Wednesday, November 2, 2011

[Seri Eksposisi] Mazmur 73

“When Bad Things Happen to Good People”
Aswindo Sitio

Pendahuluan
Banyak mungkin dari kita bertanya, melihat kondisi Indonesia sekarang ini, mengapa  masih banyak koruptor hidup enak? Mereka bahkan melakukan ibadah keagamaan tanpa merasa bersalah. Mengapa para pengusaha yang melakukan kecurangan bisnis sepertinya menikmati segalanya, dan bisa tetap rajin beribadah sesuai keyakinan mereka masing-masing, bahkan terlihat begitu saleh dihadapan orang-orang? Mari kita persempit contohnya. Disekitar kita sendiri, kita melihat ada tetangga kita yang hidupnya jauh dari yang namanya salleh, tetapi hidup penuh dengan kelimpahan. Di kantor, kita mungkin menemukan bahwa ada orang yang suka menjilat, tidak memiliki kemampuan, tetapi mendapat promosi dan jabatan yang lebih tinggi dari kita. Sementara kita, sebagai orang yang memegang prinsip kebenaran, tidak memiliki karir secepat mereka, bahkan cenderung ditekan oleh mereka. Sepadan dengan judul di atas, maka akan muncul sebuah pertanyaan, “Mengapa banyak hal yang baik terjadi pada orang yang jahat?”
Kondisi seperti ini bukan hanya merupakan pergumulan alumni zaman sekarang ini. Tetapi kondisi ini merupakan pergumulan banyak orang-orang kudus dan menjadi sesuatu hal yang menyenangkan orang-orang skeptic dari abad ke abad. Salah satu dari orang kudus ini adalah Asaf, dan pergumulannya dapat kita lihat dengan jelas melalui Mazmur 73 ini. Asaf adalah salah satu pemimpin biduan yang dipilih oleh Daud. Dan Mazmur ini adalah sebuah gambaran dari dinamika kerohanian Asaf. Dan kita akan belajar dari kerohanian Asaf ini.


Pengakuan Iman Asaf (ay 1)
Mari kita melihat ayat 1. Dikatakan di sana, “Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya.”
Ini adalah satu bentuk keyakinan dari Asaf, bahwa Allah itu ada dan dia baik kepada umatnya yang bersih hatinya. Di sini Asaf mendeklarasikan sebuah kebenaran yang imannya temukan dan juga sekaligus sebuah kebenaran yang menimbulkan permasalahan di dalam hatinya. Asaf percaya bahwa Allah itu ada, dan Dia baik, dan Dia berkuasa. Tetapi di sisi lain kenyataan ini merupakan masalah dari pemazmur. Jika Allah itu ada, dan Dia baik bagi orang yang benar, Dia maha kuasa dan memegang semua kendali atas semua ciptaan, mengapa dalam dunia yang Tuhan ciptakan orang jahat kelihatan mendapat sesuatu yang lebih baik dari orang yang benar? Bukankah hal ini kontras dengan kesaksian Asaf dalam ay 1? Bagaimana mungkin Allah yang baik bagi mereka yang tulus hatinya membiarkan orang jahat sukses dan orang benar menderita?
Ini adalah sebuah masalah spiritual yang serius. Dalam menjawab pertanyaan ini, maka orang atheis akan berkata tidak ada Tuhan. Golongan sinis akan berkata bahwa Tuhan memang ada, tetapi mereka menolak bahwa Tuhan itu baik. Menurut mereka kehidupan ini hanya lelucon kejam dari Allah. Orang liberal meyakini bahwa Allah memang baik, tetapi Dia tidak maha kuasa sehingga tidak berkuasa atas penderitaan manusia.
Tetapi, iman orang Kristen adalah iman yang alkitabiah di mana iman ini tidak akan mengijinkan kita untuk menolak salah satu dari semua atribut Allah. Kita tidak hanya meyakini bahwa Allah ada, tetapi juga Dia adalah Allah yang Hebat, yang akan memberi sesuatu yang layak bagi orang benar dan menghukum yang jahat. Jadi, jika Allah memang seperti itu, bagaimana kita menjelaskan masalah penderitaan dari orang-orang benar dan keberhasilan dari orang jahat? Inilah yang menjadi pergumulan Asaf.


Permasalahan Pemazmur (ay 2-3)
Kita melihat dalam ayat 2-3, Pemazmur begitu jujur mengemukakan perasaannya. Kecemasannya adalah hasil dari dua masalah, theologis dan personal. Yang pertama lebih mengarah kepada sebuah fakta yang jelas bahwa berpindahnya Allah dari janjiNya untuk memberkati orang benar dan menghukum orang jahat. Kedua, pergumulan pribadi asap dengan envy sehubungan dengan gaya hidup orang jahat.

1.         Dalam ayat 2-3b kita bisa melihat kekacauan rohani di dalam personal Asaf
Dalam ayat 2-3b dikatakan, “Tetapi aku, sedikit lagi maka kakiku terpeleset, nyaris aku tergelincir. Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual,…”.
Dalam bagian ini kita melihat bagaimana Asaf sangat bergumul sampai-sampai dia hampir kehilangan kepercayaannya dan menyimpang dari jalan yang benar dan kesalehannya. Ingat, Asaf adalah seorang pemimpin biduan yang dipilih Daud untuk melyani di bait Allah. Mengapa bisa demikian? Penyebab dari instabilitas ini adalah envy (ay 3). Jika orang sekaliber Asaf dalam hal kerohanian sangat terguncang karena masalah envy atau iri hati, bagaimana dengan kita.? Apa yang ingin saya katakan adalah, jangan pernah anggap remeh jika kitaa mengalami iri hati di dalam diri kita. Orang benar seharusnya berduka melihat dosa, tetapi Asaf tidak demikian. Ia malahan dipengaruhi oleh ketamakan, bukan dukacita. Asaf tidak bergumul karena banyaknya dosa orang jahat tetapi ia bergumul dan tertekan karena melihat kesuksesan orang jahat. Ketika kita tidak lagi mencintai orang yang kita layani, maka kita tidak akan pernah bisa melakukan pelayanan yang efektif kepada dirinya.
Ini adalah sesuatu yang berbahaya. Mari kita melihat kehidupan kita. Apakah kita seperti Asaf dalam melihat orang jahat yang selalu mendapat apa yang mereka inginkan? Terlalu fokus pada diri sendiri membuat Asaf tidak bisa melihat dengan jelas. Mengapa demikian tidak semua orang jahat itu sukses. Tetapi iri hati telah menutup matanya sehingga ia mengeneralisasikan bahwa semua orang sukses itu jahat. Itulah sebabnya Daud mengatkan di Maz 37:1, “Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang.” Dengan memahami hal ini maka kita akan terhindar dari rasa iri hati melihat kesuksesan orang jahat.
2.         Masalah kedua Asaf adalah kalau ‘aku melihat kemujuran orang-orang fasik.’ (ay 3b)
Kata ‘kemujuran’ dalam bahasa aslinya memiliki makna ‘shalom’. Ini adalah satu bentuk kata yang mengandung arti rohani. Shalom memiliki implikasi yaitu keseluruhan dan haromini, bukan hanya karena tidak ada kesusahan, tetapi digunakan untuk menggambarkan hubungan yang harmonis. Bahkan di dalam PL kata shalom jugha sering dipakai untuk menunjukkan kata damai (band 1 Raj 5:12, , “Dan TUHAN memberikan hikmat kepada Salomo seperti yang dijanjikan-Nya kepadanya; maka damaipun ada antara Hiram dan Salomo, lalu mereka berdua mengadakan perjanjian.”). Bagi orang Israel, shalom meringkaskan dalam satu kata kebaikan atau berkat yang dijanjikan dalam Perjanjian Allah bagi orang Israel. Jadi dapat kita pahami bagaimana bergumulnya dan bingungnya Asaf melihat kemakmuran orang jahat. Dari sudut pandangnya, berkat yang Allah janjikan sedang mengalir keluar dari hidup orang jahat. Sebagaimana yang ia lihat, orang jahat diberkati dan orang benar dihukum. Sepertinya Allah salah memberikan berkatNya. Jadi, tidak heran jika Asaf bergumul dan bertanya-tanya.

Kemakmuran Orang Jahat (4-12)
Ayat 4-12 menggambarkan tiga karakteristik dari orang jahat yang telah menyebabkan kekuaturan yang hebat dalam diri Pemazmur.
1.         Keadaan mereka yang baik (4-5)
“Sebab mereka tidak emnderita sakit, badan mereka kujat dan sehat, mereka tidak menanggung susah dan ditimpa kemalangan seperti orang lain” (ay 4-5 BIS).
Ayat 4-5 menggambarkan keberhasilan, ‘shalom’, dari orang jahat, yang telah disebut dalam ay 3. Definisi dari pemazmur akan shalom keseluruhannya adalah hal-hal materialistis. Digambarkan bahwa orang jahat di sini memiliki tubuh yang indah dan sehat (ay 4). Kemakmuran yang mereka miliki memampukan mereka untuk menjaga tubuh mereka. Secara umum, kesehatan orang jahat ada di atas permasalahan hidup, yang membuat mereka mereka tidak mengalami kesusahan manusia, dan mereka tidak kena tulah seperti orang lain (ay 5). Jadi, orang jahat mengalami pengalaman shalom yang Asaf yakini seharusnya menjadi pengalaman orang benar.
PL berkali-kali menjanjikan keberhasilan/kemakmuran bagi orang saleh (band. Ulangan 28:1-14). Jadi berdasarkan janji yang ada di dalam kitab Ulangan ini, pemazmur berharap bahwa dia adalah salah satu orang yang yang digambarkan dalam ay 4-5, bukan orang jahat. Disini iri hati dari Asaf nyata (band ay 3). Asaf protes dalam dua hal, pertama dalam meresponi penderitaannya dia berkata “Why me, Lord?”. Kedua, dalam meresponi kemakmuran orang jahat dia bertanya, “Why Them?”.
2.         Kejahatan mereka (6-9)
Dalam ayat 6-9 kita melihat bagaimana kejahatan orang jahat yang digambarkan Asaf. Di ayat 4-5 dia stress melihat kesehatan mereka, sekarang dia lebih tertekan lagi melihat bahwa orang-orang kaya ini juga jahat. Digambarkan bahwa mereka tidak menggunakan kekayaannya dalam cara yang benar tetapi menggunakannya untuk mendapat keuntungan bahkan untuk menjadi lebih kaya lagi. Mereka sombong dan bertindak dengan cara kekerasan (ay 6), mereka sibuk dengan rencana-rencana yang jahat (ay 7), bahkan mereka mengejek dan menindas serta menghujat Allah (8-9). Inilah eprgumulan Aswaf. Mengapa orang yang jahatnya seperti ini beroleh shalom  yang dari Tuhan. Sebuah pergumulanm yang bisa jadi menjadi pergumulan kita pada saat sekarang ini. Mereka tidak menggunakan kekayaan mereka untuk perbuatan baik, tetapio melaukan pemerasan ke pada orang lain.
3.         Popularitas mereka (10-11)
Orang kaya in bukan hanya jahat, tetapi juga popular dan terkemuka. Dikatakan dalam aya 10 bahwa banyak orang menikut kepada mereka dan bahkan percaya kepada mereka termasuk umat Tuhan.

Dan dalam ay 12, Asaf meringkaskan keluhannya akan orang jahat, mereka sangat riang dan terus beroleh kemakmuran, bahkan di tengah kejahatan mereka. Jika kita bandingkan dengan ayat 14, kita akan melihat satu kontras yang sangat jelas. Dikatakan dalam ayat 14, “Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hokum setiap pagi.” Orang kaya semakin kaya, tetapi orang benar setiap pagi tersiksa. Ada sebuah pen gakuan yang akhirnya membuat Asaf berkata dalam ayat 13, “Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah.”
Dalam bagian ini kita melihat bagaimana sebuah kesimpulan yang mengarahkan Asaf. Jika Allah tidak memberkati orang benar dan menghukum orang jahat, seperti yang Ia janjikan dalam PL (Ul 27-28), jadi apa baiknya menjadi orang benar? Harga untuk tetap murni sangat tinggi dan upah yang Asaf lihat ada pada orang jahat. Kebenaran sepertinya tidak dihargai tetapi dihukum.
Apakah Asaf melakukannya? Tidak! Mengapa? Ayat 15 berkata, “Seandainya aku berkata: "Aku mau berkata-kata seperti itu," maka sesungguhnya aku telah berkhianat kepada angkatan anak-anakmu.” Apa yang dimaksudkan di sini adalah bahwa pemazmur menyadari jika dia jatuh seperti yang dia utarakan dalam ay 13-14, maka hal itu akan berdampak kepada banyak orang. Ingat, Asaf adealah salah satu pemimpin biduan. Seorang pemimpin rohani tidak hanya bertanggung jawab terhadap terhadap dosanya sendiri, tetapi dia juga akan menguatkan orang lain untuk melangkah di jalan iman mereka.
Bagaimana Asaf mengatasi pergumulannya itu?
Dalam ayat 16-17 kita menemukan sebuah perubahan yang dramatis di mana kita melihat ada perubahan dari ujian iman Asaf kepada kemenangan. Perdebatan dan keraguan yang ada di dalam dirinya (2-15) adalah sebuah usaha dari dirinya untuk mengatasi pergumulannya dengan alasan-alasan semata. Di mana alasan-alasan yang ditemukan adalah alasan-alasan manusia yang hanya akan membawa Asaf pada kesimpulan bahwa kesalehan personal itu tidak menguntungkan dan menyakitkan.
Tetapi seketika dalam ayat 16-17 ada perubahan perspective dan perilaku Asaf. Sebagai pengganti dari protes muncul pujian. Dikatakan dalam ayat 16-17, “Tetapi ketika aku bermaksud untuk mengetahuinya, hal itu menjadi kesulitan di mataku, sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka.”
“Masuk ke dalam tempat kudus Allah”dapat diartikan dengan satu kata yaitu whorship (penyembahan) dan inilah yang merupakan kunci perubahan Asaf.
Perubahan Asaf ini tidaklah secara penampakan, tetapi ke arah perspektif dan panggilannya. Sekarang ia sudah menjadi man of worship. Ketika nama Allah sangat susah disebutkan dalam 14 ayat pertama (kecuali ayat 1), sekarang Asaf berkomunikasi dengan Tuhan dalam penyembahan. Jika dalam 14 ayat pertama, orang jahat yang menjadi objek Asaf, tetapi dalam ayat 15-28, Tuhan menjadi sesuatu yang sentral.
Apa efek ketika Asaf memasuki tempat kudus Tuhan?
1.         Asaf memperoleh perspektif baru akan dirinya sendiri. Awalnya ia menganggap dirinya adalah orang yang layak untuk mendpat kemakmuran, bukan orang jahat. Alasannya adalah karena dia orang yang benar. Sebelum masuk ke dalam tempat kudus Tuhan, Asaf melihat dirinya sebagai orang yang berbeda dari mereka yang ia kategorikan sebagai orang jahat. Tetapi dalam penyembahan Asaf melihat dirinya dan membandingkannya dengan Allah. Akhirnya ia mengakui bahwa ia adalah orang berdosa (21-22). Memahami bahwa diri kita juga adalah orang berdosa akan menyadarkan diri kita bahwa kita tidak lebih suci dari mereka dan hal ini akan membantu kita untuk melayani mereka.
2.         Dia melihat penghukuman yang akan diterima orang jahat.
Jelas sekali bahwa setiap penghukuman tidak akan lepas dari orang jahat. Walaupun sekarang ini mereka kelihatan nyaman dan penuh dengan keberhasilan, tetapi di dalam  kekekalan mereka akan dihukum. Dari sini kita melihat bahwa masalah teologis yang dialami Asaf di ayat-ayat awal terselesaikan.
3.         Memperoleh pelajaran Rohani.
Penderitaan Asaf, walaupun tidak menyenangkan, membawa efek yang bermanfaat untuk membawa ia lebih dekat lagi kepada Tuhan. Sekarang, dari pada bergantung kepada hal-hal materi, dia lebih suka berkat yang terbesar-memiliki Allah dan menikmatinya (23-26)
Janji Allah akan berkat dan hukuman sekarang dilihat dari arah yang berbeda. Inilah pandangan akhiri Asaf. Orang jahat, yang tidak dekat dengan Allah akan dihukum (ayat 27). Tidak masalah bagaimana nyamannya keadaan mereka sekarang, hukuman adalah takdir akhir mereka.
Asaf akhirnya memahami bahwa yang paling utama adalah dekat dengan Allah. Dalam ayat 28 ia berkata, “Tetapi aku, aku suka dekat pada Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan ALLAH, supaya dapat menceritakan segala pekerjaan-Nya.”

Penutup
Banyak para ahli yang mengatakan bahwa Ayub adalah buku tertua dalam Alkitab. Jika hal ini benar kita harus menyadari bahwa satu dari cara Allah pertama untuk berkomunikasi  dengan manusia adalah melalui penderitaan yang dipakai Allah untuk menggenapi tujuannya.
Jadi, kita melihat bahwa kebahagiaan itu bukan diukur dari kekayaan, tidak pernah menderita atau segala bentuk material lainnya. Mazmur 73 mengajar kita bahwa kebahagiaan yang sejati itu dapat kita peroleh jika kita masuk dalam tempat kudus Tuhan, dalam penyembahan, dengan kata lain kita dekat dengan Allah kita.
Solideo Gloria!

No comments: