[Kotbah ini dibawakan oleh Pdt. Parlindungan Situmorang, S.Th, MA pada ibadah MBA, Jumat 15 Mei 2009]
Hari ini kita akan belajar mengenai kedudukan kotbah atau pemberitaan Firman Tuhan dalam ibadah Gereja. Mari melihat 2 Timotus 3:16-4:2, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya: Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.“
Kotbah atau pemberitaan Firman Tuhan mendapat tempat yang sentral dalam kebaktian-kebaktian orang Kristen. Oleh sebab itu akan ada sesuatau yang kurang jika dalam satu ibadah firman tidak disampaikan. Seperti yang telah kita pelajari dalam topik sebelumnya liturgi membawa umat untuk meyembah Tuhan dalam keteraturan dan salah satu poin yang dilakukan dalam liturgi yang dibangun oleh gereja ini adalah kotbah. Semua bagian yang ada di dalam satu liturgi baik di awal liturgi maupun akhir dari liturgi memiliki kedudukan yang sama. Dan hari ini kita akan fokus pada bagian pemberitaan firman atau kotbah di dalam satu ibadah.
Kotbah sangat perlu dan harus ada dalam satu ibadah. Gereja yang bersekutu pastilah merindukan firman Tuhan diberitakan di tengah-tengah mereka. Sering sekali dalam gereja yang memiliki jemaat yang sedikit (Gereja kecil) yang disampaikan bukanlah firman Tuhan tetapi moment kotbah hanya menjadi percakapan atau sharing, menceritakan/berbagi pengalaman iman dalam hidupnya. Dalam Gereja yang memiliki jemaat yang besar (Gereja besar) kita juga menemukan kecenderungan dimana kotbah menjadi tempat mempublikasikan sesuatu/seseorang secara berlebih-lebihan da tidak ubahnya seperti iklan. Kedua hal ini sama sekali salah. Baik di gereja kecil atau besar firman Tuhan harus diberitakan sesuai dengan kapasitasnya. Oleh karena itu gereja harus menempatkan kotbah sebagai sesuatu yang penting yang memberi kesempatan kepada jemaat mendengar suara Tuhan.
Dalam 2 Timotius 3:16-4:1-2 dikatakan ’beritakanlah Firman’. Ini adalah sebuah perintah . Seorang pengkotbah besar dari Amerika, Jonathan Edward, mengatakan bukan hanya karena PB memerintahkan ”beritakanlah Firman”, tetapi lebih fundamental lagi adalah karena adanya esensi ganda dari ibadah. Di dalam bukunya, ia menyatakan bahwa Allah memuliakan diriNya terhadap ciptaan (termasuk ibadah) dengan cara: pertama, Allah menampakkan diri kepada umatNya di dalam pengertian mereka. Jadi, ketika firman diberitakan, maka sesungguhnya pemberitaan Firman itu sedang membawa intelektual/pikiran jemaat untuk semakin mengenal Tuhannya. Oleh sebab itulah seharusnya setelah mendengarkan kotbah pengetahuan kita akan Tuhan seharusnya bertambah. Oleh karena itu, disisi lain, penghotbah juga harus mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk menyampaikan kebenaran Firman agar jemaat semakin mengerti dan mengenal siapa Tuhannya. Kedua, dengan mengkomunikasikan diriNya kepada hati umat dan di dalam mereka bersukacita dan bergirang serta menikmati manifestasi-manifestasi yang Dia perbuat. Kedua hal ini harus berjalan secara beriringan. Kita semakin diisi oleh firman Tuhan dalam hal pengetahuan dan di sisi lain hati kita harus sungguh-sungguh mengalami kehadiran, kuasa, atau kemuliaan Tuhan.
Itulah sebabnya, kotbah haruslah menjadi waktu terindah dan yang dinantikan dan didambakan oleh jemaat dalam rangkaian ibadah. Tetapi , dalam kenyataannya, sering sekali kita menemukan bahwa banyak orang menganggap kotbah sebagai sesuatu yang membosankan dan ketika kotbah dimulai mereka juga mulai mengantuk. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tidak mempersiapkan diri untuk datang beribadah kepada Tuhan. Jadi jika ada orang berkata ”Aku tidak dapat apa-apa dari Kotbah tadi” atau ”Aku tidak adapat apa-apa dari kebakian di Gereja itu” bisa saja terjadi bukan hanya karena pengkhotbahnya tidak mempersiapkan firman dengan baik tetapi juga karena jemaat tidak mempersiapkan diri mereka dengan baik untuk beribadah. Sesederhana apapun kotbah yang disampaikan dari mimbar dalam satu ibadah, jika kita mempersiapkan diri dengan baik, kita bisa mendapat berkat dari Tuhan. Jadi bukan hanya sekedar penyampaian yang menggunakan bahasa teologia yang tinggi, tetapi kita harus menyadari ada satu substansi yang lebih dalam dari sekedar bahasa yang tinggi-tinggi yaitu dengan menyadari bahwa penghotbah itu sedang menyampaikan firman Tuhan dan melalui dirinya Tuhan sedang berbicara kepada kita sebagai umat. Oleh karena itu kita harus membuka hati dengan sungguh-sungguh untuk mendengarkan Tuhan berbicara. Jadi antara pengertian dan hati jemaat haruslah sama-sama dibangun ketika firman disampaikan.
Seharusnya, ketika firman disampaikan, ada dua hal yang terjadi di dalam diri jemaat. Pertama, jemaat harus bisa melihat Allah dengan mata rohani sepanjang ibadah. Allah hadir dan semua jemaat harus bisa merasakan hal tersebut di dalam hatinya. Jadi bukan hanya sekedar parade pelayan-pelayan Tuhan seperti siapa liturgisnya, siapa yang membawa nyanyian atau siapa pengkotbahnya. Sering sekali kita fokus hanya pada penampilan fisik dari liturgos, yang memimpin pujian atau pengkotbah. Orasi dalam menyampaikan firman Tuhan tentu saja perlu dipersiapkan, misalnya gaya, bahasa tubuh, dll. Tetapi hal ini bukan yang terutama. Yang terutama adalah jemaat harus dibawa sungguh-sungguh untuk merasakan atau menikmati kehadiran Allah. Oleh sebab itulah kotbah menghadirkan Tuhan dalam sati ibadah dan jemaat dapat meilihat kehadiran Allah tersebut melalui mata rohaninya. Kedua, jemaat bisa menikmati kehadiran Allah, menikmati baitNya, menikmati kasihNya. Jika kita bisa melihat dan merasakan kehadiran Tuhan tetapi tidak menikmati kehadiranNya berarti kita sedang menghina Tuhan. Allah dimuliakan bukan hanya dengan kemuliaanNya yang diperlihatkan, tetapi juga dengan dinikmatinya kemuliaanNya. Mazmur 63 menggambarkan bagaimana kerinduan Daud, yang sedang dikejar-kejar pengawal Saul untuk dibunuh, kepada Allah dan kehadiranNya. Ketika kita mendengar kotbah kitranya kita memiliki kerinduan seperti Daud, melihat dan merasakan kehadiran dan menikmati kehadiran Tuhan.
Jadi dalam ibadah yang sejati ada pengertian dengan akal budi dan ada perasaan di dalam hati. Pengertian menjadi fondasi bagi perasaan, jika tidak memiliki perasaan kotbah hanyalah emosionalisme tanpa dasar. Tetapi pengertian yang tidak membangkitkan perasaan akan Allah akan menjadi intelektualisme belaka dan mati.
Kata ”beritakan” dalam perintah ”beritakanlah firman” (2 Tim 4:2) yang dituliskan Paulus memiliki pengertian yang sangat indah. Kata ’beritakan’ itu sama dengan ’memberitakan’ atau ’mengumumkan’ atau ’memproklamasikan’ (keruxon, bhs Yun). Kata ini tidak dipakai untuk kata ’mengajar’ atau ’menjelaskan’ tetapi ini adalah sebuah istilah yang sama dengan mengumumkan pengumuman resmi di tengah khalayak ramai (mis, alun-alun). Jadi, keruxon itu mengumunkan seuatu kepada jemaat. Apa pengumumannya? Pengumumannya adalah kasih karunia Tuhan dengan segmen-segmennya (sesuai dengan pembahasan saat itu), mengumumkan kemuliaan Tuhan atau berita sukacita dari Tuhan kepada seluruh jemaat agar mereka mengerti betapa ajaibnya Sang pemberi pengumuman itu, yaitu Tuhan sendiri. John Piper menyatakan bahwa kotbah selalu dalam kapasitas memberitakan berita sukacita dengan kesukaan yang melimpah. Kotbah adalah sebuah kesukaan yang melimpah dari orang banyak atas kebenaran yang disampaikan pengkhotbah. Kotbah tidak bersifat tanpa perasaan, dingin, atau netral. Kotbah bukanlah penjelasan belaka. Kotbah adalah hasrat yang begitu jelas dan menular terhadap apa yang disampaikan.
Kotbah juga memiliki pengajaran dan dalam 2 Tim 3:16 dikatakan bahwa mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, mendidik orang dalam kebenaran, memperlengkapi orang untuk perbuatan baik, menegor, dan menasihati adalah elemen-elemen yang mencakup satu kotbah. Bukan berarti kotbah bisa dipakai sebagai ajang untuk ’menembaki’ atau menghakimi orang. Menegur orang melalui kotbah boleh jika memang itu yang dikatakan nats yang akan disampaikan, tetapi bukan untuk tujuan ’menembaki’ atau menghakimi orang secara khusus.
Di dalam kotbah Allah hadir dalam kebesaran dan kemulianNya (Yes 6:1-4). Setiap jemaat (termasuk hamba Tuhan) harus menjaga kekudusan pribadinya setiap hari dihadapan Tuhan. Kekudusan manusia yang paling inti adalah kehidupan yang benar-benar jatuh cinta kepada Allah. Kotbah juga bertujuan untuk kemuliaan Tuhan. Muara dari semua pemberitaan firman bukan sekedar menyenangkan hati pendengar atau menaikkan pamor pengkotbah, tetapi memuliakan Allah yang hadir pada saat itu. Kotbah bisa mengubah hidup seseorang yang berdosa menjadi pemberita Injil yang besar yang akhirnya dipakai luar biasa untuk melayani Tuhan sehingga mendatangkan kemuliaan bagi nama Tuhan. James Steward (Skotlandia) menyatakan bahwa tujuan dari kotbah adalah menghidupkan kembali kesadaran dengan kekudusan Allah, memberi makan akal budi dengan kebenaran Allah, memurnikan imajinasi dengan keindahan Allah, membuka hati bagi kasih Allah, menyerahkan kehendak kepada tujuan Allah. Seluruh segmen dari hidup jemaat adalah target dari kotbah. Oleh sebab itu, topik apapun yang bahas baik itu krisis hidup sehari-hari, baik mengenai keluarga, depresi, kemiskinan, apapun itu haruslah dalam kapasitas untuk kemuliaan Allah.
Dasar kotbah adalah salib Kristus. Semua nats yang akan disampaikan dapat dihubungkan kepada Yesus dengan Karya kasihNya yang luar biasa. Salib adalah dasar validitas (jaminan) kotbah (Rom 3:23-26; Gal 6:14). Salah satu bagian dari liturgi adalah mempersekutukan antara jemaat yang berdosa sehingga bisa dibangun jembatan dengan Allah yang maha kudus dalam bentuk persekutuan dengan Allah. Yang menjembatani hal ini adalah salib Yesus. Hal ini juga yang selalu memotivasi pemberita firman untuk selalu rendah hati dan hal ini juga yang membuat jemaat semakin rendah hati.
Karunia untuk berkotbah datang dari Roh Kudus. Kita benar-benar bergantung kepada Roh kudus dalam pelayanan kotbah (2 Kor 1:8-9; 1 Kor 2:3-2). Rasul Paulus mengerti betul hal ini. Dalam kelemahannya dia datang kepada Tuhan. Bergantung sepenuhnya kepada Roh akan membuat kita mempersiapkan diri dengan baik dan menumbuhkan rasa takut dan gentar kepada Allah. Dengan demikian kita akan serius untuk mempersiapkan apa yang akan kita beritakan. Bukan menggunakan bahan yang ’basi’ (atau sudah pernah kita bawakan tanpa ada persiapan yang lebih dlam lagi). Jadi dalam melakukan pelayanan kotbah kita harus bergantung kepada Roh Kudus dan berani untuk menyampaikannya. Dengan pemahaman ini jugalah kita harus memulai untuk ambil bagian dalam pelayanan pemberitaan firman apakah di dalam gereja, persekutuan-persekutuan, ataupun di kantor.
Di dalam mendengar atau menyampaikan firman kita harus APTAT (Admit, Pray, Trust, Act, Thank). Pertama, “Saya mengaku (Admit) kepada Allah bahwa tanpa Dia saya tidak dapat melakukan apa-apa”. Yoh 15:5 berkata, “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” Kedua, “Oleh karena itu Bapa, saya berdoa (Pray) untuk minta pertolongan dengan kerendahan hati”. Mzm 50:15 berkata, “Berserulah kepadaKu pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku.” Ketiga, “Aku percaya (Trust), bukan hanya dalam hal umum dalam kebaikan Allah, tetapi di dalam suatu janji khusus di mana saya dapat menambatkan harapan saya untuk jam tersebut”. Mzm 40:18 berkata, “Aku ini sengsara dan miskin, tetapi Tuhan memperhatikan aku. Engkaulah yang menolong aku, ya Allahku, janganlah berlambat!” Keempat, Saya bertindak (Act) dalam keyakinan bahwa Allah akan menggenapi FirmanNya dalam ketaatan umatNya dan dalam sukacita. Kelima, Saya bersyukur (Thank) pada Allah di akhir khotbah bahwa saya telah ditopang dan bahwa kebenaran FirmanNya dan harga salibNya telah dikotbahkan sampai bagian tertentu, di dalam kuasa RohNya demi kemuliaanNya.
SoliDeo Gloria!
No comments:
Post a Comment