Tuesday, November 1, 2011

Workplace 2: Profesionality & Integrity

Desmiyanti Tampubolon, STP

Profesional dalam kamus memiliki arti ‘ahli’ atau ‘tenaga ahli’. Jadi profesi adalah pekerjaan atau jabatan yang dipegang oleh seseorang, artinya suatu pekerjaan atau jabatan tidak dapat dipegang oleh sembarangan orang tetapi diperlukan suatu persiapan melalui pendidikan dan pelatihan khusus untuk itu. Professional adalah orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan pekerjaan sesuai dengan profesi. Penampilan professional ini telah mendapat pengakuan baik secara formal maupun non formal. Karena itu untuk beberapa pfofesi kita bisa ketahui dari pakaian yang digunakannya. Misalnya guru professional adalah guru yang telah mendapatkan pengakuan berdasarkan ketentuan yang berlaku baik dalam kaitan dengan jabatan atau latar belakang pendidikan formal. Dan guru professional dinyatakan dalam bentuk surat keputusan, ijazah, akta, maupun sertifikasi.

Sedangkan integritas menurut kamus didefinisikan sebagai ‘menyeluruh’, ‘lengkap’, ‘segalanya’. Jadi bisa dikatakan bahwa integritas itu adalah utuh, lengkap, sempurna, tidak ada yang kurang. Dalam Perjanjian Lama, kata yang dipakai untuk integritas adalah ‘shalom’ yang berarti keseluruhan kehidupan yang bersifat utuh, konsisten, atau selaras (Kej 17:1-2), yaitu hidup yang tidak bercela [shalom]). Sedangkan dari segi sifatnya, integritas itu adalah lurus, jujur, dan tulus. Jadi bisa juga dikatakan bahwa integritas itu adalah ketaatan secara keagamaan kepada kode moral, nilai dan kelakuan, aksi yang dapat dipercaya, dan komitmen yang bertanggungjawab. Jadi bukan sekedar bicara saja tanpa ada aksi. Tidak ada orang yang memiliki integritas yang tinggi atau rendah, yang ada hanyalah orang yang memiliki integritas dan yang tidak integritas.

Kita akan belajar dari dua tokoh alkitab. Yang pertama kita akan belajar dari Daniel (Dan 1:1-3; 8-9; 17, 20; Dan 6:1-6). Kisah hidup Daniel adalah kisah hidup yang sangat menarik. Sejak awal Daniel, dkk, sudah menunjukkan kualitas iman dengan mengambil komitmen tidak mau menajiskan diri dengan menu santapan raja. Menu santapan raja adalah makanan yang sudah dipersembahkan kepada berhala, oleh sebab itulah Daniel menolak untuk memakannya dan memilih untuk memakan sayuran. Pada pasal 6 kita melihat Daniel diangkat menjadi kepala atas tiga menteri dan para saingannya membujuk raja agar membangun patung dan dalam 30 hari, tidak ada yang boleh memohonkan sesuatu kepada dewa atau manusia kecuali kepada Raja. Raja menyetujui usulan ini dan mengeluarkan surat perintah (Dan 6:8-10). Tetapi Daniel berketetapan hati untuk tidak mau tunduk pada peraturan ini dan tetap berlutut berdoa kepada Allah tiga kali sehari walau ada ancaman dilempar ke gua singa. Yang menarik sekali dari Daniel adalah bahwa musuhnya menemukan bahwa satu-satunya kelemahan Daniel adalah dalam hal ibadahnya kepada Tuhan.

Raja sendiri tahu bahwa Daniel mempunya roh yang luar biasa (Dan 6:4). Disamping kualitas iman, Daniel juga menunjukkan kualitas ilmunya. Secara pengetahuan Daniel, dkk, memiliki banyak pengetahuan, mempunyai berbagai macam hikmat dan ilmu, kepandaian tentang berbagai tulisan dan hikmat, bahkan Daniel mempunyai pengertian tentang berbagai penglihatan dan mimpi. Dengan kata lain, kepintaran mereka ada di atas rata-rata. Kepintaran yang akhirnya membuat mereka sangat dibutuhkan. Bagaimana dengan kita? Apakah kompetensi kita sangat dibutuhkan sehingga untuk meminta cuti pun kantor berat mengijinkan atau sebaliknya, ketika kita cuti, tanpa beban apa-apa kantor dengan segera mengijinkannya? Daniel dkk didapati 10 kali lebih cerdas dari semua orang berilmu dan ahli jampi dan pada Daniel pasal 2 kita melihat hanya Daniel yang dapat menceritakan mimpi raja dan artinya. Sekali lagi, tidak di dapat kesalahan apapun pada Daniel kecuali dalam hal ibadahnya kepada Tuhan. Apa yang sering menjadi kegagalan kita para alumni? Kita mempunya ilmu yang benar tetapi tidak berintegritas, atau tidak ada hidup kita yang benar kecuali masih tetap beribadah.

Mari belajar dari satu tokoh lain, yaitu Yusuf (Kej 37:26-27; Kej 39:4-9). Yusuf adalah seorang yang menjaga integritasnya dan ia orang yang cakap bekerja, rajin, setia, dapat dipercaya sehingga Potifar memercayakan seluruh urusan rumah tangganya pada Yususf, kecuali isterinya. Ia bekerja dengan serius, tetapi ia juga mengetahui batas hak dan wewenangnya. Yusuf menolak rayuan untuk tidur bersama dari isteri Potifar karena takut akan Tuhan. Yusuf berkata, “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kej 39:9).

Yusuf juga adalah seorang asing di tanah Mesir, dan dikenal tuannya sebagai orang yang disertai Tuhan (Kej 39:3). Apapun yang dikerjakannya dibuat Tuhan berhasil (Kej 39:23). Dia sendiri, tetapi hal itu tidak dijadikan alasan bagi dia untuk tidak taat kepada Tuhan dan senantiasa menjaga integritasnya. Bagaimana dengan kita? Apakah kita merasa sendiri di tempat kerja kita? Mari belajar dari Yusuf. Ketika kita mengerjakan pekerjaan seharusnyalah pekerjaan itu menjadi pekerjaan berhasil oleh karena kehadiran kita. Karena itu, harusnyalah kita banyak mendoakan tempat kita bekerja.

Mari kembali melihat hidup Yusuf. Oleh karena penolakannya terhadap isteri Potifar, Yusuf harus mendekam di penjara. Bukan karena melakukan kejahatan tetapi karena mempertahankan hidup benar di hadapan Tuhan. Dan dari penjara Allah mempersiapkan Yusuf untuk menjadi pemimpin dunia. Yusuf dapat memberi tahu arti mimpi raja Firaun bahkan memberi nasihat penataan ekonomi yang menunjang logistik kerajaan Mesir untuk menghadapi masa kelimpahan tujuh tahun dan masa kekeringan tujuh tahun. Melihat hikmat dari Yusuf akhirnya Firaun berkata, “Mungkinkah kita mendapati orang seperti ini, seorang yang penuh dengan Roh Allah? … tidaklah ada orang yang demikian berakal budi dan bijaksana seperti engkau!” (Kej 41:38-39).

Bagaimana dengan kita? Sebagai alumni Kristen seharusnyalah kita dikenal dengan dua ciri utama yaitu professional dan berintegritas. Seorang professional dicirikan dengan tiba tempat kerja tepat waktu, menguasai bidang kerja/bidang ilmu yang dimiliki, memiliki perencanaan yang tepat dalam target-target kerja. Misalnya sebagai pengajar seharusnyalah menguasai ilmu yang akan diajarkan dan mengajarkannya dengan cara yang menarik. Menjamurnya bimbingan belajar tingkat SD-SMA menjadi bukti bahwa kualitas mengajar guru-guru kurang maksimal. Pasien-pasien berobat ke luar negeri karena tidak yakin dengan ketepatan diagnosa dan penangan medis yang ia terima.

Apakah di kantor/sekolah tempat kita mengajar kita dikenal dengan ‘orang yang penuh Roh Allah, orang yang disertai Allah’. Tantangan yang seiring dengan naiknya jabatan adalah hal yang normal. Alasan satu-satunya yang mengganjal alumni Kristen adalah imannya, bukan kualitas kerja, kompetensi atau integritasnya. Makin tinggi jabatan maka makin besar tanggung jawab karena semakin besar tuntutan untuk memberi dampak kepada pekerjaan.

Apa yang harus kita lakukan? Mari membentuk atau terlibat dalam Interest Group (IG) sesuai dengan profesi kita sehingga kita bisa saling menguatkan, menajamkan kemampuan profesi dan mengambil langkah konkrit untuk memperbaiki kinerja kita. Guru-guru perbidang studi ada baiknya mengadakan pertemuan untuk memperdalam materi dan saling memperkaya cara mengajar yang menarik.

John Stott pernah mengatakan bahwa dunia semakin busuk bukan karena kejahatan semakin bertambah tetapi karena orang-orang benar tidak berbuat apa-apa. Fungsi kita sebagai garam dan terang harus dinyatakan dalam karya kita bagi bangsa. “Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka.” (1 Petrus 2:12).

Solideo Gloria!

No comments: