Friday, April 30, 2010

[Seri Eksposisi] MAZMUR 120 - Repentance

Denni B. Saragih, M. Div

Ada dalam salah satu kisah seri The Chronical of Narnia dimana seekor singa yang bernama Ashlan bertemu dengan seekor naga yang tidak sadar bahwa dirinya adalah naga (merupakan simbolisasi dari kejahatan). Kemudian, ketika Ashlan ketemu dengan naga, ia berkata: “Kamu tidak sadar bersamaan dengan waktu kamu semakin lama semakin jahat dan hal tersebut tergambar dari kulitmu yang semakin lama semakin tebal.” Lalu naga itu berkata: “Saya tahu kulit saya semakin tebal. Tetapi, setiap kali aku memutar-mutar badanku pada permukaan pasir dan batu, kulitku itu akan mengelupas dan aku menjadi cantik kembali.” Lalu Ashlan membawa naga ini ke sebuah telaga. “Kamu tidak sadar. Kamu kira kamu sudah melepaskan kulitmu. Coba sekarang lihat ke arah telaga itu”, seru Ashlan. Sewaktu naga ini melihat ke dalam telaga, dia terkejut sekali karena kulitnya sedemian tebal dan mukanya sedemikian jelek. Ia tidak menyangka sudah sejauh itu. Lalu ia menangis dan memutar-mutar badannya berkali-kali pada permukaan tanah, sampai kulitnya mengelupas. ”Memang aku telah berkulit tebal. Tetapi aku telah melepaskannya. Lihatlah itu!” teriak si naga. Tetapi Ashlan mengatakan: “Pergi dan lihatlah ke telaga, apakah kulitmu telah berubah.” Waktu dia melihat ke telaga, kulitnya tetap tebal. Lalu ia menjadi sangat sedih dan meratap. Ia bertanya kepada Ashlan: “Apakah caranya agar aku bisa lepas dari kulitku?” ” Tidak ada cara lain”, kata Ashlan, “Kecuali cakarku ini menoreh luka di kulitmu. Mengoyak dari atas sampai ke bawah dan mengelupaskannya.” Singkat cerita, si naga ini bersedia. Ashlan menarik dengan kukunya. Menghujam ke dalam kulit dan menarinya dari kepala sampai ekor. Setelah terkoyak, si naga merasakan sakit dan pedih karena kulit itu seolah-olah telah melekat pada tubuhnya. Bersamaan dengan sakit yang ada, si naga merasakan ada perasaan ringan yang luar biasa. Setelah itu si naga itu terjun ke telaga dan ketika ia keluar ia sangat gembira dan merasa nyaman.

Tema yang dibicarakan dalam cerita ini adalah mengenai pertobatan. Bagaimana dalam perjalanan rohani kita, sering sekali perbuatan jahat begitu melekat dalam diri kita. Setiah hari kita seolah-olah telah melepaskannya. Tetapi semakin hari semakin tebal sehingga kita tidak mampu melepaskan diri dari kejahatan kita kecuali cakar dari Singa Yehuda, yaitu Yesus Kristus, menusuk dalam kulit kita dan membelah dan melepaskan dari dosa-dosa tersebut. Cerita ini merupakan cermin bagi kita sewatu kita merenungkan Mazmur 120. Mazmur ini menceritakan pengalaman pemazmur yang hidup di dunia dan tinggal bersama dengan orang kafir yang membuat dirinya sangat bergumul dalam kehidupannya.

Mazmur 120-134 adalah rangkaian Mazmur yang disebut dengan Mazmur ziarah. Artinya, ini adalah Mazmur yang sering dinyanyikan oleh bangsa Israel yang berada di perantauan sewaktu mereka sekali setahun berjalan pulang menuju Yerusalem. Mazmur ini biasanya dibagi menjadi lima bagian dan masing-masing terdiri dari tiga buah Mazmur yang memiliki kesamaan tema. Pada Mazmur 120 ini, kita akan merenungkan tentang apa artinya pertobatan dalam pengalaman si pemazmur. Untuk bisa menghayati Mazmur ini, saya ingin mengajak kita untuk mengingat satu perjalanan pulang kampung. Perjalanan pulang ke kampung dapat diibaratkan sebagai satu perjalanan sejarah karena kita mungkin sudah lama tidak pulang. Dalam perjalanan, kita akan mengingat jalanan yang sama, jalanan yang penuh dengan memori baik indah maupun tidak indah. Kita juga melihat bangunan yang secara personal memiliki nilai sejarah bagi kita, pepohonan dan berbagai situasi lainnya. Sewaktu kita berjalan, walaupun tidak diungkapkan dengan kata-kata, setiap pohon, bangunan, dan orang-orang, mengandung seribu cerita bagi kita.

