Christianity and World Religions
By: Denni Boy Saragih, M. Div
Pada sore hari ini dan beberapa minggu ke depan, kita akan mempelajari tentang Christian Worldview. Pada pertemuan pertama untuk topik ini, kita akan belajar tentang dasarnya terlebih dahulu agar untuk bagian selanjutnya bisa lebih mudah.
Bila kita bertanya mengenai kepelbagaian agama, kita dapat melihat bahwa ada perbedaan-perbedaan di dalamnya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah perbedaan ini hanya sekedar perbedaan keyakinan atau kepercayaan? Atau hanya sebatas filsafat dan teologi? Atau sebatas perbedaan budaya semata? Atau mungkin ada agama yang hanya cocok dengan orang Asia, ada yang hanya cocok untuk orang Cina dan yang cocok untuk kebudayaan-kebudayaan lain?
Sebenarnya ada perbedaan yang lebih dalam, yaitu perbedaan dari worldview-bagaimana orang memandang dunia ini. Perbedaan-perbedaan yang kita lihat di dunia ini sebenarnya memiliki akar yang lebih dalam dari yang kita bayangkan. Ada hal-hal yang kita lihat begitu sederhana tetapi bagi orang lain begitu kompleks atau sebaliknya. Misalnya, jika kita memberi dengan tangan kanan dan orang yang menerimanya menerima dengan tangan kiri, pastilah kita katakan orang itu tidak sopan. Hal ini tidak berlaku dengan orang bule (barat). Dia biasa memberi dengan tangan kiri. Bagi dirinya hal ini biasa tetapi bagi kita, tidak. Ada perbedaan worldview di sini. Ini adalah contoh yang sederhana. Bila kita ingin melihat lebih dalam lagi kita akan menemukan hal-hal yang lebih serius.
Apa itu worldview? Ada beberapa definisi dari worldview dari pemikir-pemikir Kristen.
- James Sire mendefinisikan worldview itu sebagai suatu set presuposisi dan asumsi yang dipegang mengenai dasar dari keberadaan dunia kita.
Sewaktu orang memandang dunia ini, ada presuposisi yang dia miliki. Ada sesuatu yang membuat sesuatu itu menjadi “make sense” bagi dirinya. Misalnya, pada satu daerah kontak mata itu dianggap menantang tetapi di daerah lain kontak mata dianggap ketertarikan. Sewaktu orang melakukan tindakan yang sama, respon berbeda karena dia memiliki presuposisi dan asumsi yang berbeda dengan orang lain ketika melakukan tindakan tersebut.
- Charles Kraft mendefinisikan worldview sebagai sentral dari sistematisasi dari konsep realitas dimana anggota dari suatu kebudayaan melekatkan dirinya dan darinya menumbuhkan sistem nilai mereka.
Misalnya, ada suku yang bila kita ingin layani terjadi kesulitan. Karena pada daerah dimana ia tinggal ada konsep-konsep dimana anggota dari budaya itu melihat dirinya bahwa beeing a member in that etnis meaning beeing a Moslem. Jadi jika kita ingin melayani mereka, bukan saja kita membawa mereka ke dalam keselamatan, tetapi ‘mencabut’ mereka dari kebudayaan dimana mereka berada. Worldview seperti inilah yang kadang tidak kita pahami ketika berinteraksi dengan mereka.
Contoh lain. Bagi orang Batak semua hewan bisa dimakan, tetapi bagi beberapa agama tertentu, makan adalah bagian dari ibadah sehingga tidak semua bisa dimakan. Ada worldview disini. Bagi kita orang Kristen, agama Kristen adalah agama rohani, bukan fisik dan ritus. Tetapi mereka yang berada pada worldview yang berbeda bisa memahami dengan cara yang berbeda. Ketika mereka memasuki altar, mereka masuk pada tempat yang berbeda. Di sini kita bisa melihat ada sistematisasi dari konsep realita.
Agar kita memahami worldview di tengah-tengah dunia ini, kita harus mengetahui ciri-ciri dari worldview.
Ada 5 ciri dari worldview.
- Suatu sistem ide-ide dan nilai-nilai.
- Suatu set dari asumsi-asumsi
- Suatu model untuk memperjelas realita
- Worldview adalah sesuatu yang dipelajari
- Pola-pola bagi tindakan
Mari kita lihat kelima ciri ini lebih detail.
