Juppa M. Haloho
Kenajisan HAM
Dalam satu kelas pendidikan Kewarganegaraan di salah satu PT swasta di Medan terjadi percakapan antara dosen dan mahasiswa.
Dosen : ”Apakah kalian pernah mendengar kata Hak Asasi Manusia?”
Mahasiswa : ”pernah”
Dosen : ”Apa arti Hak Asasi Manusia?”
Mahasiswa : ”Hak yang dimiliki setiap manusia sejak dari lahirnya”
Dosen : ”Jika demikian, apakah kalian memiliki Hak Asasi?”
Mahasiswa : ”Ya”
Dosen : ”Apa saja hak yang kalian miliki sejak lahir?”
Mahasiswa : ”Hak untuk hidup, hak untuk makan, hak untuk minum, hak untuk mendapat kasih sayang orang tua, hak untuk bertempat tinggal, hak untuk berbicara, hak untuk bermain, hak untuk tertawa, dlsb.”
Dosen : ”coba sebutkan pelanggaran HAM di Indonesia?”
Mahasiswa : “ehhh....ehhhh....ehhhhh kematian Munir pak!”
Percakapan antara dosen dan mahasiswa diatas menggambarkan pemahaman mayoritas masyarakat Indonesia atas Hak Asasi Manusia. Masyarakat mengetahui bahwa Hak Asasi Manusia ialah hak yang dimilikinya sejak ia lahir, mengetahui jenis-jenis haknya (walau tidak semua) tetapi sangat sedikit sekali masyarakat Indonesia yang mengetahui pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia bahkan belum banyak masyarakat Indonesia peduli terhadap masalah-masalah HAM.
Hal ini disebabkan karena beberapa faktor; pertama, sejak zaman orde baru Indonesia sangat sedikit atau bahkan tidak pernah berbicara mengenai HAM. Hal ini dilihat melalui banyaknya kasus pelanggaran HAM pada masa itu yang tidak tersentuh oleh hukum. Meskipun sudah dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 1993, tetapi tidak berjalan dengan baik. Kedua, pembudayaan selama orde ini membuat masyarakat menjadi tidak suka dengan pembicaraan mengenai Hak Asasi Manusia. Berapa banyak masyarakat yang mengetahui adanya Komnas Perempuan demi perlindungan Hak Asasi Perempuan karena kerusuhan 1998. Ketiga, ambiguitas kematian Munir, salah seorang pejuang HAM, menjadikan masyarakat sediki menjauhkan diri daripada hal-hal berbicara dengan Hak Asasi Manusia. Keempat, ketidakpercayaan masyarakat akan aparat penegak hukum dan banyaknya kasus HAM yang belum/tidak diselesaikan menjadikan masyarakat Indonesia menjadi tidak berpengahapan akan tegaknya pengakuan Hak Asasi Manusia sehingga tidak mau melaporkan pelanggaran HAM yang mungkin diketahuinya.
Keadaan masyarakat Indonesia seperti ini bukanlah kondisi masyarakat yang dicitakan oleh para pendiri bangsa Indonesia (The Founding Father). Cita mereka akan negara Indonesia ialah perlindungan dan kesejahteraan serta kecerdasan masyarakat Indonesia dengan demikian ikut serta dalam ketertiban dunia berdasarkan kepada Pancasila. Yang terjadi ialah masyarakat Indonesia belum sejahtera, masyarakat Indonesia belum merasakan perlindungan dari pemerintah, masyarakat Indonesia masih mengais-ais kecerdasan. Sehingga sulit rasanya untuk ikut serta dalam lingkup internasional berlandaskan pancasila.
Senang sekali jika PAK-M dalam MBA membahas masalah HAM. Kiranya melalui pembahasan hari ini, akan lahir alumni-alumni yang karena pemahaman akan HAM dapat menegakkan HAM dan membantu masyarakat dalam perlindungan HAM. Masalah HAM ini akan dibahas berdasarkan ciri negara hukum Indonesia dan korelasinya dengan HAM, peraturan HAM yang ada, apa saja hak-hak yang dilindungi oleh peraturan perUUan Indonesia, serta upaya penegakan HAM di Indonesia. Kesemuanya akan dibahas berdasarkan perspektif Kristen.
HAM di Negara Hukum Indonesia
Indonesia: Negara Hukum
Dalam perancangan UUD pada 18 Agustus 1945 para pendiri negara Indonesia dengan tegas menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang berdasar pada hukum dan tidak berdasar pada kekuasaan belaka serta pemerintahan Indonesia berdasarkan sistem konstitusional bukan berdasarkan kekuasaan absolutisme[2]. Hal ini dipertegas dengan mencantumkannya pada pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945 sewaktu amandemen ketiga tahun 2001. hal ini menegaskan keseriusan mereka untuk menjadikan negara Indonesia menjadi negara yang berdasarkan kepada hukum sehingga pemerintahan yang dijalankan tidak berdasarkan pada kesewenangan yang absolut pemerintah. Hukum sebagai pengendali utama. Itulah negara hukum.
Julius Stahl, pakar hukum Eropa kontinental, menyebutkan ada empat ciri negara hukum, yakni: (a) adanya perlindungan HAM; (b) pembagian kekuasaan; (c) pemerintahan berdasarkan undang-undang; (d) adanya peradilan tata usaha negara. Keempat ciri ini dirangkum A.V.Dicey, pakar Hukum Anglo Saxon, menjadi: (a) supremasi hukum; (b) kedudukan yang sama dalam hukum; (c) terjaminnya HAM dalam UU dan/atau keputusan pengadilan. Sebagai negara hukum, Indonesia harus menjamin HAM dalam peraturan perundang-undangan dan/atau keputusan pengadilan.
Jaminan HAM di Indonesia
Secara peraturan dan ide, Indonesia sudah menjamin HAM. Pada awal pembentukan negara Indonesia, pendiri bangsa ini sudah mengakui dengan tegas Hak Asasi Manusia dengan menuliskan “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan..., Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia....” Meskipun dalam batang tubuh konstitusi tersebut tidak diatur secara rinci mengenai hak asasi manusia (hanya secara umum dalam pasal 27-34), Indonesia, diawal kemerdekaannya sudah menjamin HAM.
Jaminan terhadap HAM juga terus berkembang pada Konstitusi RIS 1949 yang banyak dipengaruhi oleh Universal Declaration of Human Rights 1948. Bahkan pada UUDS 1950, jaminan akan HAM sangat luas sekali. Inilah salah satu faktor mengapa banyak ahli mengatakan UUDS 1950 adalah konstitusi terbaik di negara Indonesia. Tapi sangat disayangkan sekali, karena gejolak politik yang terjadi di Indonesia, akhirnya konstitusi negara kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tetapi syukur dalam Amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000, jaminan HAM diperluas dengan menambahkan pasal 28A-28J.
Selain pengakuan dan jaminan dalam konstitusi, terdapat juga beberapa peraturan perundang-udangan yang menunjukkan pengakuan dan jaminan negara Indonesia terhadap HAM seperti:
- Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional HAM
- Ketetapan MPR No. XVII/TAP/MPR/1998 tentang HAM yang kemudian diganti menjadi Ketetapan MPR No. I/TAP/MPR/2003 tentang HAM
- Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
- Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (sebelumnya ditangani oleh Hakim ad-hoc Pengadilan HAM ad-hoc)
- Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM yang Berat
- Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat
Secara kelembagaan, Indonesia menjamin HAM. Hal ini dilihat dengan hadirnya Komisi Nasional HAM, Pengadilan HAM ad-hoc sebelum lahir Pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, izin negara akan berdirinya lembaga-lembaga non pemerintah demi perlindungan HAM seperti: KONTRAS (Komisi Untuk Orang Hilang Dan Tindak Kekerasan), YLBHI (Yayasan Lembaga Hukum Indonesia), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Human Rights Watch, Solidaritas Nusa Bangsa (SNB).
Perlindungan hukum terhadap HAM yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan diselaraskan dengan UDHR 1948 dan dibagi dalam beberapa bagian besar[3]:
a. Hak Hidup
Aman, damai, sehat, sejahtera lahir batin
Lingkungan yang sehat dan bersih
b. Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan
Kehendak bebas dari calon suami dan isti untuk menikah
c. Hak untuk mengembangkan diri
Memperoleh pendidikan
Memperoleh informasi
Menyampaikan pengajaran dan pendidikan
d. Hak memperoleh keadilan
Tanpa diskriminasi
Presumption of innocence
Peradilan yang bebas
Vonis yang berkemanusiaan
e. Hak atas kebebasan pribadi
Perbudakan/perdagangan
Agama
Keyakinan politik
Berserikat
Mengeluarkan pendapat
Status kewarganegaraan
Memilih tempat untuk ditinggali
f. Hak atas rasa aman
Perlindungan politik
Hukuman yang tidak manusiawi (tidak diperbolehkan)
Tidak boleh disiksa, ditawan, dikucilkan, diasingkan, dll, dengan semena-mena
Pengamanan pribadi
g. Hak atas kesejahteraan
Kepemilikan yang berfungsi sosial
Pekerjaan dan upah yang layak
Membentuk serikat pekerja
Bertempat tinggal dan penghidupan yang layak
Jaminan sosial
Perlakuan khusus bagi cacat fisik/mental, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak
Bantuan dari pemerintah terhadap lanjut usia, cacat fisik/mental untuk perawatan dlsb
h. Hak turut serta dalam pemerintahan
Dipilih dan memilih
Menyampaikan pendapat demi keberfungsian pemerintahan yang baik
i. Hak wanita
Ikut serta dalam trias politika
Dipilih dan memilih dalam satu pekerjaan
Pendidikan dan pengajaran di semua jenjang
Berhubungan dengan fungsi reproduksi
Hak dan tanggung jawab yang sama dalam perkawinan
Status kewarganegaraan
Harta bersama jika bercerai
j. Hak anak
Hidup dan bertumbuh
Kewarganegaraan
Perawatan khusus bagi anak yang cacat fisik/mental
Berekspresi berdasarkan usia dan intelektualitasnya
Mengetahui orang tua (kandung/membesarkan)
Tidak boleh dipisahkan jika tidak mau
Jaminan sosial yang layak
Pendidikan dan pengajaran
Bebas dari eksploitasi ekonomi, pelecehan seksual, perdagangan
Bantuan hukum
Tidak boleh dihukum mati/seumur hidup
Pelanggaran HAM di Indonesia
Meskipun Indonesia sebagai negara hukum sudah menjamin HAM melalui peraturan perundang-undangan dan pembentukan lembaga perlindungan hak-hak asasi masyarakat Indonesia tidak serta merta menghilangkan pelanggaran HAM. Di bumi pertiwi ini, tetap saja terjadi pelanggaran HAM. Pelanggaran ini tidak hanya dilakukan oleh sesama penduduk tetapi juga oleh pemerintah kepada masyarakat. Berikut saya akan melampirkan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia berdasarkan pengamatan KONTRAS (Lembaga Non Pemerintah) dan tulisan Susno Duadji pada 2003 (Kepolisian/Pemerintah).
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak tersentuh Hukum[4]:
a. Pembantaian massal (1965-1970), 1.500.000 korban yang pada umumnya anggota PKI atau ormas yang dianggap berafiliasi dengannya seperti SOBSI, BTI, Gerwani, PR, Lekra, dll. Sebagian besar dilakukan di luar proses hukum yang sah.
b. Penembakan misterius (1982-1985), 1.678 korban yang sebagian besar merupakan tokoh kriminal, residivis, atau mantan kriminal. Operasi militer ini bersifat illegal dan dilakukan tanpa identitas institusi yang jelas.
c. Timor Timur pra referendum (1974-1999), ribuan korban yang dimulai dari agresi militer TNI (Operasi Seroja) terhadap pemerintahan Fretilin yang sah di Timor Timur. Sejak itu TimTim selalu menjadi daerah operasi militer rutin yang rawan terhadap tindak kekerasan aparat RI.
d. Kasus Aceh pra Daerah Operasi Militer (1976-1989) ribuan korban yang berawal semenjak dideklarasikannya GAM oleh Hasan Di Tiro, Aceh selalu menjadi daerah operasi militer dengan intensitas kekerasan yang tinggi.
e. Kasus-kasus di Papua (1966-2007) yang memakan ribuan korban. Operasi militer intensif dilakukan oleh TNI untuk menghadapi OPM. Sebagian lagi berkaitan dengan masalah penguasaan sumber daya alam, antara perusahaan tambang internasional, aparat negara, berhadapan dengan penduduk local
f. Kasus dukun santet banyuwangi (1998), puluhan korban – tokoh masyarakat - yang dibunuh secara sadis karena dituduh dukun
g. Kasus Marsinah (1995), 1 orang karena keterlibatan militer dalam perburuhan. Pelaku utama tidak ditangkap, tetapi menjadikan orang lain sebagai kambing hitam.
h. Kasus bulukumba (2003), 2 orang tewas, puluhan orang lainnya ditahan dan luka-luka. Insiden ini terjadi karena keinginan PT London Sumatera untuk melakukan perluasan area perkebunan mereka, namun masyarakat menolak upaya tersebut.
Kasus Pelanggaran HAM yang Macet di Komnas HAM dan Jaksa Agung
- Talangsari Lampung (1989), 803 korban, Represi terhadap sekelompok komunitas Muslim di Lampung Tengah yang dituduh sebagai GPK ekstrim kanan.
- Penembakan mahasiswa Trisakti (1998), 685 korban, Penembakkan aparat terhadap mahasiswa Trisakti yang sedang berdemonstrasi. Merupakan titik tolak peralihan kekuasaan politik dan pemicu kerusuhan social di Jakarta dan kota besar Indonesia lainnya.
- Mei 1998 (1998), 1.308 korban, Kerusuhan social di Jakarta yang menjadi momentum peralihan kekuasaan
- Semanggi I (1998), 127 korban, Represi TNI atas mahasiswa yang menolak Sidang Istimewa MPR
- Semanggi II (1999), 228 korban, Represi TNI atas mahasiswa yang menolak UU Negara dalam Keadaan Bahaya
- Penculikan Aktivis 1998 (1998), 23 orang, Penculikkan dan penghilangan paksa bagi aktivis pro demokrasi oleh TNI
- Wasior (April-Oktober 2001) 117 orang, Masyarakat menuntut ganti rugi atas tanah adat –termasuk kayu-kayunya- yang dikuasai perusahaan penebangan kayu PT Dharma Mukti Persada. Tuntutan masyarakat tidak dipedulikan oleh pihak perusahaan yang di backup oleh anggota brimob.
- Wamena
Sedangkan kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan seperti kasus timor timur pasca referendum, penyerbuan kantor PDI 1996, kasus Tanjung Priok (masalah asas tunggal pancasila), kasus Abepura Papua (diculik secara membabi buta karena penyerbuan kantor polisi abepura), penembakan mahasiswa trisakti, penculikan aktivis 1998, semanggi II, dirasa tidak adil karena tersangka/terdakwa divonis ringan, tidak sampai pelaku utama, pengadilan tidak transparan/eksklusif.
Dalam tulisannya, Praktik-Praktik Pelanggaran HAM di Indonesia, KOMBESPOL. DRS. SUSNO DUAJI, S.H., pada 2003 menuliskan bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi akibat dari sistem yang ada. Demikian beliau menuliskannya:
1. Pendekatan pembangunan yang mengutamakan "Security Approach" dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah. Selama lebih kurang 32 tahun orde baru berkuasa "Security Approach" sebagai kunci menjaga stabilitas dalam rangka menjaga kelangsungan pembangunan demi pertumbuhan ekonomi nasional. Pola pendekatan semacam ini, sangat berpeluang menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah, karena stabilitas ditegakan dengan cara-cara represif oleh pemegang kekuasaan. Beberapa jenis pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi, antara lain;
a. Penangkapan dan penahanan seseorang demi menjaga stabilitas, tanpa berdasarkan hukum.
b. Pengeterapan budaya kekerasan untuk menindak warga masyarakat yang dianggap ekstrim yang dinilai oleh pemerintah mengganggu stabilitas keamanan yang akan membahayakan kelangsungan pembangunan.
c. Pembungkaman kebebasan pers dengan cara pencabutan SIUP, khususnya terhadap pers yang dinilai mengkritisi kebijakan pemerintah, dengan dalih mengganggu stabilitas keamanan.
d. Menimbulkan rasa ketakutan masyarakat luas terhadap pemerintah, karena takut dicurigai sebagai oknum pengganggu stabilitas atau oposan pemerintah (ekstrim), hilangnya rasa aman demikian ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
e. Pembatasan hak berserikat dan berkumpul serta menyatakan pendapat, karena dikhawatirkan akan menjadi oposan terhadap pemerintah.
2. Sentralisasi kekuasaan yang dilakukan oleh orde baru selama lebih kurang 32 tahun, dengan pemusatan kekuasaan pada Pemerintah Pusat nota bene pada figure seorang Presiden, telah mengakibatkan hilangnya kedaulatan rakyat atas negara sebagai akibat dari penguasaan para pemimpin negara terhadap rakyat. Pembalikan teori kedaulatan rakyat ini mengakibatkan timbulnya peluang pelanggaran hak asasi manusia oleh negara dan pemimpin negara dalam bentuk pengekangan yang berakibat mematikan kreativitas warga dan pengekangan hak politik warga selaku pemilik kedaulatan, hal ini dilakukan oleh pemegang kekuasaan dalam rangka melestarikan kekuasaannya.
3. Kualitas pelayanan publik yang masih rendah sebagai akibat belum terwujudnya good governance yang ditandai dengan transparansi di berbagai bidang. Akuntabilitas, penegakan hukum yang berkeadilan dan demokratisasi. Serta belum berubahnya paradigma aparat pelayan publik yang masih memposisikan dirinya sebagai birokrat bukan sebagai pelayan masyarakat, hal ini akan menghasilkan pelayanan publik yang buruk dan cenderung untuk timbulnya pelanggaran hak asasi manusia seperti;
a. Hilang/berkurangnya beberapa hak yang berkaitan dengan kesejahteraan lahir dan batin yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan warganya.
b. Hilang/berkurangnya hak yang berkaitan dengan jaminan, perlindungan, pengakuan hukum dan perlakuan yang adil dan layak.
c. Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
d. Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus bagi anak-anak, orang tua, dan penderita cacat.
e. Hilang/berkurangnya hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
4. Konflik Horizontal dan Konflik Vertikal telah melahirkan berbagai tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia baik oleh sesama kelompok masyarakat, perorangan, maupun oleh aparat, seperti:
a. pembunuhan;
b. penganiayaan;
c. penculikan;
d. pemerkosaan;
e. pengusiran;
f. hilangnya mata pencaharian;
g. hilangnya rasa aman, dll.
5. Pelanggaran terhadap hak asasi kaum perempuan masih sering terjadi, walaupun Perserikatan Bangsa- Bangsa telah mendeklarasikan hak asasi manusia yang pada intinya menegaskan bahwa setiap orang dilahirkan dengan mempunyai hak akan kebebasan dan martabat yang setara tanpa membedakan; ras, warna kulit, keyakinan agama dan politik, bahasa, dan jenis kelamin. Namun faktanya adalah bahwa instrumen tentang hak asasi manusia belum mampu melindungi perempuan terhadap pelanggaran hak asasinya dalam bentuk;
a. Kekerasan berbasis gender bersifat phisik, seksual atau psikologis; penganiayaan, pemerkosaan dan berbagai jenis pelecehan.
b. Diskriminasi dalam lapangan pekerjaan.
c. Diskriminasi dalam sistem pengupahan.
d. Perdagangan wanita.
6. Pelanggaran hak asasi anak. Walaupun Piagam Hak Asasi Manusia telah memuat dengan jelas mengenai pelindungan hak asasi anak namun kenyataannya masih sering terjadi pelanggaran hak asasi anak, yang sering dijumpai adalah;
a. kurangnya perlindungan hukum terhadap anak dari segala bentuk kekerasan phisik dan mental;
b. menelantarkan anak;
c. perlakuan buruk;
d. pelecehan seksual;
e. penganiayaan;
f. mempekerjakan anak di bawah umur.
7. Sebagai akibat dari belum terlaksananya supremasi hukum di Indonesia, maka berakibat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk;
a. perbedaan perlakuan di hadapan hukum, rakyat kecil merasakan bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka, tidak bagi pejabat;
b. menjauhnya rasa keadilan;
c. terjadinya main hakim sendiri sebagai akibat ketidakpercayaan kepada perangkat hukum.
Jika kita membandingkan dengan catatan lembaga-lembaga yang peduli HAM, akan ditemukan banyak sekali pelanggaran HAM di Indonesia. Masalah utama dari perlindungan HAM terletak pada penegakan hukum. Penegakan hukum di Indonesia sangat buruk, secara khusus, aparat penegak hukum. Dari substansi hukum, kondisi seharusnya tidak seperti ini. Strukur dan budaya hukum telah membuat Indonesia menjadi kacau dalam perlindungan HAM. Aparat penegak hukum telah merusak substansi yang ada. Dan sedikit banyaknya, hal ini dipengaruhi oleh budaya hukum yang sudah mengakar dari generasi ke generasi.
Human Rights: Christian Worldview
Asal Hak Asasi Manusia
Meskipun aparat penegak hukum (pemerintah) memegang tanggung jawab besar dalam perlindungan HAM di Indonesia, masyarakat juga memegang peranan penting. Tidak hanya karena kita bagian dari negara hukum, kita patut mengetahui dan melindungi HAM, tetapi juga dikarenakan pemahaman kita yang benar akan manusia dari perspektif Kristiani.
Alkitab menuliskan ”Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kej 1:27,28) Bahkan dalam Kejadian 5: 2 ”laki-laki dan perempuan diciptakannya mereka. Ia memberkati mereka dan memberikan nama ’manusia’ pada merekam, pada waktu mereka diciptakan.”
John Stott menolong kita memahami HAM melalui tiga hal; yakni:
1. Frasa ”Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya” diartikannya bahwa manusia memiliki hubungan dengan Allah. Alasan mengapa kita ingin mengenalNya, mengasihi dan melayaniNya, dan perasaan terus bergantung pada Dia selalu ada pada kita adalah karena kita diciptakanNya segambar dengan Dia dan memiliki hubungan yang tidak bisa dilepaskan. Itulah mengapa, John Stott, menggambarkan bahwa adalah hak manusia untuk menganut agama, bebas berpikir, hak untuk menyiarkan agamanya, mengasihi Allah. Jadi hal ini tidak bisa dibatasi.
2. Frasa ”laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” diartikannya bahwa manusia memiliki hubungan satu dengan yang lainnya. Hal yang sama juga dikatakan Wayne Grudem dalam bukunya ”Bible Doctrine” bahwa menggambarkan hubungan interpersonal antara laki-laki dan perempuan. Karena hal ini, secara sadar atau tidak sadar, manusia memiliki ketertarikan satu sama lain untuk saling berkomunikasi, berkumpul, mengasihi, berkeluarga, dan saling membutuhkan. Sehingga hal-hal tersebut tidak mungkin dicabut dan dibatasi dalam diri manusia.
Selain itu, Wayne Grudem menambahkan bahwa Frasa ini berarti kesedarajatan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Karena keduanya diciptakan Allah dan diberi nama manusia, keduanya sama dan sederajat dihadapan Allah. Keduanya sama-sama mencerminkan identitas Allah dan merepresentasikan Allah. Sehingga seharusnya tidak ada pembedaan antara pria dan wanita sebab Allah juga menghargai wanita (Amsal 31:10;28-30).
3. Frasa ”penuhilah bumi dan taklukannlah itu” diartikannya bahwa manusia memiliki hubungan yang erat dengan bumi. Allah telah memberikannya kepada manusia untuk dieksplorasi dan dikelola manusia. Jadi kepemilikian akan bagian bumi, tanah, air, udara yang jernih seharusnya diperkenankan.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah ini haruslah mencerminkan dan merepresentasikan Allah dalam dunia. Tetapi sayangnya, kegagalan manusia menaati Allah membuat manusia menjadi jatuh dalam dosa dan tidak dapat lagi mencerminkan Allah sebagaimana dia diciptakan oleh Allah. Dosa inilah yang membuat manusia menjadi egois dan hanya mementingkan diri sendiri sehingga melanggar hak-hak manusia lainnya. Dosa ini telah merusak sistem nilai yang diciptakan Allah pada mulanya.
Sikap terhadap HAM: Perspektif Kristen
1. Ingat bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah dan semua manusia memiliki hak-hak yang berasal dari Allah sehingga tidak ada alasan untuk tidak menghormati sesama manusia.
2. Allah menciptkan semua manusia dalam kedudukan yang sederajat dihadapanNya jadi tidak ada perlakuan khusus terhadap diri seseorang karena jenis kelamin, warna kulit, ras, suku, agama, dlsb.
3. Karena Allah mempercayakan bumi kepada manusia bukan berarti tiap manusia bebas memiliki banyak bagian bumi sedangkan yang lain tidak memiliki. Ingat prinsip Kerajaan Allah, yang memiliki banyak harus membagikannya kepada yang tidak memiliki.
4. Jadilah warga negara yang bijak:
a. Kenali Hak Asasi yang Anda miliki
b. Ikut serta dalam membantu pemerintah memberikan perlindungan HAM misalnya Jadi volunteer dalam LSM-LSM HAM/Komnas
c. Jangan menjadi pelanggar HAM
d. Kenali sekeliling kita, adakah pelanggaran HAM terjadi? Baik dirumah, dikantor, di KTB, KK yang dipimpin? Katakan dengan lugas
e. Kenali sekeliling kita, adakah orang-orang yang belum memiliki hak yang sepatutnya dimiliki mereka? Mari membantu mereka untuk mereka memilikinya. Mari memberi pakaian kepada mereka yang telanjang, memberi makan kepada mereka yang kelaparan, memberi minum kepada mereka yang kehausan, memberi penginapan kepada mereka yang tidak berpapan
f. Jangan puas menjadi seorang yang saleh secara spiritual tetapi salehlah dalam aktivitas rohani
g. Mari sama-sama menjadi pengawal dari perlindungan HAM di Indonesia.
No comments:
Post a Comment