Tuesday, November 8, 2011

Knowing God’s Will 02

[Kotbah ini dibawakan oleh Denni B. Saragih pada MBA Jumat 24 Agustus 2007)

Sore hari ini kita akan belajar mengenai Knowing God’s Will bagian yang ketiga. Tentu saja bagian ini tidak akan melengkapi semua tentang kehendak Allah, dalam pengertian, masih banyak aspek-aspek yang bisa kita bahas ketika kita berbicara mengenai kehendak Allah.

Sekarang kita akan membahas bagian yang spesifik mengenai kehendak Allah dan instuisi manusia. Apa yang dimaksudkan disini adalah soal bagaimana kita sebagai anak-anak Tuhan seringkali menyamakan kehendak Tuhan dengan merasa sejahtera. Jadi, ketika kita mendoakan seseorang (misalnya dalam teman hidup), kita mencoba memahami kehendak Allah dengan merasakan apakah kita damai sejahtera dengan mendoakan dia atau tidak. Bila kita merasa damai sejahtera, berarti dia memang datang dari Tuhan, atau sebaliknya, bila kita tidak merasa damai sejahtera, berarti bukan dia. Hal ini yang biasa kita alami dan lakukan. Saya ingin mengajak kita untuk memikirkan hal ini lebih serius. Mungkin dalam apa yang kita yakini ini ada kebenarannya. Tetapi kita harus mencoba merefleksikan apakah memang secara otomatis bila kita merasa damai sejahtera, itu adalah tanda kehendak Tuhan atau sebaliknya. Bisa saja terjadi situasi dimana kita tidak merasa damai sejahtera tetapi hal itu adalah kehendak Tuhan. Ada seorang alumni yang mengatakan ketika dia berdoa dengan seorang wanita, dia sejahtera. Dia yakin bahwa wanita itu adalah teman hidupnya. Tetapi si wanita menolak karena dia tidak merasa damai sejahtera. Contoh lain, ada dua orang alumni Fakultas Sastra. Mereka berdua merasa damai sejahtera. Tetapi yang satu sejahtera jawabannya tidak dan yang lain sejahtera jawabannya iya. Sejahtera mana yang benar dalam kondisi seperti ini? Sampai-sampai yang sejahtera akan jawaban iya mengatakan kepada yang sejahtera jawabannya tidak bahwa dia tidak taat kepada Tuhan. Apakah sejahtera mutlak menjadi jawaban Tuhan? Jadi bisa saja terjadi dimana kita tidak sejahtera dengan satu keputusan tetapi keputusan itu benar. Yesus sendiri pun mengalami hal yang demikian. Apakah Yesus merasa damai sejahtera ketika berada di Getsemani untuk memikul salib? Tidak! Yesus sangat bergumul dan keringatan. Tetapi Ia tahu kehendak Bapa memahami bahwa damai sehahtera tidak identik dengan kehendak Tuhan. Bila kita tidak sejahtera, bisa saja itu cara Tuhan untuk menegur karena kita berada di jalan yang salah.

Bagaimana kita memandang doktrin sejahtera yang telah kita miliki sejak dulu? Sering sekali ukuran kita dalam memutuskan sesuatu adalah damai sejahtera. Bila tidak sejahtera bekerja di sebuah kantor lalu kita keluar, dan kita yakin bahwa hal itu adalah kehendak Allah. Saya tidak menyatakan bahwa hal ini adalah salah, tetapi kita perlu memikirkan dengan serius akan konsep ”damai sejahtera” yang selalu kita pakai dengan bebas setiap hari termasuk menggumulkan hal-hal penting seperti pekerjaan, pelayanan, dan hal-hal lainnya. Sekarang saya ingin mengajak kita memikirkannya dengan serius.

