Drs. Tiopan Manihuruk, M. Th
Hari ini, kita akan membahas bagian ke dua dari kitab Wahyu, yaitu Surat kepada Jemaat di Laodikia. Jika Jemaat di Efesus adalah Jemaat yang kehilangan kasih mula-mula, maka Jemaat Laodikia ini adalah jemaat yang mati segan hidup tak mau atau Jemaat yang suam-suam kuku.
Jika kita perhatikan keadaan Laodikia, secara geografis, Laodikia adalah kota dekat dengan Kolose (sekitar 10 mil). Kota ini juga dikelilingi oleh lembah sungai Likus. Kota ini juga terkenal kemakmurannya karena kota ini adalah pusat bisnis dan merupakan rute perdagangan dan juga tanah yang subur. Jemaat Lodikia merupakan Jemaat yang berada di paling selatan dari ketujuh Jemaat yang ada. Tidak diketahui kapan Injil sampai di sana, tetapi diperkirakan dibawa oleh Epafras. Jemaat ini dulu maju sekali, tetapi belakangan sangat merosot. Itulah sebabnya Tuhan sangat mencela Jemaat ini. Perlu diketahui bahwa Jemaat ini tidak mengalami aniaya atau penderitaan sedikitpun, berbeda dengan Jemaat di Efesus. Dan kepada Jemaat inilah Tuhan berkata: "Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Laodikia: Inilah firman dari Amin, Saksi yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan Allah:”(ay 1).
Dari Wahyu 3:15-17 ini kita akan melihat diagnosa Allah akan kondisi Jemaat ini. Diagnosa pertama Kristus akan Jemaat ada pada ayat 15. Dikatakan demikian, “Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas!” Dari ayat 15 ini kita melihat bahwa diagnosa pertama Kristus adalah bahwa Jemaat ini merupakan Jemaat yang suam-suam kuku (tidak dingin dan tidak panas). Artinya adalah sikap hidup atau hati yang tidak memiliki status yang jelas, antara musuh atau kawan. Yang ingin dikatakan oleh Tuhan adalah, bahwa Jemaat Efesus tetap melakukan satu ibadah, rutinitas dalam pelayanan, tetapi ibadah di dalam Jemaat ini adalah pelayanan yang suam-suam kuku. Jadi, kegagalan Jemaat ini, selain mereka kehilangan cinta kasih kepada Allah, mereka juga menjadi Jemaat yang mati segan hidup tak mau. Oleh sebab itu dikatakan bahwa jika mereka dingin, baiklah sedingin es, dan jika panas, baiklah sepanas air mendidih, agar status mereka jelas, apakah masih mencintai Kristus atau sudah menjadi musuh Kristus [band Rom 12:11, “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan”]. Hal ini menyebabkan kondisi jemaat Lodikia menjadi lesu dan tidak memiliki lagi semangat sekaligus kekurangan energi atau ‘darah rohani’ untuk memuji dan memuja Allah. Mereka tetap beribadah dan melakukan pelayanan, tetapi mereka sudah kehilangan dinamika rohani, semangat, power, atau dorongan yang menggerakkan mereka menaikkan pujian yang benar kepada Allah.
Tidak ada orang yang ingin dicintai setengah hati. Semua ingin cinta dan perhatian yang sungguh-sungguh. Jika manusia ingin hal seperti itu, apalagi Allah. Oleh sebab itulah Allah berkata kepada Jemaat Laodikia agar mereka tidak suam-suam kuku. Di dalam gereja atau persekutuan sekarang ini, apa yang dialami oleh Laodikia bisa terjadi. Kita bisa tetap beribadah, saat teduh, melakukan PA pribadi, atau tetap ikut kelompok kecil. Tetapi kita bisa terjebak dimana kegiatan rohani yang kita lakukan tidak lagi memiliki dinamika rohani atau power. Ketika kita bernyanyi pun, nyanyian tersebut tidak dapat mengangkatkan hati kita kepada Allah. Pujian itu tidak bisa menghiburkan dan menguatkan kita, karena dinyanyikan tanpa penghayatan dan pemahaman yang benar. Dinyanyikan tanpa cinta kasih kepada Allah. Inilah dosa Jemaat Laodikia yang didiagnosa oleh Kristus.
Kasih membuat kita taat dan apapun yang kita lakukan bagi Allah, tanpa kasih, tidak ada artinya. Apapun yang kita lakukan, tanpa ada kasih kepada Allah, tidak akan pernah diperhitungkan oleh Allah. Jika karena kita cinta kepada Allah kita melakukan sesuatu, maka Allah menghargai dan menghormati apapun yang kita lakukan. Jika kita tidak melakukan karena cinta, maka kita melakukan segala sesuatunya bagi Allah dengan setengah hati. Kita melayani setengah hati, bahkan datang ke persekutuan pun dengan setengah hati. Jika ada waktu, maka datang, jika tidak ada waktu, maka tidak datang. Kita tidak pernah memberikan hati untuk datang dengan ketaatan. Ada banyak alasan lagi yang dapat diberikan oleh orang-orang untuk tidak menghadiri sebuah persekutuan. Orang seperti inilah orang yang suam-suam kuku-yang tidak memiliki status yang jelas. Kristus mengharapkan kita, yang percaya kepadaNya, sungguh-sungguh tulus dan hangat untuk mencintaiNya. Jika orang mengikut Tuhan dengan suam-suam kuku maka mereka akan menjadi orang yang kaku, tidak memiliki kekuatan untuk menyembah Allah dengan sungguh-sungguh.
Kesalahan lain Jemaat di Laodikia ada di ayat 17. Dikatakan di sana: “Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang,...”. Hal kedua yang didiagnosa oleh Kristus terhadap Jemaat ini adalah bahwa Jemaat Laodikia ini merasa diri mereka hebat, dan masih layak di hadapan Allah. Ada satu kecongkakan di dalam Jemaat dimana mereka merasa diri mereka kaya. Ingat, Jemaat ini di kota perdagangan yang sangat kaya, yang sangat di distorsi oleh nilai materialisme, maka kalimat di sini banyak berbicara kalimat perdagangan [band ay 18]. Dari ayat 17 kita bisa melihat keangkuhan Jemaat ini. Jemaat yang seperti ini cenderung tidak akan membutuhkan Tuhan lagi karena mereka cukup secara materi dan segala hal. Jika kita perhatikan bagian firman ini, ada sesuatu yang sangat kontras. Mereka yang mengatakan mereka kaya dan memperkaya diri dan tidak kekurangan apa-apa, dihadapan Allah mereka miskin, melarat, buta, dan telanjang. (17b, ”karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang,”). Orang yang berpuas diri, merasa diri layak, dan merasa diri rohani, gampang terjebak dalam kondisi seperti ini. Hal ini juga sering terjadi kepada kita. Jika kita merasa sudah cukup baik, sudah cukup memberi, sudah cukup berkorban untuk pelayanan, bisa membuat kita kurang bergantung kepada Allah dan akhirnya cinta kita kepada Allah menjadi suam-suam kuku. Mari menyadari akan hal ini. Jangan sampai seorang pun diantara kita merasa cukup layak dan tidak membutuhkan Allah lagi, sehingga semangat untuk memuji Allah tidak ada lagi. Inilah dua diagnosa yang dinyatakan oleh Kristus terhadap Jemaat di Laodikia.
Bukan hanya mendiagnosa, Kristus juga memberikan terapi atau nasihat kepada Jemaat Laodikia ini. Dalam ayat 18 dikatakan: ”; maka Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari pada-Ku emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat.” Ada satu perintah untuk membeli dari Tuhan [ingat kembali, ini adalah bahasa bisnis konteks Laodikia di mana masyarakatnya materialistis (ay 18)]. Hal ini tidak berarti bahwa keselamatan dapat dibeli. Mereka yang merasa cukup, kaya, dan puas dengan dirinya sendiri itu, kini harus belajar dengan meenyadari bahwa mereka tidak memiliki apa-apa. Mereka miskin, melarat, buta, dan telanjang. Mereka harus membeli/datang kepada Kristus. Ada tiga hal yang ditawarkan Kristus. Yang pertama adalah emas yang sudah teruji agar mereka kaya. Kedua, yaitu pakaian putih agar keterlanjangan mereka tertutup. Ketiga yaitu minyak yang melumas, agar dioleskan ke mata dan mata mereka dicelikkan dan mereka bisa melihat. Apa yang bisa kita lihat di sini adalah sebuah terapi atau solusi yang dikatakan oleh Tuhan agar Jemaat ini tidak suam-suam kuku. Kristus mengatakan kepada mereka agar mereka memiliki kekayaan bukan dengan apa yang ada pada diri mereka. Kekayaan itu ada di dalam Kristus. Kenapa mereka dikatakan telanjang? Artinya adalah mereka hancur total, dimana mereka seharusnya malu total dengan perbuatan, sikap hidup, dan moralitas mereka yang tidak benar dihadapan Allah. Oleh sebab itulah Allah menawarkan pakaian putih kepada mereka agar mereka tidak malu lagi. Dengan membeli minyak pelumas maka mata mereka dapat dicelikkan. Dengan demikian mereka bisa melihat mana kepuasan yang sesungguhnya, yang akan dapat mereka lihat di dalam Kristus. Mat 5:3 berkata : "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.”. Mari belajar mencari kepuasan, kenikmatan, dan kecukupan di dalam Kristus. Mereka yang merasa cukup dengan keberadaannya (berpuas diri), kini harus belajar berkecukupan dan puas di dalam Kristus [lihat ayat 17: “aku tidak kurang apa-apa:”]. Terapi berikutnya yang diberikan oleh Tuhan adalah Jemaat Laodikia harus menyadari kekurangan dan kebutuhan mereka. Salah satu tahapan yang bisa di sadarkan adalah bahwa mereka sadar bahwa mereka miskin, melarat, buta, dan telanjang. Sering sekali kita merasa tidak ada kekurangan lagi secara rohani sehingga ketergantungan kita kepada Tuhan semakin hilang. Mari sadari bahwa kita hancur dan tidak apa-apanya dihadapan Allah. Terapi berikutnya, Kristus mengajak Jemaat untuk memahami bahwa kebutuhan tersebut hanya di dapatkan di dalam Kristus.
Dalam ayat 19 dikatakan bahwa orang yang dikasihi Tuhan ditegur dan dihajar [band Ibr 12:5-11]. Sering sekali kita menjadi generasi yang cengeng. Kita hanya ingin yang enak saja, seperti puji-pujian, sanjungan-sanjungan. Tetapi kita tidak ingin ketika kita dikoreksi dan orang lain menyatakan kesalahan kita. Tetapi kita menikmati sanjungan dan pujian. Hati-hati dengan hal ini. Mari belajar mulai sekarang untuk menikmati kritikan dalam arti agar kita bertobat. Cara untuk bangkit dari suam-suam kuku tidak ada lain selain mau ditegur dan dihajar oleh Allah. Mari rela untuk dikoreksi oleh Allah. Allah bisa mengoreksi kita melalui firmanNya, tetapi juga bisa melalui orang-orang disekitar kita. Mari merelakan diri kita untuk ditegur oleh Allah dan mari bertobat. Mari menjadi anak-anak yang dikasihi oleh Allah, yang merelakan hati kita untuk ditegur dan dihajar oleh Allah. Tidak hanya sampai titik ini, tetapi ada pertobatan dari hari ke hari.
Perhatikan ayat 16, “Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku.” Di dalam ayat 16, dengan tegas Allah menyatakan bahwa Allah akan memuntahkan kita jika melakukan sebuah pelayanan dengan suam-suam kuku. Sangat pentingnya bagi kita untuk tidak suam-suam kuku, tetapi bangkit dan bertobat adalah agar Tuhan tidak memuntahkan kita karena Allah jijik melihat kita. Yesus menolak/benci dengan kesalehan atau kerohanian yang palsu atau berpura-pura, mekanis, formalis, dan dingin. Apakah ketika kita masih bersaat teduh masih ada spirit-nya atau hanya karena terpaksa? Jika hanya karena rutinitas, semua ibadah kita, saat teduh, pelayanan, dan juga khotbah, akan dimuntahkan oleh Allah karena hal tersebut menjijikkan bagi Allah. Oleh karena itu penting sekali kerohanian yang sehat dengan tetap semangat melayani Tuhan (dinamis). Ingat Rom 12:11-12. dikatakan di sana: “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa”. Perhatikan ‘janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan’. Jangan kiranya ada diantara kita yang datang ke persekutuan dengan setengah hati, berdoa, bernyanyi, dan melayani setengah hati. Jangan melayani hanya karena sekedar pengurus atau panitia, tetapi mari melayani karena roh yang menyala-nyala. Jika bertobat dan mengundang Yesus berdaulat dalam kehidupan, selain dipulihkan, mereka juga akan mengalami keharmonisan atau kemesraan. Mari memperhatikan ayat 20, “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.” Artinya adalah Tuhan selalu siap menantikan perkabungan dosa kita, memanggil kita untuk bertobat. Ada hubungan yang dipulihkan ketika kita betobat. Ketika ada pengampunan, maka lahirlah kemesraan. Ketika ada rekonsiliasi, maka lahirlah keharmonisan. Kita kembali berangkulan dengan Allah. Ketika kita menaikkan pujian dengan kondisi seperti ini, maka kita akan menikmati pujian kita. Tuhan senyum melihat hidup dan mendengar pujian kita. Mari melatih untuk hal ini. Salah satu alasan kenapa kita suam-suam kuku adalah karena kita masih berdiam di dalam dosa kita. Jamuan bersama dengan Tuhan, makan dan minum bersama dengan Dia adalah hubungan yang harmonis. Mari melihat Wahyu 19:9: ”Lalu ia berkata kepadaku: "Tuliskanlah: Berbahagialah mereka yang diundang ke perjamuan kawin Anak Domba." Katanya lagi kepadaku: "Perkataan ini adalah benar, perkataan-perkataan dari Allah.".
Ayat 21 dari Wahyu 3: “Barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhta-Ku, sebagaimana Aku pun telah menang dan duduk bersama-sama dengan Bapa-Ku di atas takhta-Nya.” Tuhan berkata jika Jemaat Laodikia bertobat dari dosa mereka, maka mereka akan menjadi pemenang dan mereka akan didudukkan dalam tahta Kristus. Mari melihat janji Tuhan pada murid-murid di Luk 22:29-30. Dikatakan di sana: “Dan Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi kamu, sama seperti Bapa-Ku menentukannya bagi-Ku, bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di dalam Kerajaan-Ku dan kamu akan duduk di atas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel.” Pasti kita akan bangga jika satu meja makan dengan Presiden RI atau dengan orang yang kita kagumi. Tetapi, kita kan jauh lebih bangga jika satu meja dengan Bapa dan menjadi hakim bagi dunia ini. Ini adalah penghormatan yang luar biasa.
Mari merelakan diri kita untuk ditegur dan dihajar oleh Tuhan, dan bertobat agar kita tidak suam-suam kuku. Tetapi kita bangkit dan mencintai Tuhan dan mentaati Dia. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat (22).
Solideo Gloria!
Mimbar Bina Alumni (MBA) merupakan sebuah ibadah yang disediakan untuk para Alumni, khususnya yang tinggal di Medan. Ibadah ini diadakan sekali seminggu yaitu pada hari Jumat, pkl 18.00-20.00. MBA ini diadakan di GSJA Iskandar Muda. Kami senantiasa mengundang rekan-rekan sekalian untuk menghadirinya. Semoga MBA ini menjadi berkat bagi kita dan menguatkan kita di tengah-tengah pekerjaan kita. Amin.
Tuesday, November 15, 2011
[Seri Eksposisi] Surat Kepada Jemaat di Efesus (Wahyu 2:1-7)
Drs. Tiopan Manihuruk, M. Div
Ini adalah bagian yang pertama dari tiga seri Eksposisi kitab Wahyu dari bagian surat kepada ketujuh jemaat. Ini adalah tulisan atau penglihatan dari rasul Yohanes di pulau Patmos. Kitab Wahyu tidak hanya berbicara mengenai akhir zaman, tetapi juga berbicara soal satu kehidupan di masa kini. Hari ini kita akan membahas surat kepada jemaat di Efesus. Kota Efesus adalah kota yang paling dekat ke pulau Patmos. Kota pelabuhan di muara sungai Kaister. Disebut sebagai ‘Metropolis Asia, yaitu sebagai ibukota provinsi Romawi dan pusat perdagangan yang kaya karena dilalui dua jalur perdagangan yang sangat ramai pada zaman itu. Di Efesus juga terdapat Kuil Ionik yang menghormati Dewi Diana atau Arthemis. Orang-orang di Efesus yang kafir menyembah kepada dewi Diana dengan menggunakan pelacur bakti. Sebelum mempersembahkan korban, mereka melakukan hubungan seks bebas sebagai satu penghormatan kepada dewi ini. Paulus pernah tinggal melayani di Efesus sekitar tiga tahun dan kemudian dilanjutkan oleh Timotius untuk menggembalakan jemaat Allah di sana. Berdasarkan tradisi gereja, Rasul Yohanes menggantikan penggembalaan jemaat Efesus sampai akhir abad pertama. Itulah sebabnya kenapa Yohanes menuliskan surat pertama kali kepada jemaat ini, yang dilatar belakangi letak geografis dan latar belakang dari Yohanes sendiri.
Jika kita perhatikan Wahyu 2:1, ada beberapa hal yang dapat kita pelajari. Dikatakan pada ayat 1: "Tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Efesus: Inilah firman dari Dia, yang memegang ketujuh bintang itu di tangan kanan-Nya dan berjalan di antara ketujuh kaki dian emas itu." Ini adalah satu penglihatan yang dialami oleh rasul Yohanes di pulau Patmos. Surat diawali dengan penghargaan : ‘Aku tahu’ (1) – Allah tahu segala sesuatu dan tidak ada yang tersembunyi di hadapanNya. Yang ingin dikatakan Yohanes adalah bahwa Allah tahu apa pikiran jemaat di Efesus pada waktu itu. Jadi artinya tidak ada sesuatu yang dapat jemaat Efesus sembunyikan di mata Allah. Apa yang mereka lakukan, maupun apa yang mereka alami. Yohanes ingin mengatakan bahwa jika manusia masih mungkin bisa kita manipulasi sehingga mereka mendapati kita rohani. Tetapi Allah tahu kita rohani atau tidak. Allah tahu kondisi rohani, pikiran, dan seluruh sikap kita. Ada tiga hal yang dipuji Tuhan pada jemaat itu. Di dalam ayat 2 dikatakan: "Aku tahu segala pekerjaanmu: baik jerih payahmu maupun ketekunanmu. Aku tahu, bahwa engkau tidak dapat sabar terhadap orang-orang jahat, bahwa engkau telah mencobai mereka yang menyebut dirinya rasul, tetapi yang sebenarnya tidak demikian, bahwa engkau telah mendapati mereka pendusta." Jadi yang pertama adalah kerja keras yang dimiliki oleh jemaat di Efesus. Menurut latar belakangnya, jemaat Efesus pada saat itu sangat memiliki banyak kegiatan dan program. Apa yang mereka kerjakan itu sampai melelahkan. Mereka sangat sibuk dalam pelayanan (bagaikan sarang lebah). Sehingga dikatakan bahwa jemaat Efesus sangat aktif sekali melakukan pelayanan bahkan mereka sampai lelah. Terjemahan asli dari ’jerih payah’ sebenarnya adalah ’kerja keras yang serius sampai melelahkan sangking banyaknya melakukan hal-hal bagi Tuhan’. Jemaat Efesus sangat rajin, banyak sekali kegiatan. Inilah sebuah jemaat yang sangat aktif dan bekerja keras sampai lelah untuk ’melayani’ Tuhan. Kedua adalah ketekunan. Ketekunan yang dimaksud di sini adalah kesabaran jemaat walau mereka menderita. Di dalam penderitaan, mereka tetap setia dan tekun kepada Allah. Hal ini sangat biasa. Perlu diketahui, kota Efesus adalah tempat pertemuan berbagai agama atau kepercayaan, dan juga sebagai pusat penyembahan kepada Kaisar, selain kepada dewi Artemis. Jadi di dalam satu kota yang penuh dengan agama-agama, jemaat di Efesus tetap tekun dan sabar menderita untuk mengikut Tuhan. Kemudian, penduduk Efesus sangat hormat kepada dewi Artemis. Karena itu jemaat itu tahu apa artinya dibenci, di fitnah, dan dihina di depan umum. Di tengah-tengah rasa benci orang Efesus kepada Jemaat, mereka tetap setia dan sabar. Mereka juga dimarginalkan, diboikot (dalam perdagangan) dan dikucilkan karena tidak menyembah dewi Diana dan Kaisar. Jika mereka sebagai penjual, maka non Kristen tidak ada yang mau membeli, jika sebagai pembeli, yang non Kristen tidak ada yang mau menjual. Hal yang sama mungkin terjadi di dalam kehidupan kita. Ketika berada di kantor kita di singkirkan karena kita orang percaya. Ini adalah jemaat yang luar biasa, sangat aktif, pekerja keras dan tetap setia di tengah-tengah penderitaan. Hal ketiga yang dipuji oleh Allah adalah kemurnian iman mereka. Pada waktu itu Efesus sering dikunjungi para pengajar palsu yang mengaku dirinya rasul padahal mereka adalah pendusta (2). Salah satu dari mereka adalah Nikolaus, seorang penganut Yahudi dari Antiokhia (ay 6, band Kis.6:5; 20:32-35). Tetapi, jemaat Efesus tetap setia, taat, dan tidak terdistorsi dari segi pengajaran.
Ini adalah jemaat yang luar biasa. Pekerja keras, aktif sekali, banyak program pelayanan, sabar dan tetap setia setia kepada Allah walau menderita, dan tetap murni pengajaran dan imannya walau ada pengajar palsu. Sangat sulit mencari jemaat dan pesekutuan seperti ini pada saat ini. Bahkan alumni-alulmi belum tentu bertahan dalah hal pengajaran. Bahkan barangkali bisa terjebak dalam teologia kemakmuran yang berkembang sekarang ini. Jemaat ini mengalami hal yang sama, tetapi mereka tidak tertipu dalam pengajaran palsu dan mereka bisa membedakan mana ajaran yang benar dan salah, sekaligus menolak mana yang salah. Inilah pujian Kristus, sang pemilik jemaat, kepada jemaat di Efesus. Pertanyaannya adalah bisakah tiga pujian Kristus di dapati dalam persekutuan kita?
Tetapi mereka yang bertahan di dalam ini ternyata dicela oleh Tuhan. Mari perhatikan ayat 4, "Namun demikian Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula." Bayangkan bagian ini diawali dengan pujian yang mengagumkan. Mereka hebat luar biasa. Tetapi ada satu hal yang telah mereka tinggalkan, yaitu cinta yang semula. Mereka jatuh dari puncak kasih dan dedikasi yang pernah mereka miliki. Kasih mereka telah pudar, dingin, dan menjadi sesuatu yang beku. Tidak ada lagi spirit cinta antara jemaat dan Allah. Secara de jure, jemaat ini masih jemaat Allah. Tetapi secara de facto, jemaat ini tidak cinta lagi kepada Allah. Inilah yang di tegur oleh Allah. Mereka hebat dalam pelayanan, tetapi mereka melakukannya bukan karena mereka cinta kepada Allah [band dengan Mat 24:12, "Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin."]
Dalam PL Allah sering menganalogikan Israel sebagai mempelai perempuan. Kini cinta perempuan itu telah pudar atau dingin dan ‘bercumbu’ dengan yang lain. Analogi ini terus dilakukan. Jadi ketika orang Israel pudar cintanya, Allah menegur berkali-kali. Dalam Yer 2:2 dikatakan, "Pergilah memberitahukan kepada penduduk Yerusalem dengan mengatakan: Beginilah firman TUHAN: Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu, kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun, di negeri yang tiada tetaburannya." Bayangkan orang Israel yang cintanya bagaikan cinta pengantin, bahkan siap berjalan di padang gurun tanpa ada tetaburan asal bersama dengan kekasih jiwanya. Inilah satu analogi yang dipakai Allah dalam relasi hubungan jemaat denga diriNya. Kegagalan jemaat Efesus adalah cinta sudah pudar atau dingin. Cinta antara jemaat dan Allah sangat penting karena ini adalah tanda dari sebuah Gereja yang hidup dan benar. Kemudian kasih kepada Allah menghasilkan penyembahan yang sungguh-sungguh, doa yang benar dan terhindar dari ibadah yang mekanis. Mari melihat ke dalam hidup kita ketika beribadah kepada Allah. Nikmatkah rasanya ketika kita bernyanyi? Masih nikmatkah ketika kita berdoa dan membaca Firman Allah? Yang namanya sedang jatuh cinta, pasti suka mendengar suara pasangannya. Jika mendapat surat dari dirinya pasti akan disimpan, dan jika rindu, pasti akan dibaca lagi.
Pertanyaannya, adakah kita membaca kitab suci sebagaimana kita membaca surat dari pasangan kita? Atau ketika melakukannya hanya karena keadaan terpaksa. Jika kita memiliki cinta kepada Kristus, hal tersebut akan terpancar dari satu kerinduan untuk mendengar suara dan membaca ’surat’ Kristus. Jika cinta kita kepada Allah sangat membara, salah satu tandanya adalah peka terhadap suara Allah. Sangat sensitif mendengan peringatan, teguran, dan penghiburan dari Allah. Salah satu yang perlu kita evaluasi adalah sejauh mana ketajaman kita terhadap firman Allah. Jika cinta kepada Allah masih ada di dalam diri kita, maka cinta tersebut akan mendorong diri kita untuk tetap taat. Cinta kepada Allah dibuktikan melalui ketaatan kepada Firman (Yoh.14:15, 21, 23). Kasih kepada Allah adalah taat kepada FirmanNya dan tidak mengingkari perintahNya. Mari melihat ke dalam diri kita, sejauh mana cinta kita itu dibuktikan dari sejauh mana kita taat kepada firman Allah. Inilah yang harus kita sadari. Oleh sebab itu jemaat Efesus ditegur Tuhan dengan sangat keras sekali. Apa yang mereka kerjakan tidak ada artinya karena tidak ada lagi kasih yang semula. Kita mungkin memimpin kelompok, kotbah, pengurus alumni. Tetapi jika kasih semula tidak ada antara kita dan Allah, maka semuanya adalah sia-sia.
Jika kita mengasihi kekasih kita, maka kita tisak akan pernah menghitung harga yang telah kita korbankan. Kasih kepada Allah juga membuat kita rela berkorban. Bukan meng- hitung apa yang telah kita bayar, tetapi justru menghitung apa lagi yang dapat kita persembahkan. Ketika kita mencintai Allah, maka kita tidak pernah menyesal mengikut Allah. Itulah sebabnya penting sebuah cinta kasih kepada Allah. Jika kita tidak cinta lagi kepada Tuhan, maka hubungan antara kita dan Tuhan bukan lagi hubungan yang baik, tetapi satu ketidak setiaan kepada Tuhan. Mari mengingat kembali ketika kita pertama kali bertobat. Adakah pengalaman kita pada saat itu masih tetap bertahan sampai sekarang atau sudah pudar?
Perintah Tuhan kepada mereka setelah mereka dicela Tuhan adalah: ”Sebab itu ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan. Jika tidak demikian, Aku akan datang kepadamu dan Aku akan mengambil kaki dianmu dari tempatnya, jikalau engkau tidak bertobat.”(5). Hal pertama yang diingatkan Tuhan adalah agar Jemaat Efesus mengingat keadaan mereka yang semula. Mengingat bagaimana cinta mereka dahulu kepada Allah. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk menyadari sejauh mana mereka telah jatuh. Ketika menyadari bahwa diri mereka telah jatuh adalah merupakan titik awal dari pertobatan bagi mereka. Itulah sebabnya penting bagi kita untuk melakukan evaluasi, baik mingguan atau bulanan. Dengan demikian kita dapat melihat apakah cinta kita kepada Tuhan masih ada atau sudah pudar. Bertobat bukan hanya sekedar menyadari, tetapi berbalik dari dosa itu. Jika kita hanya titik sadar, kita semua pasti sadar bahwa dosa itu adalah dosa. ’Bertobat’ disini memiliki arti ’perubahan hati’. Orang yang berhenti berzinah belum tentu berubah hatinya, tetapi orang yang berubah hatinya pasti berhenti berzinah. Oleh karena itu di dalam bagian Firman Wahyu 2 ini, Allah mengajak agar jemaat Efesus menyadari dosa mereka dan merubah hati mereka, dan hal ini menjadi titik awal untuk kembali mencintai Tuhan. Mari kembali kepada cinta yang semula, cinta yang berkobar, dan jatuh cinta terusmenerus kepada Kristus, dan kasih kita kepada Tuhan tidak berubah oleh keadaan dan penyemabahan kita kepada Tuhanpun tetap konsisten oleh karena cinta kita kepada Tuhan yang tetap membara. Hal inilah yang harus kita latih, sehingga ketika kita bernyanyi, nyanyian kita betul-betul dapat kita rasakan.
Jika jemaat Efesus tidak bertobat, akan ada resikonya. Ayat 5 mengatakan: "... Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan. Jika tidak demikian, Aku akan datang kepadamu dan Aku akan mengambil kaki dianmu dari tempatnya, jikalau engkau tidak bertobat." Jika kaki dian diangkat, maka jemaat itu ditinggalkan dan diabaikan oleh Allah. Kota Efesus sekarang menjadi Turki. Turki adalah sebuah negara yang kekristenannya sudah hilang. Gereja yang paling besar di Efesus pada zaman itu, sekarang bukan menjadi pusat menyembahan bagi orang Kristen. Hal ini sangat menyedihkan. Jemaat Efesus tidak pernah bertobat karena buktinya ada. Efesus sekarang telah menjadi Turki. Jemaat Efesus sudah hilang. Dan hal yang sama dapat terjadi pada saat ini. Bisakah kaki dian diangkat oleh Allah dari Perkantas, KMK atau PAK, atau Persekutuan-persekutuan lainnya? Sangat bisa. Mari mengevaluasi diri bersama-sama. Jemaat Efesus yang begitu hebatnya, begitu luar biasanya, tetapi ketidaktaatan oleh karena hilangnya kasih mula-mula, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kaki dian diambil oleh Allah, dan jemaat Efesus punah dan tidak berbekas. Mungkin KMK, UKMKP, PAK, atau Perkantas mungkin hanya tinggal institusi. Lembaganya ada, kegiatannya ada, tetapi esensinya akan hilang, dan suatu saat akan sama dengan lembaga lain yang tidak mengakar oleh karena visi. Jangan sampai terjadi. Ini menjadi peringatan bagi setiap lembaga Kristen atau jemaat Tuhan.
Ayat 7 mengatakan: "Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa menang, dia akan Kuberi makan dari pohon kehidupan yang ada di Taman Firdaus Allah." Ada dua peringatan terakhir sekaligus penghiburan. Jika bertelinga hendaklah mendengar, karena patung memiliki telinga tetapi tidak mendengar. Inilah kalimat yang Yesus ucapkan ketika Dia mengajar. Oleh karena itu, mari menjadi amnusia yang mendengarkan (’listen’ bukan ’hear’) hari ini, mari melihat kembali apakah cinta kita kepada Allah masih seperti dulu atau nsudah pudar. Mari kembali balik kepada Allah.
Solideo Gloria!
Ini adalah bagian yang pertama dari tiga seri Eksposisi kitab Wahyu dari bagian surat kepada ketujuh jemaat. Ini adalah tulisan atau penglihatan dari rasul Yohanes di pulau Patmos. Kitab Wahyu tidak hanya berbicara mengenai akhir zaman, tetapi juga berbicara soal satu kehidupan di masa kini. Hari ini kita akan membahas surat kepada jemaat di Efesus. Kota Efesus adalah kota yang paling dekat ke pulau Patmos. Kota pelabuhan di muara sungai Kaister. Disebut sebagai ‘Metropolis Asia, yaitu sebagai ibukota provinsi Romawi dan pusat perdagangan yang kaya karena dilalui dua jalur perdagangan yang sangat ramai pada zaman itu. Di Efesus juga terdapat Kuil Ionik yang menghormati Dewi Diana atau Arthemis. Orang-orang di Efesus yang kafir menyembah kepada dewi Diana dengan menggunakan pelacur bakti. Sebelum mempersembahkan korban, mereka melakukan hubungan seks bebas sebagai satu penghormatan kepada dewi ini. Paulus pernah tinggal melayani di Efesus sekitar tiga tahun dan kemudian dilanjutkan oleh Timotius untuk menggembalakan jemaat Allah di sana. Berdasarkan tradisi gereja, Rasul Yohanes menggantikan penggembalaan jemaat Efesus sampai akhir abad pertama. Itulah sebabnya kenapa Yohanes menuliskan surat pertama kali kepada jemaat ini, yang dilatar belakangi letak geografis dan latar belakang dari Yohanes sendiri.
Jika kita perhatikan Wahyu 2:1, ada beberapa hal yang dapat kita pelajari. Dikatakan pada ayat 1: "Tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Efesus: Inilah firman dari Dia, yang memegang ketujuh bintang itu di tangan kanan-Nya dan berjalan di antara ketujuh kaki dian emas itu." Ini adalah satu penglihatan yang dialami oleh rasul Yohanes di pulau Patmos. Surat diawali dengan penghargaan : ‘Aku tahu’ (1) – Allah tahu segala sesuatu dan tidak ada yang tersembunyi di hadapanNya. Yang ingin dikatakan Yohanes adalah bahwa Allah tahu apa pikiran jemaat di Efesus pada waktu itu. Jadi artinya tidak ada sesuatu yang dapat jemaat Efesus sembunyikan di mata Allah. Apa yang mereka lakukan, maupun apa yang mereka alami. Yohanes ingin mengatakan bahwa jika manusia masih mungkin bisa kita manipulasi sehingga mereka mendapati kita rohani. Tetapi Allah tahu kita rohani atau tidak. Allah tahu kondisi rohani, pikiran, dan seluruh sikap kita. Ada tiga hal yang dipuji Tuhan pada jemaat itu. Di dalam ayat 2 dikatakan: "Aku tahu segala pekerjaanmu: baik jerih payahmu maupun ketekunanmu. Aku tahu, bahwa engkau tidak dapat sabar terhadap orang-orang jahat, bahwa engkau telah mencobai mereka yang menyebut dirinya rasul, tetapi yang sebenarnya tidak demikian, bahwa engkau telah mendapati mereka pendusta." Jadi yang pertama adalah kerja keras yang dimiliki oleh jemaat di Efesus. Menurut latar belakangnya, jemaat Efesus pada saat itu sangat memiliki banyak kegiatan dan program. Apa yang mereka kerjakan itu sampai melelahkan. Mereka sangat sibuk dalam pelayanan (bagaikan sarang lebah). Sehingga dikatakan bahwa jemaat Efesus sangat aktif sekali melakukan pelayanan bahkan mereka sampai lelah. Terjemahan asli dari ’jerih payah’ sebenarnya adalah ’kerja keras yang serius sampai melelahkan sangking banyaknya melakukan hal-hal bagi Tuhan’. Jemaat Efesus sangat rajin, banyak sekali kegiatan. Inilah sebuah jemaat yang sangat aktif dan bekerja keras sampai lelah untuk ’melayani’ Tuhan. Kedua adalah ketekunan. Ketekunan yang dimaksud di sini adalah kesabaran jemaat walau mereka menderita. Di dalam penderitaan, mereka tetap setia dan tekun kepada Allah. Hal ini sangat biasa. Perlu diketahui, kota Efesus adalah tempat pertemuan berbagai agama atau kepercayaan, dan juga sebagai pusat penyembahan kepada Kaisar, selain kepada dewi Artemis. Jadi di dalam satu kota yang penuh dengan agama-agama, jemaat di Efesus tetap tekun dan sabar menderita untuk mengikut Tuhan. Kemudian, penduduk Efesus sangat hormat kepada dewi Artemis. Karena itu jemaat itu tahu apa artinya dibenci, di fitnah, dan dihina di depan umum. Di tengah-tengah rasa benci orang Efesus kepada Jemaat, mereka tetap setia dan sabar. Mereka juga dimarginalkan, diboikot (dalam perdagangan) dan dikucilkan karena tidak menyembah dewi Diana dan Kaisar. Jika mereka sebagai penjual, maka non Kristen tidak ada yang mau membeli, jika sebagai pembeli, yang non Kristen tidak ada yang mau menjual. Hal yang sama mungkin terjadi di dalam kehidupan kita. Ketika berada di kantor kita di singkirkan karena kita orang percaya. Ini adalah jemaat yang luar biasa, sangat aktif, pekerja keras dan tetap setia di tengah-tengah penderitaan. Hal ketiga yang dipuji oleh Allah adalah kemurnian iman mereka. Pada waktu itu Efesus sering dikunjungi para pengajar palsu yang mengaku dirinya rasul padahal mereka adalah pendusta (2). Salah satu dari mereka adalah Nikolaus, seorang penganut Yahudi dari Antiokhia (ay 6, band Kis.6:5; 20:32-35). Tetapi, jemaat Efesus tetap setia, taat, dan tidak terdistorsi dari segi pengajaran.
Ini adalah jemaat yang luar biasa. Pekerja keras, aktif sekali, banyak program pelayanan, sabar dan tetap setia setia kepada Allah walau menderita, dan tetap murni pengajaran dan imannya walau ada pengajar palsu. Sangat sulit mencari jemaat dan pesekutuan seperti ini pada saat ini. Bahkan alumni-alulmi belum tentu bertahan dalah hal pengajaran. Bahkan barangkali bisa terjebak dalam teologia kemakmuran yang berkembang sekarang ini. Jemaat ini mengalami hal yang sama, tetapi mereka tidak tertipu dalam pengajaran palsu dan mereka bisa membedakan mana ajaran yang benar dan salah, sekaligus menolak mana yang salah. Inilah pujian Kristus, sang pemilik jemaat, kepada jemaat di Efesus. Pertanyaannya adalah bisakah tiga pujian Kristus di dapati dalam persekutuan kita?
Tetapi mereka yang bertahan di dalam ini ternyata dicela oleh Tuhan. Mari perhatikan ayat 4, "Namun demikian Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula." Bayangkan bagian ini diawali dengan pujian yang mengagumkan. Mereka hebat luar biasa. Tetapi ada satu hal yang telah mereka tinggalkan, yaitu cinta yang semula. Mereka jatuh dari puncak kasih dan dedikasi yang pernah mereka miliki. Kasih mereka telah pudar, dingin, dan menjadi sesuatu yang beku. Tidak ada lagi spirit cinta antara jemaat dan Allah. Secara de jure, jemaat ini masih jemaat Allah. Tetapi secara de facto, jemaat ini tidak cinta lagi kepada Allah. Inilah yang di tegur oleh Allah. Mereka hebat dalam pelayanan, tetapi mereka melakukannya bukan karena mereka cinta kepada Allah [band dengan Mat 24:12, "Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin."]
Dalam PL Allah sering menganalogikan Israel sebagai mempelai perempuan. Kini cinta perempuan itu telah pudar atau dingin dan ‘bercumbu’ dengan yang lain. Analogi ini terus dilakukan. Jadi ketika orang Israel pudar cintanya, Allah menegur berkali-kali. Dalam Yer 2:2 dikatakan, "Pergilah memberitahukan kepada penduduk Yerusalem dengan mengatakan: Beginilah firman TUHAN: Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu, kepada cintamu pada waktu engkau menjadi pengantin, bagaimana engkau mengikuti Aku di padang gurun, di negeri yang tiada tetaburannya." Bayangkan orang Israel yang cintanya bagaikan cinta pengantin, bahkan siap berjalan di padang gurun tanpa ada tetaburan asal bersama dengan kekasih jiwanya. Inilah satu analogi yang dipakai Allah dalam relasi hubungan jemaat denga diriNya. Kegagalan jemaat Efesus adalah cinta sudah pudar atau dingin. Cinta antara jemaat dan Allah sangat penting karena ini adalah tanda dari sebuah Gereja yang hidup dan benar. Kemudian kasih kepada Allah menghasilkan penyembahan yang sungguh-sungguh, doa yang benar dan terhindar dari ibadah yang mekanis. Mari melihat ke dalam hidup kita ketika beribadah kepada Allah. Nikmatkah rasanya ketika kita bernyanyi? Masih nikmatkah ketika kita berdoa dan membaca Firman Allah? Yang namanya sedang jatuh cinta, pasti suka mendengar suara pasangannya. Jika mendapat surat dari dirinya pasti akan disimpan, dan jika rindu, pasti akan dibaca lagi.
Pertanyaannya, adakah kita membaca kitab suci sebagaimana kita membaca surat dari pasangan kita? Atau ketika melakukannya hanya karena keadaan terpaksa. Jika kita memiliki cinta kepada Kristus, hal tersebut akan terpancar dari satu kerinduan untuk mendengar suara dan membaca ’surat’ Kristus. Jika cinta kita kepada Allah sangat membara, salah satu tandanya adalah peka terhadap suara Allah. Sangat sensitif mendengan peringatan, teguran, dan penghiburan dari Allah. Salah satu yang perlu kita evaluasi adalah sejauh mana ketajaman kita terhadap firman Allah. Jika cinta kepada Allah masih ada di dalam diri kita, maka cinta tersebut akan mendorong diri kita untuk tetap taat. Cinta kepada Allah dibuktikan melalui ketaatan kepada Firman (Yoh.14:15, 21, 23). Kasih kepada Allah adalah taat kepada FirmanNya dan tidak mengingkari perintahNya. Mari melihat ke dalam diri kita, sejauh mana cinta kita itu dibuktikan dari sejauh mana kita taat kepada firman Allah. Inilah yang harus kita sadari. Oleh sebab itu jemaat Efesus ditegur Tuhan dengan sangat keras sekali. Apa yang mereka kerjakan tidak ada artinya karena tidak ada lagi kasih yang semula. Kita mungkin memimpin kelompok, kotbah, pengurus alumni. Tetapi jika kasih semula tidak ada antara kita dan Allah, maka semuanya adalah sia-sia.
Jika kita mengasihi kekasih kita, maka kita tisak akan pernah menghitung harga yang telah kita korbankan. Kasih kepada Allah juga membuat kita rela berkorban. Bukan meng- hitung apa yang telah kita bayar, tetapi justru menghitung apa lagi yang dapat kita persembahkan. Ketika kita mencintai Allah, maka kita tidak pernah menyesal mengikut Allah. Itulah sebabnya penting sebuah cinta kasih kepada Allah. Jika kita tidak cinta lagi kepada Tuhan, maka hubungan antara kita dan Tuhan bukan lagi hubungan yang baik, tetapi satu ketidak setiaan kepada Tuhan. Mari mengingat kembali ketika kita pertama kali bertobat. Adakah pengalaman kita pada saat itu masih tetap bertahan sampai sekarang atau sudah pudar?
Perintah Tuhan kepada mereka setelah mereka dicela Tuhan adalah: ”Sebab itu ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan. Jika tidak demikian, Aku akan datang kepadamu dan Aku akan mengambil kaki dianmu dari tempatnya, jikalau engkau tidak bertobat.”(5). Hal pertama yang diingatkan Tuhan adalah agar Jemaat Efesus mengingat keadaan mereka yang semula. Mengingat bagaimana cinta mereka dahulu kepada Allah. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk menyadari sejauh mana mereka telah jatuh. Ketika menyadari bahwa diri mereka telah jatuh adalah merupakan titik awal dari pertobatan bagi mereka. Itulah sebabnya penting bagi kita untuk melakukan evaluasi, baik mingguan atau bulanan. Dengan demikian kita dapat melihat apakah cinta kita kepada Tuhan masih ada atau sudah pudar. Bertobat bukan hanya sekedar menyadari, tetapi berbalik dari dosa itu. Jika kita hanya titik sadar, kita semua pasti sadar bahwa dosa itu adalah dosa. ’Bertobat’ disini memiliki arti ’perubahan hati’. Orang yang berhenti berzinah belum tentu berubah hatinya, tetapi orang yang berubah hatinya pasti berhenti berzinah. Oleh karena itu di dalam bagian Firman Wahyu 2 ini, Allah mengajak agar jemaat Efesus menyadari dosa mereka dan merubah hati mereka, dan hal ini menjadi titik awal untuk kembali mencintai Tuhan. Mari kembali kepada cinta yang semula, cinta yang berkobar, dan jatuh cinta terusmenerus kepada Kristus, dan kasih kita kepada Tuhan tidak berubah oleh keadaan dan penyemabahan kita kepada Tuhanpun tetap konsisten oleh karena cinta kita kepada Tuhan yang tetap membara. Hal inilah yang harus kita latih, sehingga ketika kita bernyanyi, nyanyian kita betul-betul dapat kita rasakan.
Jika jemaat Efesus tidak bertobat, akan ada resikonya. Ayat 5 mengatakan: "... Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan. Jika tidak demikian, Aku akan datang kepadamu dan Aku akan mengambil kaki dianmu dari tempatnya, jikalau engkau tidak bertobat." Jika kaki dian diangkat, maka jemaat itu ditinggalkan dan diabaikan oleh Allah. Kota Efesus sekarang menjadi Turki. Turki adalah sebuah negara yang kekristenannya sudah hilang. Gereja yang paling besar di Efesus pada zaman itu, sekarang bukan menjadi pusat menyembahan bagi orang Kristen. Hal ini sangat menyedihkan. Jemaat Efesus tidak pernah bertobat karena buktinya ada. Efesus sekarang telah menjadi Turki. Jemaat Efesus sudah hilang. Dan hal yang sama dapat terjadi pada saat ini. Bisakah kaki dian diangkat oleh Allah dari Perkantas, KMK atau PAK, atau Persekutuan-persekutuan lainnya? Sangat bisa. Mari mengevaluasi diri bersama-sama. Jemaat Efesus yang begitu hebatnya, begitu luar biasanya, tetapi ketidaktaatan oleh karena hilangnya kasih mula-mula, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kaki dian diambil oleh Allah, dan jemaat Efesus punah dan tidak berbekas. Mungkin KMK, UKMKP, PAK, atau Perkantas mungkin hanya tinggal institusi. Lembaganya ada, kegiatannya ada, tetapi esensinya akan hilang, dan suatu saat akan sama dengan lembaga lain yang tidak mengakar oleh karena visi. Jangan sampai terjadi. Ini menjadi peringatan bagi setiap lembaga Kristen atau jemaat Tuhan.
Ayat 7 mengatakan: "Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat: Barangsiapa menang, dia akan Kuberi makan dari pohon kehidupan yang ada di Taman Firdaus Allah." Ada dua peringatan terakhir sekaligus penghiburan. Jika bertelinga hendaklah mendengar, karena patung memiliki telinga tetapi tidak mendengar. Inilah kalimat yang Yesus ucapkan ketika Dia mengajar. Oleh karena itu, mari menjadi amnusia yang mendengarkan (’listen’ bukan ’hear’) hari ini, mari melihat kembali apakah cinta kita kepada Allah masih seperti dulu atau nsudah pudar. Mari kembali balik kepada Allah.
Solideo Gloria!
Tuesday, November 8, 2011
[Seri Gereja 05-2009) Holy Communion
[Kotbah ini dibawakan oleh Esni Naibaho, M. Div (CE), pada ibadah Mimbar Bina Alumni, Jumat 29 Mei 2011]
Pengertian dan alasan tiap orang mengapa harus melakukan Perjamuan Kudus dapat berbeda-beda karena perbedaan pemahaman dimiliki. Pre assumption mengenai perjamuan kudus, perjamuan kudus ialah makan dan minum yang sisimbolkan dalam rangka mengingat ulang pengorbanan Kristus demi untuk dosa manusia dimana Dia mati bagi manusia. (pernyataan 2 orang Jemaat).
Perjamuan kudus disebut juga dengan Eucharist, Holy Communion, The Lord’s Supper, Divine Liturgy (orang ortodoks), The Mass (Catholic). Perjanjian Baru ditemukan nama lain Perjamuan Kudus yaitu Pemecahan Roti/ breaking of The Bread (Kis 2:42,46), Perjamuan Tuhan/ The Table of The Lord (I Kor 10:21).
Perjamuan berarti makan dan minum dihadirat Tuhan. Hal ini bukan berarti makan dan minum seperti yang biasa dilakukan (3xsehari). Ul. 14:23,26 mencatat “Di hadapan TUHAN, Allahmu, di tempat yang akan dipilih-Nya untuk membuat nama-Nya diam di sana, haruslah engkau memakan persembahan persepuluhan dari gandummu, dari anggurmu dan minyakmu, ataupun dari anak-anak sulung lembu sapimu dan kambing dombamu, supaya engkau belajar untuk selalu takut akan TUHAN, Allahmu…., dan haruslah engkau makan di sana di hadapan TUHAN, Allahmu dan bersukaria, engkau dan seisi rumahmu”. Ini adalah perintah kepada bangsa Israel melalui Musa, ketika bangsa itu mempersembahkan persepuluhan di Bait Suci, setelah dipersembahkan, mereka makan dan minum (menikmati hasil pekerjaan) bersama. Hal ini berarti Tuhan mengundang manusia untuk menikmati perjamuan dihadiratNya. Ini merupakan suatu upacara ucapan syukur dan makan bersama oleh bangsa Israel.
Ibrani 10:1-4 menggambarkan bahwa makanan persembahan (sacrifical meal) yang dipersembahkan tiap tahun oleh bangsa Israel menggambarkan bahwa dosa belum diselesaikan dan masih mengharapkan kedatangan Mesias untuk menyelesaikannya. Karena tiap tahun mereka datang mempersembahkan korban kepada Tuhan melalui imam sebagai korban ucapan syukur dan pengampunan dosa. Perjanjian Lama belum memiliki gambaran akan suatu perjamuan kudus kelak.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus juga pernah mengadakan perjamuan misalnya sewaktu memberi makan 5000 orang, makan dengan Zakeus, makan dengan para murid, dll. Perjamuan makan dilakukan Yesus berbeda dengan orang Yahudi karena Yesus makan dan minum bersama dengan orang-orang yang dikucilkan oleh Yahudi (pelacur, pemungut cukai, dll). Matius 26:23-29; Yesus menetapkan Perjamuan Kudus, makan dan minum dengan murid-muridNya diakhir pelayananNya.
Dapat disimpulkan bahwa dalam Perjanjian Lama, Allah menjamu/ mengundang umat Tuhan untuk makan dam minum dihadapan Allah, menikmati dan mengalami Tuhan. Dalam Perjanjian Baru, Yesus juga makan dan minum dengan orang banyak bahkan dengan orang-orang yang dikucilkan oleh Yahudi serta makan dengan para murid diakhir pelayananNya. The Lord’s Supper menjadi pengingat bahwa Yesus membayar lunas hutang dosa kita sehingga kita dapat menikmati makan dan minum dihadapanNya dengan sukacita. Tujuan utama perjamuan kudus ialah membawa umat Tuhan menikmati persekutuan bersama dengan Allah.
Ada empat pandangan mengenai Perjanjian Kudus, yaitu:
- “Transubstantiation” ----pandangan ini dianut oleh Roma Katolik. Roti berubah menjadi tubuh Kristus dan anggur menjadi darah Kristus. Melalui perjamuan seseorang akan dikuatkan dan dibebaskan dari dosa yang dilakukannya. Yesus mengorbankan hidupnya setiap kali mereka melakukan perjamuan kudus.
- Consubstantiation (“In, with, and under”) ---pandangan ini diterima oleh Lutheran. Roti itu bukan penjelmaan tubuh Kristus tapi Yesus hadir “in”, “with”, and “under” roti tersebut. Artinya roti berisi tubuh Kristus.
- Reformed (“A simbolic and spiritual presence of Christ”)---pandangan presbiterian, dan gereja reform lainnya. Melalui perjamuan tersebut seseorang akan menerima pengampunan atas dosanya dan konfirmasi akan imannya. Juga melalui perjamuan itu mereka akan dianugrahkan karunia dan pertumbuhan rohani. Pandangan ini mengartikan bahwa roti dan anggur sebagai simbol, dimana ketika mereka melakukan perjamuan, mereka mengalami perekutuan dengan Kristus.
- Memorial---pandangan gereja Baptis, dan Mennonite. Mereka meyakini bahwa Kristus tidak hadir dalam roti dan anggur baik secara literal maupun simbol. Melalui perjamuan tersebut orang diingatkan akan benefit dari penebusan yang dibawa melalui kematian Kristus.
Wayne Grudem memberikan tujuh pengertian perjamuan kudus:
1. “Kematian Kristus”
Ketika kita menerima roti yang dipecah, kita mengingat tubuh Kristus yang terpecah bagi kita dan ketika kita meminum anggur kita mengingat darah Kristus yang tertumpah demi kita. Dengan kata lain perjamuan kudus adalah proklamasi akan kematian Kristus (I Kor 11:26). Hal ini juga menggambarkan kasih Tuhan kepada kita. Hal yang penting ialah kita harus membayangkan Kristus yang mati dan tersiksa demi kita.
2. Menikmati benefit dari kematian Kristus
Ketika kita menikmati perjamuan kudus, kita mendeklarasikan bahwa makna kematian Kristus secara pribadi bagi kita. Kita harus mengakui dan menghayati secara pribadi dengan penuh arti kematian Yesus bagi kita sehingga aku dibenarkan dalam Kristus.
3. Menumbuhkan kerohanian
Perjamuan tersebut merupakan gambaran bahwa Allah memberikan makanan kepada jiwa kita (Joh 6:53-57). Hal ini seharusnya menumbuhkan kerohanian kita karena Alah telah memberikan makan dan minum.
4. Kesatuan orang percaya
Ketika orang percaya datang menikmati perjamuan kudus, hal ini menggambarkan kesatuan umat Tuhan ( I Kor 10:17). Dalam Perjamuan Kudus, orang-orang mengakui “aku telah diselamatkan oleh Kristus” yang berarti Yesus menjadi focus ibadah karena semua orang dalam perjamuan tersebut mengakui Yesus yang sama.
Jemaat korintus menyalahgunakan perjamuan kudus ini sehingga Paulus harus mengingatkan ulang arti perjamuan kudus kepada mereka (1 Kor 11:23-25). Kesalahan mereka ialah dalam perjamuan kudus terdapat perbedaan orang kaya dan miskin. Padahal sama-sama sudah beriman kepada Yesus, tetapi karena perbedaan status sosial, mereka menghancurkan kesatuan orang percaya. Siapa dan bagaimanapun kita, oleh pendamaian yang dilakukan Kristus, kita sama dihadapan Allah.
5. Pernyataan iman pribadi kita
Pengakuan pribadi bahwa Kristus telah mati demi dosa kita dan memberi hidup dan kesehatan bagi jiwa kita. DKL, ketika perjamuan kudus berarti secara pribadi aku mengakukan imanku “aku percaya kepada kematian Kristus yang olehnya aku diperdamaikan dengan Allah”. Perjamuan kudus seharusnya meneguhkan, menguatkan, mengingatkan kita bahwa Yesus sudah berkorban bagi kita. Perjamuan Kudus merupakan klaim secara pribadi kita mengakui “Yesusku mati bagiku dan aku mengakui kematiannya yang berkuasa itu membebaskan aku dari dosa”. Pengakuan ini yang seharusnya bersuara kepada kita ketika menghadapi pergumulan hidup.
Mengenai peserta perjamuan kudus. bagi kebanyakan gereja tradisional, yang mengikuti perjamuan kudus ialah orang yang sudah naik sidi. Naik sidi maksudnya katekhisasi yang menuntun mereka sampai akhirnya mereka menerima Yesus secara pribadi mengakukan bahwa Yesuslah Tuhan dan Juruslamatnya. Sehingga orang-orang yang sudah menerima dan mengakui kematian Yesus inilah yang diperkenankan mengikuti perjamuan kudus.
Oleh karena itu, yang turut melakukan perjamuan kudus ialah:
1. Orang yang percaya kepada Yesus Kristus
Mengikuti perjamuan kudus menjadi tanda bagi seseorang untuk menyatakan keberadaannya sebagai Kristen yang terus menjalani hidup kekristenannya
2. Orang yang melakukan self examination (I Kor 11:27-29). Meliputi kesadaran dan pengakuan akan kesatuan orang percaya didalam tubuh Kristus. Kita menguji diri kita apakah persekutuan kita dengan orang percaya lainnya mencerminkan karakter Allah. Dengan kata lain kalau hubungan kita dengan mereka tidak baik kita seharusnya menyelesaikannya sebelum datang ke meja perjamuan. Semua kita menerima darah dan tubuh yang sama yaitu Yesus junjungan dan Tuhan kita. Yesus saja mati bagi semua orang lain, masakan kita tidak mau menyatakan kasih kita kepada sesama kita.
Mengenai penyelenggara perjamuan kudus. secara eksplisit, Alkitab tidak ada menjelaskannya. Secara gereja, biasa yang menyelenggarakan ialah pendeta/ pemimpin gereja/ orang yang sudah dibaptiskan. Pendeta, pemimpin gereja diberikan wewenang untuk melakukan perjamuan kudus untuk menghindari penyalahgunaan sakramen. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika tidak ada orang-orang tersebut yang dapat melakukan perjamuan kudus, mungkin dan bolehkan perjamuan kudus dilangsungkan? Kalau ada hal demikian, maka orang percaya yang ada disitu dapat melakukan perjamuan kudus untuk membimbing orang tersebut masuk kedalam 5 (lima) makna perjamuan kudus tersebut.
Mengenai berapa kali mengadakan perjamuan. Tidak ada ketetapan dalam Alkitab. Hanya, Yesus menyampaikan agar Perjamuan Kudus dilakukan untuk mengingat akan Dia yang berarti berkali-kali. Bahkan Kisah Para Rasul menceritakan bahwa jemaat mula-mula melakukan pemecahan roti setiap kali mereka berkumpul. Hal yang perlu diingat ialah apabila hal itu dilakukan dalam rangka membawa jemaat untuk mengenang kematian Kristus dan menumbuhkan kepercayaan kepada kematian Kristus dan makin merefleksikan kasih Kristus, Perjamuan kudus dapat dilakukan kapan saja. Bukan masalah kuantitas perjamuan kudus melainkan kualitas yaitu waktu melakukan perjamuan kudus mari masuk kepada satu pemahaman yang baik dan benar, bahwa sewaktu saya hadir menerima perjamuan itu saya sedang mengakukan, merefleksikan dan mensyukuri bagi hidup saya yang ditebus ini. Dengan ini, maka kita dapat melakukan self evaluation terhadap apa yang kita lakukan terhadap sesama kita. Merefleksikan Kristus yang mau mati bagi manusia memberikan komitmen baru untuk mengakukan kematian Kristus melalui hidup di kantor, lingkungan, dan dimanapun.
Solideo Gloria!
[Seri Gereja 04-2009) Christian Creed
[Kotbah ini dibawakan oleh Esni Naibaho, M. Div pada ibadah MBA, Jumat 22 Mei 2009]
Berbicara mengenai Christian Creed berarti kita berbicara mengenai pengakuan orang Kristen. Kita yang berlatar belakangkan gereja tradisional pasti sangat familiar dengan yang namanya creed ini karena kita akan mengucapkan pengakuan ini setiap minggunya. Dan hari ini kita akan melihat kembali pengakuan ini dengan lebih dalam.
Keagamaan biasanya diekspresikan melalui tiga cara, yaitu: ritual, creed, dan life. Keagamaan apapun akan diekspresikan melalui ketiga cara ini. Dalam agama Kristen ritual ditunjukkan melalui ibadah atau kegiatan rohani. Agama Kristen juga memiliki pengakuan (creed) yang dikalimatkan dan merupakan gambaran dari kepercayaan orang Kristen. Agama juga harus diekspresikan dan dibuktikan melalui hidup. Tiga bentuk ekspresi inilah yang membedakan agama langit (reveald religion) dengan pagan religion atau agama kuno yang tidak menyembah Allah. Bagi penganut pagan religion, ritual adalah hal yang paling diutamakan. Penganut agama ini tidak memiliki creed mengenai apa yang mereka percayai karena mereka tidak memiliki teologi apapun. Berbeda dengan revealed religion, misalnya agama Kristen, yang memiliki teologi sehingga memampukan kita percaya kepada Yesus, Roh Kudus atau Allah Bapa.
Creed mengandung pernyataan atas fakta, pengertian, dan nilai dari otoritas yang dimiliki. Pengakuan yang kita miliki mangandung fakta sehingga kita mempercayai dan mengakui otoritas dari apa yang kita akui tersebut. ’Creed’ berasal dari bahasa Latin ’credo’ yang artinya ’I believe’. Dalam kekristenan istilah ini disebut Pengakuan Iman atau ’confession of faith’. Creed pada dasarnya lebih dari sekedar ‘statement of belief’ atau ‘acceptance of divine revelation’. Creed bukan sekedar kalimat yang dikalimatkan atau sekedar pernerimaan akan ketuhanan. Creed adalah ‘an acknowledgement of personal trust in God’.
Mari memperhatikan tiga pernyataan berikut. Pertama, ”Credo Deum: I believe that God exist”, kedua, “Credo Deo: I believe what God says”, dan ketiga, “Credo in Deum: I believe or trust or have faith in God”. Pertanyaannya adalah pernyataan mana yang benar dari ketiga pernyataan tersebut? Jawabannya adalah yang ketiga, ”Credo in Deum”. Credo adalah pengakuan kepercayaan kita secara personal dengan pemahaman dan kesadaran bahwa kepercayaan kita bukan berdasarkan apa yang dikatakan orang, apa yang terjadi, atau apa yang Tuhan katakan atau karena Tuhan ada. Tetapi kepercayaan kita ada karena kita percaya kepada Allah di dalam diri Allah sendiri. Jadi penekanannya bukan kepada kata-kata mengenai Allah tetapi lebih kepada pribadi Allah sendiri.
Mari melihat dasar Alkitab dari creedo ini. Dalam PL kita melihatnya dalam Ulangan 6:4-9, “4 Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! 5 Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. 6 Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, 7 haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. 8 Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, 9 dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu”. Ulangan 6:4-9 ini adalah pernyataan Allah yang disampaikan melalui Musa untuk orang Israel sebelum mereka memasuki tanah perjanjian. Bangsa Israel diingatkan agar mereka menurunkan kepada keturunan mereka apa yang Musa ajarkan dalam berbagai kesempatan. Musa mengingatkan bahwa Allah yang mereka percayai adalah Allah yang membawa mereka keluar dari Mesir dan memimpin mereka ke tanah perjanjian dan mereka harus terus menyampaikan dan mengkumandangkan karya penyelamatan Allah ini dari dari hari kehari baik siang atau malam kepada keturunan mereka. Jadi, secara tersirat PL menggambarkan bahwa bangsa Israel diarahkan kepada satu pedoman penting dalam kehidupan iman mereka dimana mereka meletakkan kepercayaan mereka kepada Tuhan Allah dengan segenap hatinya. Formulasi kalimat dalam ayat 4 ’Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!’ berkali-kali diulang di dalam PL. Dan kelihatannya ini menjadi satu kalimat yang dipahami dengan baik dan Musa mengingatkan mereka bahwa ini adalah pengakuan mereka terhadap Tuhan.
Jika dalam PL kita cenderung menemukan pengakuan ini dalam komunal, tetapi di PB kita menemukan pengakuan ini secara pribadi. Dalam Yoh 1:49 kita melihat pengakuan yang diakukan secara pribadi oleh Natanael. Dia berkata : "Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!" Kemudian kita menemukan pengakuan Petrus dalam Mat 16:16. dalam pengakuannya Petrus berkata: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" Dalam Yoh 20:28 kita juga menemukan adanya pengakuan Tomas akan Yesus. Dia berkata: "Ya Tuhanku dan Allahku!" Tiga pengakuan ini dianggap permulaan atau cikal bakal dari creed dan pusat dari pengakuan adalah Kristus. Dalam surat-surat Epistel, kita juga menemukan adanya pengakuan Paulus. Dalam kotbah maupun suratnya Paulus biasanya menekankan akan the meaning of Christ dan memusatkan kepada pribadi Kristus: inkarnasi, kematian, dan kebangkitan Kristus yang familiar bagi pendengarnya (misalnya dalam I Kor 15:3-5). Surat-surat Paulus adalah merupakan pengakuan alamiah yang nyata dan merupakan manifestasi dari kepercayaan orang Kristen [“Paul’s Epistles are really of the nature of a confession and manifesto of Christian belief”]. Tanpa kita sadari kalimat-kalimat Paulus sebenarnya telah menjadi kalimat yang masuk dalam pengakuan iman rasuli.
Ada tiga jenis pengakuan, yaitu Apostles Creed (Pengakuan Iman Rasuli), Nicene Creed, dan Athanasian Creed.
Apostles Creed muncul pada masa sekitar 700 AD. Rasul-rasul dipandang sebagai yang menciptakan creed. Di zaman para rasul, fondasi pengajaran yang tertuang di dalam creed merupakan persetujuan bersama akan teologi yang dianut oleh para rasul. Di dalam Apostles’ Creed, ke-Tritunggalan Allah di nyatakan dengan jelas yakni percaya dalam Allah yang Maha Kuasa, pencipta langit dan bumi; dilanjutkan dengan penyataan tentang Yesus Kristus Anak Allah yang tunggal dengan menekankan pada kelahiran, penderitaan, penyaliban, kebangkitan, kenaikkan, penghakiman yang akan datang. Pada bagian yang ketiga dideklarasikan kepercayaan kepada Roh Kudus. Sementara Nicene Creed mengandung pengajaran kristologi yang diperuntukkan untuk menghadapi pengajaran Arianism (paham yang mengakui bahwa Yesus adalah ciptaan yang tertinggi tapi bukan Allah). Nicene Creed bukanlah The Creed of Nicea tetapi formula atau dasar dari The Creed of Nicea adalah Nicene Creed. Sedangkan Athanasian Creed memiliki pernyataan yang lebih kompleks dari kedua Creed sebelumnya yang lebih menekankan kepada ketritunggalan Allah. Dan gereja yang ada di dunia cenderung menggunakan Apostles’ Creed dibandingkan dengan dua creed yang lain. Alasan mengapa Gereja akhirnya cenderung memilih Apostles’ Creed adalah karena bapa-bapa Gereja telah menganggap bahwa creed ini telah mewakili keseluruhan dari kepercayaan kita kepada Allah.
Perlu kita ketahui bahwa Apostles’ Creed adalah pengakuan yang diadopsi dari pengakuan iman berdasarkan The Old Roman Creed. The Old Roman Creed berbunyi demikian:
Aku percaya kepada Allah Bapa yang maha kuasa. Dan kepada Yesus Kristus anakNya yang tunggal Tuhan kita, yang dilahirkan dari Roh Kudus dan dara Maria; disalibkan dibawah pemerintahan Pontius Pilatus dan dikuburkan; di hari ketiga Dia bangkit dari kematian, naik kesurga dan duduk di sebelah kanan Bapak. Dari sana Dia akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan mati. Dan kepada Roh Kudus , gereja yang kudus; pengampunan dosa, kebangkitan daging.
Sedangkan The Apostles’ Creed yang telah diadopsi dan dimodifikasi dari The Old Roman Creed berbunyi demikian:
Aku percaya kepada Allah Bapak yang Maha kuasa; pencipta langit dan bumi. Dan kepada Yesus Kristus, anakNya yang tunggal, Tuhan kita; yang dikandung dalam Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria; yang menderita dibawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati, dan dikuburkan; Dia turun kedalam neraka; di hari ketiga Dia bangkit dari antara orang mati; naik ke sorga dan duduk disebelah kanan Allah Bapak yang Maha kuasa, dari sana Dia akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.
Aku percaya kepada Roh Kudus, gereja yang katolik dan kudus, persekutuan orang-orang kudus, pengampunan dosa, kebangkitan tubuh dan hidup yang kekal.
Setelah melihat keduanya, kita melihat ada beberapa perbedaan antara keduanya. Pertama, dalam Apostles’ Creed pengakuan akan Allah Bapa ditambahkan dengan kalimat ‘pencipta langit dan bumi’ (dalam The Old Roman Creed kalimat ini tidak ada). Kenapa kalimat ini muncul adalah karena pada masa The Old Roman Creed muncul bidat (ajaran sesat) yang menolak bahwa Allah bukan pencipta langit dan bumi tetapi Allah adalah Allah yang sedemikian jauh dari kita dan tidak mungkin bersama-sama dengan kita. Oleh sebab itulah maka kalimat ‘pencipta langit dan bumi’ perlu ditambahkan ke dalam creed orang Kristen. Jadi creed ini sebenarnya untuk menjaga orang Kristen agar mempercayai Allah yang benar.
Kedua adalah mengenai pengakuan ‘gereja yang katolik dan kudus’. Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah “Apa yang dimaksud dengan katolik dalam konteks creed ini?” Definisi ‘katolik’ di sini bukanlah institusi atau Gereja Katolik melainkan kepada pengertian umum, general atau AM (kesatuan tubuh di dalam Kristus). Oleh sebab itulah agar tidak terjadi kebingungan maka diganti dengan AM. Hal ini menggambarkan gereja yang satu dan kudus di dalam Kristus. Dipisahkan dan khususkan untuk Allah.
Ada beberapa fungsi creed di dalam gereja. Pertama adalah untuk pembaptisan. The confession of faith (pengakuan iman) umumnya di hubungkan dengan pelaksanaan Baptisan, karena sebelum seseorang dibaptis dia harus terlebih dahulu menyatakan atau mengakukan kepercayaannya kepada Kristus (Rom 10:9-10). Pengakuan rasuli juga dihubungkan dengan masuknya seseorang sebagai anggota dari suatu persekutuan atau gereja. Pengakuan Iman Rasuli juga bukan hanya sekedar prasyarat untuk ‘lulus’ dalam Angkat Sidi. Ini adalah kesalahan-kesalahan gereja masa kini dimana makna dari Pengakuan Iman Rasuli telah bergeser. Pengakuan ini seharusnya adalah pengakuan yang benar-benar serius dan didasarkan kepada pengertian bahwa kita benar-benar percaya kepada Allah yang dideskripsikan dalam bentuk pengakuan kita bukan sebagai prasyarat agar dapat Angkat Sidi atau menikah.
Kedua, untuk katehisasi (catechetical instruction) sebagai outline dalam pengajaran. Hal ini berguna untuk mengajar orang agar semakin mengerti siapa Allah, Yesus dan Roh Kudus. Sayangnya, masih banyak gereja-gereja yang tidak serius dalam katehisasi. Banyak orang juga menganggap bahwa ikut katehisasi hanya sebagai sebuah prasyarat untuk menikah, angkat sidi, dsb. Jika gereja betul-betul memahami hal ini, maka melalui katehisasi gereja sedang menolong orang untuk mengetahui siapa Allah dan pada saat Angkat Sidi mereka bisa berdiri dengan sikap yang benar untuk mengukapkan pengakuan iman mereka.
Ketiga, untuk doktrin. Munculnya ajaran-ajaran sesat menjadi alasan betapa pentingnya creed dibuat. Misalnya pengakuan “pencipta langit dan bumi” di buat didalam meng-encounter ajaran Gnostik (pengikut Gnostik memisahkan antara Allah yang benar dengan pencipta). Kemudian statement ‘lahir dari anak dara Maria’ (virgin birth) dan kematian Kristus adalah untuk menekankan kemanusiaan Kristus dan meng-encounter Docetism (paham yang mempercayai bahwa Yesus bukanlah manusia) dan Marcionism (yang menolak PL dan menyangkal bahwa Allah telah berinkarnasi jadi manusia). Dan keempat adalah untuk liturgi. Pengakuan iman dianggap sebagai dasar dari ibadah yang benar. Di dalam liturgi, creed dimaksudkan untuk membimbing jemaat untuk meresponi Injil dengan menyatakan pengakuan iman baik secara pribadi maupun secara jemaat.
Kita juga perlu memahami bahwa creed ini bukanlah hukum Taurat dimana ketika kita merevisinya maka kita berdosa. Tetapi mengarah kepada pernyataan atau pengakuan kita terhadap Tuhan yang terangkum dalam beberapa kalimat yang menggambarkan iman kita. Tetapi mengubah creed bukanlah sesuatu yang gampang. Sebagai contoh, pertemuan di Nicea untuk merumuskan Ncea Creed dihadiri 318 Bishop yang hadir.
Oleh sebab itu mari kita mensyukuri atas pekerjaan Tuhan dalam diri para rasul yang membuat “confession of faith” di mana mereka telah meletakkan dasar doktrin yang benar lewat creed tersebut. Mari belajar memahami akan pengakuan tersebut. Creed adalah pernyataan kepercayaan kita kepada Allah baik secara personal atau komunal dimana kita berdiri tegak dan kokoh di dalam pengakuan tersebut. Kita didorong untuk sungguh memahami makna creed yang kita nyatakan. Kita seharusnya menghidupi pengakuan iman itu di dalam kehidupan kita dan menjadikan itu sebagai kekuatan kita dalam menghadapi pengajaran palsu. Jadi pengakuan yang kita ucapkan bukan sekedar pengakuan di mulut saja tetapi nampak dari bagaimana kita menjalani hidup kita. Ketika ada pergumulan dan kesedihan datang kepada kita, penghayatan yang benar kepada pengakuan kita akan membantu kita untuk tetap percaya kepada Tuhan karena Dia adalah Tuhan pencipta langit dan bumi. Mari menyadari dan belajar bahwa pengakuan-pengakuan yang kita ucapkan akan memperkaya kehidupan kita bahwa Tuhan itu adalah Tuhan yang akan menopang dan menolong kita di dalam dunia ini.
Solideo Gloria!
[Seri Gereja 03-2009) The Place of Preaching in Christian Life
[Kotbah ini dibawakan oleh Pdt. Parlindungan Situmorang, S.Th, MA pada ibadah MBA, Jumat 15 Mei 2009]
Hari ini kita akan belajar mengenai kedudukan kotbah atau pemberitaan Firman Tuhan dalam ibadah Gereja. Mari melihat 2 Timotus 3:16-4:2, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.“
Kotbah atau pemberitaan Firman Tuhan mendapat tempat yang sentral dalam kebaktian-kebaktian orang Kristen. Oleh sebab itu akan ada sesuatau yang kurang jika dalam satu ibadah firman tidak disampaikan. Seperti yang telah kita pelajari dalam topik sebelumnya liturgi membawa umat untuk meyembah Tuhan dalam keteraturan dan salah satu poin yang dilakukan dalam liturgi yang dibangun oleh gereja ini adalah kotbah. Semua bagian yang ada di dalam satu liturgi baik di awal liturgi maupun akhir dari liturgi memiliki kedudukan yang sama. Dan hari ini kita akan fokus pada bagian pemberitaan firman atau kotbah di dalam satu ibadah.
Kotbah sangat perlu dan harus ada dalam satu ibadah. Gereja yang bersekutu pastilah merindukan firman Tuhan diberitakan di tengah-tengah mereka. Sering sekali dalam gereja yang memiliki jemaat yang sedikit (Gereja kecil) yang disampaikan bukanlah firman Tuhan tetapi moment kotbah hanya menjadi percakapan atau sharing, menceritakan/berbagi pengalaman iman dalam hidupnya. Dalam Gereja yang memiliki jemaat yang besar (Gereja besar) kita juga menemukan kecenderungan dimana kotbah menjadi tempat mempublikasikan sesuatu/seseorang secara berlebih-lebihan da tidak ubahnya seperti iklan. Kedua hal ini sama sekali salah. Baik di gereja kecil atau besar firman Tuhan harus diberitakan sesuai dengan kapasitasnya. Oleh karena itu gereja harus menempatkan kotbah sebagai sesuatu yang penting yang memberi kesempatan kepada jemaat mendengar suara Tuhan.
Dalam 2 Timotius 3:16-4:1-2 dikatakan ’beritakanlah Firman’. Ini adalah sebuah perintah . Seorang pengkotbah besar dari Amerika, Jonathan Edward, mengatakan bukan hanya karena PB memerintahkan ”beritakanlah Firman”, tetapi lebih fundamental lagi adalah karena adanya esensi ganda dari ibadah. Di dalam bukunya, ia menyatakan bahwa Allah memuliakan diriNya terhadap ciptaan (termasuk ibadah) dengan cara: pertama, Allah menampakkan diri kepada umatNya di dalam pengertian mereka. Jadi, ketika firman diberitakan, maka sesungguhnya pemberitaan Firman itu sedang membawa intelektual/pikiran jemaat untuk semakin mengenal Tuhannya. Oleh sebab itulah seharusnya setelah mendengarkan kotbah pengetahuan kita akan Tuhan seharusnya bertambah. Oleh karena itu, disisi lain, penghotbah juga harus mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk menyampaikan kebenaran Firman agar jemaat semakin mengerti dan mengenal siapa Tuhannya. Kedua, dengan mengkomunikasikan diriNya kepada hati umat dan di dalam mereka bersukacita dan bergirang serta menikmati manifestasi-manifestasi yang Dia perbuat. Kedua hal ini harus berjalan secara beriringan. Kita semakin diisi oleh firman Tuhan dalam hal pengetahuan dan di sisi lain hati kita harus sungguh-sungguh mengalami kehadiran, kuasa, atau kemuliaan Tuhan.
Itulah sebabnya, kotbah haruslah menjadi waktu terindah dan yang dinantikan dan didambakan oleh jemaat dalam rangkaian ibadah. Tetapi , dalam kenyataannya, sering sekali kita menemukan bahwa banyak orang menganggap kotbah sebagai sesuatu yang membosankan dan ketika kotbah dimulai mereka juga mulai mengantuk. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tidak mempersiapkan diri untuk datang beribadah kepada Tuhan. Jadi jika ada orang berkata ”Aku tidak dapat apa-apa dari Kotbah tadi” atau ”Aku tidak adapat apa-apa dari kebakian di Gereja itu” bisa saja terjadi bukan hanya karena pengkhotbahnya tidak mempersiapkan firman dengan baik tetapi juga karena jemaat tidak mempersiapkan diri mereka dengan baik untuk beribadah. Sesederhana apapun kotbah yang disampaikan dari mimbar dalam satu ibadah, jika kita mempersiapkan diri dengan baik, kita bisa mendapat berkat dari Tuhan. Jadi bukan hanya sekedar penyampaian yang menggunakan bahasa teologia yang tinggi, tetapi kita harus menyadari ada satu substansi yang lebih dalam dari sekedar bahasa yang tinggi-tinggi yaitu dengan menyadari bahwa penghotbah itu sedang menyampaikan firman Tuhan dan melalui dirinya Tuhan sedang berbicara kepada kita sebagai umat. Oleh karena itu kita harus membuka hati dengan sungguh-sungguh untuk mendengarkan Tuhan berbicara. Jadi antara pengertian dan hati jemaat haruslah sama-sama dibangun ketika firman disampaikan.
Seharusnya, ketika firman disampaikan, ada dua hal yang terjadi di dalam diri jemaat. Pertama, jemaat harus bisa melihat Allah dengan mata rohani sepanjang ibadah. Allah hadir dan semua jemaat harus bisa merasakan hal tersebut di dalam hatinya. Jadi bukan hanya sekedar parade pelayan-pelayan Tuhan seperti siapa liturgisnya, siapa yang membawa nyanyian atau siapa pengkotbahnya. Sering sekali kita fokus hanya pada penampilan fisik dari liturgos, yang memimpin pujian atau pengkotbah. Orasi dalam menyampaikan firman Tuhan tentu saja perlu dipersiapkan, misalnya gaya, bahasa tubuh, dll. Tetapi hal ini bukan yang terutama. Yang terutama adalah jemaat harus dibawa sungguh-sungguh untuk merasakan atau menikmati kehadiran Allah. Oleh sebab itulah kotbah menghadirkan Tuhan dalam sati ibadah dan jemaat dapat meilihat kehadiran Allah tersebut melalui mata rohaninya. Kedua, jemaat bisa menikmati kehadiran Allah, menikmati baitNya, menikmati kasihNya. Jika kita bisa melihat dan merasakan kehadiran Tuhan tetapi tidak menikmati kehadiranNya berarti kita sedang menghina Tuhan. Allah dimuliakan bukan hanya dengan kemuliaanNya yang diperlihatkan, tetapi juga dengan dinikmatinya kemuliaanNya. Mazmur 63 menggambarkan bagaimana kerinduan Daud, yang sedang dikejar-kejar pengawal Saul untuk dibunuh, kepada Allah dan kehadiranNya. Ketika kita mendengar kotbah kitranya kita memiliki kerinduan seperti Daud, melihat dan merasakan kehadiran dan menikmati kehadiran Tuhan.
Jadi dalam ibadah yang sejati ada pengertian dengan akal budi dan ada perasaan di dalam hati. Pengertian menjadi fondasi bagi perasaan, jika tidak memiliki perasaan kotbah hanyalah emosionalisme tanpa dasar. Tetapi pengertian yang tidak membangkitkan perasaan akan Allah akan menjadi intelektualisme belaka dan mati.
Kata ”beritakan” dalam perintah ”beritakanlah firman” (2 Tim 4:2) yang dituliskan Paulus memiliki pengertian yang sangat indah. Kata ’beritakan’ itu sama dengan ’memberitakan’ atau ’mengumumkan’ atau ’memproklamasikan’ (keruxon, bhs Yun). Kata ini tidak dipakai untuk kata ’mengajar’ atau ’menjelaskan’ tetapi ini adalah sebuah istilah yang sama dengan mengumumkan pengumuman resmi di tengah khalayak ramai (mis, alun-alun). Jadi, keruxon itu mengumunkan seuatu kepada jemaat. Apa pengumumannya? Pengumumannya adalah kasih karunia Tuhan dengan segmen-segmennya (sesuai dengan pembahasan saat itu), mengumumkan kemuliaan Tuhan atau berita sukacita dari Tuhan kepada seluruh jemaat agar mereka mengerti betapa ajaibnya Sang pemberi pengumuman itu, yaitu Tuhan sendiri. John Piper menyatakan bahwa kotbah selalu dalam kapasitas memberitakan berita sukacita dengan kesukaan yang melimpah. Kotbah adalah sebuah kesukaan yang melimpah dari orang banyak atas kebenaran yang disampaikan pengkhotbah. Kotbah tidak bersifat tanpa perasaan, dingin, atau netral. Kotbah bukanlah penjelasan belaka. Kotbah adalah hasrat yang begitu jelas dan menular terhadap apa yang disampaikan.
Kotbah juga memiliki pengajaran dan dalam 2 Tim 3:16 dikatakan bahwa mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, mendidik orang dalam kebenaran, memperlengkapi orang untuk perbuatan baik, menegor, dan menasihati adalah elemen-elemen yang mencakup satu kotbah. Bukan berarti kotbah bisa dipakai sebagai ajang untuk ’menembaki’ atau menghakimi orang. Menegur orang melalui kotbah boleh jika memang itu yang dikatakan nats yang akan disampaikan, tetapi bukan untuk tujuan ’menembaki’ atau menghakimi orang secara khusus.
Di dalam kotbah Allah hadir dalam kebesaran dan kemulianNya (Yes 6:1-4). Setiap jemaat (termasuk hamba Tuhan) harus menjaga kekudusan pribadinya setiap hari dihadapan Tuhan. Kekudusan manusia yang paling inti adalah kehidupan yang benar-benar jatuh cinta kepada Allah. Kotbah juga bertujuan untuk kemuliaan Tuhan. Muara dari semua pemberitaan firman bukan sekedar menyenangkan hati pendengar atau menaikkan pamor pengkotbah, tetapi memuliakan Allah yang hadir pada saat itu. Kotbah bisa mengubah hidup seseorang yang berdosa menjadi pemberita Injil yang besar yang akhirnya dipakai luar biasa untuk melayani Tuhan sehingga mendatangkan kemuliaan bagi nama Tuhan. James Steward (Skotlandia) menyatakan bahwa tujuan dari kotbah adalah menghidupkan kembali kesadaran dengan kekudusan Allah, memberi makan akal budi dengan kebenaran Allah, memurnikan imajinasi dengan keindahan Allah, membuka hati bagi kasih Allah, menyerahkan kehendak kepada tujuan Allah. Seluruh segmen dari hidup jemaat adalah target dari kotbah. Oleh sebab itu, topik apapun yang bahas baik itu krisis hidup sehari-hari, baik mengenai keluarga, depresi, kemiskinan, apapun itu haruslah dalam kapasitas untuk kemuliaan Allah.
Dasar kotbah adalah salib Kristus. Semua nats yang akan disampaikan dapat dihubungkan kepada Yesus dengan Karya kasihNya yang luar biasa. Salib adalah dasar validitas (jaminan) kotbah (Rom 3:23-26; Gal 6:14). Salah satu bagian dari liturgi adalah mempersekutukan antara jemaat yang berdosa sehingga bisa dibangun jembatan dengan Allah yang maha kudus dalam bentuk persekutuan dengan Allah. Yang menjembatani hal ini adalah salib Yesus. Hal ini juga yang selalu memotivasi pemberita firman untuk selalu rendah hati dan hal ini juga yang membuat jemaat semakin rendah hati.
Karunia untuk berkotbah datang dari Roh Kudus. Kita benar-benar bergantung kepada Roh kudus dalam pelayanan kotbah (2 Kor 1:8-9; 1 Kor 2:3-2). Rasul Paulus mengerti betul hal ini. Dalam kelemahannya dia datang kepada Tuhan. Bergantung sepenuhnya kepada Roh akan membuat kita mempersiapkan diri dengan baik dan menumbuhkan rasa takut dan gentar kepada Allah. Dengan demikian kita akan serius untuk mempersiapkan apa yang akan kita beritakan. Bukan menggunakan bahan yang ’basi’ (atau sudah pernah kita bawakan tanpa ada persiapan yang lebih dlam lagi). Jadi dalam melakukan pelayanan kotbah kita harus bergantung kepada Roh Kudus dan berani untuk menyampaikannya. Dengan pemahaman ini jugalah kita harus memulai untuk ambil bagian dalam pelayanan pemberitaan firman apakah di dalam gereja, persekutuan-persekutuan, ataupun di kantor.
Di dalam mendengar atau menyampaikan firman kita harus APTAT (Admit, Pray, Trust, Act, Thank). Pertama, “Saya mengaku (Admit) kepada Allah bahwa tanpa Dia saya tidak dapat melakukan apa-apa”. Yoh 15:5 berkata, “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” Kedua, “Oleh karena itu Bapa, saya berdoa (Pray) untuk minta pertolongan dengan kerendahan hati”. Mzm 50:15 berkata, “Berserulah kepadaKu pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku.” Ketiga, “Aku percaya (Trust), bukan hanya dalam hal umum dalam kebaikan Allah, tetapi di dalam suatu janji khusus di mana saya dapat menambatkan harapan saya untuk jam tersebut”. Mzm 40:18 berkata, “Aku ini sengsara dan miskin, tetapi Tuhan memperhatikan aku. Engkaulah yang menolong aku, ya Allahku, janganlah berlambat!” Keempat, Saya bertindak (Act) dalam keyakinan bahwa Allah akan menggenapi FirmanNya dalam ketaatan umatNya dan dalam sukacita. Kelima, Saya bersyukur (Thank) pada Allah di akhir khotbah bahwa saya telah ditopang dan bahwa kebenaran FirmanNya dan harga salibNya telah dikotbahkan sampai bagian tertentu, di dalam kuasa RohNya demi kemuliaanNya.
SoliDeo Gloria!
[Seri Gereja 02-2009) Understanding Sunday Service
[Kotbah ini dibawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M.Th pada ibadah MBA JUmat 1 Mei 2009]
Hari ini kita akan belajar seri Gereja dalam tema Understanding Sunday Service. Pernahkan kita berpikir bahwa kita tidak perlu ke Gereja dan cukup hanya dengan saat teduh setiap hari? Apakah pembinaan, seminar, atau paket pembinaan lain sudah cukup bagi kita? Pernahkah kita tidak merasakan apa-apa jika tidak ke Gereja hari Minggu atau kita merasakan seperti ada yang kurang jika kita tidak pergi ke Gereja?
Kata Gereja berasal dari bahasa Portugis, igreja, yang berasal dari kata ekklesia, (Yunani), yaitu umat yang dipanggil Tuhan untuk bersekutu, dipanggil untuk datang berkumpul di rumah Tuhan. Mezbah pertamakali didirikan oleh Abraham dan sejaak zaman Abraham muncul persekutuan kolektif dari umat yang percaya. Hal ini berkesinambungan sampai pada masa di mana Musa membawa bangsa Israel ke luar dari Mesir. Dalam perjalanan menuju ke Kanaan, ada ada panggilan Allah kepadanya agar umat Allah beribadah di padang gurun. Dalam perjalanan kita melihat adanya Tabut Perjanjian sebagai bukti dari kehadiran Allah. Baru kemudian dalam perjalanan ini didirikan kemah pertemuan untuk beribadah dan umat Israel berkumpul di kemah ini untuk beribadah dan mendengarkan sabda Tuhan melalui Musa. Disinilah dimulai pentingnya ibadah secara kolektif.
Ketika Salomo selesai mendirikan bait Allah maka umat Allah beribadah pada hari Sabat secara kolektif atau komunal di sana. Kemudian di dalam Daniel pasal 6:10-12, Daniel berdoa tiga hari sekali dengan kiblat ke arah bait suci dikarenakan sebuah pemahaman teologis bahwa Allah hadir dibaitNya yang kudus. Jadi, dimana saja orang Israel berada pada saat itu, kalau mereka tidak bisa ke Bait Allah, maka mereka berdoa atau menengadah ke arah Bait Allah. Dan oleh karena itu jugalah orang Israel yang berada di diaspora (yang menyebar dimana-mana), sekali setahun ziarah ke Yerusalem atau Bait Allah. Mereka memahami betapa pentingnya persekutuan umat Allah di dalam baitNya Allah dan hal ini mereka lakukan berkesinambungan di dalam hidup mereka. Jadi dengan melihat latar belakang tadi kita melihat betapa pentingnya kehadiran Allah di BaitNya yang kudus.
Dalam Kis.20:7, dikatakan, ”Pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti, Paulus berbicara dengan saudara-saudara di situ, ....”. ’Hari Pertama’ di sini adalah hari Minggu ( bd. Kis.4:31; 11:26; 14:27; Ibr.10:25). Hari Minggu adalah hari pertemuan di dalam rangka perjanjian dengan Allah [sebenarnya sini ada pergeseran dari Sabtu ke Minggu]. Pertemuan ini adalah bukti bekerjanya Allah di dalam dunia dan ibadah tersebut adalah penyataan kasihNya kepada dunia. Ini terjadi sejak kebangkitan dari Yesus Kristus.
Mari melihat soal Yesus dan hari Sabat. Yesus biasanya pada hari Sabat bersama dengan para murid pergi ke Bait Allah atau Sinagoge (Lk.4:16,31). Paulus pergi ke Bait Allah pada Sabat, baik sebelum ’ditangkap’ oleh Yesus Kristus maupun sesudahnya (Kis.13:14-44; 14:1; 17:2; 19:8). Jika kita perhatikan Wahyu 1:10 dikatakan, ”Pada hari Tuhan aku dikuasai oleh Roh dan aku mendengar dari belakangku suatu suara yang nyaring, seperti bunyi sangkakala,” (band. Kis.20:7; 1 Kor.16:2).
Ada beberapa alasan kenapa hari Sabat bergeser menjadi hari Minggu. Pertama, hari Minggu adalah hari kebangkitan Kristus dari kematian dan Dia adalah Tuhan dari segala sesuatu. Yoh.20:1 mengatakan, “Pada hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu dan ia melihat bahwa batu telah diambil dari kubur” (band. Ef.1:20-22; 1 Ptr.3:21-22; 1 Kor.15:23-28). Jadi pergeseran terjadi sejak kebangkitan Kristus dimana hari Minggu dianggap sebagai hari kemenangan karena Jumat minggu kekelaman, Sabtu adalah minggu sunyi. Baru hari Minggu adalah hari yang baru dan hari kemenangan. Setelah kebangkitan, murid sering berkumpul pada hari Minggu. Kedua, Hari kebangkitan (Minggu) adalah inti Injil kekristenan. Di dalam 1 Kor 15:3-4 dikatakan, ”Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci” (band. Kis.2:31-32; 4:2,10,33; 10:40). Ketiga, Penulis Injil memberitakan bahwa Kristus berkali-kali menemui muridNya (pasca kebangkitan) pada hari Minggu (Mt.28:1,9; Lk.24:13-34; Yoh.20:19, 26). Keempat, datangnya Roh Kudus (pentakosta) terjadi pada hari Minggu (Kis.2). Kelima, Paulus biasanya (secara rutin) bertemu dengan orang percaya pada hari Minggu (Kis.20:7). Keenam, orang di Korintus biasa beribadah pada hari Minggu (1 Kor.11:17-34) dan pada saat itu sekaligus moment pengumpulan persembahan untuk orang miskin (1 Kor.16:2). Jadi Sabat tetap hari Sabtu, dan jika ada yang merayakan hari Sabat juga tidak apa-apa. Prinsipnya adalah Sabat untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat.
Apa yang dimaksud dengan Sunday Service adalah sebagai sebuah kerinduan kepada Allah. Dalam Mazmur 42: 2-3, pemahaman ’bilakah aku datang kepada Allah’ jangan ditafsir bisa dilakukan dalam doa dan Firman. Dalam konteks pemazmur pemahaman ini memiliki pengertian bahwa kehadiran Allah identik dengan Bait Allah. Hal ini perlu kita pahami agar jangan bergeser pemahaman kita bahwa tidak ke Gereja atau beribadah pada hari Minggu tidak merasa apa-apa. Mari kembali melihat Maz 63:2-6. Mazmur ini ditulis saat Daud dikejar dan ingin dibunuh oleh Absalom (lih. 2 Samuel 15). Ketika Daud jauh dari Yerusalem, dia tidak mencari atau ingin kembali ke rumahnya atau istananya, tetapi yang dicari adalah rumah atau Baitnya Allah. Mari kembali melihat Maz 27:4, ”Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya”. Betapa pentingnya kemah pertemuan bagi kehidupan Daud. Ingat, Daud bukan ingin menikmati berkat, tetapi menikmati bait Allah. Hal ini menandakan betapa pentingnya baitNya Allah bagi orang yang beriman. Jadi jangan berpikir terlalu apatis dan skeptis soal Bait Allah karena Baitnya Allah bukan tempat sembarangan. Kerinduan Daud adalah pada Bukit Sion tempat di mana Kemah Suci berada, karena di tempat ibadah Daud melihat atau bertemu dengan Tuhan. Mari melihat Mzm.84:2-5, ” 2 Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN semesta alam! 3 Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN; hatiku dan dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup. 4 Bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang, tempat menaruh anak-anaknya, pada mezbah-mezbah-Mu, ya TUHAN semesta alam, ya Rajaku dan Allahku! 5 Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau. S e l a” (bd. Dan.6:10-12). Ibadah adalah cermin yang secara tidak sempurna memperlihatkan Injil Allah kepada jemaat dan memperlihatkan jawaban atau respon jemaat kepada Allah.
Apa yang kita pandang dalam Ibadah sehingga Ibadah Minggu penting bagi kita? Pertama, di dalam ibadah kita akan menikmati kuasa, kemuliaan, kekudusan, kasih, kebaikan, pengampunan, penghiburan, pembebasan, dan keselamatan yang dari Allah. Walaupun kita tidak merasakan atau menikamati kuasa, kasih ataupun kekudusan Allah, bukan berarti yang salah adalah BaitNya Allah. Yang salah adalah diri kita sendiri. Kedua, dengan melihat hal di atas maka saat memasuki Bait Allah kita sujud menyembah dan berdiam diri dengan penuh rasa hormat dan takut akan Tuhan yang Maha Kudus. Oleh sebab itulah sikap kita pergi ke stadiun sepak bola harus berbeda dengan masuk ke dalam baitNya Allah. Pakaian juga merupakan pancaran dari kita akan hadirat Allah. Jika menghadap prsiden kita harus berpakaian dengan sopan dan resmi, apalagi bertemu dengan Allah. Ke Bait Allah memang bukan soal pakaian melainkan hati. Tetapi, ingat, hati terpancar dari pakaian. Masuk ke dalam hadirat Allah harus kita lakukan denagn sikap takut dan hormat. Ketiga, dalam pertemuan Tuhan dengan umat dapat juga terjadi rasa takut, sedih, bersukacita, berdosa, tenang/damai dst. Adakah rasa takut kita ketika akan masuk ke dalam Bait Allah karena menyadari bahwa kita adalah orang berdosa? Adakah kita pernah sedih karena sering kali gagal dalam menjalani hidup? Atau rasa sukacita kerena memiliki kesempatan bersekutu dengan Yesus? Dalam pertemuan dengan Allah di BaitNya, jemaat akan mengalami berbagai keadaan. Pertama, orang bisa mengalami sentosa dan ketenangan dan ada (Mzm.122:6-7). Kita juga merasakan kelegaan (Mt.11:28-29), dan dengan sikap rendah hati kita menghadap Allah (Mzm.95:6-7) dan kita menyampaikan Keluh kesah kita kepada Allah (Mzm.5:2-4). Kita mengalami kesegaran (Mzm.23:2-3) dan kepuasan dan pembaharuan (Mzm.103:5). Kita juga akan berorak sorai (Mzm.100:2-5; 150) dan bernyanyi (Ef.5:19; Kol.3:16), dst.
Ibadah Minggu itu sangat penting dan ada beberapa alasan pentingnya Ibadah Minggu. Pertama, sadarilah bahwa kewajiban kita yang pertama adalah beribadah kepada Allah, bukan bermisi. Seringkali orang berpikir bahwa kewajiban yang paling utama adalah bermisi. Pemahaman ini adalah salah karena kewajiban pertama bagi orang percaya adalah beribadah dan bersekutu dengan Allah. Dengan demikian kita dapat dilayani dan memperoleh kekuatan yang baru untuk melakukan mandat Ilahi. Kedua, pentingnya persekutuan orang percaya. Orang Kristen bukanlah petualang yang terisolasi tetapi anggota dari satu tubuh yang disatukan oleh iman kepada Kristus untuk vitalitas rohani (Rom.1:11-12). Kita bukan orang yang terisolasi dan Allah bukan hanya menyelamatkan sebatas personal, tetapi keselamatan pun adalah keselamatan untuk persekutuan umat Allah. Memang baik saat teduh dirumah, tetapi ibadah secara komunal juga sangat baik dan penting dan itulah sebabnya kita penting mengikuti Ibadah Minggu. Ketiga, transformasi spiritualitas. Orang percaya diperlengkapi untuk menyerupai Kristus dalam karakter dan tingkahlaku dengan pembacaan, penjelasan dan aplikasi Firman Tuhan (Ef.4:11-16).
Persekutuan secara kolektif adalah sesuatu yang sangat dirindukan oleh Allah. Oleh sebab itu dalam Ibadah Minggu kita, pertama, datang ke Gereja bukan untuk mencari sesuatu demi kepentingan pribadi di tempat ibadah. Seringkali orang berpikir jika dia datang beribadah hanya berfokus pada dirinya. Kita datang beribadah bukan untuk diri sendiri melainkan mau beribadah menghadap, menyembah dan memuji Dia. Artinya, jika saya datang Ibadah Minggu dan hanya ingin mendapatkan yang akau inginkan akan mengubah ibadah kita menjadi egosentris, padahal ibadah yang Allah inginkan adalah harus Christocentris. Misalnya, kita menolak datang ke Gereja tertentu karena tidak merasakan mendapat apa-apa. Kedua, kita datang bukan untuk menyenangkan diri. Jemaat tidak sama dengan sebuah konser atau pertandingan sepakbola. Kita beribadah dalam Ibadah Minggu ingin menyenangkan dan menyembah Allah. Jika pemahaman ini jelas, dari kotbah yang ’kurang bagus’pun kita bisa mendapat berkat. Pulang dengan sukacita dari Ibadah Minggu sangat baik, tetapi pusatnya bukanlah hal tersebut. Ibadah bukan untuk menyenangkan tetapi menyenangkan Allah, dan ketika Allah disenangkan pastilah umat Allah dipuaskan. Ketiga, kita datang bukan karena tertarik oleh sifat-sifat luhur anggota-anggota lain yang bergaul dengan ramah karena Gereja bukanlah balai tempat bersenang-senang. Warga jemaat harus baik dan ramah tetapi kita ke Gereja bukan karena alasan warga jemaatnya baik dan ramah. Keempat, kita datang bukan karena kita mau memperalat anggota-anggota lain untuk memenuhi kewajiban agama melalui mereka, karena jemaat Kristus hidup dari belaskasihan dan dari pembenaran oleh iman. Artinya, kita ke Gereja bukan karena merasa tidak enak melihat pendeta kita atau kita tidak ke Gereja karena orang yang tidak kita suka akan berkotbah. Kita harus menyadari bahwa dia adalah orang berdosa dan kita pun orang berdosa. Belas kasihan dan pembenaran dari Allahlah yang membuat kita datang ke Gereja.
Kelima, tetapi kita berkumpul karena kehendak Bapa yang adalah Bapa kita semua dan yang senang melihat umatNya berkumpul pada waktu tertentu sehingga Ia dapat memeliharanya dan tinggal di dalamnya dengan senang hati. Allahlah yang menempatkan kita dalam jemaat untuk saling berdampingan. Oleh sebab itulah jika kita memiliki masalah dengan orang lain harus segera diselesaikan karena kita adalah saudara di dalam Kristus. Keenam, Allah mengundang dan menempatkan kita satu meja dan memberi kita makan dari satu roti, yaitu roti anugerah (Mt.11:28; Why.3:20). Dalam teologia Lutheran, biasanya hari Sabtu pkl 18.00 lonceng Gereja akan berbunyi untuk meningatkan orang-orang bahwa besok adalah hari Minggu.baru pada pkl 06.00 hari Minggu pagi, lonceng Gereja dibunyikan lagi untuk mengingatkan orang agar datang. Ini adalah seruan atau undangan Allah bagi umatNya untuk datang ke jamuanNya di dalam Ibadah Minggu. Ketujuh, oleh karena rahmat dan kebaikanNya, Bapa mendirikan keluarga umat yang dipanggil untuk bersekutu di BaitNya. Oleh kerinduan Allah, maka anggota keluarga dipanggil untuk bersekutu bersama, inilah Sunday Service dna hal ini tidak bisa disamakan dengan Mimbar Bina Alumni. Kedelapan, Bapa senang melihat umat bersatu beribadah kepadaNya. Kristus menyerahkan nyawaNya untuk menyatukan orang percaya dalam satu tubuh (Ef.4:6; Kol.3:11; Gal.3:27-28). Melalui pemahaman ini, Gereja seharusnya hanya satu dan umum dan bisa dibedakan oleh bahasa. Misalnya untuk konteks Indonesia seharusnya hanya ada Gereja Kristen Indonesia apakah nantinya di daerah berbahasa Karo, Simalungun, atau Toba.
Di dalam Ibadah Minggu umat secara komunal menghadap hadirat Allah untuk beribadah, memuji, berdoa dan mendengarkan sabdaNya. Kristus mati bukan hanya membebaskan kita secara personal dari yang jahat, melainkan juga menguduskan bagi diriNya suatu umat. Yang senang berbuat baik. Umat Allah dengan berbagai latarbelakang dan persoalan bersama-sama membutuhkan rahmat dan kekuatan ilahi dan saling menguatkan, menghiburkan dan menolong. Itulah sebabnya sangat diperlukan Sunday Service. Jika kita melihat romantisme jemaat mula-mula (Kis 2), inilah jemaat yang sesungguhnya sehingga Sunday Service dinikmati banyak orang, tekun belajar Firman Tuhan, tekun berdoa dan memuji Allah, tekun di dalam berbagi perjamuan kasih, dan tekun di dalam misi. Mungkin romatisme Gereja mula-mula itu tidak akan kita temui sekarang ini tetapi inilah tanggungjawab kita untuk membangun Gereja agar kembali ke patron yang semula.
Umat yang letih, tertatih-tatih dan sakit dipulihkan kembali sehingga dengan kekuatan yang baru mampu pergi dengan sukacita untuk berkarya di tengah dunia. Ada mungkin yang datang denagn sukacita, ada yang datang dengan tangisan, ada yang mungkin datang dengan ketakutan, lemah lunglai, tetapi semuanya dilayani Allah secara kolektif melalui Ibadah Minggu. Misalnya, melihat orang menangis di Gereja karena ditegur dosanya kita bisa merasa ditegur dan dikuatkan. Gereja memiliki standar ganda, pertama, Gereja adalah umat yang dipanggil dari dunia kepadaNya dan sekaligus Gereja adalah yang diutus Allah kembali ke dalam dunia untuk bersaksi (Yoh.20:21). Karena itu mari memahami Sunday Service agar kita tidak memliki pemahaman bahwa Sunday Service bisa diikuti jika ada waktu dan bisa tidak diikuti jika kita tidak memiliki waktu.
Saya tidak tahu pandangan kita akan hari Minggu. Ada orang yang berani dengan iman menutup dagangannya dengan berkata bahwa Allah akan mememlihara hidup mereka. Tetapi, di kota sangat sulit jika semua pedagang Kristen menutup dagangannya. Dalam konteks teologia hal ini menjadi perdebatan, tetapi dengan pndekatan kontekstual yang pastoral hal ini dimungkinkan. Tetapi sebenarnya kita harus berani melangkah dengan iman bahwa selama enam hari bekerja cukup bagi kita dalam menjalani hidup kita. Mari menciptakan hari Minggu menjadi hari yang indah dan menikmati hadirat Allah. Usahakan untuk mengerjakan urusan rumah tangga selesai pada hari Sabtu. Setiap hari memang hari milik Tuhan, tetapi kapan ada waktu bagi kita untuk berduaan dengan Tuhan. Mari gunakan waktu kita agar ketika Sunday Service, kita betul-betul bersama dengan Allah.
Jika orang Israel yang belum hidup dalam kebenaran menjalani Sabat dan ketentuan yang ada dengag setia, mengapa kita yang sudah dibenarkan, diampuni, dan diselamatkan Allah tidak memahami teologia ini dengan benar. Maka, kuduskanlah hari Sabat. Benar! Dan sekarang kuduskalah hari Minggu, satu hari untuk betul-betul bersama dengan Tuhan dan mendapatkan kekuatan yang baru.
Solideo Gloria!
Hari ini kita akan belajar seri Gereja dalam tema Understanding Sunday Service. Pernahkan kita berpikir bahwa kita tidak perlu ke Gereja dan cukup hanya dengan saat teduh setiap hari? Apakah pembinaan, seminar, atau paket pembinaan lain sudah cukup bagi kita? Pernahkah kita tidak merasakan apa-apa jika tidak ke Gereja hari Minggu atau kita merasakan seperti ada yang kurang jika kita tidak pergi ke Gereja?
Kata Gereja berasal dari bahasa Portugis, igreja, yang berasal dari kata ekklesia, (Yunani), yaitu umat yang dipanggil Tuhan untuk bersekutu, dipanggil untuk datang berkumpul di rumah Tuhan. Mezbah pertamakali didirikan oleh Abraham dan sejaak zaman Abraham muncul persekutuan kolektif dari umat yang percaya. Hal ini berkesinambungan sampai pada masa di mana Musa membawa bangsa Israel ke luar dari Mesir. Dalam perjalanan menuju ke Kanaan, ada ada panggilan Allah kepadanya agar umat Allah beribadah di padang gurun. Dalam perjalanan kita melihat adanya Tabut Perjanjian sebagai bukti dari kehadiran Allah. Baru kemudian dalam perjalanan ini didirikan kemah pertemuan untuk beribadah dan umat Israel berkumpul di kemah ini untuk beribadah dan mendengarkan sabda Tuhan melalui Musa. Disinilah dimulai pentingnya ibadah secara kolektif.
Ketika Salomo selesai mendirikan bait Allah maka umat Allah beribadah pada hari Sabat secara kolektif atau komunal di sana. Kemudian di dalam Daniel pasal 6:10-12, Daniel berdoa tiga hari sekali dengan kiblat ke arah bait suci dikarenakan sebuah pemahaman teologis bahwa Allah hadir dibaitNya yang kudus. Jadi, dimana saja orang Israel berada pada saat itu, kalau mereka tidak bisa ke Bait Allah, maka mereka berdoa atau menengadah ke arah Bait Allah. Dan oleh karena itu jugalah orang Israel yang berada di diaspora (yang menyebar dimana-mana), sekali setahun ziarah ke Yerusalem atau Bait Allah. Mereka memahami betapa pentingnya persekutuan umat Allah di dalam baitNya Allah dan hal ini mereka lakukan berkesinambungan di dalam hidup mereka. Jadi dengan melihat latar belakang tadi kita melihat betapa pentingnya kehadiran Allah di BaitNya yang kudus.
Dalam Kis.20:7, dikatakan, ”Pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti, Paulus berbicara dengan saudara-saudara di situ, ....”. ’Hari Pertama’ di sini adalah hari Minggu ( bd. Kis.4:31; 11:26; 14:27; Ibr.10:25). Hari Minggu adalah hari pertemuan di dalam rangka perjanjian dengan Allah [sebenarnya sini ada pergeseran dari Sabtu ke Minggu]. Pertemuan ini adalah bukti bekerjanya Allah di dalam dunia dan ibadah tersebut adalah penyataan kasihNya kepada dunia. Ini terjadi sejak kebangkitan dari Yesus Kristus.
Mari melihat soal Yesus dan hari Sabat. Yesus biasanya pada hari Sabat bersama dengan para murid pergi ke Bait Allah atau Sinagoge (Lk.4:16,31). Paulus pergi ke Bait Allah pada Sabat, baik sebelum ’ditangkap’ oleh Yesus Kristus maupun sesudahnya (Kis.13:14-44; 14:1; 17:2; 19:8). Jika kita perhatikan Wahyu 1:10 dikatakan, ”Pada hari Tuhan aku dikuasai oleh Roh dan aku mendengar dari belakangku suatu suara yang nyaring, seperti bunyi sangkakala,” (band. Kis.20:7; 1 Kor.16:2).
Ada beberapa alasan kenapa hari Sabat bergeser menjadi hari Minggu. Pertama, hari Minggu adalah hari kebangkitan Kristus dari kematian dan Dia adalah Tuhan dari segala sesuatu. Yoh.20:1 mengatakan, “Pada hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu dan ia melihat bahwa batu telah diambil dari kubur” (band. Ef.1:20-22; 1 Ptr.3:21-22; 1 Kor.15:23-28). Jadi pergeseran terjadi sejak kebangkitan Kristus dimana hari Minggu dianggap sebagai hari kemenangan karena Jumat minggu kekelaman, Sabtu adalah minggu sunyi. Baru hari Minggu adalah hari yang baru dan hari kemenangan. Setelah kebangkitan, murid sering berkumpul pada hari Minggu. Kedua, Hari kebangkitan (Minggu) adalah inti Injil kekristenan. Di dalam 1 Kor 15:3-4 dikatakan, ”Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci” (band. Kis.2:31-32; 4:2,10,33; 10:40). Ketiga, Penulis Injil memberitakan bahwa Kristus berkali-kali menemui muridNya (pasca kebangkitan) pada hari Minggu (Mt.28:1,9; Lk.24:13-34; Yoh.20:19, 26). Keempat, datangnya Roh Kudus (pentakosta) terjadi pada hari Minggu (Kis.2). Kelima, Paulus biasanya (secara rutin) bertemu dengan orang percaya pada hari Minggu (Kis.20:7). Keenam, orang di Korintus biasa beribadah pada hari Minggu (1 Kor.11:17-34) dan pada saat itu sekaligus moment pengumpulan persembahan untuk orang miskin (1 Kor.16:2). Jadi Sabat tetap hari Sabtu, dan jika ada yang merayakan hari Sabat juga tidak apa-apa. Prinsipnya adalah Sabat untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat.
Apa yang dimaksud dengan Sunday Service adalah sebagai sebuah kerinduan kepada Allah. Dalam Mazmur 42: 2-3, pemahaman ’bilakah aku datang kepada Allah’ jangan ditafsir bisa dilakukan dalam doa dan Firman. Dalam konteks pemazmur pemahaman ini memiliki pengertian bahwa kehadiran Allah identik dengan Bait Allah. Hal ini perlu kita pahami agar jangan bergeser pemahaman kita bahwa tidak ke Gereja atau beribadah pada hari Minggu tidak merasa apa-apa. Mari kembali melihat Maz 63:2-6. Mazmur ini ditulis saat Daud dikejar dan ingin dibunuh oleh Absalom (lih. 2 Samuel 15). Ketika Daud jauh dari Yerusalem, dia tidak mencari atau ingin kembali ke rumahnya atau istananya, tetapi yang dicari adalah rumah atau Baitnya Allah. Mari kembali melihat Maz 27:4, ”Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya”. Betapa pentingnya kemah pertemuan bagi kehidupan Daud. Ingat, Daud bukan ingin menikmati berkat, tetapi menikmati bait Allah. Hal ini menandakan betapa pentingnya baitNya Allah bagi orang yang beriman. Jadi jangan berpikir terlalu apatis dan skeptis soal Bait Allah karena Baitnya Allah bukan tempat sembarangan. Kerinduan Daud adalah pada Bukit Sion tempat di mana Kemah Suci berada, karena di tempat ibadah Daud melihat atau bertemu dengan Tuhan. Mari melihat Mzm.84:2-5, ” 2 Betapa disenangi tempat kediaman-Mu, ya TUHAN semesta alam! 3 Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN; hatiku dan dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup. 4 Bahkan burung pipit telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang, tempat menaruh anak-anaknya, pada mezbah-mezbah-Mu, ya TUHAN semesta alam, ya Rajaku dan Allahku! 5 Berbahagialah orang-orang yang diam di rumah-Mu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau. S e l a” (bd. Dan.6:10-12). Ibadah adalah cermin yang secara tidak sempurna memperlihatkan Injil Allah kepada jemaat dan memperlihatkan jawaban atau respon jemaat kepada Allah.
Apa yang kita pandang dalam Ibadah sehingga Ibadah Minggu penting bagi kita? Pertama, di dalam ibadah kita akan menikmati kuasa, kemuliaan, kekudusan, kasih, kebaikan, pengampunan, penghiburan, pembebasan, dan keselamatan yang dari Allah. Walaupun kita tidak merasakan atau menikamati kuasa, kasih ataupun kekudusan Allah, bukan berarti yang salah adalah BaitNya Allah. Yang salah adalah diri kita sendiri. Kedua, dengan melihat hal di atas maka saat memasuki Bait Allah kita sujud menyembah dan berdiam diri dengan penuh rasa hormat dan takut akan Tuhan yang Maha Kudus. Oleh sebab itulah sikap kita pergi ke stadiun sepak bola harus berbeda dengan masuk ke dalam baitNya Allah. Pakaian juga merupakan pancaran dari kita akan hadirat Allah. Jika menghadap prsiden kita harus berpakaian dengan sopan dan resmi, apalagi bertemu dengan Allah. Ke Bait Allah memang bukan soal pakaian melainkan hati. Tetapi, ingat, hati terpancar dari pakaian. Masuk ke dalam hadirat Allah harus kita lakukan denagn sikap takut dan hormat. Ketiga, dalam pertemuan Tuhan dengan umat dapat juga terjadi rasa takut, sedih, bersukacita, berdosa, tenang/damai dst. Adakah rasa takut kita ketika akan masuk ke dalam Bait Allah karena menyadari bahwa kita adalah orang berdosa? Adakah kita pernah sedih karena sering kali gagal dalam menjalani hidup? Atau rasa sukacita kerena memiliki kesempatan bersekutu dengan Yesus? Dalam pertemuan dengan Allah di BaitNya, jemaat akan mengalami berbagai keadaan. Pertama, orang bisa mengalami sentosa dan ketenangan dan ada (Mzm.122:6-7). Kita juga merasakan kelegaan (Mt.11:28-29), dan dengan sikap rendah hati kita menghadap Allah (Mzm.95:6-7) dan kita menyampaikan Keluh kesah kita kepada Allah (Mzm.5:2-4). Kita mengalami kesegaran (Mzm.23:2-3) dan kepuasan dan pembaharuan (Mzm.103:5). Kita juga akan berorak sorai (Mzm.100:2-5; 150) dan bernyanyi (Ef.5:19; Kol.3:16), dst.
Ibadah Minggu itu sangat penting dan ada beberapa alasan pentingnya Ibadah Minggu. Pertama, sadarilah bahwa kewajiban kita yang pertama adalah beribadah kepada Allah, bukan bermisi. Seringkali orang berpikir bahwa kewajiban yang paling utama adalah bermisi. Pemahaman ini adalah salah karena kewajiban pertama bagi orang percaya adalah beribadah dan bersekutu dengan Allah. Dengan demikian kita dapat dilayani dan memperoleh kekuatan yang baru untuk melakukan mandat Ilahi. Kedua, pentingnya persekutuan orang percaya. Orang Kristen bukanlah petualang yang terisolasi tetapi anggota dari satu tubuh yang disatukan oleh iman kepada Kristus untuk vitalitas rohani (Rom.1:11-12). Kita bukan orang yang terisolasi dan Allah bukan hanya menyelamatkan sebatas personal, tetapi keselamatan pun adalah keselamatan untuk persekutuan umat Allah. Memang baik saat teduh dirumah, tetapi ibadah secara komunal juga sangat baik dan penting dan itulah sebabnya kita penting mengikuti Ibadah Minggu. Ketiga, transformasi spiritualitas. Orang percaya diperlengkapi untuk menyerupai Kristus dalam karakter dan tingkahlaku dengan pembacaan, penjelasan dan aplikasi Firman Tuhan (Ef.4:11-16).
Persekutuan secara kolektif adalah sesuatu yang sangat dirindukan oleh Allah. Oleh sebab itu dalam Ibadah Minggu kita, pertama, datang ke Gereja bukan untuk mencari sesuatu demi kepentingan pribadi di tempat ibadah. Seringkali orang berpikir jika dia datang beribadah hanya berfokus pada dirinya. Kita datang beribadah bukan untuk diri sendiri melainkan mau beribadah menghadap, menyembah dan memuji Dia. Artinya, jika saya datang Ibadah Minggu dan hanya ingin mendapatkan yang akau inginkan akan mengubah ibadah kita menjadi egosentris, padahal ibadah yang Allah inginkan adalah harus Christocentris. Misalnya, kita menolak datang ke Gereja tertentu karena tidak merasakan mendapat apa-apa. Kedua, kita datang bukan untuk menyenangkan diri. Jemaat tidak sama dengan sebuah konser atau pertandingan sepakbola. Kita beribadah dalam Ibadah Minggu ingin menyenangkan dan menyembah Allah. Jika pemahaman ini jelas, dari kotbah yang ’kurang bagus’pun kita bisa mendapat berkat. Pulang dengan sukacita dari Ibadah Minggu sangat baik, tetapi pusatnya bukanlah hal tersebut. Ibadah bukan untuk menyenangkan tetapi menyenangkan Allah, dan ketika Allah disenangkan pastilah umat Allah dipuaskan. Ketiga, kita datang bukan karena tertarik oleh sifat-sifat luhur anggota-anggota lain yang bergaul dengan ramah karena Gereja bukanlah balai tempat bersenang-senang. Warga jemaat harus baik dan ramah tetapi kita ke Gereja bukan karena alasan warga jemaatnya baik dan ramah. Keempat, kita datang bukan karena kita mau memperalat anggota-anggota lain untuk memenuhi kewajiban agama melalui mereka, karena jemaat Kristus hidup dari belaskasihan dan dari pembenaran oleh iman. Artinya, kita ke Gereja bukan karena merasa tidak enak melihat pendeta kita atau kita tidak ke Gereja karena orang yang tidak kita suka akan berkotbah. Kita harus menyadari bahwa dia adalah orang berdosa dan kita pun orang berdosa. Belas kasihan dan pembenaran dari Allahlah yang membuat kita datang ke Gereja.
Kelima, tetapi kita berkumpul karena kehendak Bapa yang adalah Bapa kita semua dan yang senang melihat umatNya berkumpul pada waktu tertentu sehingga Ia dapat memeliharanya dan tinggal di dalamnya dengan senang hati. Allahlah yang menempatkan kita dalam jemaat untuk saling berdampingan. Oleh sebab itulah jika kita memiliki masalah dengan orang lain harus segera diselesaikan karena kita adalah saudara di dalam Kristus. Keenam, Allah mengundang dan menempatkan kita satu meja dan memberi kita makan dari satu roti, yaitu roti anugerah (Mt.11:28; Why.3:20). Dalam teologia Lutheran, biasanya hari Sabtu pkl 18.00 lonceng Gereja akan berbunyi untuk meningatkan orang-orang bahwa besok adalah hari Minggu.baru pada pkl 06.00 hari Minggu pagi, lonceng Gereja dibunyikan lagi untuk mengingatkan orang agar datang. Ini adalah seruan atau undangan Allah bagi umatNya untuk datang ke jamuanNya di dalam Ibadah Minggu. Ketujuh, oleh karena rahmat dan kebaikanNya, Bapa mendirikan keluarga umat yang dipanggil untuk bersekutu di BaitNya. Oleh kerinduan Allah, maka anggota keluarga dipanggil untuk bersekutu bersama, inilah Sunday Service dna hal ini tidak bisa disamakan dengan Mimbar Bina Alumni. Kedelapan, Bapa senang melihat umat bersatu beribadah kepadaNya. Kristus menyerahkan nyawaNya untuk menyatukan orang percaya dalam satu tubuh (Ef.4:6; Kol.3:11; Gal.3:27-28). Melalui pemahaman ini, Gereja seharusnya hanya satu dan umum dan bisa dibedakan oleh bahasa. Misalnya untuk konteks Indonesia seharusnya hanya ada Gereja Kristen Indonesia apakah nantinya di daerah berbahasa Karo, Simalungun, atau Toba.
Di dalam Ibadah Minggu umat secara komunal menghadap hadirat Allah untuk beribadah, memuji, berdoa dan mendengarkan sabdaNya. Kristus mati bukan hanya membebaskan kita secara personal dari yang jahat, melainkan juga menguduskan bagi diriNya suatu umat. Yang senang berbuat baik. Umat Allah dengan berbagai latarbelakang dan persoalan bersama-sama membutuhkan rahmat dan kekuatan ilahi dan saling menguatkan, menghiburkan dan menolong. Itulah sebabnya sangat diperlukan Sunday Service. Jika kita melihat romantisme jemaat mula-mula (Kis 2), inilah jemaat yang sesungguhnya sehingga Sunday Service dinikmati banyak orang, tekun belajar Firman Tuhan, tekun berdoa dan memuji Allah, tekun di dalam berbagi perjamuan kasih, dan tekun di dalam misi. Mungkin romatisme Gereja mula-mula itu tidak akan kita temui sekarang ini tetapi inilah tanggungjawab kita untuk membangun Gereja agar kembali ke patron yang semula.
Umat yang letih, tertatih-tatih dan sakit dipulihkan kembali sehingga dengan kekuatan yang baru mampu pergi dengan sukacita untuk berkarya di tengah dunia. Ada mungkin yang datang denagn sukacita, ada yang datang dengan tangisan, ada yang mungkin datang dengan ketakutan, lemah lunglai, tetapi semuanya dilayani Allah secara kolektif melalui Ibadah Minggu. Misalnya, melihat orang menangis di Gereja karena ditegur dosanya kita bisa merasa ditegur dan dikuatkan. Gereja memiliki standar ganda, pertama, Gereja adalah umat yang dipanggil dari dunia kepadaNya dan sekaligus Gereja adalah yang diutus Allah kembali ke dalam dunia untuk bersaksi (Yoh.20:21). Karena itu mari memahami Sunday Service agar kita tidak memliki pemahaman bahwa Sunday Service bisa diikuti jika ada waktu dan bisa tidak diikuti jika kita tidak memiliki waktu.
Saya tidak tahu pandangan kita akan hari Minggu. Ada orang yang berani dengan iman menutup dagangannya dengan berkata bahwa Allah akan mememlihara hidup mereka. Tetapi, di kota sangat sulit jika semua pedagang Kristen menutup dagangannya. Dalam konteks teologia hal ini menjadi perdebatan, tetapi dengan pndekatan kontekstual yang pastoral hal ini dimungkinkan. Tetapi sebenarnya kita harus berani melangkah dengan iman bahwa selama enam hari bekerja cukup bagi kita dalam menjalani hidup kita. Mari menciptakan hari Minggu menjadi hari yang indah dan menikmati hadirat Allah. Usahakan untuk mengerjakan urusan rumah tangga selesai pada hari Sabtu. Setiap hari memang hari milik Tuhan, tetapi kapan ada waktu bagi kita untuk berduaan dengan Tuhan. Mari gunakan waktu kita agar ketika Sunday Service, kita betul-betul bersama dengan Allah.
Jika orang Israel yang belum hidup dalam kebenaran menjalani Sabat dan ketentuan yang ada dengag setia, mengapa kita yang sudah dibenarkan, diampuni, dan diselamatkan Allah tidak memahami teologia ini dengan benar. Maka, kuduskanlah hari Sabat. Benar! Dan sekarang kuduskalah hari Minggu, satu hari untuk betul-betul bersama dengan Tuhan dan mendapatkan kekuatan yang baru.
Solideo Gloria!
[Seri Gereja 01-2009) Theology of Liturgy
[Kotbah ini dibawakan oleh Drs. Tiopan Manihuruk, M.Th pada Mimbar Bina Alumni, Jumat, 24 April 2009]
Ketika mengikuti ibadah Gereja, kita akan menemukan yang namanya Liturgi. Pertanyaaannya adalah apa itu Liturgi, mengapa liturgi itu ada dan mengapa harus dilakukan?
Kata ‘liturgi’ berasal dari bahasa Yunani ‘leiturgia’ yang memiliki akar kata ‘leitos’ (umat) dan ‘ergon’ (tugas pelayanan). Jadi liturgi itu adalah tugas pelayanan untuk umat agar umat Allah bisa beribadah dengan baik dan benar kepada Allah yang mereka sembah. Dalam Septuaginta (PL) kata ’liturgi’ berarti tugas imam untuk pelayanan mezbah atau penataan tugas iman dalam bait Allah. Dalam PB diartikan sebagai tugas imam, tugas Imam Besar Kristus, tugas beribadah dll. Kemudian, pada masa Reformasi (abad 16), dipengaruhi oleh Gereja Anglikan dan Ortodoks Yunani, kata liturgi dipakai kepada pemahaman yaitu penataan tata ibadah di dalam Gereja.
Liturgi digunakan menata dan menguraikan pertemuan Tuhan dengan umatNya, yaitu bagaimana pertemuan itu diciptakan berlandaskan pertimbangan semua faktor yang memainkan peranan dalam pemilihan (apakah pemilihan lagu, nats, petugas acara), pembentukan kebaktian, dan penyusunan semua unsurnya supaya olehnya perjanjian Allah dengan umat selalu diperbaharui. Pada poin ini kita bisa membedakan antara Gereja dengan Persekutuan. Persekutuan menggunakan metode yang agak bebas dan mengacu kepada persekutuan antara orang percaya (fellowship) sedangkan dalam Gereja ada kebaktian yang merupakan sebuah tata ibadah yang khusus dengan sebuah pemahaman teologia gerejawi dalam tata ibadah tersebut.
Ada beberapa makna teologis dari liturgi, yaitu:
Pertama, liturgi itu adalah pemberitaan Injil dimana Kristus mendamaikan Allah dengan manusia sehingga menciptakan persekutuan. Artinya, sewaktu orang percaya kepada Kristus dan berdamai dengan Allah, maka ada persekutuan antara manusia dengan Allah. Jadi liturgi membantu menata, membentuk atau mengatur bagaimana persekutuan antara Allah dengan umatNya yang sudah diperdamaikan melalui Kristus.
Kedua, persekutuan tersebut bersifat ganda, yaitu antara Allah dengan manusia (secara personal) dan antara manusia dengan sesama anak-anak Allah. Agar persekutuan ini dapat terjadi dan berjalan dengan harmonis dan menyegarkan maka secara teolis dibutuhkan sebuah liturgi yang benar.
Ketiga, melalui liturgi jemaat bertemu dengan Allah atau yang disebut juga menghadap Tuhan (Ibr.10:19-22) di mana umat memuji Dia, berdoa dan mengakui kepercayaannya serta mendengarkan Allah berbicara. Inilah pandangan awal dari sebuah teologia liturgi dan nantinya, dalam Gereja purba dan Gereja mula-mula, liturgi ini mengalami perkembangan dan terus mengalami perkembangan sampai kepada Gereja masa kini.
Keempat, secara teologis liturgi berfungsi sebagai wajah Injil, yang memperlihatkan kasih Kristus kepada jemaat dan dunia. Jika kita membuat sebuah liturgi maka dalam liturgi ini akan dimunculkan bagaimana kasih Kristus kepada manusia dan dunia ini. Oleh sebab itu liturgi tidak memiliki kandungan ini adalah liturgi yang tidak benar dan tidak Biblis.
Kelima, corak kepercayaan jemaat nampak atau muncul dalam liturgi. Liturgi dalam Gereja-Gereja, apakah Katolik, Karismatik, Lutheran, merupakan pancaran dari iman mereka. Misalnya, ibadah dalam Gereja Kharismatik atau Injili tidak mempersoalkan mimbar. Oleh sebab itu pengkhotbah bisa berjalan dengan bebas. Hal ini berbeda dengan Gereja Protestan yang memiliki pemahaman bahwa mimbar itu sangat penting. Pemahaman Gereja Lutheran akan Sola Scriptura, Sola Fide, menghasilkan pemahaman bahwa mimbar tidak bisa di pinggir, tetapi harus di tengah. Artinya adalah bahwa Firmanlah yang menjadi pusat dari sebuah ibadah. Dan dalam Gereja Protestan, oleh karena pemahaman tadi, kotak persembahan tidak bisa di tengah tetapi di pinggir karena kotak persembahan bukan dan tidak boleh menjadi pusat. Walaupun demikian ada juga beberapa Gereja Protestan yang meletakkan mimbar di pinggir dan meletakkan tempat persembahan.
Fokus ibadah dalam Gereja Lutheran adalah Firman Allah dan menganggap bagian Firman Allahlah yang paling penting. Tetapi hal ini tidak bisa dimutlakkan karena di dalam ibadah juga ada bagian laiinya seperti lagu atau Pengakuan Iman Rasuli. Menganggap bahwa hanya kotbah yang penting dalam ibadah, berarti kita memiliki pemahaman yang sempit akan ibadah. Dalam teologia liturgi, pemahaman yang benar adalah memahami bahwa mulai dari kita masuk sampai akhir semua adalah bagian dari ibadah yang penempatannya tidak ada yang lebih tinggi atau rendah.
Keenam, ibadah adalah intisari Gereja. Oleh karena itu dalam ibadah harus menjadi nyata bagaimana Tuhan bergaul dengan umatNya. Itulah sebabnya kita harus menegur mereka yang bermain-main dalam ibadah. Dalam Gereja katolik, ketika umat telah memasuki Gereja, tidak terdengar lagi adanya suara-suara karena pemahaman bahwa mereka berada di dalam hadirat Allah. Inilah yang sering hilang dalam kebanyakan Gereja sekarang ini kini dan hal inilah yang seharusnya kita ubah. Ketujuh, karakter Allah (kekudusan, kemuliaan, kuasa, kasih, dst) harus ditunjukkan dalam unsur-unsur kebaktian (liturgi). Kedelapan, liturgi harus mencerminkan keindahan dan keluarbiasaan pertemuan itu, yaitu sifatnya sebagai persekutuan yang kudus. Hal inilah yang kurang dipahami oleh warga Gereja. Ketika kita beribadah, dengan pemahaman teologia yang benar, kita bisa beribadah dengan kyusuk (hikmat). Kesembilan, liturgi adalah sarana penting untuk menghidupkan dan menguatkan kepercayaan jemaat dan untuk menyinarkan kasih Kristus kepada orang yang belum percaya sehingga mereka tertarik untuk datang kepada Allah. Jika ada orang lain yang melihat kita beribadah begitu kyusuk (hikmat), tenang, sukacita, dan kagum kepada Allah, maka orang lain dapat tertarik untuk datang kepada Allah. Kesepuluh, liturgi adalah cermin yang menerima sinar Injil dan memantulkannya kepada jemaat dan dunia yang terpancar dalam bentuk, rupa, suasana dan warna tata ibadah. Dalam Gereja Protestan ada warna kain penutup imbar yang disesuaikan dengan nama minggu (misalnya ketika Jumat agung, Gereja menggunakan warna hitam). Warna ini adalah gambaran tata ibadah dan merupakan teologia dari sebuah Gereja. Oleh sebab itu jugalah ada beberapa Gereja(Kharismatik, Injili) tidak menggunakan warna-warna ini.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi pola liturgi. Faktor pertama dan paling dominan dan mutlak adalah Alkitab. Hal ini disebabkan karena Alkitab merupakan sarana menentukan ajaran, suasana, sifat dan unsur kebaktian. Kedua adalah ajaran Gereja. Hal ini bersifat mutlak karena berdasarkan Alkitab, dogmatis, pengakuan iman, dan sakramen. Ketiga adalah hukum Gereja. Hukum Gereja ini bersifat mutlak karena merupakan peraturan persekutuan dan tata Gereja dan juga adanya kesatuan dalam persekutuan Gereja-Gereja (misalnya Gereja-Gereja dibawa KWI, PGI, dll). Keempat, sejarah Gereja juga membentuk pola liturgi. Sejarah Gereja berkaitan dengan tanggungjawab historis ajaran dan keterkaitan dengan ‘nenek moyang’ Kristen (tradisi). Kelima, Liturgi juga dipengaruhi oleh panggilan misioner dimana orang senang, tertarik dan mau tinggal untuk menikmati dan mengerti ibadah yang sedang berlangsung. Keenam, liturgi juga dipengaruhi Kebudayaan. Misalnya, orang negro ketika bernyanyi selalu menggerakkan tubuh mereka. Hal ini berbeda dengan orang Belanda dan Jerman yang bernyanyi dengan sikap tenang. Pola Jerman dan Belanda inilah yang terbawa kedalam budaya Batak. Sebenarnya hal ini harus dirubah dari segi budayanya. Ketika kita menyanyikan lagu berirama Batak (khususnya bagi orang Toba), pasti tidak bisa diam dan ingin menari. Inilah Budaya. Oleh sebab itu lagu-lagu seperti Arbab (atau lagu-lagu yang berirama etnik) tidak bisa dinyanyikan dengan gaya Jerman dan Belanda, tetapi dengan irama atau dinamika etnik setempat. Kenapa kita menyanyikan lagu rohani dengan agak kaku seperti orang Barat adalah karena kebanyakan lagu rohani Gereja kita berasal dari Barat.
Ada beberapa proses yang terjadi di dalam budaya, yaitu: 1) Ilkulturasi, yaitu proses membawa sesuatu ke dalam budaya. Inkulturasi liturgi adalah sebuah proses di mana upacara keagamaan pra-Kristen diberi arti Kristen (Chupungco). Ada budaya yang pra Kristen di Batak dan tetap dipakai tetapi isinya dimasukkan Injil. Salahkah di Gereja memakai alat musik Gondang? Tentu tidak! Karena semua telah diarahkan kepada Kristus. Tetapi jika masih mengandung mistis, hal ini harus dihilangkan. 2) Akulturasi, yaitu pertemuan dua kebudayaan di mana terjadi dominasi yang satu terhadap yang lain. Hal inilah yang dibawa oleh Nomensen dan misionaris Eropa ke tanah Batak. Banyak terjadi alkulturasi dimana budaya Batak disingkirkan dari ibadah dan digantikan dengan budaya dari Eropa. Akulturasi liturgi adalah proses di mana unsur budaya yang cocok dengan liturgi Romawi dimasukkan ke dalamnya entah untuk menggantikan atau untuk menjelaskan unsur upacara dan doa ritus Romawi. 3) Akomodasi yaitu tindakan penyesuaian diri (liturgi) dengan budaya di mana ia hadir selama hal itu tidak bertentangan dengan Alkitab, yaitu dunia kekafiran. 4) Possessio yaitu mengambil sebagai milik (kontras dengan akomodasi). Tidak ada kompromi kekristenan dengan kekafiran (untuk mencegah sinkretisme). Budaya yang lama kehilangan asasinya dan nilai yang baru mewujud. Kekristenan mengambil bentuk-bentuk budaya lama dan mengisi serta mengarahkannya ke tujuan yang benar. Proses inilah yang dominan dipakai oleh Kharismatik dan Injili sedangkan Ilkulturasi sering dipakai oleh Katolik. Tetapi sebenarnya semua unsur ini bisa dipakai dengan catatan jika memakai hal yang posistif dan membuang hal yang negatif silahkan pakai inkulturasi. Tetapi jika memang ada kekafiran silahkan memakai possesio. 5) Kontekstualisasi (teologi in loco) yaitu ada penyesuaikan dengan teologi atau budaya setempat. Alkitab dilahirkan dalam konteksnya dan disampaikan atau dibawa ke dalam konteks yang lain yaitu budaya, situasi politik, zaman, sosial ekonomi, cara berfikir, dll, yang berbeda dengan konteks semula. Misalnya Gereja-Gereja Katolik di jawa memakai Blankon dan Batik dan penataan liturginya memakai budaya Jawa. Hal ini tidak salah selama tidak bertentangan dengan Firman Allah. Bentuk Gereja juga termasuk dalam hal ini. Sering kita menemukan Gereja-Gereja Protestan memakai bentuk bangunan seperti di Barat. Seharusnyalah bentuk Gereja kita sama seperti rumah adat di daerah kita. Hal inilah yang banyak dilakukan oleh Katolik dalam membangun Gereja, dimana mereka membangun Gereja sesuai dengan rumah adat dimana mereka membangun.
Hal ketujuh yang mempengaruhi liturgi adalah Etnologi dan Antropologi. Hal ini dilihat sebagai kenyataan sifat bangsa/suku yang memiliki emosi yang berbeda-beda. Kedelapan, dunia Gereja (politik, ekonomi dan sosial). Hal ini sifatnya tidak prinsipil dan menyangkut keadaan insidental, kebebasan beragama, kemiskinan/kemakmuran, mandiri atau subsidi dll. Misalnya di daerah-daerah tertentu dilarang utnuk menyanyikan lagu-lagu rohani dengan suara keras. Sehingga jika acara tidak ada nyanyian.
Mari melihat beberapa contoh liturgi secara teologis.
Liturgi Sinagoge biasanya diawali oleh doa-doa pembukaan (ada 18 doa). Pemahaman teologis bagi mereka, ketika mereka datang menghadap Allah maka harus dinaikkan doa. Kemudian pembacaan gulungan Kitab Taurat. Pembacaan ini bukan hanya satu atau dua ayat. Kemudian masuk ke dalam Nyanyian Mazmur (ini adalah nyanyian rohani pada zaman itu). Kemudia pembacaan gulungan kitab nabi-nabi. Baru masuklah kotbah (midrasy). Kemudian ada pengakuan iman (syema) (Ul 6:4). Kemudian ada Pujian (sanktus) untuk penyucian (Yes 6:3). Barulah diakhiri dengan berkat (Bil 6:24-26).
Ibadah dalam Gereja Purba dimulai dengan Pembacaan Injil-Injil. Setelah itu Pembacaan surat-surat rasuli dan dilanjutkan dengan Pembacaan kitab-kitab nabi. Kemudian masuk ke dalam penjelasan kitab yang dibaca (kotbah) yang dibawakan oleh uskup sambil duduk (catt. Dalam budaya Yahudi ketika kotba, maka guru atau pengkotbah yang duduk dan pendengar berdiri). Setelah kotbah ada ajakan untuk hidup sesuai dengan itu (calling). Kemudian berdoa bersama-sama sambil berdiri. Kemudian dilanjutkan dengan pembagian roti dan anggur. Ingat, dalam Gereja Purba perjamuan kudus dilakukan tiap minggu. Setelah itu ada Doa bebas. Pada saat inilah jika ada yang berdoa berbahasa Roh dipersilahkan (1 Kor 14:27, “Jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi seorang, dan harus ada seorang lain untuk menafsirkannya). Kemudian ada pengaminan. Lalu ada Ekaristi (sakramen). Ibadah ini diakhiri dengan Kolekte (tanpa nyanyian dan kolekte yang dikumpul bukan untuk Gereja tetapi untuk orang miskin).
Mari belajar sebuah teologia Liturgi dari tata ibadah. Liturgi yang akan dipelajari adalah liturgi yang diambil dalam tata Ibadah GKPS model A (Catt. Dalam GKPS, tata ibadah ada lima model [model A, B, C, D, dan E], berbeda dengan HKBP, GKPI, HKI, yang sampai sekarang hanya ada satu).
Inilahlah liturgi dalam ibadah Gereja. Kita harus memahami hal ini agar kita tidak memandang tata acara diGereja sebagai sesuatu yang monoton dan tanpa arti. Memahami hal ini dengan benar membuat kita menikmati setiap ibadah dimana kita hadir berbakti bersama-sama dengan umat Allah. SoliDeo Gloria!
Ketika mengikuti ibadah Gereja, kita akan menemukan yang namanya Liturgi. Pertanyaaannya adalah apa itu Liturgi, mengapa liturgi itu ada dan mengapa harus dilakukan?
Kata ‘liturgi’ berasal dari bahasa Yunani ‘leiturgia’ yang memiliki akar kata ‘leitos’ (umat) dan ‘ergon’ (tugas pelayanan). Jadi liturgi itu adalah tugas pelayanan untuk umat agar umat Allah bisa beribadah dengan baik dan benar kepada Allah yang mereka sembah. Dalam Septuaginta (PL) kata ’liturgi’ berarti tugas imam untuk pelayanan mezbah atau penataan tugas iman dalam bait Allah. Dalam PB diartikan sebagai tugas imam, tugas Imam Besar Kristus, tugas beribadah dll. Kemudian, pada masa Reformasi (abad 16), dipengaruhi oleh Gereja Anglikan dan Ortodoks Yunani, kata liturgi dipakai kepada pemahaman yaitu penataan tata ibadah di dalam Gereja.
Liturgi digunakan menata dan menguraikan pertemuan Tuhan dengan umatNya, yaitu bagaimana pertemuan itu diciptakan berlandaskan pertimbangan semua faktor yang memainkan peranan dalam pemilihan (apakah pemilihan lagu, nats, petugas acara), pembentukan kebaktian, dan penyusunan semua unsurnya supaya olehnya perjanjian Allah dengan umat selalu diperbaharui. Pada poin ini kita bisa membedakan antara Gereja dengan Persekutuan. Persekutuan menggunakan metode yang agak bebas dan mengacu kepada persekutuan antara orang percaya (fellowship) sedangkan dalam Gereja ada kebaktian yang merupakan sebuah tata ibadah yang khusus dengan sebuah pemahaman teologia gerejawi dalam tata ibadah tersebut.
Ada beberapa makna teologis dari liturgi, yaitu:
Pertama, liturgi itu adalah pemberitaan Injil dimana Kristus mendamaikan Allah dengan manusia sehingga menciptakan persekutuan. Artinya, sewaktu orang percaya kepada Kristus dan berdamai dengan Allah, maka ada persekutuan antara manusia dengan Allah. Jadi liturgi membantu menata, membentuk atau mengatur bagaimana persekutuan antara Allah dengan umatNya yang sudah diperdamaikan melalui Kristus.
Kedua, persekutuan tersebut bersifat ganda, yaitu antara Allah dengan manusia (secara personal) dan antara manusia dengan sesama anak-anak Allah. Agar persekutuan ini dapat terjadi dan berjalan dengan harmonis dan menyegarkan maka secara teolis dibutuhkan sebuah liturgi yang benar.
Ketiga, melalui liturgi jemaat bertemu dengan Allah atau yang disebut juga menghadap Tuhan (Ibr.10:19-22) di mana umat memuji Dia, berdoa dan mengakui kepercayaannya serta mendengarkan Allah berbicara. Inilah pandangan awal dari sebuah teologia liturgi dan nantinya, dalam Gereja purba dan Gereja mula-mula, liturgi ini mengalami perkembangan dan terus mengalami perkembangan sampai kepada Gereja masa kini.
Keempat, secara teologis liturgi berfungsi sebagai wajah Injil, yang memperlihatkan kasih Kristus kepada jemaat dan dunia. Jika kita membuat sebuah liturgi maka dalam liturgi ini akan dimunculkan bagaimana kasih Kristus kepada manusia dan dunia ini. Oleh sebab itu liturgi tidak memiliki kandungan ini adalah liturgi yang tidak benar dan tidak Biblis.
Kelima, corak kepercayaan jemaat nampak atau muncul dalam liturgi. Liturgi dalam Gereja-Gereja, apakah Katolik, Karismatik, Lutheran, merupakan pancaran dari iman mereka. Misalnya, ibadah dalam Gereja Kharismatik atau Injili tidak mempersoalkan mimbar. Oleh sebab itu pengkhotbah bisa berjalan dengan bebas. Hal ini berbeda dengan Gereja Protestan yang memiliki pemahaman bahwa mimbar itu sangat penting. Pemahaman Gereja Lutheran akan Sola Scriptura, Sola Fide, menghasilkan pemahaman bahwa mimbar tidak bisa di pinggir, tetapi harus di tengah. Artinya adalah bahwa Firmanlah yang menjadi pusat dari sebuah ibadah. Dan dalam Gereja Protestan, oleh karena pemahaman tadi, kotak persembahan tidak bisa di tengah tetapi di pinggir karena kotak persembahan bukan dan tidak boleh menjadi pusat. Walaupun demikian ada juga beberapa Gereja Protestan yang meletakkan mimbar di pinggir dan meletakkan tempat persembahan.
Fokus ibadah dalam Gereja Lutheran adalah Firman Allah dan menganggap bagian Firman Allahlah yang paling penting. Tetapi hal ini tidak bisa dimutlakkan karena di dalam ibadah juga ada bagian laiinya seperti lagu atau Pengakuan Iman Rasuli. Menganggap bahwa hanya kotbah yang penting dalam ibadah, berarti kita memiliki pemahaman yang sempit akan ibadah. Dalam teologia liturgi, pemahaman yang benar adalah memahami bahwa mulai dari kita masuk sampai akhir semua adalah bagian dari ibadah yang penempatannya tidak ada yang lebih tinggi atau rendah.
Keenam, ibadah adalah intisari Gereja. Oleh karena itu dalam ibadah harus menjadi nyata bagaimana Tuhan bergaul dengan umatNya. Itulah sebabnya kita harus menegur mereka yang bermain-main dalam ibadah. Dalam Gereja katolik, ketika umat telah memasuki Gereja, tidak terdengar lagi adanya suara-suara karena pemahaman bahwa mereka berada di dalam hadirat Allah. Inilah yang sering hilang dalam kebanyakan Gereja sekarang ini kini dan hal inilah yang seharusnya kita ubah. Ketujuh, karakter Allah (kekudusan, kemuliaan, kuasa, kasih, dst) harus ditunjukkan dalam unsur-unsur kebaktian (liturgi). Kedelapan, liturgi harus mencerminkan keindahan dan keluarbiasaan pertemuan itu, yaitu sifatnya sebagai persekutuan yang kudus. Hal inilah yang kurang dipahami oleh warga Gereja. Ketika kita beribadah, dengan pemahaman teologia yang benar, kita bisa beribadah dengan kyusuk (hikmat). Kesembilan, liturgi adalah sarana penting untuk menghidupkan dan menguatkan kepercayaan jemaat dan untuk menyinarkan kasih Kristus kepada orang yang belum percaya sehingga mereka tertarik untuk datang kepada Allah. Jika ada orang lain yang melihat kita beribadah begitu kyusuk (hikmat), tenang, sukacita, dan kagum kepada Allah, maka orang lain dapat tertarik untuk datang kepada Allah. Kesepuluh, liturgi adalah cermin yang menerima sinar Injil dan memantulkannya kepada jemaat dan dunia yang terpancar dalam bentuk, rupa, suasana dan warna tata ibadah. Dalam Gereja Protestan ada warna kain penutup imbar yang disesuaikan dengan nama minggu (misalnya ketika Jumat agung, Gereja menggunakan warna hitam). Warna ini adalah gambaran tata ibadah dan merupakan teologia dari sebuah Gereja. Oleh sebab itu jugalah ada beberapa Gereja(Kharismatik, Injili) tidak menggunakan warna-warna ini.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi pola liturgi. Faktor pertama dan paling dominan dan mutlak adalah Alkitab. Hal ini disebabkan karena Alkitab merupakan sarana menentukan ajaran, suasana, sifat dan unsur kebaktian. Kedua adalah ajaran Gereja. Hal ini bersifat mutlak karena berdasarkan Alkitab, dogmatis, pengakuan iman, dan sakramen. Ketiga adalah hukum Gereja. Hukum Gereja ini bersifat mutlak karena merupakan peraturan persekutuan dan tata Gereja dan juga adanya kesatuan dalam persekutuan Gereja-Gereja (misalnya Gereja-Gereja dibawa KWI, PGI, dll). Keempat, sejarah Gereja juga membentuk pola liturgi. Sejarah Gereja berkaitan dengan tanggungjawab historis ajaran dan keterkaitan dengan ‘nenek moyang’ Kristen (tradisi). Kelima, Liturgi juga dipengaruhi oleh panggilan misioner dimana orang senang, tertarik dan mau tinggal untuk menikmati dan mengerti ibadah yang sedang berlangsung. Keenam, liturgi juga dipengaruhi Kebudayaan. Misalnya, orang negro ketika bernyanyi selalu menggerakkan tubuh mereka. Hal ini berbeda dengan orang Belanda dan Jerman yang bernyanyi dengan sikap tenang. Pola Jerman dan Belanda inilah yang terbawa kedalam budaya Batak. Sebenarnya hal ini harus dirubah dari segi budayanya. Ketika kita menyanyikan lagu berirama Batak (khususnya bagi orang Toba), pasti tidak bisa diam dan ingin menari. Inilah Budaya. Oleh sebab itu lagu-lagu seperti Arbab (atau lagu-lagu yang berirama etnik) tidak bisa dinyanyikan dengan gaya Jerman dan Belanda, tetapi dengan irama atau dinamika etnik setempat. Kenapa kita menyanyikan lagu rohani dengan agak kaku seperti orang Barat adalah karena kebanyakan lagu rohani Gereja kita berasal dari Barat.
Ada beberapa proses yang terjadi di dalam budaya, yaitu: 1) Ilkulturasi, yaitu proses membawa sesuatu ke dalam budaya. Inkulturasi liturgi adalah sebuah proses di mana upacara keagamaan pra-Kristen diberi arti Kristen (Chupungco). Ada budaya yang pra Kristen di Batak dan tetap dipakai tetapi isinya dimasukkan Injil. Salahkah di Gereja memakai alat musik Gondang? Tentu tidak! Karena semua telah diarahkan kepada Kristus. Tetapi jika masih mengandung mistis, hal ini harus dihilangkan. 2) Akulturasi, yaitu pertemuan dua kebudayaan di mana terjadi dominasi yang satu terhadap yang lain. Hal inilah yang dibawa oleh Nomensen dan misionaris Eropa ke tanah Batak. Banyak terjadi alkulturasi dimana budaya Batak disingkirkan dari ibadah dan digantikan dengan budaya dari Eropa. Akulturasi liturgi adalah proses di mana unsur budaya yang cocok dengan liturgi Romawi dimasukkan ke dalamnya entah untuk menggantikan atau untuk menjelaskan unsur upacara dan doa ritus Romawi. 3) Akomodasi yaitu tindakan penyesuaian diri (liturgi) dengan budaya di mana ia hadir selama hal itu tidak bertentangan dengan Alkitab, yaitu dunia kekafiran. 4) Possessio yaitu mengambil sebagai milik (kontras dengan akomodasi). Tidak ada kompromi kekristenan dengan kekafiran (untuk mencegah sinkretisme). Budaya yang lama kehilangan asasinya dan nilai yang baru mewujud. Kekristenan mengambil bentuk-bentuk budaya lama dan mengisi serta mengarahkannya ke tujuan yang benar. Proses inilah yang dominan dipakai oleh Kharismatik dan Injili sedangkan Ilkulturasi sering dipakai oleh Katolik. Tetapi sebenarnya semua unsur ini bisa dipakai dengan catatan jika memakai hal yang posistif dan membuang hal yang negatif silahkan pakai inkulturasi. Tetapi jika memang ada kekafiran silahkan memakai possesio. 5) Kontekstualisasi (teologi in loco) yaitu ada penyesuaikan dengan teologi atau budaya setempat. Alkitab dilahirkan dalam konteksnya dan disampaikan atau dibawa ke dalam konteks yang lain yaitu budaya, situasi politik, zaman, sosial ekonomi, cara berfikir, dll, yang berbeda dengan konteks semula. Misalnya Gereja-Gereja Katolik di jawa memakai Blankon dan Batik dan penataan liturginya memakai budaya Jawa. Hal ini tidak salah selama tidak bertentangan dengan Firman Allah. Bentuk Gereja juga termasuk dalam hal ini. Sering kita menemukan Gereja-Gereja Protestan memakai bentuk bangunan seperti di Barat. Seharusnyalah bentuk Gereja kita sama seperti rumah adat di daerah kita. Hal inilah yang banyak dilakukan oleh Katolik dalam membangun Gereja, dimana mereka membangun Gereja sesuai dengan rumah adat dimana mereka membangun.
Hal ketujuh yang mempengaruhi liturgi adalah Etnologi dan Antropologi. Hal ini dilihat sebagai kenyataan sifat bangsa/suku yang memiliki emosi yang berbeda-beda. Kedelapan, dunia Gereja (politik, ekonomi dan sosial). Hal ini sifatnya tidak prinsipil dan menyangkut keadaan insidental, kebebasan beragama, kemiskinan/kemakmuran, mandiri atau subsidi dll. Misalnya di daerah-daerah tertentu dilarang utnuk menyanyikan lagu-lagu rohani dengan suara keras. Sehingga jika acara tidak ada nyanyian.
Mari melihat beberapa contoh liturgi secara teologis.
Liturgis Sinagoge
Liturgi Ibadah Gereja Purba
Ibadah dalam Gereja Purba dimulai dengan Pembacaan Injil-Injil. Setelah itu Pembacaan surat-surat rasuli dan dilanjutkan dengan Pembacaan kitab-kitab nabi. Kemudian masuk ke dalam penjelasan kitab yang dibaca (kotbah) yang dibawakan oleh uskup sambil duduk (catt. Dalam budaya Yahudi ketika kotba, maka guru atau pengkotbah yang duduk dan pendengar berdiri). Setelah kotbah ada ajakan untuk hidup sesuai dengan itu (calling). Kemudian berdoa bersama-sama sambil berdiri. Kemudian dilanjutkan dengan pembagian roti dan anggur. Ingat, dalam Gereja Purba perjamuan kudus dilakukan tiap minggu. Setelah itu ada Doa bebas. Pada saat inilah jika ada yang berdoa berbahasa Roh dipersilahkan (1 Kor 14:27, “Jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi seorang, dan harus ada seorang lain untuk menafsirkannya). Kemudian ada pengaminan. Lalu ada Ekaristi (sakramen). Ibadah ini diakhiri dengan Kolekte (tanpa nyanyian dan kolekte yang dikumpul bukan untuk Gereja tetapi untuk orang miskin).
Mari belajar sebuah teologia Liturgi dari tata ibadah. Liturgi yang akan dipelajari adalah liturgi yang diambil dalam tata Ibadah GKPS model A (Catt. Dalam GKPS, tata ibadah ada lima model [model A, B, C, D, dan E], berbeda dengan HKBP, GKPI, HKI, yang sampai sekarang hanya ada satu).
- Votum/introitus.Dalam GKPS, begitu masuk ibadah langsung masuk ke dalam Votum-Introitus sedangkan dalam HKBP dimulai dengan nyanyian. Kedua cara ini memiliki pemahaman teologia masing-masing. Jika dalam HKBP atau GKPI, secara teologis maksud dari nyanyian pertama adalah ketika umat datang kepada Allah, maka mereka bersukacita melalui nyanyian yang disampaikan kepada Allah. Lalu Allah hadir dan kemudian bersabda melalui Votum. Dalam model GKPS ada pemahaman bahwa Allah langsung bersabda melalui votum kepada umat yang datang kepadaNya.
- Bernyanyi. Setelah Allah bersabda, muncullah respon dengan nyanyian menandakan sukacita umat. Jadi nyanyian di sini bukan dipilih atau dinyanyikan dengan sembarangan.
- Hukum Tuhan. Setelah nyanyian, maka muncullah Hukum Tuhan. Makna dari hal ini adalah bahwa sebelum masuk ke dalam pengakuan dosa, umat disadarkan akan dosanya melalui pembacaan Taurat.
- Bernyanyi. Setelah itu diresponi dengan nyanyian dan biasanya nyanyian pengakuan dosa atau pertobatan.
- Pengakuan dosa dan janji keampunan. Setelah bernyanyi pengakuan dosa, muncullah pengakuan dosa dan janji keampunan. Dan jemat diundang untuk berdiri. Alasan kita berdiri adalah kita sedang menghadap Allah karena Allah bersabda dan inilah tanda penghormatan kita.
- Bernyanyi. Setelah pengakuan dosa muncullah nyanyian dimana nyanyian disini adalah nyanyian sukacita karena Tuhan telah mengampuni dosa.
- Epistel (nats pengantar kotbah). Epistel adalah pengantar kotbah dan relefan dengan kotbah.
- Bernyanyi. Tanda sukacita akan Firman maka umat Tuhan benyanyi.
- Pengakuan Iman Rasuli.Setelah bernyanyi kita kemudian mengakui iman kita. Setelah kita ditegur akan dosa, bertobat, kita bernyanyi, dan telah diberikan Firman, maka kita muncullah pengakuan iman kepada Allah yang sudah bersabda. Inilah maksudnya Pengakuan Iman Rasuli.
- Bernyanyi. Nyanyian di sini adalah sukacita menyambut sabda Allah.
- Kotbah. Penyampaian Firman Tuhan sesuai dengan teks yang telah ada.
- Bernyanyi. Dalam GKPS, setelah kotbah langsung masuk kedalam pemberian persembahan. Dalam HKBP atau GKPI, setelah kotbah, bernyanyi dulu baru mengumpulkan persembahan.
- Persembahan. Dalam HKBP, kolekte I dan II dilakukan sebelum kotbah dan kolekte III setelah kotbah. Tetapi dalam GKPS kolekte I, II, dan III dilakukan setelah kotbah. Pemahaman teologia dalam GKPS mengatakan bahwa setelah orang diberkati melalui Firman, sudah, diteguhkan, ditegur, dan dikuatkan, maka dinyatakan dengan ucapan syukur. Jadi persembahan dilakukan sebagai respon sukacita kepada Allah yang telah bersabda memberkati umatNya. Dengan pemahaman inilah maka kita tidak boleh mempersembahkan yang bekas atau sisa-sisa tetapi persembahan yang terbaik. Oleh sebab itulah kita harus mempersiapkan persembahan yang terbaik dan dipersiapkan dari rumah.
- Doa persembahan dan berkat. Kemudian menyerahkan persembahan, kemudian dosa persembahan, dan kemudian berkat. Sebelum berkat diberikan, jemaat bersama-sama mengucapkan Doa Bapa Kami. Artinya, seluruh peribadahan dan doa disempurnakan melalui doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Itu sebabnya doa ini ditempatkan di akhir ibadah.
- Seruan umat – amin 3x. Menjelang akhir ibadah, mereka yang tadinya datang dengan pergumulan sekarang sudah dikuatkan, yang tadinya datang dengan stress sekarang mereka dihiburkan, yang tadinya mereka datang banyak persoalan, sekarang mereka diangkatkan, Tuhan memberkati mereka dengan berkata, “Pulanglah dalam damai. Arahkanlah hatimu kepada Allah dan terimalah berkat dari Tuhan.” Ingat, yang memberkati kita bukan pendeta/hamba Tuhan, tetapi Allah. Kuasa dari berkat adalah ungkapan Allah yang memberkati kita. Kemudian barulah muncul seruan jemaat, “Amin…Amin…Amin…!” Apa yang disabdakan Allah mulai dari votum dan Firman yang diterima, doa, pengampunan dosa diaminkan sudah selesai, berkat yang diberikan diaminkan sudah diterima.
Inilahlah liturgi dalam ibadah Gereja. Kita harus memahami hal ini agar kita tidak memandang tata acara diGereja sebagai sesuatu yang monoton dan tanpa arti. Memahami hal ini dengan benar membuat kita menikmati setiap ibadah dimana kita hadir berbakti bersama-sama dengan umat Allah. SoliDeo Gloria!
Subscribe to:
Posts (Atom)