Sekarang, pindahkan imajinasi kita itu kepada penduduk Yerusalem. Penduduk yang dibuang ke negeri yang jauh, merantau ke negeri yang jauh, sekarang pulang ke Yerusalem. Tambahkan nuansa iman dan pengalaman spiritual bahwa di negeri yang jauh mereka berjumpa orang-orang yang menyembah berhala. Ketika mereka berjalan menuju Yerusalem, mereka mengingat kembali perjalanan dan kehidupan rohani sebagai umat Allah. Dalam teologia PL, Yerusalem, khususnya bait Allah, adalah simbol dari kehadiran Allah di tengah-tengah umatNya. Di dalam Yerusalem ada bait Allah. Di dalam bait Allah ada tabut perjanjian dimana tabut ini adalah simbol bahwa Allah hadir di tengah-tengah umatNya. Tabut ini menyimpan sejuta cerita dan makna tentang pengalaman bagaimana orang Israel di bawa keluar dari Mesir menuju tanah Kanaan. Sebuah perjalanan yang penuh dengan cerita dengan berbagai macam teologia dimana Allah menunjuk bangsa Israel sebagai umat pilihanNya, dan Allah memperkenalkan kepada bangsa Israel siapakah Dia.

Karena itu, sama seperti perjalanan ziarah kita menuju kota kelahiran kita, demikian juga bangsa Israel, di dalam Mazmur 120, menyanyikan lagu menuju tanah Kanaan dan Yerusalem. Jika kita perhatikan ayat 1, dimulai dengan situasi rohani mereka ketika mereka berangkat ziarah mednuju Yerusalem. Dikatakan dalam ayat 1, ” Dalam kesesakanku aku berseru kepada TUHAN dan Ia menjawab aku:”. Dipakai kata ’kesesakan’. Dalam bahasa Inggris dipakai kata disstress, trouble, dan I cry. Ini adalah satu penggambaran dari Mazmur tentang pengalaman jiwanya yang nelangsa dan hampa. Ia menggambarkan pengalaman sesak. Sesak adalah pengalaman batin yang sudah penuh dan menumpuk dalam waktu yang lama. Mungkin awalnya tidak di sadari. Pengalaman dalam lingkungan yang kafir dan berdosa, terbisa dengan kejahatan, menjadi pengalaman yang tidak di sadari dan mencoba untuk terbiasa dengan lingkungan dimana dia berada. Apakah hal ini menjadi pengalaman rohani kita juga? Pengalaman dimana ketika berjalan di tengah-tengah dunia ini, kita semakin jauh berjalan dari ’Yerusalem’ atau hadirat Tuhan dan semakin terbiasa dengan dosa dan kejahatan dunia. Pada ayat 5, pemazmur berkata: ” Celakalah aku, karena harus tinggal sebagai orang asing di Mesekh, karena harus diam di antara kemah-kemah Kedar!” Mesekh dan Kedar adalah dua suku yang sangat kejam yang ada pada zaman itu. Kedua suku ini digambarkan sebagai suku yang senang berperang dan mencari kehidupan dengan cara merampas. Sehingga jeritan dari Mazmur 120 adalah jeritan tentang seorang yang mengalami pergumulan rohani karena tinggal dalam lingkungan yang penuh dengan dosa. Pada ayat 6 dikatakan: ”Cukup [terlalu- dalam terj. Inggris] lama aku tinggal bersama-sama dengan orang-orang yang membenci perdamaian.” Kita dapat menggambarkan bahwa Mazmur 120 adalah gambaran pemazmur yang merasa muak dengan keadaan disekitarnya. Mazmur 120 adalah sebuah tangisan yang ketika kita berada dalam lingkungan kejahatan. Ada titik dimana kita terlalu muak/benci, sehingga kita berkata: ”Celakalah aku, aku sudah berada di tempat seperti ini.” Inilah tangisan seorang anak Tuhan yang pernah mengalami apa artinya dekat dengan Tuhan.

Alumni-alumni pasti mengalami pergumu lan batin seperti ini. Tetapi persoalannya apakah ketika kita sampai kepada titik itu, kita berikhtiar untuk berziarah atau kita tidak berangkat dari titik dimana kita berada. Mungkin kita mengalami kesesakan dan terlalu lama muak dengan lingkungan yang mengukur segala sesuatu dengan uang. Diantara famili kita, teman sekerja kita, atasan kita, dan tenman bergaul, kita mendengar ocehan. Mula-mula kita biasa dan menyesuaikan diri dengan standart-standart yang ada. Awalnya juga kita menunjukkan, sedikit banyak, mampu ‘memenuhi standart’ orang-orang yang ada di dunia ini. Tetapi semakin lama kita dengar, jika kita adalah anak Tuhan dan kita memiliki hati nurani, maka akan ada pengalaman seperti pemazmur dimana kita merasa sesak dan muak dengan kriteria-kriteria seperti itu. Mungkin juga kita terlalau lama dalam politik kantor dengan orang-orang yang ambisius. Semua ingin naik jabatan, menjadi atasan, dll. Atau kita terlalu lama kita bekerja dengan atasan dengan rekan sekerja kita yang korupsi dan serba aji mumpung. Lingkungan dimana kita berada, mungkin kita merasakan atmosfir yang sama sekali menyesakkan. Kita juga terlalu lama tinggal dalam kebohongan, sampai-sampai kita terseret dalam kebohongan tersebut. Kita mulai ikut permainan yang berisikan kebohongan dunia. Sehingga sama seperti pemazmur, kita bergumul dan berteriak. Terlalu lama kita sudah mengalaminya dan berkata:” Celakalah aku sudah tinggal dalam lingkungan seperti ini. Ya Tuhan, lepaskanlah aku dari dunia yang seperti ini.”

Alumni-alumni sering mengalami apa yang disebut dengan psikologi pengetahuan. Dalam psikologi pengetahuan, apa yang kita dengar menjadi apa yang kita inginkan. Apa yang kita inginkan menjadi apa yang kita lakukan. Kita sering mendengar sewaktu masih kuliah, pembicaraan mengenai jam doa, saat teduh dan kegiatan pelayanan menjadi sesuatu yang menarik. Jika orang terbiasa saat teduh, menjadi suka dan mencintai saat teduh. Lalu ketika kita pindah ke lingkungan kerja yang sangat hostile, kafir, anti Tuhan, dan anti kebenaran, maka ketika kita tidak memiliki teman bicara soal saat teduh. Lama kelamaan, ketika kita melihat tidak ada yang saat teduh, kita berubah dari saat teduh di rumah menjadi dikantor. Lama-lama tidak baca Alkitab, hanya renungannya. Lama-lama tidak lagi berdoa. Kita kehilangan esensi bahwa saat teduh itu adalah hubungan pribadi dengan Tuhan, bukan sekedar perenungan-perenungan. Kita berubah pelahan. Demikian juga dengan setiap kegiatan rohani kita menjadi sangat dangkal. Ini adalah mentalitas yang memburu kita orang Kristen. Sehingga ketika kita berada dalam lingkungan seperti ini, kita tidak bicara soal visi hidup. Ketika kita bicara visi hidup dikantor, sama seperti pemazmur yang membicarakan perdamaian, tidak ada yang tertarik dan tertawa. Visi hidup berganti menjadi kepausan hidup. Dalam visi hidup kita bicara soal pengabdian, pelayanan, tetapi kepuasan hidup kita berbicara tentang sesuatu yang menjadi hobi kita atau memiliki HP dengan fitur yang canggih. Dengan kata lain, orang tidak mau lagi berbicara soal visi hidup, tetap jika berbicara soal HP dapat berjam-jam. Apakah hidup kita lebih berkualitas jika HP kita dapat melihat lawan bicara kita? Mungkin ada manfaatnya, tetapi apakah manfaatnya seperti yang digembar gemborkan itu? Iklan juga sering membuat bahwa berbicara murah melalui HP menjadi satu hal yang sangat penting. Apa yang menjadi pembicaraan kita menjadi sesuatu yang kita inginkan sehingga tanpa sadar kita terbawa arus. Tetapi sebagai anak Tuhan yang punya Roh Kudus, pastilah ada titik-titik dimana kita berkata: ”Terlalu lama aku sudah membicarakan hidup ini.” Kita stress dan pusing dan kita rasanya muak.

Ada waktu dimana kita bertanya kembali hal-hal yang penting dalam kehidupan ini. Kita perlu berziarah rohani untuk mengenang dan melihat apa yang sesungguhnya kita inginkan dalam hidup. Apa tujuan hidup kita. Disinilah kita berbicara soal pertobatan rohani. Kita membutuhkan ziarah rohani untuk mengingatkan kita mengapa kita ada di tengah-tengah dunia ini. Apa artinya menjadi orang Kristen? Kita membutuhkannya setiap minggu melalui perjalanan ke Gereja. Saya berharap berjalan ke Gereja menjadi perjalanan rohani bagi kita. Ketika kita bangun pagi, kita mempersiapkan diri seperti ziarah rohani. Seperti orang Israel berjalan menuju Yerusalem, begitulah kita berjalan menuju Gereja. Pengalaman rohani seperti ini dapat kita alami setiap minggunya. Jika tidak ke Gereja, kita dapat ke MBA atau persekutuan Alumni kampus kita setiap minggunya. Hal ini perlu untuk mengingatkan kita, sama seperti si naga yang datang ke telaga untuk melihat dirinya secara baru, kalau-kalau kita membutuhkan cakar dari singa untuk menorehkan cakarnya dan membuka bungkus kulit yang terlalu berat, semacam dosa-dosa yang menjadi bagian hidup kita.

Sekali sebulan kita perlu retreat rohani ke tempat yang berkesan bagi kita, dimana kita seolah-olah berjalan untuk menyegarkan kehidupan rohani kita. Jangan pernah merasa rugi untuk pergi ke tempat seperti itu, tempat yang secara rohani powerful bagi kehidupan rohani kita. Dan sekali setahun disegarkan melalui retreat seperti Kamp Almuni (KARSU). Kita para alumni membutuhkan retreat setiap tahun. Perkantas juga akan senang jika para alumni bergabung dalam Family Day Perkantas yang diadakan sekali setahun. Intinya Mazmur 120 mengajak kita untuk mengalami dan membiasakan diri kita untuk ziarah rohani, untuk balik dari dunia yang membuat kita berkata: “Celakalah aku”, disegarkan dengan mengingat apa artinya menjadi anak-anak Tuhan di tengah-tengah dunia ini.
Soli Deo Gloria!



No comments: