Friday, April 30, 2010

[Seri Eksposisi] Matius 7

Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div

Hari ini kita akan membahas Matius 7. Hari ini kita berbicara, melalui kitab ini, sikap orang Kristen terhadap banyak hal seperti kelompok orang tertentu, seiman atau bukan, pengajar palsu, dan lahirnya komitmen bagi orang percaya.

Hubungan dengan Saudara
Bagian yang pertama (1-5) adalah hubungan orang percaya dengan saudaranya. Ada satu perintah untuk tidak menghakimi orang lain. Ingat, menghakimi dan menyatakan sesuai fakta itu adalah dua hal yang berbeda. Jika kita mengatakan orang sesuai dengan faktanya, itu bukan menghakimi. Tetapi prinsip menghakimi bukan berarti meniadakan atau berbeda dengan sikap kritis kita. Sikap kritis itu adalah hal yang wajar dan wajib. Menghakimi juga tidak sama dengan buta akan yang benar dan yang salah. Tidak membuat kita subjektif, tetapi tetap objektif sehingga kita tahu membedakan yang mana yang benar dan salah atau baik dan buruk. Menghakimi juga tidak berarti membiarkan kesalahan terjadi. Menghakimi itu terjadi jika kita giat untuk mencari kesalahan orang lain. Tetapi jika kita tahu kesalahan orang dan dengan konstruktif menasehati, ini bukan menghakimi. Tetapi mencari kesalahan orang bukan karena krisis bahkan memeberi label kepada dirinya tidak bisa berubah, inilah menghakimi. Hal seperti inilah yang dilarang oleh Alkitab. Jika kita melakukannya berarti kita merampas hak dan posisi Allah di dalam kita menghakimi orang lain.

Ada beberapa alasan untuk tidak menghakimi, yaitu:
1. Agar kita tidak dihakimi.
2. Hukum yang kita terapkan kepada orang lain akan diberlakukan kepada kita.
3. Kita juga bisa duduk pada kursi pesakitan. Artinya, kita juga bukan manusia tanpa kelemahan atau dosa. Seringkali kita memahami bahwa kita lebih baik dari orang lain maka kita menghakimi mereka. [bd Rom 2:1].
4. Perintah untuk tidak menghakimi adalah dasar supaya kita bermurah hati. Artinya, jika kita sudah menghakimi seseorang maka kita akan sulit untuk mengeluarkan pengampunan, mengerti, dan menerima dia.

Mari melihat ayat 3 dan 4. Salah satu alasan kita untuk tidak menghakimi adalah supaya tidak terjebak dalam kemunafikan. Penghakiman dan kemunafikan sering sekali sejalan karena kita menganggab diri kita lebih baik dan benar sehingga kita terjebak dalam kemunafikan. Tidak menghakimi sesama orang berdosa. Kita juga adalah orang berdosa, bahkan kita bisa lebih jahat dari pada orang lain. Memandang diri kita positif dan memandang orang lain negatif adalah dosa orang Farisi yang ditegur oleh Tuhan Yesus. Mereka membenarkan atau meninggikan dirinya dan merendahkan orang lain dengan menyatakan kesalahan mereka [band. Luk 18:9-14]. Kita sulit melihat kelemahan kita jika kita bersikap menghakimi. Kita bahkan menghina orang lain dan meninggikan diri sendiri, yang merupakan sebuah kemunafikan, jika kita menghakimi.

Relasi Dengan Sesama
Kita jangan bertindak sebagai hakim yang mencari-cari kesalahan orang dan dengan kejam menghukum atau seperti Farisi yang munafik dengan mencela kesalahan orang lain tetapi memaafkan diri sendiri. Jika kita salah kita toleran, tetapi jika orang lain salah tidak ada kompromi. Ini salah dan egois. Salah satu cara agar tidak terjebak dalam penghakiman adalah mari belajar say no to you self. Mengatakan tidak kepada orang adalah gampang, tetapi menyatakan tidak kepada diri sendiri adalah sulit. Penting sikap mengoreksi diri sendiri terlebih dahulu baru kemudian menolong orang lain secara konstruktif, untuk mengatasi kekurangannya. Alasan kenapa banyak orang di persekutuan merasa sakit hati, karena dia merasa dihakimi dan didakwa dan seolah-olah dia yang paling najis oleh karena orang-orang dipersekutuan merasa superior dan paling suci yang tidak mengerti kejatuhan orang lain.

Relasi Orang Kristen Terhadap Non Kristen
"Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu."

Orang akan bertanya-tanya kenapa Yesus begitu sarkastis dalam ayat ini. Yesus baru mengajar jangan menghakimi orang lain tetapi kenapa sekarang seperinya menjudge, ada anjing ada babi. Sebenarnya konteknya bukan dalam pemahaman seperti ini. Konteks ay 1-5, berbicara soal orang yang masih terbuka dengan pertobatan dan sesama orang percaya. Tetapi bagi orang yang menolak Injil bahkan menyerang Injil, inilah yang dimaksudkan dalam ayat 6. Dua binatang yang dimaksudkan di sini adalah dua binatang yang haram bagi Yahudi. Mereka ini adalah kelompok orang-orang yang sengaja menolak Injil bahkan menentang Injil [lih Amsal 9:8, bd Mat 10:14; Luk 10:10-11; Kis 18:5-8]. Dalam bagian ini Tuhan ingin mengatakan untuk tidak memberi barang yang kudus kepada anjing dan mutiara kepada babi. Jika kita perhatikan Mat 13:46, mutiara ini adalah Injil Kerajaan Allah. Tetapi hal ini tidak membatasi Perkabaran Injil. Amanat agung wajib kita sebarkan kepada semua orang, tetapi perhatikan, adakah dia sudah tertutup kepada Injil atau mau menyerang kita karena memberitakan Injil. Dalam hal ini kita memerlukan hikmat dari Tuhan.

Relasi Terhadap Semua Orang
Mari melihat ayat 12, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”. Ayat 12 ini adalah mengenai sikap terhadap semua orang. Dalam bahasa Yunani, ayat 12 ini diawali dengan kata ”so” atau ”jadi” atau ”maka dari itu”. Hal ini dihubungkan dengan ayat 1- "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi". Kemudian ayat ini juga dihubungkan dengan ”karena Bapa kita Bapa yang baik” (11). Jadi dapat dikatakan karena kita tidak menghakimi atau karena kita memiliki Bapa yang baik, maka segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi. Ada prinsip umum yang berlaku. Dalam Budha ada ajaran jangan menyakiti orang lain jika kamu tidak mau disakiti. Oleh karena itu jangan perbuat pada orang apa yang engkau sendiri benci. Di dalam Rom 12, dikatakan bahwa kita harus bersifat aktif dan lebih dahulu melakukannya. Ini adalah KASIH sebagai kegenapan Hukum Taurat [ bd Mat 5:17; Rom 13:8-10].

Sikap Tehadap Pengajar Palsu (13-20)
Setelah Yesus mengajarkan tentang dua harta (surgawi dan duniawi), dua keadaan, dua tuan, dua ambisi, maka sekarang Yesus melukiskan dua jalan (luas dan sempit), dua guru (benar dan palsu), dua permohonan (kata-kata dan perbuatan), dan dua pondasi (pasir dan batu).

Dua jalan dan pintu (13-14, ”Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya."). Sering sekali orang berbicara soal ini mengenai Sorga. Sebenarnya, jalan disini tidak mengenai sorga walau ada hubungannya dengan Sorga. Tetapi di dalam menjalani hidup sebagai orang percaya di dunia ini kita diperhadapkan dengan dua jalan atau dua pintu dengan prinsip dua cara hidup yang sangat kontras dalam perjalanan hidup manusia. Dua alternatif ini harus memilih dan tidak bisa digabungkan. Pintu yang pertama itu adalah pintu yang sesak atau jalan yang sempit yang menuju kepada kehidupan. Hanya sedikit orang yang bisa masuk ke dalamnya. Apa yang ingin Yesus katakan di sini adalah pintu itu, etika atau cara hidup yang diajarkan Yesus itu adalah satu cara hidup yang ketat dengan pembatasan dari segi cara hidup dan etika. Itu sebabnya dalam hidup kita ada banyak hal yang tidak boleh kita lakukan karena ada rambu-rambu bagi kita jika kita ingin hidup benar dan memuliakan Tuhan. Ingat, hal ini jangan dikaitkan dengan dorongan dari luar tetapi harus dorongan dari dalam. Artinya kita kita lebih dipengaruhi oleh dorongan dari luar, maka kita seolah-olah dipaksa berjalan dalam koridor yang sempit ini dan kita tertekan. Jika kita masih terpaksa untuk tidak berbuat dosa, berarti kondisi rohani kita tidak sehat. Tetapi jika ada satu inner drive untuk tidak bedosa, maka senang untuk tidak berdosa. Inilah jalan hidup yang sempit ini. Jalan yang kita tempuh itu, walaupun sempit, adalah karena pilihan kita sendiri, dan kita senang melakukannya. Kemudian Pintu yang lebar dan jalannya luas tetapi menuju kepada kebinasaan dan banyak orang melaluinya. Jalan ini sangat luas dan pintunya gampang dimasuki, ada toleransi dan kebebasan untuk berbuat sesuka hati tanpa rambu-rambu. Inilah jalan yang lebar. Jika ita mengikuti jalan dunia ini, tidak ada rambu-rambu. Dalam hal inilah dikatakan ada ragam pendapat dan kelonggaran moral [bd Mzm 1:1-6]. Ini adalah dunia yang sering kita jalani setiap hari.

Kemudian alternatif berikutnya adalah Dua guru (15-20). Setelah Tuhan Yesus berbicara mengenai jalan yang benar dan palsu, maka ia berbicara mengenai guru palsu dan nabi palsu. Pentingnya sikap waspada kerana nabi palsu adalah serigala yang menyebar dan meracuni. Artinya dalam PL, orang menjadi nabi adalah karena diakui dan banyak orang menerima ajarannya dan nubuatannya benar. [Yer 23:16, 18, 22, 28]. Mereka adalah serigala yang buas yang menyamar seperti domba (15). Jika anjing dan babi (6) gampang mengenalinya. Tetapi serigala yang menyusup ke kawanan domba sulit mendeteksinya. Mereka juga mengaku mengajarkan kebenaran-kebenaran wahyu Allah dengan lidah yang fasih dan hidup berpura-pura saleh dan baik. Mereka berlindung dalam kepribadian yang menarik, bobot pengetahuan yang tinggi,pengaruh dan jabatan kerohanian yang diakui secara legalistik pada zaman itu. Tetapi Yesus memberi tahu cara untuk mengujinya (17-19). Ada perubahan metafora serigala domba menjadi pohon dan buah. Pohon tidak dapat menyembunyikan jatidirinya untuk jangka waktu yang lama, tetapi sergala bisa. Karena pohon, cepat atau lambat akan dikenal melalui buahnya. Serigala dapat menyamar tetapi pohon tidak. Oleh sebab itu dikatakan pohon yang baik menghasilkan buah yang baik (20). Dalam onteks sekarang, bagaimana mendeteksinya? Mari memperhatikan ajaran atau doktrinnya (1 Yoh 2:24; 4:1, 6). Kemudian perhatikan watak dan hidupnya apakah menghasilkab buah Roh (17-18). Seorang Bishop mengatakan doktrin yang sehat, hidup yang suci dan penuh kasih merupakan pertanda nabi/pengajar yang sejati. Proses kejadian dan kematangan buah membutuhkan waktu. Demikian halnya untuk membuktikan nabi dan pengajaran palsu.

Perhatikan ayat 21-27. Dua alternatif terakhir dalam khotbah di bukit. Pertama pengakuan percaya verbalis yang hanya dengan mulut (21-23) dan sekaligus ciri dan perbuatan nabi palsu. Kedua, ada pengakuan percaya sebatas pengetahuan intelektual tanpa kepatuhan. Mendengar Firman Allah tanpa melakukan (24-27).

1. Pengakuan percaya verbalis yang hanya di mulut (ay 21-23, ”Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"). Sangat luar biasa apa yang dilakukan oleh nabi palsu dalam ayat 22 ini. Mengusir setan dalam nama Yesus, bernubuat, menyembuhkan, dan mengadakan mukzizat. Logikanya mereka adalah pengajar yang benar. Tetapi tidak. John Stott berkata bahwa tindakan yang mereka (pengajar palsu) lakukan sama seperti ahli-ahli nujum yang bisa melakukan nubuat dalam nama Yesus dalam arti bukan karena iman kepada Yesus yang sesungguhnya tetapi sebuah pemahaman magis dan mistis. Ada orang mengatakan tentang Yesus atau pengakuan kepada Yesus, tetapi pengakuan yang verbalis tanpa iman yang sejati. Inilah yang dilakukan oleh para pengajar palsu.

Jika kita membaca Rom 10:9-11, kita merasa lahir baru itu sangat mudah. Apakah ketika ada pengakuan verbalis seperti dalam Rom 10 itu, secara otomatis melahirkan orang secara baru? Belum tentu orang yang angkat tangan atau mengaku percaya menerima Kristus sudah lahir baru. Tunggu dulu. Bagaimana pandangan kita akan hal ini? Apakah yang ikut PA sudah otomatis lahir baru? Belum tentu. Oleh karena itu Yesus sangat menekankan agar pengakuan akan Yesus dibarengi dengan hidup yang benar. Pohon dikenal dari buahnya. Hal ini menjadi koreksi bagi diri kita, agar kekristenan yang kita bangun bukan kekristenan formalis, legalis, dan pernyataan verbalis. Tetapi kekristenan yang nyata dari kehidupan kita sehari-hari. Yang penting adalah bukan apa yang diucapkan kepada atau tentang Yesus, melainkan apakah kita perbuat sesuai dengan apa yang kita ucapkan. Pengakuan percaya yang verbal itu adalah ucapan tanpa kebenaran.

Verbalisme bukan moralitas yang benar. Ada pengakuan percaya tanpa kenyataan. Mengaku Yesus Tuhan, tetapi tidak tunduk kepada ketuhananNya. Pengakuan yang verbalis ini seharusnya dihancurkan dengan satu hal yaitu dengan mentuhankan Yesus dalam seluruh dalam aspek hidup kita. Jika kita tidak menempatkan Yesus sebagai Tuhan dari seluruh hidup kita, sebenarnya dia sama sekali bukan Tuhan bagi kita. Yang menyebut nama Tuhan haruslah meninggalkan kejahatan (2 Tim 2:19). Yesus tidak tekesan dengan kalimat-kalimat rohani kita, kesalehan palsu, atau pernyataan-pernyataan rohani, tetapi Yesus akan kagum jikalau pernyataan rohani kita seiring dengan perbuatan sebagai tanda bahwa kita taat kepada Dia.

2. Pengakuan percaya sebatas pengetahuan intelektual tentang kepatuhan, mendengar Firman Tuhan tanpa melakukannya. Mari melihat ayat 24-27, "Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir.Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya."
Bagian ini adalah perkataan Yesus dalam khotbah di Bukit. Bagian ini menunjukkan dua metafora. Pertama orang yang bijak, yaitu mereka yang mendengar Firman Tuhan dan melakukannya. Mereka ini digambarkan Yesus dengan orang bijak yang membangun rumah. Mereka membangun dengan memperhatikan dan membuat pondasi yang kokoh. Tetapi orang bodoh asal membangun tanpa mempertimbangkan ketahanan pondasinya dengan membangun di atas pasir. Metafora inilah ciri atau karakter kehidupan kekristenan. Di dalam hal ini digambarkan oleh Yesus sebagai dua bangunan yang kelihatannya serupa, baik yang sejati maupun palsu. Kesejatian itu akan terbukti saat diterpa badai. Ketika kedua bangunan dihantam hujan, angin, dan banjir, maka akan kelihatan perbedaan yang fundamental antara dua jenis bangunan. Sama dengan kita. Ketika badai hidup menerpa kita, maka akan ketahuan apakah kita jenis bangunan yang kokoh atau rapuh. Kita sulit membedakan dua jenis ’bangunan’ ini karena: pertama, pondasi kehidupan terhalang dari penglihatan seperti akar. Kedua, pondasi bisa tertutupi oleh jabatan, aktifitas, dan fenomena rohani. Kehidupannya sepertinya aman dan mulus sampai tiba pada ujian dan pencobaan.

Oleh karena itu butuh komitmen yang sejati, yaitu pengakuan verbal dan intelektual tidak dapat menjadi substitusi dari kepatuhan/ketaatan. Karena itu jangan berpikir ketika kita melakukan hal-hal rohani, hal tersebut menjadi substitusi dari sebuah ketaatan. Mari, kita para lamuni, jangan membangun kekristenan yang semu, yang ditutupi dengan fenomena dan jabatan rohani, dll. Kekristenan yang sejati dibangun melalui ketaatan akan apa yang diketahui akan Firman Tuhan. Penting bagi kita melakukan apa yang dikatakan (dipercayai) dan apa yang diketahui [bd 1 Yoh 1:6; 2:4; Yak 1:22-25; 2:14-20].

Apa yang kita ucapkan (pengakuan percaya kepada Yesus) dan apa yang kita ketahui tentang pribadi dan karakter Kristus, mari kita terjemahkan dalam hidup kita sehari-hari. Jika kita Yesus itu sabar, mari kita belajar untuk sabar. Jika kita tahu Yesus itu suci, mari kita belajar setiap hari untuk hidup suci.
Pengajaran Yesus bukan sederetan aturan etis yang gampang ditaati, tetapi sangat kontras dengan nilai dan etika dunia. Oleh karena itu sangat dibutuhkan komitmen. Makanya ayat 21-23, komitmen pertama jangan sebatas pengakuan verbal, melainkan disertai tindakan etis dan moral. Kemudian ay 24-27, jangan sebatas sebatas pengetahuan intelektual, tetapi ada komitmen untuk mentaati Firman Allah yang akan merubah hidup kita. Pengakuan penting, pengetahuan penting, tetapi hidup yang benar jauh lebih penting.
Soli Deo Gloria!

No comments: