Hari ini kita akan belajar mengenai anugerah Allah. Sesungguhnya anugerah adalah sebuah skandal. Secara alamiah kita tidak suka dengan anugerah. Sewaktu saya masih kecil, saya selalu heran ketika membaca kisah ketika Tuhan Yesus yang disalibkan oleh orang Romawi. Saya tidak bisa menerima kisah ini. Dalam hati, jika saya menjadi Tuhan, saya akan membinasakan semua orang yang menyalibkan saya. Saya tidak tahu pengalaman saudara sewaktu kecil ketika mendengar kisah ini. Ini adalah sebuah potret bahwa kita tidak siap dengan anugerah, atau dunia ini dengan segala sesuatu yag ditawarkannya tidak merespon anugerah dan anugerah dianggap sebuah skandal. Hal ini juga dapat kita rasakan ketika menonton film. Kita akan sangat senang ketika jagoan dalam film itu datang dan lebih senang lagi ketika jagoan tersebut menghajar bandit yang sangat jahat. Dalam hati kita akan berkata, “Ayo pukul terus! Hajar !” Kita tidak familiar dengan anugerah. Kita tidak menerima jika penjahat tersebut, yang sejak awal sangat menjengkelkan, lalu di akhir film tersebut dia memenangkan pertarungan dan film berakhir. Jika kita melihat film seperti ini, kita tidak akan terima. Kita menginginkan keadilan. Kita ingin orang jahat dihukum. Kita ingin orang menerima apa yang pantas dia terima. Kadang-kadang, jika kita ditanya siapakah yang pantas menentukan siapakah yang pantas atau tidak, kita akan mengatakan, ”Sayalah yang pantas!” Kita mengatakan bahwa kita sendirilah yang menentukan apa yang pantas diterima orang sesuai dengan perbuatannya.
Karena itulah kisah tentang anugerah mensubversi, menantang pikiran kita, membukakan kembali kepada kita, bagaimana Allah berelasi bagi dunia khususnya dengan kita. Betapa mengerikan jika Allah berelasi dengan kita dalam prinsip keadilan, bahwa kita harus menerima apa yang pantas kita terima. Apa yang akan terjadi adalah semua manusia binasa.
Mari kita membaca dan melihat kisah dalam Matius 20:1-16.Jika kita membaca bagian ini, kita akan merasakan ada kejanggalan atau ketidakadilan. Tetapi justru kejanggalan inilah maksud cerita ini. Dalam cerita ini kita akan mendapat bahwa tuan ini sangat menjengkelkan. Jika memang tuan ini hendak memberi satu dinar, alangkah baiknya jika dia memberi yang bekerja 12 jam terlebih dahulu, baru memberi kepada mereka yang bekerja satu jam. Jadi yang kerja 12 jam tidak tahu bahwa yang kerja satu jam juga mendapat satu dinar. Tetapi dalam cerita ini, yang pertama diberi adalah yang bekerja satu jam. Tentu saja yang bekerja 12 jam mengharapkan hasil yang lebih dari yang satu jam bekerja. Jika yang satu jam mendapat satu dinar, tentu saja dia yang bekerja 12 jam mendapat lebih dari satu dinar. Ternyata dia mendapat sama. Wajar mereka kecewa. Ini adalah poin dari kisah ini, tentang kasih karunia Tuhan, yang menantang, menggugah, dan melihat bagaimana kita berespon terhadap kisah ini. Apakah kita juga memandang kisah ini tidak adil?
Dunia menolak anugerah, dunia penuh dengan persaingan. Kita tidak memandang kepada orang lain dengan penuh kasih karunia. Kasih karunia itu berarti memberikan kepada orang apa yang tidak pantas ia terima. Dunia penuh dengan sikap-sikap dimana orang mengharapkan agar masing-masing menerima apa yang pantas. Jika kita mengendarai sepeda motor, lalu di sebelah kita ada seorang anak muda yang kebut-kebutan, apakah dalam hati kita akan senang sekali jika dia sampai di rumahnya tanpa kurang satu apapun atau lebih senang jika dia tabrakan, lalu kita akan berkata, ”Syukurin...!” Kita biasanya tidak berespon dalam anugerah. Kita penuh dengan rasa kecurigaan dan kebencian terhadap orang-orang yang berbuat salah. Kejahatan yang ada di dunia menuntut adanya keadilan. Dunia penuh dengan kerinduan dan penantian akan keadilan. Tetapi dunia lupa akan satu kenyataan yang mutlak yang dikatakan oleh Alkitab bahwa jika keadilan diterapkan pada semua orang, binasalah kita semua (Rom 3:23; 6:23). Mari kita lihat hidup kita selama tahun 2007. Ada berapa banyak kejahatan yang kita lakukan, yang berlalu tanpa ada hukuman yang adil? Pasti sangat banyak. Bagaimana jika semua dosa kita, tiap satu persatu mendapatkan hukuman yang setimpal dalam keadilan Allah, siapakah diantara kita yang siap?
Dalam hati kita banyak bersyukur kepada Allah yang tidak menghukum kita akan perbuatan kita selama tahun 2007. Tetapi jangan tetap dalam kesalahan atau kejahatan kita karena kita tidak mendapat hukuman. Inilah skandal anugerah. Karena tidak mendapat hukuman, kita akan mengulangi lagi kejahatan kita. Orang tidak suka anugerah karena orang yang mendapat anugerah cenderung mengulangi perbuatannya. Tetapi jangan juga lupa bahwa orang yang mendapatkan keadilan belum tentu menjadi belajar dari kesalahannya.
Anugerah bukan menyangkal keadilan, melainkan melampau keadilan. Anugerah terasa asing karena keadilan pun susah didapatkan. Oleh karena itu cerita ini menggambarkan apa itu anugerah di mata Tuhan. Perikop ini dibagi secara sederhana. Ayat 1, kita akan melihat mengenai hal Kerajaan Sorga. Kerajaan Sorga memiliki hukum yang berbeda dengan dunia ini. Yesus membawa Kerajaan Sorga dengan prinsip-prinsip yang berbeda, dan kita sebagai warga Kerajaan Sorga memperoleh hukum yang berbeda dan diajak menghidupi cara hukum yang berbeda. Ayat 2-7, mengenai tuan yang mempekerjakan upahannya. Ayat 8-12, mengenai pembagian upah dan sungut-sungut dari orang upahan. Ayat 13-15, mengenai jawaba tuan, dan dilanjutkan dengan kesimpulan dari anugerah.
Mari kita melihat ayat 1 : "Ada pun hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya."
Kerajaan Sorga yang mau dikatakan Tuhan Yesus di sini bukan sama dengan tuan itu, tetapi sama seperti cerita dimana tuan itu memperlakukan upahannya. Kerajaan Sorga di sini berbicara mengenai Kerajaan yang dibawa oleh Tuhan Yesus. Kerajaan Sorga yang hidup dan bertumbuh dengan prinsip-prinsip yang berbeda dengan apa yag ada di dunia. Sebenarnya ada kisah di Yahudi yang mirip dengan kisah ini, di mana dalam kisah tersebut masing-masing pekerja mendapatkan sesuai dengan upahnya. Dalam cerita itu, para pekerja yang bekerja keras (diibaratkan orang Yahudi) mendapat upah yang lebih banyak daripada mereka yang bekerja sedikit (menggambarkan orang kafir). Berbeda sekali dengan kisah dalam Matius ini. Orang yang bekerja keras dan yang tidak bekerja keras mendapatkan upah yang sama. Hal inilah yang membuat kisah ini menjadi unik. Dalam hidup ini, kebanyakan ajaran-ajaran yang ada tidak demikian. Di dalam siaran TV kita bisa melihat bagaimana seorang yang jahat ketika akan mendapat hukuman yang setimpal bahkan ketika dia sudah mati (cth, upacara penguburannya menjadi sulit). Ini adalah tayangan-tayangan yang anti anugerah. Orang-orang ditakut-takuti utuk tidak berbuat dosa. Dan tentu saja hal ini tidak akan berhasil.
Dalam ayat 2-7, kita dapat melihat bagaimana tuan itu mempekerjakan upahannya. Dalam bagian ini ada situasi yang biasa terjadi pada musim panen. Khususnya di Palestina, di mana seorang tuan mempekerjakan banyak orang untuk memanen anggurnya agar tidak kena hujan dan menjadi rusak. Dalam bagian ini digambarkan bahwa pekerja itu ada yang bekerja selama 12 jam, 9 jam, 6 jam, 3 jam, dan ada yang 1 jam.
Dalam ayat 8-12, kita bisa menemukan bagaiman tuan itu membagikan upah kepada pekerjanya. Yang satu jam mendapat satu dinar (upah pekerja satu hari pada masa itu). Tentu saja melihat yang bekerja satu jam mendapat upah satu dinar, tentu yang bekerja di atas satu jam berpikir akan mendapat lebih. Jika kita juga antri dalam pembagian upah itu, kita tentu berharap akan mendapat lebih, karena kita bekerja lebih lama dari yang satu jam. Tetapi yang terjadi adalah sampai pekerja yang bekerja 12 jam pun mendapat upah satu dinar. Pertanyaannya, tidak adilkah tuan mereka karena mereka mendapatkan satu dinar? Menurut kita berapa yang layak mereka terima, dua dinar atau tiga dinar? Jika ada 10 orang pengemis, dan salah satu dari mereka anda ajak untuk makan bersama-sama dengan anda, apakah pengemis yang lain yang anda tidak ajak berhak mengatakan bahwa anda tidak adil. Jika kita berbicara soal keadilan, anda tidak memiliki tuntutan apapun untuk memberikan makan kepada siapapun diantara mereka. Tidak ada diantara mereka yang berhak menuntut anda. Ketika ada seorang yang anda ajak untuk makan bersama, itu adalah kasih karunia. Ini bukan masalah keadilan. Sama dengan kisah di atas. Yang idealnya (adil) seharusnya yang bekerja 12 jam juga mendapat satu dinar (sesuai dengan perjanjian), maka yang satu jam mendapat 1/12 dinar. Tetapi ini bukan masalah keadilan, tetapi sesuatu yang melampau keadilan, yaitu kasih karunia. Dan kasih karunia adalah sebuah skandal karena kita, di dalam hati kita, menginginkan sesuatu yang proporsional.
Apakah kita masih ingat kisah Hosea dan Gomer. Ini adalah sebuah kisah dimana seorang rohaniawan jatuh cinta kepada seorang pelacur. Setelah punya dua anak, Gomer pergi bersama dengan pria lain. Tetapi hal ini tidak bertahan lama dimana dia akhirnya dicampakkan dan terdampar dipasar budak. Suatu ketika, Hosea melewati sebuah pasar dan melihat Gomer diperdagangkan. Dia tidak kegirangan melihat Gomer mendapatkan hukuman yang setimpal. Tetapi ia menebus Gomer dan menjadikan dia isteri. Tidak hanya itu, Hosea tidur dengan Gomer dan melahirkan anak ketiga. Hal ini sangat berarti dimana ketika Hosea tidur dengan Gomer, berarti Hosea menerima dia dengan seutuhnya. Jika anda yang menjadi Gomer, apa yang akan ada lakukan? Sebenarnya adalah kitalah Gomer itu. Kisah ini mau menggambarkan bahwa Allah tetap memberkati bangsa Israel yang berkhianat, sama seperti Gomer mengkhianati Hosea. Ini adalah kasih karunia Tuhan. Saya berdoa, kiranya kita semakin memahami Anugerah Allah dan menyadari bagaimana hidup yang telah menerima anugerah itu. Kita adalah orang-orang yang ’berzinah’ berkali-kali tetapi dirangkul dan diterima oleh Allah sebagai anakNya, sebagai kekasihNya dan mempelaiNya.
Kisah dalam Matius ini ingin mengatakan kepada kita bahwa orang yang digaji itu berbeda, di mana bagi satu pekerja adalah keadilan dan bagi yang lain adalah kasih karunia. Kasih karunia tidak perlu membuat iri. Jangan seperti anak yang hilang dan si sulung yang marah. Tidak ada yang salah dengan si sulung. Dia memperoleh apa yang perlu bagi dirinya. Apa yang diterima oleh si bungsu bukanlah kekadilan, tetapi sesuatu yang melampau keadilan tersebut, yaitu kasih karunia. Dia dipulihkan dan dijadikan anak kembali meskipun dia telah menghianati orangtuanya. Cerita ini menjadi satu perkara yang luar biasa karena kasih karunia Allah yang tidak terbatas.
Ada sebuah kisah mengenai anak yang hilang dealam dunia modern ini adalah kisah nyata yang ada dalam buku ”Keajaiban Kasih Karunia” oleh Philip Yancey.
Kisah ini menggambarkan seorang gadis muda di Traverse City yang membenci orangtuanya karena menganggap orangtuanya kolot, dan selalu membatasi pergaulannya. Setelah pertengkaran yang hebat dengan Ayahnya, dia akhirnya lari dari rumah. Dengan menumpang sebuah truk dia pergi ke Detroit. Apa yang terjadi, dia diperkosa oleh supir truk tersebut dan dijadikan pelacur. Tidak hanya itu, dia juga mulai mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Setelah setahun, dia mulai sakit, dan tiba-tiba saja, ia sudah berada di jalanan tanpa uang di kantungnya. Ia masih melakukan ’pekerjaannya’ beberapakali semalam, tetapi bayarannya kecil dan habis untuk membiayai kecanduannya. Ia tidur di pagar kolam depan pusat pertokoan. Kesehatannya menurun drastis.
Suatu malam ia berbaring tanpa bisa tertidur. Tiba-tiba seluruh kehidupanya tampak beda. Ia tidak lagi merasa wanita hebat. Ia merasa seperti anak kecil, tersesat di kota yang dingin dan menakutkan. Sesuatu muncul di pikirannya, satu gambaran mengenai Traverse City, tempatnya berasal. Ia menangis dan dalam sekejab ia tahu tidak ada yang lebih diinginkan di dunia kecuali pulang.
Tiga sambungan telepon, tiga kali dijawab mesin penjawab. Ia menutup teleponnya tanpa meninggalkan pesan dua kali pertama, tetapi ketiga kalinya ia berkata, ” Ayah, Ibu, ini aku. Aku berpikir mungkin aku akan pulang. Aku akan naik bis ke sana, dan aku akan sampai sekitar tengah malam besok. Kalau Ayah dan Ibu tidak datang, yah.., mungkin aku akan terus naik bis sampai ke Kanada.”
Ia sangat gundah dalam perjalanan. Ia sangat kuatir apakah orang tuanya akan datang. Apakah orangtuanya masih menganggap dia hidup? Ia juga ragu apakah orangtuanya mendengar pesannya karena sedang ke luar kota? Pikirannya bolak-balik antara rasa kuatir dan kata-kata yang disusun untuk menyapa ayahnya. Setelah sampai di terminal ia turun dan berjalan menuju terminal. Tidak tahu mengharapkan apa. Tetapi, tidak ada satu adeganpun yang ia siapkan di pikirannya bisa mempersiapkan apa yang dilihatnya. Di sana ada berdiri sekitar 40 saudara, paman, bibi, dan nenek dengan memegang spanduk bertuliskan, ”Selamat pulang kembali!” Di tengah kerumunan itu muncul ayahnya. Ia memandang perih dengan air mata, dan memulai sapaan yang dihafalkannya. Tetapi ayahnya merangkulnya dan berkata, ”Ssst...! Jangan berkata apapun. Ada jamuan menunggumu di rumah.”
Ini adalah kasih karunia. Jika ada diantara kita yang merasa tidak layak, telah jauh dari apa yang kita tetapkan sebagai standar anak Tuhan, Tuhan akan berkata kepada kita, ”Jangan berkata apapun.” Dia akan merangkul dan menerima kita.
Saya ingin mengulang pertanyaan yang di awal tadi. Tahukah kita bagaimana jika Tuhan memperlakukan kita sesuai dengan yang adil terhadap motivasi, kebaikan, dan usaha-usaha kita? Kita tidak layak mendapatkan apapun. Tetapi kasih karunia Allah mensubversi kebiasaan berpikir kita dan menantang kita untuk meresponi anugerah Tuhan bagi kita. Bagaimana anugerah ini menjadi bagian dari hidup kita dalam pekerjaan. Bagaimana dengan bawahan kita yang tidak layak diperlakukan dengan baik? Bawahan yang menjelek-jelekkan dan menyepelekan kita? Apakah kita akan membalasnya atau kita melihatnya dengan kasih karunia dan memberi kepadanya kesempatan sama seperti Allah yang memberikan kita kesempatan? Kemudian, bagaimana kita mempraktekkan kasih karunia dalam hubungan kita, apakah isteri/suami, pacar, atau teman? Apakah renungan hari ini menantang saudara untung berkata kepada pasangan atau teman saudara, ”Bagimu ada kasih karunia. Cintaku akan tetap sama walaupun aku tidak memperoleh sesuatu yang layak aku terima.” Kita tidak menuntut, tetapi membagi-bagikan kasih karunia seperti yang kita telah alami. Dalam pelayanan, ketika kita melayani dan tidak dihargai. Kerja keras, kesungguhan, dan komitmen kita tidak dihargai. Dalam situasi ini kita akan tergoda untuk menuntut keadilan dan menyatakan, ”Kamu tidak menghargai saya. Bagi saya pelayanan ini hanya pengorbanan. Tidak lebih dari hal itu!” Betapa menggodanya dorongan-dorongan untuk mengatakan hal-hal seperti ini. Tetapi renungan hari ini menantang kita untuk berkata, ”Tidak!” Allah telah memberikan kepada kita kasih karunia. Meskipun dorongan naluriah itu muncul, kita akan mampu berkata, ” Kasih karunia akan aku berikan kepada mereka yang berbuat tidak baik kepadaku.”
Soli Deo Gloria!
No comments:
Post a Comment