Sejahtera itu adalah kesan intuitif terhadap apa yang merupakan kehendak Allah. Sejahtera adalah perasaan batin, emosi, hati nurani yang ada di dalam diri kita, atau intuisi kita terhadap apa yang kita pikir adalah kehendak Tuhan. Jadi sejahtera dengan kehendak Tuhan bisa saja bercampur dan beririsan. Tetapi pertanyaannya adalah apakah sejahtera seluruhnya adalah kehendak Tuhan. Kita tahu sejahtera berbeda sekali dengan pernyataan Allah yang ada di Alkitab dimana ada suara atau tanda yang terlihat akan kehendak Allah. Paulus mengalami hal ini dimana ia mengalami penglihatan Makedonia. Ada juga orang yang mendengar suara Tuhan, misalnya Samuel. Sering sekali sejahtera yang kita miliki tidak memiliki alasan rasional dimana tidak ada kehendak Allah yang dicapai dengan alasan-alasan logis. Tidak ada rasionalisasi yang pasti dibalik mengapa kita sejahtera. Jadi kebanyakan yang terjadi adalah semacam intuisi kita. Sewaktu kita mendoakan seseorang, kita mengingat wajahnya, dan entah bagaimana kita merasa sejahtera (tanpa mencari lebih jauh mengapa kita sejahtera). Kita seringkali mengatakan sejahtera adalah kehendak Tuhan karena sejahtera kita samakan dengan pimpinan Roh. Perasaan intuitif ini kita rasakan karena ada satu Roh yang memimpin kita, menyatakan kehendak Tuhan kepada kita. Sering sekali orang mengatakan bahwa Roh dengan jelas memimpin dia, atau Tuhan berbicara kepadanya, atau suara kecil yng berbisik di hati. Atau tuntunan dari dalam. Saya tidak ingin mengatakan bahwa Roh tidak bekerja dengan cara-cara yang seperti ini, tetapi kita akan lihat dimana batasannya. Apa yang disebut sebagai pimpinan Roh adalah suatu pengalaman inspirasional untuk melakukan suatu keputusan-keputusan tertentu. Hal inilah yang terjadi dan bisa berasal dari Tuhan tetapi juga bisa berasal dari pikran, keinginan, atau inner motivation lainnya yang kita miliki. Paling bahaya bila kita menyamakan hal ini dengan pimpinan Tuhan

Penting sekali untuk kritis dan berpikir keras sebelum kita mengidentikkan segala sesuatu dengan pimpinan Roh. Apalagi mengatas namakan Tuhan untuk mengatakan sesuatu yang sebenarnya bukan keinginan Tuhan, tetapi keinginan kita secara pribadi. Sangat gampang untuk mengubah perasaan cinta menjadi ’kehendak Allah’. Secara umum ada pandangan yang mau kita telaah lebih jauh adalah satu perasaan intuitif dan pandangan umum, yaitu :

  • Pimpinan Tuhan adalah perasaan-perasaan positif untuk mengikuti arah tertentu.Jadi, bila kita merasa nyaman dan tenang, berarti Tuhan memimpin kita untuk melakukan satu hal.
  • Pimpinan Tuhan adalah perasaan-perasaan negatif yang kuat untuk tidak melakukan suatu tindakan. Bila dia merasa tidak sejahtera dan tidak nyaman, berarti Tuhan melarang dia melakukan hal-hal tertentu.
Saya hanya mencoba untuk menyatakan ulang apa yang kita yakini. Sekarang mari kita mengkritisi hal ini.Pertama, intuisi dan perasaan sejahtera bisa menjadi satu hal yang penting dalam menemukan kehendakNya. Jadi perasaan kita bisa menjadi alat dimana Allah menyatakan pimpinannya kepada kita. Kedua, intuisi bukanlah suara langsung dari Roh dan tidak bisa kita identikkan dengan kehendak Allah karena hal itu adalah instuisi dan harus diuji kembali. Nanti kita akan melihat bagaimana cara mengujinya.

Sebenarnya penekanan dalam intuisi ini bukanlah sesuatu yang Alkitabiah, tetapi historikal. Konsep ini berasal dari ajaran George Fox dan kelompok the Quakers. Kelompok ini adalah kelompok yang mengembangkan prinsip guncangan sewaktu berdoa. Ketika mereka berdoa, mereka bisa merasakan adanya Tuhan atau kehendakNya ketika mereka berguncang (itulah sebabnya dikatakan the Quakers). Hal inilah mungkin yang mengakar dan menyebar kepada banyak orang. Sehingga ada buku tentang doa yang mengatakan setelah kita berdoa, maka kita harus berdiam diri agak lama untuk mendengar Tuhan mau bilang apa. Kembali saya tidak mengatakan bahwa hal ini salah atau benar. Ini adalah satu pengalaman rohani. Ingat, dalam banyak hal diajarkan bahwa pengalaman tidak bisa menjadi pengajaran. Pengalaman satu orang bisa unik bagi orang itu sendiri dan tidak harus menjadi pengalaman orang lain. Pengalaman tidak harus seragam dimana semua orang mengalami hal yang sama untuk menemukan kehendak Tuhan.

Tuhan menyatakan kehendakNya dengan cara yang berbeda-beda. Satu pengalaman tidak menjadi hukum bagi yang pengalaman-pengalaman yang lain. Pengajaran bisa menjadi pengalaman, tetapi pengalaman tidak bisa dijadikan pengajaran. Intuisi punya tempat, tetapi jangan menjadi ekstrim sebagai bukti kehendak Allah. Sepertinya tidak ada kepastian bukan? Tetapi menurut saya hal ini sangat tepat. Saya tidak ingin, kita sebagai anak-anak Tuhan, sewaktu mencari kehendak Tuhan membuat semuanya sama rata, menggampangkan persoalan sehingga kita menjadi orang-orang yang malas.

Malas untuk berpikir, berdiskusi,mencari tahu sesuatu, belajar, dan terus menggunakan intuisi kita untuk mencari kehendak Allah. Kita malas memikirkan kenapa hal ini pimpinan Tuhan atau bukan.

Darimanakah asalnya ini semua? Ada tiga ayat Alkitab yang problematik yang sering dipakai sebagai dasar bahwa damai sejahtera adalah tanda jawaban Tuhan. Kita akan mengkritisi ketiga ayat ini bahwa hal itu tidak benar.
  1. Kol 3:15, ”Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah. Disini dikatakan “Hendaklah damai sejahtera Kristus…” . Lalu entah bagaimana, seorang pengkhotbah mengatakan bahwa dasar dari sesuatu kehendak Allah adalah apabila damai sejahtera Allah memerintah di dalam hati kita. Bila kita melihat konteks ayat ini, ’damai sejahtera’ disini bukan berbicara tentang perasaan tenang atau nyaman, tetapi berbicara mengenai anak-anak Tuhan yang harus berdamai satu dengan yang lain. Oleh sebab itulah dikatakan damai sejahtera di hati kita untuk bersatu sebagai orang Kristen sebagai tubuh Kristus, bukan berbicara damai sejahtera untuk mencari kehendak Tuhan.
  2. 1 Yohanes 4:1, "Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia." Ayat ini mengenai hal untuk menguji Roh. Orang mengatakan salah satu cara untuk mencari kehendak Allah adalah dengan menguji roh-roh yang datang. Bagaimana cara menguji? Ada dua hal yang pernah saya dengar. Pertama, menguji roh dengan cara berdoa. Kedua, menguji dengan menggunakan hikmat rohani. Kita berdiam diri, dan bila kita merasa damai sejahtera, berarti berasal dari Tuhan, atau sebaliknya. Bila kita melihat konteksnya, menguji roh disini memiliki pengertian apakah ajarannya ajaran yang benar atau salah. Inilah menguji roh (perhatikan ayat 2). Jadi menguji roh tidak berhubungan dengan pengalaman mistis.
  3. Roma 14:22-23, "Berpeganglah pada keyakinan yang engkau miliki itu, bagi dirimu sendiri di hadapan Allah. Berbahagialah dia, yang tidak menghukum dirinya sendiri dalam apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Tetapi barangsiapa yang bimbang, kalau ia makan, ia telah dihukum, karena ia tidak melakukannya berdasarkan iman. Dan segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa." Sering sekali orang mengatakan bila anda ragu-ragu dan tidak yakin, jangan lakukan. Ada dua hal yang harus kita perhatikan di dalam dunia ini. Ada ragu-ragu seperti yang ada dalam bagian ini, yaitu ragu-ragu soal keputusan moral (moral choice). Disini konteksnya adalah soal makanan, anggur (zaman sekarang konteksnya bisa berupa nonton, main game, ke night club, baca komik). Ini adalah moral choices, dimana ada grey area. Bila kita ragu-ragu untuk melakukannya, lebih baik jangan dilakukan. Hal ini berbeda dengan hal yang kedua, yaitu personal decision. Misalnya ada orang yang akan menikah merasa ragu-ragu dan akhirnya menunda pernikahannya. Hal ini tentu saja menyulitkan. Terkadang ada dalam satu hal kita sedikit banyaknya memiliki keraguan. Bila berdasarkan keyakinan ini kita tidak berani melangkah, karena adanya keraguan dalam hatinya dan juga berdasarkan Rom 14:22-23 ini, berarti kita membuat ayat ini dalam konteks yang berbeda. Inilah dua hal yang harus kita perhatikan bahwa ada keraguan soal moral choice dimana jika kita ragu sebaiknya jangan dilakukan. Dan yang kedua adalah soal personal decision, dimana dalam banyak hal kita sering bergumul.

Beberapa pandangan Alkitab mengenai damai sejahtera.
  • Kita harus mengakui dengan jujur bahwa tidak ada satu nats pun di dalam PL dan PB yang mengajarkan tentang mencari kehendak Allah melalui instuisi atau perasaan semata. Ini adalah tradisi orang-orang injili yang berasal dari the Quakers. Selalu ada pikiran-pikiran atau konsep-konsep atau suara Ilahi yang dinyatakan.
  • Pimpinan dalam PB sering menunjuk pada pengalaman supranatural dan hasil nubuatan seorang nabi. Contoh : Kis 8:26, 39; 10:19-20; 11:28; 13:2; 15:28; 16:6-7; 20:22-23; 21:4, 11-14

Dalam hal ini, semua pimpinan Roh Kudus menuju kepada adanya seorang nabi yang berbicara, adanya penglihatan, pengalaman supranatural. Inilah yang dipimpin oleh Roh. Tidak ada satupun yang berbicara mengenai damai sejahtera. Semuanya adalah kepastian melalui pernyataan Ilahi.
Lalu bagaimana peran intuisi kita dalam mencari kehendak Tuhan? Apa yang harus kita lakukan ketika kita mengalami damai sejahtera? Pertama sekali kita harus memahami bahwa kita adalah manusia, dan damai sejahtera adalah pengalaman kejiwaan/psikologis. Dalam hal ini terjadi seperti berikut. Bila kita bertemu sesuatu, maka dari pengalaman sadar (consious) kita, katakan saja kita sedang menggumulkan seorang wanita, katakan saja si A, si B, atau si C, kita akan memiliki banyak sekali pertimbangan-pertimbangan. Tetapi perimbangan dan pemikiran-pemikiran kita tidak menghasilkan keputusan yang mantap apakah si A, B, atau C. Dalam kondisi seperti ini, apa yang terjadi? Semua pikiran-pikiran saudara masuk dalam unconsious, tidak hilang. Sewaktu kita kemudian kelak tidur atau bekerja, unconsious ini tidak pernah diam. Dia terus bergerak dan dalam tidur terkadang lebih aktif. Sewaktu dia keluar menjadi consious, kadang kadang kita mengalami ”aha experience” atau ”Éureka” kata orang Yunani. Kita biasa berkata ”Oh iya, sepertinya Tuhan memimpin saya melakukan hal ini”. Ini bukan proses yang tiba-tiba muncul tetapi atau proses yang terjadi, setelah unconsious kita memproses data yang ada di dalam dan kemudian muncul. Kita memahami sesuatu yang sebetulnya tidak kita pahami. Inilah proses kejiwaan manusia. Bila kita identikkan ini dengan pimpinan dari Tuhan, kita bisa salah. Tetapi, kita harus meyakini kalau hal ini pun bisa dipakai oleh Tuhan. Oleh sebab itulah sewaktu kita mengalami hal ini, jangan tolak saja dan jangan terima saja. Kita harus memahami rasa bersalah, nurani, perasaan, semuanya penting. Tetapi perlu diuji dengan pikiran. Karena itu, ketika perasaan dan intuisi muncul, minta Tuhan memimpin kita dengan perkara-perkara yang mendasari intuisi tersebut.

Ketika kita memikirkannya dan kita sampai pada satu konsep dimana tidak ada dasar yang kuat, maka kita bisa menolaknya atau sebaliknya. Antara damai sejahtera dan alasan-alasan yang kita pikirkan dan gumulkan menjadi cocok. Sehingga perasaan-perasaan damai sejahtera menjadi semacam pintu gerbang untuk masuk ke dalam kehendak Tuhan. Sebelum kita melangkah, mari kita pikirkan baik-baik, lihat di dalamnya, renungkan, diskusikan, refleksikan, sehingga kita bisa dengan mantap dengan apakah sesuatu itu pimpinan Tuhan atau tidak. Ketika kita memikirkannya dan tidak muncul alasan-alasan yang Alkitabiah mengapa kita yakin akan satu hal, berhati-hatilah. Mungkin hal itu tidak berasal dari Tuhan, tetapi kemungkinan berasal dari perasaan dan keinginan kita sendiri.
Soli Deo Gloria!

No comments: