Ketika mengikuti ibadah Gereja, kita akan menemukan yang namanya Liturgi. Pertanyaaannya adalah apa itu Liturgi, mengapa liturgi itu ada dan mengapa harus dilakukan?
Kata ‘liturgi’ berasal dari bahasa Yunani ‘leiturgia’ yang memiliki akar kata ‘leitos’ (umat) dan ‘ergon’ (tugas pelayanan). Jadi liturgi itu adalah tugas pelayanan untuk umat agar umat Allah bisa beribadah dengan baik dan benar kepada Allah yang mereka sembah. Dalam Septuaginta (PL) kata ’liturgi’ berarti tugas imam untuk pelayanan mezbah atau penataan tugas iman dalam bait Allah. Dalam PB diartikan sebagai tugas imam, tugas Imam Besar Kristus, tugas beribadah dll. Kemudian, pada masa Reformasi (abad 16), dipengaruhi oleh Gereja Anglikan dan Ortodoks Yunani, kata liturgi dipakai kepada pemahaman yaitu penataan tata ibadah di dalam Gereja.
Liturgi digunakan menata dan menguraikan pertemuan Tuhan dengan umatNya, yaitu bagaimana pertemuan itu diciptakan berlandaskan pertimbangan semua faktor yang memainkan peranan dalam pemilihan (apakah pemilihan lagu, nats, petugas acara), pembentukan kebaktian, dan penyusunan semua unsurnya supaya olehnya perjanjian Allah dengan umat selalu diperbaharui. Pada poin ini kita bisa membedakan antara Gereja dengan Persekutuan. Persekutuan menggunakan metode yang agak bebas dan mengacu kepada persekutuan antara orang percaya (fellowship) sedangkan dalam Gereja ada kebaktian yang merupakan sebuah tata ibadah yang khusus dengan sebuah pemahaman teologia gerejawi dalam tata ibadah tersebut.
Ada beberapa makna teologis dari liturgi, yaitu:
Pertama, liturgi itu adalah pemberitaan Injil dimana Kristus mendamaikan Allah dengan manusia sehingga menciptakan persekutuan. Artinya, sewaktu orang percaya kepada Kristus dan berdamai dengan Allah, maka ada persekutuan antara manusia dengan Allah. Jadi liturgi membantu menata, membentuk atau mengatur bagaimana persekutuan antara Allah dengan umatNya yang sudah diperdamaikan melalui Kristus.
Kedua, persekutuan tersebut bersifat ganda, yaitu antara Allah dengan manusia (secara personal) dan antara manusia dengan sesama anak-anak Allah. Agar persekutuan ini dapat terjadi dan berjalan dengan harmonis dan menyegarkan maka secara teolis dibutuhkan sebuah liturgi yang benar.
Ketiga, melalui liturgi jemaat bertemu dengan Allah atau yang disebut juga menghadap Tuhan (Ibr.10:19-22) di mana umat memuji Dia, berdoa dan mengakui kepercayaannya serta mendengarkan Allah berbicara. Inilah pandangan awal dari sebuah teologia liturgi dan nantinya, dalam Gereja purba dan Gereja mula-mula, liturgi ini mengalami perkembangan dan terus mengalami perkembangan sampai kepada Gereja masa kini.
Keempat, secara teologis liturgi berfungsi sebagai wajah Injil, yang memperlihatkan kasih Kristus kepada jemaat dan dunia. Jika kita membuat sebuah liturgi maka dalam liturgi ini akan dimunculkan bagaimana kasih Kristus kepada manusia dan dunia ini. Oleh sebab itu liturgi tidak memiliki kandungan ini adalah liturgi yang tidak benar dan tidak Biblis.
Kelima, corak kepercayaan jemaat nampak atau muncul dalam liturgi. Liturgi dalam Gereja-Gereja, apakah Katolik, Karismatik, Lutheran, merupakan pancaran dari iman mereka. Misalnya, ibadah dalam Gereja Kharismatik atau Injili tidak mempersoalkan mimbar. Oleh sebab itu pengkhotbah bisa berjalan dengan bebas. Hal ini berbeda dengan Gereja Protestan yang memiliki pemahaman bahwa mimbar itu sangat penting. Pemahaman Gereja Lutheran akan Sola Scriptura, Sola Fide, menghasilkan pemahaman bahwa mimbar tidak bisa di pinggir, tetapi harus di tengah. Artinya adalah bahwa Firmanlah yang menjadi pusat dari sebuah ibadah. Dan dalam Gereja Protestan, oleh karena pemahaman tadi, kotak persembahan tidak bisa di tengah tetapi di pinggir karena kotak persembahan bukan dan tidak boleh menjadi pusat. Walaupun demikian ada juga beberapa Gereja Protestan yang meletakkan mimbar di pinggir dan meletakkan tempat persembahan.
Fokus ibadah dalam Gereja Lutheran adalah Firman Allah dan menganggap bagian Firman Allahlah yang paling penting. Tetapi hal ini tidak bisa dimutlakkan karena di dalam ibadah juga ada bagian laiinya seperti lagu atau Pengakuan Iman Rasuli. Menganggap bahwa hanya kotbah yang penting dalam ibadah, berarti kita memiliki pemahaman yang sempit akan ibadah. Dalam teologia liturgi, pemahaman yang benar adalah memahami bahwa mulai dari kita masuk sampai akhir semua adalah bagian dari ibadah yang penempatannya tidak ada yang lebih tinggi atau rendah.
Keenam, ibadah adalah intisari Gereja. Oleh karena itu dalam ibadah harus menjadi nyata bagaimana Tuhan bergaul dengan umatNya. Itulah sebabnya kita harus menegur mereka yang bermain-main dalam ibadah. Dalam Gereja katolik, ketika umat telah memasuki Gereja, tidak terdengar lagi adanya suara-suara karena pemahaman bahwa mereka berada di dalam hadirat Allah. Inilah yang sering hilang dalam kebanyakan Gereja sekarang ini kini dan hal inilah yang seharusnya kita ubah. Ketujuh, karakter Allah (kekudusan, kemuliaan, kuasa, kasih, dst) harus ditunjukkan dalam unsur-unsur kebaktian (liturgi). Kedelapan, liturgi harus mencerminkan keindahan dan keluarbiasaan pertemuan itu, yaitu sifatnya sebagai persekutuan yang kudus. Hal inilah yang kurang dipahami oleh warga Gereja. Ketika kita beribadah, dengan pemahaman teologia yang benar, kita bisa beribadah dengan kyusuk (hikmat). Kesembilan, liturgi adalah sarana penting untuk menghidupkan dan menguatkan kepercayaan jemaat dan untuk menyinarkan kasih Kristus kepada orang yang belum percaya sehingga mereka tertarik untuk datang kepada Allah. Jika ada orang lain yang melihat kita beribadah begitu kyusuk (hikmat), tenang, sukacita, dan kagum kepada Allah, maka orang lain dapat tertarik untuk datang kepada Allah. Kesepuluh, liturgi adalah cermin yang menerima sinar Injil dan memantulkannya kepada jemaat dan dunia yang terpancar dalam bentuk, rupa, suasana dan warna tata ibadah. Dalam Gereja Protestan ada warna kain penutup imbar yang disesuaikan dengan nama minggu (misalnya ketika Jumat agung, Gereja menggunakan warna hitam). Warna ini adalah gambaran tata ibadah dan merupakan teologia dari sebuah Gereja. Oleh sebab itu jugalah ada beberapa Gereja(Kharismatik, Injili) tidak menggunakan warna-warna ini.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi pola liturgi. Faktor pertama dan paling dominan dan mutlak adalah Alkitab. Hal ini disebabkan karena Alkitab merupakan sarana menentukan ajaran, suasana, sifat dan unsur kebaktian. Kedua adalah ajaran Gereja. Hal ini bersifat mutlak karena berdasarkan Alkitab, dogmatis, pengakuan iman, dan sakramen. Ketiga adalah hukum Gereja. Hukum Gereja ini bersifat mutlak karena merupakan peraturan persekutuan dan tata Gereja dan juga adanya kesatuan dalam persekutuan Gereja-Gereja (misalnya Gereja-Gereja dibawa KWI, PGI, dll). Keempat, sejarah Gereja juga membentuk pola liturgi. Sejarah Gereja berkaitan dengan tanggungjawab historis ajaran dan keterkaitan dengan ‘nenek moyang’ Kristen (tradisi). Kelima, Liturgi juga dipengaruhi oleh panggilan misioner dimana orang senang, tertarik dan mau tinggal untuk menikmati dan mengerti ibadah yang sedang berlangsung. Keenam, liturgi juga dipengaruhi Kebudayaan. Misalnya, orang negro ketika bernyanyi selalu menggerakkan tubuh mereka. Hal ini berbeda dengan orang Belanda dan Jerman yang bernyanyi dengan sikap tenang. Pola Jerman dan Belanda inilah yang terbawa kedalam budaya Batak. Sebenarnya hal ini harus dirubah dari segi budayanya. Ketika kita menyanyikan lagu berirama Batak (khususnya bagi orang Toba), pasti tidak bisa diam dan ingin menari. Inilah Budaya. Oleh sebab itu lagu-lagu seperti Arbab (atau lagu-lagu yang berirama etnik) tidak bisa dinyanyikan dengan gaya Jerman dan Belanda, tetapi dengan irama atau dinamika etnik setempat. Kenapa kita menyanyikan lagu rohani dengan agak kaku seperti orang Barat adalah karena kebanyakan lagu rohani Gereja kita berasal dari Barat.
Ada beberapa proses yang terjadi di dalam budaya, yaitu: 1) Ilkulturasi, yaitu proses membawa sesuatu ke dalam budaya. Inkulturasi liturgi adalah sebuah proses di mana upacara keagamaan pra-Kristen diberi arti Kristen (Chupungco). Ada budaya yang pra Kristen di Batak dan tetap dipakai tetapi isinya dimasukkan Injil. Salahkah di Gereja memakai alat musik Gondang? Tentu tidak! Karena semua telah diarahkan kepada Kristus. Tetapi jika masih mengandung mistis, hal ini harus dihilangkan. 2) Akulturasi, yaitu pertemuan dua kebudayaan di mana terjadi dominasi yang satu terhadap yang lain. Hal inilah yang dibawa oleh Nomensen dan misionaris Eropa ke tanah Batak. Banyak terjadi alkulturasi dimana budaya Batak disingkirkan dari ibadah dan digantikan dengan budaya dari Eropa. Akulturasi liturgi adalah proses di mana unsur budaya yang cocok dengan liturgi Romawi dimasukkan ke dalamnya entah untuk menggantikan atau untuk menjelaskan unsur upacara dan doa ritus Romawi. 3) Akomodasi yaitu tindakan penyesuaian diri (liturgi) dengan budaya di mana ia hadir selama hal itu tidak bertentangan dengan Alkitab, yaitu dunia kekafiran. 4) Possessio yaitu mengambil sebagai milik (kontras dengan akomodasi). Tidak ada kompromi kekristenan dengan kekafiran (untuk mencegah sinkretisme). Budaya yang lama kehilangan asasinya dan nilai yang baru mewujud. Kekristenan mengambil bentuk-bentuk budaya lama dan mengisi serta mengarahkannya ke tujuan yang benar. Proses inilah yang dominan dipakai oleh Kharismatik dan Injili sedangkan Ilkulturasi sering dipakai oleh Katolik. Tetapi sebenarnya semua unsur ini bisa dipakai dengan catatan jika memakai hal yang posistif dan membuang hal yang negatif silahkan pakai inkulturasi. Tetapi jika memang ada kekafiran silahkan memakai possesio. 5) Kontekstualisasi (teologi in loco) yaitu ada penyesuaikan dengan teologi atau budaya setempat. Alkitab dilahirkan dalam konteksnya dan disampaikan atau dibawa ke dalam konteks yang lain yaitu budaya, situasi politik, zaman, sosial ekonomi, cara berfikir, dll, yang berbeda dengan konteks semula. Misalnya Gereja-Gereja Katolik di jawa memakai Blankon dan Batik dan penataan liturginya memakai budaya Jawa. Hal ini tidak salah selama tidak bertentangan dengan Firman Allah. Bentuk Gereja juga termasuk dalam hal ini. Sering kita menemukan Gereja-Gereja Protestan memakai bentuk bangunan seperti di Barat. Seharusnyalah bentuk Gereja kita sama seperti rumah adat di daerah kita. Hal inilah yang banyak dilakukan oleh Katolik dalam membangun Gereja, dimana mereka membangun Gereja sesuai dengan rumah adat dimana mereka membangun.
Hal ketujuh yang mempengaruhi liturgi adalah Etnologi dan Antropologi. Hal ini dilihat sebagai kenyataan sifat bangsa/suku yang memiliki emosi yang berbeda-beda. Kedelapan, dunia Gereja (politik, ekonomi dan sosial). Hal ini sifatnya tidak prinsipil dan menyangkut keadaan insidental, kebebasan beragama, kemiskinan/kemakmuran, mandiri atau subsidi dll. Misalnya di daerah-daerah tertentu dilarang utnuk menyanyikan lagu-lagu rohani dengan suara keras. Sehingga jika acara tidak ada nyanyian.
Mari melihat beberapa contoh liturgi secara teologis.
Liturgis Sinagoge
Liturgi Ibadah Gereja Purba
Ibadah dalam Gereja Purba dimulai dengan Pembacaan Injil-Injil. Setelah itu Pembacaan surat-surat rasuli dan dilanjutkan dengan Pembacaan kitab-kitab nabi. Kemudian masuk ke dalam penjelasan kitab yang dibaca (kotbah) yang dibawakan oleh uskup sambil duduk (catt. Dalam budaya Yahudi ketika kotba, maka guru atau pengkotbah yang duduk dan pendengar berdiri). Setelah kotbah ada ajakan untuk hidup sesuai dengan itu (calling). Kemudian berdoa bersama-sama sambil berdiri. Kemudian dilanjutkan dengan pembagian roti dan anggur. Ingat, dalam Gereja Purba perjamuan kudus dilakukan tiap minggu. Setelah itu ada Doa bebas. Pada saat inilah jika ada yang berdoa berbahasa Roh dipersilahkan (1 Kor 14:27, “Jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi seorang, dan harus ada seorang lain untuk menafsirkannya). Kemudian ada pengaminan. Lalu ada Ekaristi (sakramen). Ibadah ini diakhiri dengan Kolekte (tanpa nyanyian dan kolekte yang dikumpul bukan untuk Gereja tetapi untuk orang miskin).
Mari belajar sebuah teologia Liturgi dari tata ibadah. Liturgi yang akan dipelajari adalah liturgi yang diambil dalam tata Ibadah GKPS model A (Catt. Dalam GKPS, tata ibadah ada lima model [model A, B, C, D, dan E], berbeda dengan HKBP, GKPI, HKI, yang sampai sekarang hanya ada satu).
- Votum/introitus.Dalam GKPS, begitu masuk ibadah langsung masuk ke dalam Votum-Introitus sedangkan dalam HKBP dimulai dengan nyanyian. Kedua cara ini memiliki pemahaman teologia masing-masing. Jika dalam HKBP atau GKPI, secara teologis maksud dari nyanyian pertama adalah ketika umat datang kepada Allah, maka mereka bersukacita melalui nyanyian yang disampaikan kepada Allah. Lalu Allah hadir dan kemudian bersabda melalui Votum. Dalam model GKPS ada pemahaman bahwa Allah langsung bersabda melalui votum kepada umat yang datang kepadaNya.
- Bernyanyi. Setelah Allah bersabda, muncullah respon dengan nyanyian menandakan sukacita umat. Jadi nyanyian di sini bukan dipilih atau dinyanyikan dengan sembarangan.
- Hukum Tuhan. Setelah nyanyian, maka muncullah Hukum Tuhan. Makna dari hal ini adalah bahwa sebelum masuk ke dalam pengakuan dosa, umat disadarkan akan dosanya melalui pembacaan Taurat.
- Bernyanyi. Setelah itu diresponi dengan nyanyian dan biasanya nyanyian pengakuan dosa atau pertobatan.
- Pengakuan dosa dan janji keampunan. Setelah bernyanyi pengakuan dosa, muncullah pengakuan dosa dan janji keampunan. Dan jemat diundang untuk berdiri. Alasan kita berdiri adalah kita sedang menghadap Allah karena Allah bersabda dan inilah tanda penghormatan kita.
- Bernyanyi. Setelah pengakuan dosa muncullah nyanyian dimana nyanyian disini adalah nyanyian sukacita karena Tuhan telah mengampuni dosa.
- Epistel (nats pengantar kotbah). Epistel adalah pengantar kotbah dan relefan dengan kotbah.
- Bernyanyi. Tanda sukacita akan Firman maka umat Tuhan benyanyi.
- Pengakuan Iman Rasuli.Setelah bernyanyi kita kemudian mengakui iman kita. Setelah kita ditegur akan dosa, bertobat, kita bernyanyi, dan telah diberikan Firman, maka kita muncullah pengakuan iman kepada Allah yang sudah bersabda. Inilah maksudnya Pengakuan Iman Rasuli.
- Bernyanyi. Nyanyian di sini adalah sukacita menyambut sabda Allah.
- Kotbah. Penyampaian Firman Tuhan sesuai dengan teks yang telah ada.
- Bernyanyi. Dalam GKPS, setelah kotbah langsung masuk kedalam pemberian persembahan. Dalam HKBP atau GKPI, setelah kotbah, bernyanyi dulu baru mengumpulkan persembahan.
- Persembahan. Dalam HKBP, kolekte I dan II dilakukan sebelum kotbah dan kolekte III setelah kotbah. Tetapi dalam GKPS kolekte I, II, dan III dilakukan setelah kotbah. Pemahaman teologia dalam GKPS mengatakan bahwa setelah orang diberkati melalui Firman, sudah, diteguhkan, ditegur, dan dikuatkan, maka dinyatakan dengan ucapan syukur. Jadi persembahan dilakukan sebagai respon sukacita kepada Allah yang telah bersabda memberkati umatNya. Dengan pemahaman inilah maka kita tidak boleh mempersembahkan yang bekas atau sisa-sisa tetapi persembahan yang terbaik. Oleh sebab itulah kita harus mempersiapkan persembahan yang terbaik dan dipersiapkan dari rumah.
- Doa persembahan dan berkat. Kemudian menyerahkan persembahan, kemudian dosa persembahan, dan kemudian berkat. Sebelum berkat diberikan, jemaat bersama-sama mengucapkan Doa Bapa Kami. Artinya, seluruh peribadahan dan doa disempurnakan melalui doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Itu sebabnya doa ini ditempatkan di akhir ibadah.
- Seruan umat – amin 3x. Menjelang akhir ibadah, mereka yang tadinya datang dengan pergumulan sekarang sudah dikuatkan, yang tadinya datang dengan stress sekarang mereka dihiburkan, yang tadinya mereka datang banyak persoalan, sekarang mereka diangkatkan, Tuhan memberkati mereka dengan berkata, “Pulanglah dalam damai. Arahkanlah hatimu kepada Allah dan terimalah berkat dari Tuhan.” Ingat, yang memberkati kita bukan pendeta/hamba Tuhan, tetapi Allah. Kuasa dari berkat adalah ungkapan Allah yang memberkati kita. Kemudian barulah muncul seruan jemaat, “Amin…Amin…Amin…!” Apa yang disabdakan Allah mulai dari votum dan Firman yang diterima, doa, pengampunan dosa diaminkan sudah selesai, berkat yang diberikan diaminkan sudah diterima.
Inilahlah liturgi dalam ibadah Gereja. Kita harus memahami hal ini agar kita tidak memandang tata acara diGereja sebagai sesuatu yang monoton dan tanpa arti. Memahami hal ini dengan benar membuat kita menikmati setiap ibadah dimana kita hadir berbakti bersama-sama dengan umat Allah. SoliDeo Gloria!
No comments:
Post a Comment