Suatu sietem ide-ide dan nilai-nilai
Worldview berisi framework bersama dari ide-ide yang dimiliki suatu masyarakat mengenai bagaimana mereka memahami realita. Dalam setiap budaya (ekspresi dari kemanusiaan kita) ada sebuah sistem yang mungkin sudah kita sepakati bersama dan tidak dijelaskan. Worldview dan Budaya itu seperti orang yang sedang bermain catur. Ketika orang yang tidak tahu main catur melihat dua orang bermain catur, dia akan bingung. Kenapa ‘yang ini’ langkahnya begini dan kenapa ‘yang itu’ langkahnya begitu. Dia tidak menyadari bahwa dibalik semua itu (permainan catur) ada peraturan yang harus diikuti (rule of game). Permainan catur tadi adalah budaya dan rule of game itulah yang disebut worldview. Contoh lain, ibarat pohon dimana ada daun yang sangat lebat. Tentu kita sadar bahwa pohon itu tidak terdiri dari daun saja, tetapi pohon itu berbentuk (bulat, lonjong, dll) bukan karena daunnya saling menumpuk. Ada batang pohon yang mendasari dan ranting-ranting dimana daun-daun itu lengket sehingga menghasilkan bentuk sesuatu sesuai dengan ranting. Daun-daun inilah yang disebut dengan kebudayaan sementara batang dan ranting-rantingnya adalah worldview. Oleh karena itulah worldview berbeda dengan filsafat. Filsafat itu untuk kaum intelek sedangkan worldview untuk semua orang. Semua manusia harus memiliki worldview dimanapun mereka berada. Worldview mempengaruhi banyak bidang seperti pendidikan, health care, legal institutions, environmental concern, art, dll.
Misalnya untuk bidang education.
Orang Barat punya budaya bahwa curang ketika ujian adalah hal yang sangat memalukan. Ada worldview bahwa pendidikan identik dengan ilmu pengetahuan dan keterandalan. Ada pemikiran bahwa pendidikan adalah untuk membuat orang menjadi pintar. Tetapi orang Indonesia tidak demikian. Pendidikan bagi orang Indonesia adalah supaya orang menjadi kaya, sehingga curang ataupun tidak, yang penting adalah sarjana dan dapat kerja yang bagus. Itulah sebabnya ketika berdebat tentang kejujuran dalam pendidikan, terjadi benturan. Hal ini terjadi karena ada perbedaan Christian worldview dengan Indonesian worldview.
(Mungkin kita sebagai orang Kristen pun menolak untuk berbuat curang karena hal itu adalah dosa bukan dengan worldview orang dari dunia barat)
Suatu set dari asumsi-asumsi
Ada asumsi-asumsi yang berkumpul bersama yang membedakan cara memandang yang satu dengan yang lain. Misalnya, ada asumsi saya menjadi pendeta ada hubungannya dengan cara berpakaian, tetapi bagi orang Singapura tidak ada hubungan pendeta dengan cara berpakaian. Ide dan nilai yang dianut sebuah worldview selalu jelas dan logis bagi suatu kebudayaan tertentu. Budaya itu adalah bagaimana suatu masyarakat dilihat oleh anthropologist. Worldview adalah bagaimana segala sesuatu dilihat oleh masyarakat. Bagaimana kita melihat diri kita dalam hubungannya dengan yang lain.
Suatu model untuk memperjelas realita
Worldview memberikan susunan dan prediktibilitas dari pengalaman sehari-hari. Misalnya, bila kita melakukan ‘ini’ dia akan marah, bila kita melakukan ‘itu’ dia akan senang. Kenapa kita tahu dia akan marah/senang adalah karena ada worldview yang kita berbagi dengan dia. Kita berada di dalam satu dunia dimana dalam dunia tempat kita berada dikurung oleh peraturan (rule of game) yang orang dari ‘dunia lain’ tidak dapat memahaminya.
Dalam hidup kita ada yang dinamakan External World (EW) (dunia di luar sana). EW ini akan kita responi dengan Mental World (MW). Jadi kita punya ‘peta’ dalam otak kita. Peta ini akan kita gunakan untuk melihat dan merespon dunia di luar sana. Dan dalam peta kita ini ada jaring sensori (Sensory Grid) dan jaring perhatian (Attention Grid) yang membatasinya sebelum masuk dalam MW kita. Antara EW dan MW belum tentu semua sama. Akan ada perbedaaan antara MW saya dan MW saudara akan miliki ketika kita melihat subjek yang sama. Mental World inilah yang disebut dengan Worldview.
Worldview adalah sesuatu yang dipelajari
Worldview itu dipelajari tanpa sadar oleh setiap orang dalam satu kebudayaan dimana dia tumbuh. Dia menjadi seperti kacamata berwarna yang dipakai untuk melihat segala sesuatu. Misalnya, orang Barat merasa lebih ‘mantap’ ketika mereka memakai pisau dan garpu ketika makan tetapi bagi orang Cina memakai sumpit itulah yang lebih mantap. Jadi ada semacam etnosentrisme disini dan cara kita melihat. Karena worldview inilah orang merasa bahwa orang yang satu etnis dengan dia adalah orang yang paling cocok daripada mereka yang berbeda etnis. Hal ini terjadi karena adanya different worldview yang kita miliki. Oleh karena itulah kita dipenjarakan oleh gambar yang kita buat dalam pikiran kita masing-masing.
Pola-pola bagi tindakan
Setiap orang punya komitmen yang dalam terhadap worldview dan budaya dimana mereka tumbuh. Setiap informasi baru akan disaring oleh worldview yang dimiliki. Orang tidak akan merubah worldview mereka sampai terbukti secara total bahwa worldview yang mereka miliki tidak berguna. Worldview itu sangat kuat sekali, berurat dan berakar. Sekarang kita mulai dari kesadaran dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan worldview. Globalisasi adalah worldview clashes.
Misalnya, kalau di worldview modern, anak-anak pada umur tertentu harus masuk SD, kemudian SMP, kemudian SMA, dan seterusnya. Tanpa dijelaskan lagi kita sudah tahu kenapa masuk SD. Hal ini adalah karena sudah menjadi pola satu tindakan kita.
Mari kita lihat Kis 13:15-43 (fokuskan pada ayat 16-20). Pada bagian ini kita melihat bagaimana Paulus mencoba mengkomunikasikan Injil dengan mengutip kisah-kisah Perjanjian Lama dengan mengutip ceritera-ceritera yang (mungkin) familiar dengan orang Yahudi di Antiokhia yang mendengar apa yang dia katakan. Mari bandingkan bagian ini dengan bagian lain pada Kis 14:15-17. Pada bagian ini Paulus berhadapan dengan orang-orang Pagan (orang yang tidak mengenal Tuhan). Oleh karena itu Paulus tidak berbicara tentang PL, tetapi bagaimana Allah sebagai pencipta alam semesta. Satu worldview yang berbeda dimana dia menghadapi dengan cara yang berbeda. Mari kita lihat beberapa perbedaan bagaiman Paulus memberitakan Injil ketika di Antiokhia dan di Listra.
Kita melihat bagaimana Paulus memiliki kualitas yang harus dimiliki orang Kristen, yaitu belajar untuk berempati terhadap different worldview di sekitar kita. Hal ini pastilah menuntut tingkat kedewasaan yang berbeda. Tapi kita harus yakin bahwa sebagai orang intelektual yang telah dibina lebih kurang lima tahun, kita siap untuk melakukan tugas seperti ini. Untuk memandang dunia dengan cara yang berbeda, untuk melayani mereka dengan sikap dan cara yang lebih dewasa dan bisa berempati memasuki ‘dunia’ yang berbeda.
Bagaimana saudara dapat berempati dengan orang-orang seperti ini :
· Orang Inuit yang menghanyutkan bayi perempuan yang baru lahir supaya mati dan meninggalkan orang jempo dikemah dan pindak ke tempat lain sehingga orang jompo itu meninggal.
Bagaimana saudara memahaminya? Apakah mereka kejam atau sadis? Mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu salah. Tetapi mereka harus melakukannya agar mereka bisa terus hidup. Mereka adalah bangsa pemburu. Jika perempuan dan orang jompo banyak akan menyebabkan jumlah mereka tidak proporsional dan kelanagsungan hidup mereka bisa terancam. Perempuan dan orang jompo dianggap ‘merugikan’. Kita tidak membenarkan mereka. Namun, sekarang kita bisa melihat masalah dalam kacamata yang berbeda.
· Seni Afrika
Dalam seni Afrika, perempuan selalu digambarkan memiliki payudara yang besar dan laki-laki digambarkan memiliki penis yang besar. Kita harus paham kenapa hal ini terjadi. Orang Afrika hidup dalam suatu tempat dimana kesuburan itu sangat penting. Oleh karena itu, payudara/penis yang besar adalah simbol kesuburan.
Orang Hindu yang biasa meditasi dalam kondisi telanjang, ditutupi abu putih, rambut gumpal, di depan belulang. Kenapa dia melakukan hal ini? Yang dilakukannya bukanlah praktik perdukunan. Dia hanya ingin menunjukkan pada semua orang bahwa semua realita ini adalah maya. Mereka melakukan moksa (lepas dari ikatan-ikatan duniawi). Hal ini adalah jalan kelepasan bagi mereka.
Kita harus menjawab worldview yang berbeda dengan masuk ke dalamnya dengan sikap yang berempati. Mencoba mengasihi mereka di tempat dimana mereka berada, bukan mengasihi mereka ditempat dimana kita berada. The Love of Christ is Incarnational Love. Kasih yang berinkarnasi dan menjadi daging bukan dari surga. Yesus bisa saja berbicara melalui bintang-bintang. Kita bisa mendengar tetapi tidak dapat memahaminya. Sewaktu Dia ingin mengasihi kita, Dia turun ke dunia. Dia lahir seperti kita, besar seperti kita dan Dia tersalib dalam kematian yang menyakitkan yang pernah dialami manusia. Supaya Dia betul-betul bisa mengungkapkan kepada kita bahwa Dia sangat mengasihi kita.
Seringkali kita memiliki prasangka-prasangka atau bias yang sesungguhnya terjadi karena kita tidak mampu memahami worldview dimana kita berada dan empati kepada worldview dimana orang berada sehingga kita gagal mengkomunikasikan kasih Allah pada orang di sekeliling kita. Jika kita ingin mengasihi sekeliling kita, kita harus masuk ke dalam worldview mereka dan mengasihi mereka dengan cara yang mereka terima. In the language of love that they can realy understand it very well.
Soli Deo Gloria!
No comments:
Post a Comment