer B. Smick berkata bahwa Allah tidak memberikan penjelasan teologis akan misteri dari penderitaannya. Jadi buku Ayub ini mengajarkan kepada kita bahwa melalui theophani ilahi ada sesuatu yang lebih fundamental daripada sekedar solusi yang intelektual terhadap misteri dari penderitaan orang yang tidak berdosa. Penderitaan pun bisa dialami oleh orang yang benar seperti Ayub ini. Konsep ’siapa yang menabur, dia yang menuai’ adalah konsep general dan bukan berarti kita menerima nya secara mutlak dan menolak kasus seperti yang dialami oleh Ayub. Kita harus terbuka akan dua hal in dimana prinsip ayng satu adalah bahwa ada sesuat misteri dibalik penderitaan yang kita alami tetapi mari kita menundukkan diri kita kepada Tuhan. Mungkin secara intelektual kita tidak kuat dan puas memahaminya, tetapi hal in membuat kita semakin menundukkan diri kita kepada Allah bukan menantang Allah.
Ayub pun merespon terhadap jawaban Allah. Ayub menyadari bahwa Allah tidak membutuhkan hikmat atau nasehat manusia atas apa yang terjadi di dunia ini. Dan tidak ada penderitaan yang sehebat apapun yang dapat mempertanyakan kuasa, keadilan dan kasih Tuhan. Ayub menyadari ketidakpengenalannya kepada Allah dan ketidakpahamannya mengenai jalan-jalan Tuhan. Sikap Ayub membuktikan bahwa Ayub benar dan iblis salah. Dari jawaban Allah kepada Ayub kita melihat bahwa Allah menuntun Ayub melihat tujuanNya atas seluruh ciptaanNya. Allah sebenarnya tidak pernah sepenuhnya diam. Melalui ciptaan Allah menunjukkan hikmat dan kuasaNya yang tak terbatas. Allah menuntun Ayub untuk tidak fokus pada “why” melainkan “to what end”, yaitu penderitaan dapat dipakai untuk mendatangkan kebaikan.
Ada beberapa hal yang bisa kita refleksikan dari kehidupan Ayub ini. Betapa terbatasnya kemampuan manusia mengerti jalan-jalan Allah dan betapa tidak terselami dan sempurnanya Allah dan jalan-jalanNya. Jawaban atas misteri hidup ini hanya diperoleh dari Allah. Dan Allah akan membuat kita memahami secara benar makna penderitaan itu dan bukan sekedar menjawab pertanyaan kita dan memuaskan keinginantahuan kita. Sekalipun Ayub tidak pernah meminta supaya Tuhan memulihkannya dan menggantikan semua yang telah hilang namun Allah memulihkan dan memberkati dia lebih dari sebelumnya. Ayub tiba pada kedewasan rohani yang tinggi dimana dia meminta pengampuan kepada Allah untuk sahabat-sahabatanya (Lih. Luk 6:28). Penderitaan seharusnya menghantar kita kepada kedewasaan yang lebih tinggi.
SoliDeo Gloria!
No comments:
Post a Comment